"Kenapa bibirmu bengkak?"
Wajah Yumi menegang, dia berusaha untuk menguasai dirinya agar terlihat tenang. Matanya menatapku tanpa kedip.
"Bukan apa-apa," sahutnya. Dia mengalihkan perhatian pada dinding di sampingnya.
Aku menatapnya, tak ada kurangnya wanita ini, wajah cantik luar biasa. Wajah oval dengan hidung yang mancung, alisnya terbentuk rapi secara alami. Bibirnya kecil tapi padat, kulitnya halus dan memiliki tinggi ideal serta lekukan yang sempurna. Sayang, tak sedikit pun aku tahu, sehalus apa kulit putih itu.
"Yumi, kau ingat bagaimana kita menikah? Kita dijodohkan, karena orangtua kita merasa kita cocok. Aku yakin kau wanita yang baik, dan aku menjamin bahwa diriku adalah suami yang bertanggung jawab. Akan tetapi, sudah setahun lamanya, kau tetap menjaga jarak dan batas padaku, kau hanya melakukan tugas rumah layaknya wanita pada umumnya. Akan tetapi, suami tak hanya butuh itu, Yumi."
Yumi tak berkutik, dia bahkan tampak tak terpengaruh dengan semua nasehatku.
"Kita harus menciptakan rasa cinta di dalamnya, karena tanggung jawab ayahmu telah berpindah ke pundakku. Jika ada yang terasa di hatimu, bicaralah! Aku akan mendengarkan. Aku bersedia membuka diriku untukmu, dan sebaliknya kuharap kau juga begitu."
Yumi menoleh padaku, dengan pandangan datar.
"Jangan terlalu banyak menuntut, Mas. Aku telah lakukan apa yang menjadi tugasku, kecuali hubungan tempat tidur."
"Maksudmu mencuci, mengepel dan memasak? Pembantu juga bisa melakukannya. Kau adalah istri, bukan pelayan. Ada apa sebenarnya, jika kau tak suka padaku, kenapa kau tak menolak saja saat kita dijodohkan. Kau malah mengangguk tanpa pikir panjang. Saat ini, kita telah terikat, mau tidak mau kita harus menjalaninya."
"Kau tak mengerti apa-apa, Mas."
"Kalau begitu, buat aku mengerti, berikan satu alasan kenapa kau begitu dingin padaku."
"Belum saatnya kau tau. Aku masih perlu waktu."
"Sampai kapan? Aku punya batas sabar. Jika kau tak juga berubah, aku akan mengembalikanmu pada orangtuamu."
Kurebahkan tubuhku, aku memejamkan mataku, membelakangi Yumi yang masih terpaku.
***
Jam tiga dini hari, aku mendengar suara keributan di kamar sebelah seperti suara bertengkar, bersamaan dengan sisi ranjangku yang kosong. Aku terlalu lelah untuk melihat sendiri. Siapa lagi yang bertengkar kalau bukan Yumi dan Laura.
Paginya, kulihat Laura menarik kopernya tanpa permisi. Matanya bengkak seperti habis menangis, sedangkan Yumi hanya menatap kepergiannya tanpa berbuat apa-apa.
"Kenapa dia? Apa kalian bertengkar?"
Yumi mengedikkan bahunya sambil menyodorkan teh hangat padaku.
"Dia hanya emosi, nanti akan kembali lagi seperti sedia kala."
"Aku dengar kalian bertengkar."
"Hanya kesalah pahaman kecil. Dia hanya cemburu, karena kekasihnya menikah dan tak kunjung bercerai dengan suaminya." Yumi menyesap teh-nya.
Aku tersedak. Laura cemburu pada kekasihnya yang tak kunjung bercerai dengan suaminya. Harusnya Laura cemburu karena kekasihnya tak kunjung bercerai dengan istrinya. Aneh. Apa aku yang salah dengar.
"Tunggu! Kekasihnya yang tak kunjung bercerai dengan suaminya?" Aku mengerutkan kening, menatap Yumi penuh selidik.
