Aku tersenyum menang, saat Laura menatapku tanpa kedip tapi mengisyaratkan rasa terluka. Ya, tak enak memang, dikhianati kekasih sendiri. Kekasih yang membuatku geli dan perutku mendadak mual. Bagiamana dua wanita yang memiliki kecantikan di atas rata-rata itu saling tertarik? Pantas saja Yumi kebal dengan pesonaku. Walaupun aku tak seganteng artis Korea, di kantor aku cukup populer.
"Apa ... Apa yang kalian lakukan?" Suara Laura bergetar.
"Kira-kira apa yang dilakukan orang yang telah menikah? Aku rasa kau cukup cerdas, dan tak perlu kuberi tahu."
Laura terlihat meremas tali tas kecilnya, seiring dengan Yumi yang muncul di hadapan kami.
Aku bangkit, membantu Yumi meletakkan gelas. Bahkan dengan sengaja merangkul pinggangnya di depan mata Laura. Tak kupedulikan tatapan protes Yumi, menjadi pihak ke-tiga dari pasangan aneh, ternyata seru juga.
"Tak usah, aku mendadak kenyang." Laura berkata dingin, mendorong kembali piring yang diberikan Yumi.
"Apa kau mengganti sampo-mu, Sayang? Aku lebih suka yang ini, lebih wangi." Kuendus rambut indah Yumi, dia berusaha mengelak. Mungkin tak ingin Laura semakin cemburu.
"Apa apaan kamu, Mas?" Dia mendelik. Dia menjauh, lalu duduk di depan Laura. Oh, ayolah! Aku ingin menyaksikan adegan bertengkar kalian.
"Tadi kau mengatakan lapar, sekarang kenyang. Ada apa?"
"Aku tak lagi berselera melihat tingkah kalian."
Yumi mendadak kaget, dia tak pernah memberitahuku akan penyimpangannya. Saat ini, Laura menunjukkan rasa cemburu terang-terangan.
"Kau salah, datang diwaktu yang tak tepat, bagaimanapun, kami masih pengantin baru." Aku ikut berbicara. Yumi kembali melayangkan tatapan protes, marah? Silakan saja! Aku tak peduli.
"Suamimu sudah tau, apalagi yang kau tunggu?! Ini sudah setahun seperti janjimu!" Laura berteriak.
Yumi memejamkan matanya, mencoba meredam emosinya.
"Aku tak ingin membahas ini di depannya."
Di depannya? Maksud Yumi adalah aku. Menggelikan, menjadi orang ke-tiga pasangan ini.
"Aku telah berkorban banyak untuk semua keinginanmu. Waktu yang kau janjikan bahkan telah lewat dua hari."
"Beri aku waktu sampai aku memiliki anak, kau tau, orangtuaku bukan orang yang mudah."
Kali ini Yumi yang emosi. Rasanya lelah juga berasa di antara mereka. Aku akan memberikan waktu pada mereka untuk bertengkar.
Saat ini, aku hanya perlu mencoba ide temanku. Apakah ini dosa? Aku tak tahu. Yang jelas, untuk pertama ini harus pemaksaan dulu.
Akhirnya, beberapa menit kemudian, aku sampai di depan apotik. Malu juga rasanya saat menanyakan obat yang kumaksud, aku bahkan menunggu orang yang datang ke sana sepi dulu.
***
"Mana dia?" tanyaku pada Yumi, wajahnya kacau, pasti mereka bertengkar hebat.
"Dia pergi lagi."
"Aku tak mengizinkan dia kembali ke sini. Atau aku akan menelepon orangtuamu." Aku mengancam asal.
"Jangan!" Yumi bangkit dari duduknya. "Jangan pernah lakukan itu!"
Aku semakin curiga. Artinya, orangtua Yumi juga menyembunyikan ini padaku. Bahwa anak mereka tidak lurus.
Yumi terlihat lelah, kesempatan ini kugunakan untuk menjalankan strategi. Teh hangat yang sudah bercampur obat, kusodorkan pada Yumi dan disambut dengan dahinya yang berkerut.
"Apa ini?" Dia menatapku aneh.
"Minumlah! Kau pasti haus."
Dia menatapku dan gelas secara bergantian. Tapi pada akhirnya menerima dan meminumnya.
Apakah aku berdosa? Merampas hak-ku menggunakan cara yang licik?
***
Antara cemas dan gugup, mataku tak berhenti menatap Yumi yang mulai gelisah. Dia mengipasi dirinya sendiri seperti kepanasan padahal malam amat dingin. Berulang kali dia melepaskan nafas panjang.
