"Aargh." Andira Alishba Beyza, gadis cantik 24 tahun, berkulit putih serta memiliki mata coklat dengan bulu mata lentik yang indah. Tiba-tiba saja dia mengerang saat merasakan tarikan tangan seseorang.
"Ikut aku, sekarang!" Tanpa peduli akan terikan kesakitan Andira, dia terus saja menyeret Andira hingga ke sebuah ruangan. Brak, dia mendorong Andira hingga tubuh Andira membentur tembok.
"Tari! Apa yang kamu lakukan?" Ya, orang yang menyeret Andira adalah Tari. Wanita itu adalah senor di tempat Andira bekerja.
"Katakan padaku, apa hubunganmu dengan Bagas?" Wanita berwajah manis yang memiliki kulit coklat eksotis itu mencengkram lengan Andira dengan sangat kuat.
"Aargh, apa maksudmu?" Andira mengerang saat merasakan nyeri di lengan yang Tari cengkram.
Plak, sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Andira. "Jangan banyak bicara, aku tahu kamu memang penggoda!" Plak, plak, plak. Tari menampar wajah cantik itu berkali-kali, tanpa memberi celah bagi sang empunya untuk sekedar melawan. Bahkan sampai tubuh Andira tumbangpun, Tari masih menindihnya dan memukulnya tanpa ampun.
Bagas Adnan Bariq, pria 26 tahun yang berpostur tinggi dengan wajah tampan dan juga berkarisma. Dia melangkah cepat menyusuri lorong kantor tanpa menghiraukan beberapa pasang mata yang memandangnya penuh akan kekaguman. Tujuannya saat ini adalah ruang istirahat khusus karyawati. BRAKK, setelah sampai di ruangan tersebut, Bagas membuka kasar daun pintu itu. Kedua matanya menyisir seluruh sudut ruangan yang tampak sangat sepi. Dan benar saja, Bagas mendapati Andira, wanita yang sudah 1 bulan ini ia dekati, tengah berada di bawah kungkungan Tari Dalia Ezzah, rekan sekaligus sahabat baiknya. "Tari, apa yang kamu lakukan!" Bagas meluapkan emosinya kala mendapati wanita yang sangat ia cintai tengah dianiaya oleh sahabatnya sendiri.
"B-bagas." Tari terkejut dan segara meringsut menjauh dari tubuh Andira yang sudah terkapar lemah di lantai.
Bagas segera berlari, merengkuh tubuh lemah Andira yang tergeletak di tanah. "Andira, kamu baik-baik saja?" Bagas mengusap lembut wajah Andira, helaian rambut yang tercecer di wajah Andira ia selipkan ke belakang telinganya.
"B-bagas, a-aku bisa jelaskan. Semua ini tidak seperti apa yang kamu lihat." Tari yang ketakutan mencoba untuk menjelaskan situasinya pada Bagas, namun Bagas tetap tak bergeming di tempatnya.
Andira menatap pria yang selama ini selalu ada untuknya, dia memberikan senyum manisnya pada Bagas sebelum akhirnya ia pingsan di dalam pelukan Bagas. Wajah yang penuh lebam dengan bibir sedikit robek karena pukulan Tari, membuat kondisi Andira saat ini sangat memprihatinkan.
"B-bagas, aku hanya memberinya sedikit pelajaran. Dia sudah berani mendekatimu dan mau merebutmu dari sisiku." Kilahnya.
"Tutup mulutmu Tari! Aku tahu semuanya!" Bagas menatap tanjam ke arah Tari. Ya, sebelumnya Bagas sudah diberi tahu oleh temannya, kalau Tari menyeret Andira ke ruangan ini. Namun mereka tidak ada yang berani menolong karena kedudukan yang Tari miliki di perusahaan, salah-salah mereka akan bermasalah dengan pekerjaan mereka. "Satu lagi aku tegaskan, hubungan kita hanya sebagai teman. Tidak lebih! Jadi kamu tidak berhak manghalangiku untuk dekat dengan siapapun!" Hardiknya seraya mengangkat tubuh Andira.
"Tapi aku mencintaimu Bagas." Tari berlari dan menahan lengan Bagas yang mengangkat tubuh Andira.
"Itu bukan cinta, melainkan obsesi. Aku tidak mencintaimu, yang aku cintai hanya Andira, bukan yang lain." Tegasnya. Bagas menampik kasar lengan yang Tari tahan dan berlalu tanpa menghiraukan teriakan Tari.