"Maaf, maksudku, dengan istrinya." Yumi buru-buru bangkit menghindari tatapanku.
***
"Ibuku menyuruh kita ke rumah," kata Yumi setelah kami makan malam. Memang, kami jarang berkunjung ke rumah orangtua Yumi, tapi sering berkunjung ke rumah orangtuaku.
Entah perasaanku saja, Yumi terlihat tak begitu dekat dengan ke-dua orangtuanya. Atau dia memang dingin pada semua orang? Entahlah.
"Ibu tadi menelpon, apa aku sudah hamil."
Aku berhenti mengunyah. Menatap wajah datar Yumi. Dia memang anak satu-satunya, pasti ibunya mengharapkan cucu.
"Lalu, kau bilang apa?"
Yumi mengedikkan bahunya.
"Kubilang, belum, karena belum rezeki."
"Walaupun sebenarnya kau tak berniat, kan?"
Yumi mengangkat wajahnya, menatapku agak lama. Tatapan datar tanpa perasaan seperti sebelumnya.
"Tidak, aku tidak berniat memiliki anak."
"Kenapa, kenapa, Yumi?!"
Ada gejolak kemarahan di dadaku mendengar pengakuan wanita yang menjadi istriku itu. Bagaimana bisa dia tak berniat untuk punya anak sedangkan dia memiliki suami yang mengharapkan keturunan?
"Aku tak suka anak kecil, anak kecil sangat merepotkan, anak juga akan membuat tubuh melar dan tak kencang lagi."
"Alasan gila," sahutku. "Wanita sejati, takkan pernah menolak untuk punya anak, karena status seorang Ibu, adalah status yang sangat diimpikan para wanita. Aku tak percaya ini." Kugelengkan kepalaku berulangkali.
"Dan aku, bukan termasuk wanita itu." Dia menjawab tegas.
Amarah di dadaku terasa membakar, tanpa bisa kutahan, aku bangkit mendekatinya, mencekal lengannya dan menariknya ke hadapanku. Dia meronta, tapi aku mengenalnya sekuat tenaga sehingga dia meringis kesakitan.
"Aku menginginkan anak, kau istriku, maka kau yang akan melahirkannya. Kau mengerti?!"
"Lepas!"
"Aku punya batas sabar, semua keanehanmu akan kucari tahu. Termasuk, kedekatanmu dengan Laura. Aku mencium gelagat tak wajar di antara kalian."
"Lepas! Sakit." Dia meringis.
Bibir mungil yang selalu berkata dingin, aku ingin tau, apa lagi keahliannya selain itu. Entah setan dari mana, kutarik tengkuk Yumi, membungkam mulut itu dengan caraku yang masih amatir. Rasanya manis, kemudian ... Sakit.
"Auhh!" ringisku, Yumi mengigit, bibirku mengeluarkan cairan yang sempat tercecap, asin. Pasti darah.
"Jangan menyentuhku!" Dia menatapku tajam. Pandangan murka dan amat marah. Bahkan dia menghapus kasar bibirnya sendiri.
"Kau milikku, selagi kita terikat pernikahan, kau hak-ku. Aku bisa saja merampasnya dengan paksa." Kali ini kami akan bertengkar hebat.
"Jangan macam-macam, Adit!" ancamnya. Dia memanggilku tanpa sebutan 'Mas', artinya dia amat marah. "Aku tak pernah meminta apa pun darimu, jangan minta apa pun dariku. Karena aku tak akan memberikannya."
Seharusnya aku menceraikan wanita ini, bukan? Akan tetapi aku malah tertantang untuk menaklukkannya.
Kuusap bibirku yang masih berdarah. Yumi masih melemparkan tatapan permusuhan. Baru saja aku ingin menjawab perkataannya. Bunyi ketukan pintu mengalihkan perhatian kami.
"Aku pulang!" Sang pemilik suara sampai di depan kami, bahkan masuk tanpa menunggu dibukakan pintu.
Mata Yumi yang tadi garang, sinarnya meredup, malah berganti dengan tatapan hangat. Senyum tipis muncul di bibirnya.