Sengaja kukunci pintu kamar dan mencabut kuncinya. Aku tak ingin dia malah ke luar dan mencari Laura.
"Apa yang kau masukkan ke minumanku?" Yumi bertanya dengan napas terputus-putus. Tatapannya redup, hampir menangis.
Nyaliku ciut, ada penyesalan. Bukan, bukan seperti ini harusnya, aku memiliki agama yang kuat, apa artinya dia merasakan percikan itu tapi tak terjadi secara alami.
"Sial!" Dia mengumpat. Meninju dinding kamar kami. Dia mencakar dirinya sendiri.
Aku bergerak menghentikan tangannya.
"Maafkan aku!"
"Kau ...." Dia menunjuk wajahku. Kemudian menangis. Baru pertama kulihat dia menangis. Menangis putus asa.
"Aku akan menolongmu ...."
Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutku. Malam pertama yang telah tertunda selama setahun itu terjadi juga. Tapi aku merasa sangat kecewa, Yumi tak lagi memiliki penghalang layaknya perawan pada umumnya.
***
Paginya, aku mendapati Yumi sudah segar dengan rambutnya yang basah. Dia seakan melupakan kejadian semalam, buktinya dia menyiapkan sarapan seperti biasanya.
Tinggal aku yang penasaran, perasaan kecewa yang amat besar melanda hatiku. Bukankah kata orangtuaku Yumi baik? Akan tetapi, apa yang aku dapati jelas saja sangat mengecewakan. Suami mana yang akan menerima, saat dia menjaga diri selama ini, tapi mendapati istri yang tak lagi suci.
Aku mengamati punggung Yumi yang bergerak di depan kompor.
"Maaf, bawang gorengnya habis." Dia meletakkan dua porsi nasi goreng lengkap dengan toping bakso dan telur dadar. Masakannya tak pernah mengecewakan.
Kuamati wajahnya yang makin dingin, kutahu dia pasti amat marah, tapi sepertinya dia tak mau mengungkit apa yang semalam terjadi.
"Masalah semalam ...."
Yumi meletakkan sendoknya agak keras di atas piring, sehingga bunyi dentingan itu terdengar keras.
"Jangan bahas apa pun!"
"Aku memang menaruh obat diminumanmu."
"Aku tau, karena ini bukan pertama yang terjadi padaku." Dia mengangkat piring nasi gorengnya yang masih penuh. Aku tak tau pasti, berapa sendok yang baru masuk ke mulutnya.
Aku bangkit, menysulnya ke westafel. Kucekal lengannya membuat dia berbalik.
"Apa lagi?" Dia menengadah. Matanya berkaca-kaca.
"Katakan! Apa yang terjadi?"
"Jangan terlalu banyak tahu tentangku, Mas. Kau hanya akan terluka, karena aku takkan pernah pantas untukmu." Bibirnya bergetar. Satu tetes air mata berhasil turun dari kelopak matanya yang indah.
"Tak ada yang bisa kubanggakan padamu, selain kemampuanku dalam memasak. Sekarang kau menyesal, kan? Apa yang kau harapkan tak ada padaku."
Yumi mengusap air matanya. Semalaman aku berpikir, merasa kecewa dan bodoh. Akan tetapi, wanita itu masih menutup diri dan membuatku hanya bisa menerka-nerka.
"Antarkan aku ke rumah orangtuaku, aku ingin istirahat selama tiga hari."
"Aku akan ikut menginap."
"Mas," cegahnya. Suaranya mencicit, seakan begitu lelah.
"Aku ingin berdiskusi dengan Ayahmu, apakah melanjutkan pernikahan ini atau tidak."
Yumi memucat.
"Ya, aku sudah menduga itu akan terjadi."
"Kalian telah menipuku, aku berhak mendapatkan penjelasan."
Aku meninggalkan Yumi di dapur, mengambil bekal makan siangku lalu pergi bekerja. Kata orang malam pertama terasa manis, apanya yang manis, sepanjang waktu Yumi menangis dan aku seperti orang gila yang bertingkah seperti pemerkosa.