Laura menatapku, dia sempat melihat ke arah bibirku yang berdarah. Lalu menatap ke arah Yumi dengan pandangan masam.
"Aku lapar, apa kau sudah memasak, Yumi?" tanya dia santai. Yumi tak menjawab, tapi dia berjalan ke arah dapur, mengambil piring dan gelas baru.
Tinggal aku dan Laura.
"Kenapa kembali? Tak bisa berpisah dengan kekasihmu? Dia sangat ganas. Lihatlah!" Kupamerkan bibirku yang terluka.
Mata Laura berkaca-kaca. Ya, aku mulai menemukan titik terang. Laura cemburu.
Rujuk, dengan cara nikah kembali karena Yumi telah melewati masa Iddah. Rasanya seperti penganten baru lagi, sayangnya Yumi masih sama, tak menampakkan ekspresi berlebihan. Dia terlihat lebih tenang, dibanding aku yang gelisah.Para tetangga dan keluarga sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Tinggal aku dan Yumi yang sibuk membereskan sisa makan malam yang dihadiri oleh beberapa orang itu. Makan malam sekaligus doa selamatan atas rujuknya kami.Setelah pekerjaan selesai, Yumi duduk di sofa di sampingku, bersandar ke sisi sofa. Keringat mengalir di lehernya, sedangkan tanganku gatal ingin mengusapnya. Tanpa bisa kutahan, jemariku mendarat di sana, sementara Yumi terkesiap dan menjauh, pipinya merona."Maaf, aku hanya mengusap keringatmu," kataku, kurasakan tenggorokanku kering. Adegan ini, serasa menegangkan bagi kami.Yumi buru-buru mengambil tisu di depannya, lalu mengusap leher jenjangnya. Semua itu tak lepas dari pengamatanku. Wanita ini sungguh cantik."Melelahkan juga."Y
POV AditAku berulangkali ke kamar mandi menyelesaikan segala hajat yang menganggu itu. Perutku sangat mulas, sudah dari dua jam yang lalu, bolak-balik ke kamar mandi."Apa yang aku makan?"Aku bergumam sendiri, mengingat apa saja yang telah masuk ke dalam perutku.Ya, nasi bakar acar. Aku sempat memakannya. Apakah karena irisan cabe rawit dan nenas muda itu?"Sial!"Aku kembali kabur ke toilet. Beberapa menit lalu keluar lagi. Rasanya sangat menyebalkan.Aku butuh teh pahit, teh yang amat pekat untuk meredakan semua gangguan perutku. Hanya Yumi yang bisa membuatnya, karena dia sendiri yang menunjukkan resep obat itu padaku.Mencoba mengabaikan rasa mulas yang kembali mendera, kubuka pintu hotel. Mengetuk pintu kamar Yumi. Tak lama setelah itu, Yumi muncul. Rambut pendeknya diikat satu, sebagian lepas dari ikatannya dan membingkai cantik wajahnya."Yumi ... Toilet ...."Aku menorobos masuk ke dalam kamar Yumi, membuka pintu yang kuyakin adalah toilet. Setelah semua isi perut itu kelu
POV Adit Katakan saja aku tolol. Ketidak berdayaan Yumi menolak tawaranku begitu membuat hatiku bahagia. Wanita yang muncul dengan dress biru muda di bawah lutut itu, tengah berjalan menuju mobilku, setelah kulihat dia pamit pada Ibunya.Dia cantik, amat cantik, walaupun langkahnya belum cepat, kakinya sudah hampir sempurna. Dia semakin mempesona dengan sikapnya yang terlihat percaya diri.Kubuka pintu mobil untuknya, bahkan semasa kami menikah, sama sekali tak pernah kulakukan itu. Kami terbiasa mengurus diri masing-masing tanpa melibatkan pasangan. Lagi pula, Yumi bikan tipe wanita manja yang butuh bantuan. Dia bisa segalanya, dan jarang meminta tolong."Maaf, aku agak terlambat," katanya mencari posisi duduk yang pas. Sama sekali tak menatapku, khas Yumi yang cuek. Kuhirup aroma wangi lembut yang memenuhi Indra penciumanku. Wangi yang sama, yang kuhapal selama dua tahun terakhir."Mungkin aku yang datang terlalu cepat."Aku berusaha menyenangkan hatinya, seolah-olah ini adalah kes