POV AyumiLima belas tahun yang lalu"Wah, inikah cewek yang dibilang sama Tiger, masih ingusan ternyata, gue pikir udah SMA, ternyata roknya masih dongker."Salah seorang dari mereka yang mengeroyokku, menilaiku dengan tatapan kurang ajar. Aku tahu, sebentar lagi akan menemukan bahaya. Akan tetapi aku tetap mencoba tegar berdiri di atas kakiku sendiri dan tak menampakkan rasa takut."Menjauhlah! Aku mau lewat." Kukayuh sepedaku kembali menyusuri jalan sepi yang di kiri dan kanannya adalah lahan kosong. Jarak rumah dan sekolah lebih dekat jika ditempuh dengan jalur ini.Mereka anak SMA sebelah, biasa mangkal di sini. Akan tetapi, selama mereka tidak menganggu. Namun, saat pria beringas yang baru saja datang itu, mereka malah ikut-ikutan jahat."Tak semudah itu Nona Manis," sahut pria asing yang masih memakai seragam SMA itu, dia tak pernah kulihat, akan tetapi melihat gelagatnya, kuyakin dia anak yang bandel."Tak apa, rok masih
Aku tak mampu meraba ke mana arah kalimat Yumi barusan, dia melepaskan cekalan tangannya. Menatapku dengan pandangan tak bisa kujelaskan, ada rasa putus asa di sana.Andaikan Ayumi adalah wanita yang terbuka, akan tetapi dia bagaikan teka teki yang rumit. Aku bahkan hanya menemukan kebingungan setiap mencerna setiap sikapnya."Aku harus pergi, aku bisa terlambat," kataku pada Yumi. Yumi bahkan tak mengedipkan matanya, akan tetapi mata indah itu terlihat mengembun. Sejak malam pertama kami, Yumi berubah menjadi sosok yang amat rapuh."Aku pergi, jika Laura datang, usir dia! Aku mengharamkan rumahku diinjak olehnya. Kau mengerti?"Yumi tak menjawab, tangannya menghapus air mata yang mulai menetes."Kenapa kau menangis?" Kuhela napasku, segala tingkah Yumi tak pernah kumengerti."Aku tak memiliki alasan untuk tertawa, Mas. Pergilah! Hati-hati di jalan."Dia berbalik. Berjalan lurus menuju kamar kami."Apa kau ingin dib
"Hentikan itu!" Aku merebut pisau dari tangan Yumi, melempar benda itu ke dinding, menghasilkan bunyi benturan kecil di sana. Yumi kaget dan tak menyangka aku datang di waktu yang tepat. Saat masuk tadi, aku mendapati pintu rumah dalam keadaan terbuka, kemudian kudengar suara bercakap-cakap kecil, sempat kukira Laura datang kembali, ternayata Yumi yang menatap dirinya di depan cermin."Kau gila ...." Kuguncang bahu Yumi, matanya kosong. Lalu detik kemudian, dia menangis."Kenapa kau cegah aku? Kenapa kau lempar pisaunya? Aku baru saja menemukan cara agar penderitaaanku berakhir." Yumi merosot, namun dia kembali merangkak memungut pisau itu. Sia-sia, benda tajam tersebut lebih dulu ketendang.Aku merasakan emosi dan kebingungan, tanpa pikir panjang, kupanggul dia ke luar kamar, tak mengacuhkan rontaan Yumi.Apakah selain aneh, memiliki kelainan, aku juga menikahi wanita sakit jiwa? Yang berniat mengakhiri hidupnya dengan alasan yang tak jelas.
"Sudah berapa usiamu, Dit?" tanya Ibu sambil menyiapkan kopi untukku. Wanita yang lemah lembut dan amat penyayang. Tak bertanya pun, Ibu tahu berapa usiaku, karena aku anak satu-satunya dan beliau takkan lupa tanggal berapa dan tahun berapa aku dilahirkan."Sebentar lagi tiga puluh, pasti Ibu ingin menyuruh mencari istri lagi, kan? Ayolah, Bu. Aku belum menemukan tambatan hati."Ibu meletakkan kopi di depanku, dia menatapku dengan pandangan lelah."Jadi, Ibu yang akan terus membuat kopi untukmu? Umur segini, harusnya ibu menimang cucu.""Ibu ...." Aku kehabisan kata-kata. Sialnya, Ibu menangis."Ibu, aku tak suka Ibu seperti ini." Aku bangkit, memeluk tubuh Ibu yang kecil."Jangan seperti ini, tak ada yang kurang dari kita, kita diberikan harta yang cukup, tubuh yang sehat, tak ada alasan lagi untuk bersedih, jangan begini, ya, Bu.""Terus Ibu harus bagaimana? Apakah Ibu akan mati di ranjang yang dingin tanpa melihat anak Ibu menikah
Yumi membuka matanya perlahan, dia agak kaget saat mendapati wajahku tengah dekat dengan wajahnya. Bahkan dia langsung mengambil jarak dariku. Aku tak bermaksud apa-apa, aku hanya memastikan dia masih bernapas atau tidak. Sebuah pikiran gila yang menakutkan, karena bisa saja dia meminum sesuatu dan mencoba bunuh diri lagi."Kau sudah tak apa-apa?" tanyaku memastikan. Yumi yang mengubah posisi berbaring menjadi duduk bersandar ke kepala ranjang menggeleng sekilas."Aku baik-baik saja.""Ayo kita ke Dokter!""Tidak," sahutnya dengan suara tinggi nyaris membentak, aku melihat kepanikan dan ketakutan saat aku menyebut kata Dokter. Selain takut disentuh, apa dia juga takut dengan dokter? Aneh sekali."Yumi, kondisimu lemah, aku takut terjadi apa-apa dengan kandunganmu, kita belum pernah konsultasi, kan?"Yumi tak bergeming, tatapan matanya yang sayu hanya menikmati pemandangan dinding berjarak beberapa meter di depannya."Apa aku bis
"AC di kamar tamu tidak terasa," ucap Yumi yang tiba-tiba datang di kamarku. Setelah makan malam yang lebih tepat dikatakan tengah malam, aku meminum obat. Reaksi obat cukup cepat, sehingga aku merasakan keinginan untuk bersin berkurang. Hanya saja hidungku masih tersumbat."Kita perlu mencari tukang service untuk membersihkannya, terakhir kali dibersihkan, enam bulan yang lalu, tentu debu telah menempel di dalamnya."Aku tahu pasti, Yumi paling tak suka dengan udara panas. Sedangkan kamar kami, AC menyala dengan maksimal. Mungkin kami mengabaikan kamar tamu, yang jarang ditempati, sehingga lupa memeriksanya secara berkala."Lalu, bagaimana?" tanyaku padanya, apakah dia menyuruhku ke sana dan dia di sini? Itu terdengar kejam."Aku tak bisa tidur, entah kenapa malam ini juga terasa gerah dari biasanya.""Tidur di sini saja." Aku menarik selimut kembali. Yumi masih berdiri tegak tanpa bergerak."Tak usah takut, aku takkan menyentuhmu." A
"Bagaimana keadaanmu?"Pertanyaan yang sama, pertanyaan yang amat kusukai. Mungkin remeh bagi sebagian orang, tapi tidak bagiku. Aku suka saat Adit peduli, senang saat dia mengkhawatirkanku, setidaknya pertanyaan itu berarti aku masih dibutuhkan.Sejak kejadian bertahun-tahun silam, nyaris tak ada yang bertanya bagaimana keadaanku. Ayah dan Ibu sibuk dengan dunianya, dia tak lagi peduli pada anak yang dulu dibanggakannya. Mungkin mereka merasa, bahwa aku tak lagi berguna, tak lagi memiliki masa depan. Ya, masa depan apa yang dimiliki wanita yang hampir gila, yang pernah mengurung diri selama berbulan-bulan di dalam kamar dan takut terkena cahaya matahari."Yumi?""Eh, aku ... Baik." Aku menyahut setelah terbangun dari lamunan. Pria itu, yang memiliki tatapan setajam elang dan memiliki senyum sehangat mentari, tengah duduk dengan beberapa jarak di antara kami. Mataku mengawasinya, melihat bagaimana kelopak matanya bergerak sambil mengamati wajahku. O
Malang bagi kami, saat di perjalanan. Hujan turun dengan lebatnya. Baju blus putih yang dilapisi kardigan itu langsung basah kuyup. Memang, saat di kafe tadi, langit sudah hitam mengandung awan."Apa kita berhenti mencari tempat berteduh?" Suara Adit agak keras mengalahkan deru hujan."Tanggung! Aku sudah basah!" seruku juga."Kau yakin?""Ya," sahutku lagi.Entah kenapa, sejak Adit menawarkan hubungan pertemanan, hatiku merasa sedikit bahagia. Perasaan dibutuhkan dan berharga, itu yang kurasakan. Sudah lama perasaan bangga ini tak kurasakan, bangga saat Adit mengkhawatirkanku."Pegang yang erat! Kita ngebut!" serunya lagi.Aku melingkarkan tanganku ke pinggangnya, menempel tanpa menyisakan jarak. Kulit kami bersentuhan saling meresapi rasa hangat walaupun dibatasi baju basah.Debaran itu lagi, debaran yang sama saat pertama aku mengiyakan perjodohan kami dulu.Debaran yang menjanjikan bahagia, yang tak sadar diri bahwa