POV YumiBulan ke tiga, semua terasa begitu menakjubkan. Kakiku sudah bisa dipijakkan pasca pembukaan pen satu bulan yang lalu. Walaupun belum bisa digunakan secara utuh, namun dia sudah mulai tampak normal layaknya sebelum kecelakaan itu terjadi. Banyak hal yang kusyukuri, setelah sempat putus asa dan ingin mati, lalu diberi kesempatan mati, malah aku berpikir ingin hidup. Tuhan akhirnya memberi kesempatan untuk hidup, bahkan untuk sembuh dan kembali seperti sedia kala.Selama di sini, banyak hal yang kupelajari. Aku belajar dari apa yang kulihat, yang kudengar dan yang kurasakan.Aku lebih mencintai diri sendiri dari pada sebelumnya. Seperti kata Mamak, aku harus mengizinkan diriku untuk bahagia."Selamat sore, Yumi."Aku menoleh, Dokter Frans, yang selama ini menanganiku di rumah sakit, datang ke apartemen yang kami sewa. Begitu mendadak, bahkan tanpa memberi kabar terlebih dulu.Kata Ibu, kami berasal dari kampung yang sama. Ibunya Frans dan Ibuku adalah teman saat SMA dulu. Fran
POV Adit "Bagaimana keadaannya?" tanya Mutia padaku, kami tengah makan siang bersama di kantin kantor. Mutia tahu persis masalahku dengan Yumi. Dia juga selalu memberiku semangat dan nasehat."Dia baik, sudah kembali ke rumah. Aku yang menemani orang tuanya menjemputnya ke sana. Walaupun sempat terjadi drama dan perdebatan, akhirnya Yumi menurut juga.""Kau sendiri?""Maksudmu?""Ya, kau sendiri bagaimana? Apa kau baik? Bukankah bertemu dengan Yumi adalah impianmu, sekarang dia sudah ditemukan. Lalu apa langkah selanjutnya?"Aku terpaku, apa langkah selanjutnya, aku pun tak tahu. Aku senang Yumi kembali, tapi aku tak bisa memastikan perasaanku padanya, setelah kulihat dia berubah ... Secara fisik."Masih mau rujuk?"Mutia tetap saja menyodorkan pertanyaan padaku, aku malah kehilangan selera makan."Artinya kau tak serius mencintainya." Mutia meletakkan sendoknya. Nasi yang dimakannya sudah tandas dalam waktu cepat. Aku tahu, Mutia memang belum menikah, tapi dia memiliki pemikiran yan
POV Yumi"Makanlah!" Aku mengangguk. Ya, sehari berselang, Adit membawa ke dua orangtuaku ke tempat Mamak. Tak berdaya, aku terpaksa ikut dengan kedua orang tuaku, saat melihat Ibu pingsan ketika aku menolak keras. Jangan lupakan, ayah yang menatapku dengan penuh permohonan.Akhirnya, Mamak dan Pak Mukhsin, membujukku untuk lebih mematuhi orangtua. Aku tak berdaya, bahkan untuk melarikan diri dan menjauh dari semua orang.Di sinilah aku sekarang, di rumah yang selalu sepi. Entah kapan canda tawa terdengar di sini, aku tidak ingat. Banyak hal yang tidak kuingat. Ya, atau mungkin aku terlalu sibuk dengan diriku yang berlubang sengsara."Jangan terus menatapku, Bu. Aku merasa rendah diri, karena tak lagi memiliki wajah cantik." Aku menatap mangkuk yang berisi bubur jagung. Makanan kesukaanku, yang tak kuingat, kapan terakhir kali dia membuatkan untukku. Kenapa dengan keadaan begini, Ibu malah bersikap perhatian."Kenapa? Kau anakku, apa pun keadaanmu, kau tetap anakku. Menemukanmu dalam