"Bagas, kamu salah. Aku sangat mencintaimu." Tariaknya. "Bagasss."
***
"Euugh." Andira melenguh pelan, sesekali ia meringis merasakan nyilu di sekujur tubuhnya. Perlahan ia membuka kedua matanya, menelisik seluruh ruangan yang terasa asing baginya. "Ini di mana?" Gumamnya, Andira berusaha untuk bangun namun sayang, kepalanya terlalu berat untuk sekedar duduk di ranjang."Kamu sudah sadar?"
Suara seorang pria yang sangat Andira kenali, menarik perhatiannya. Andira mengalihkan pandangannya ke arah sosok tersebut. "B-bagas". Serunya.
"Hei, kamu baik-baik saja? Bagian mana yang sakit?" Bagas khawatir, dia menelisik seluruh tubuh Andira, berharap dia tak menemukan sesuatu yang mengkhawatirkan di sana.
"Aku baik-baik saja." Jawabnya sembari menampilkan senyum termanisnya.
"Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Tari. Apa yang sebenarnya ada di otaknya, kenapa dia bisa setega ini padamu." Bagas duduk di kursi samping ranjang Andira.
"Sudah, tidak perlu di perpanjang. Mungkin dia hanya salah paham saja." Ucapnya.
"Tidak, ini sudah termasuk penganiayaan. Kita tidak mungkin membiarkan ini." Bagas membenarkan posisi duduknya, berhadapan dengan Andira.
Andira menggelengkan kepalanya. "Tidak. Berjanjilah padaku, kamu akan merahasiakan ini dan tidak perlu memperpanjangnya lagi. Aku tidak ingin menambah beban pada orang tuaku."
"Tapi..." Bagas menap wajah Andira yang seakan memohon padanya. "Baiklah. Jika itu yang kamu mau." Bagas tersenyum, tangannya terulur membelai lembut pucuk kepala Andira. "Tidak salah aku menyukai wanita sepertimu." Tukasnya kemudian.
Andira menjauhkan kepalanya dari jangkauan tangan Bagas. Kedua alisnya saling bertautan, otaknya mencoba untuk mencerna perkataan Bagas saat ini. Meski dia sering mendapat perhatian lebih dari pria yang berada di hadapannya saat ini, tapi tidak sekalipun pria itu mengatakan persaannya secara terang-terangan seperti saat ini.
Bagas dapat melihat sikap Andira yang berubah padanya. Kedua tangannya menangkup kedua pipi chuby Andira, memposisikannya saling berhadap-hadapan dengannya. "Jujur, apa yang dia katakan padamu?" Tanya bagas, namun Andira hanya menggelengkan kepala. "Lalu kenapa sikapmu berubah seperti ini?" Tanyanya kemudian.
"Aku hanya tidak ingin disebut sebagai perebut kekasih orang." Ucap Andira lirih dan menundukkan wajahnya.
"Hei, apa maksudmu? Dari awal sampai sekarang, di hatiku hanya ada kamu, bukan yang lain." Ucap Bagas tegas.
Andira membulatkan kedua matanya, pandangannya menatap dalam kedua mata Bagas, mencoba untuk mencari kebohongan di sana ,namun nihil. Apa mungkin Tari berbohong padaku? Batinnya.
"Apa Tari mengatakan kalau dia memiliki hubungan spesial denganku?" Tanya Bagas yang kemudian di angguki oleh Andira. "Percayalah, aku dan dia hanya sebatas teman. Tidak lebih." Tegasnya kemudian, namun Andira tetap dalam diamnya. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Kamu hanya cukup tahu perasaanku saja. Jika kamu belum siap, aku yang akan siap untuk menunggu jawabanmu."
2 hari berlalu, hari ini adalah kali pertama Andira bekerja kembali. Beruntung kedua orang tuanya tinggal di desa dan Andira tinggal seorang diri di kontrakan, jadi dia tidak perlu khawatir kedua orang tuanya menanyakan keberadaan dirinya saat dia dirawat di rumah sakit "Andira, ikut saya ke ruangan!" Andira menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Fitriyah, atasannya yang memanggilnya. "Baik Bu." Jawabnya dengan sopan. Kemudian dia beranjak dari meja kerjanya dan mengikuti Fitriyah sesuai perintahnya. Di ruangan Fitriyah, Andira mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan ternyata di sana juga sudah ada Yeni, kepala ruangannya yang telah menunggu. Ada apa ini? Kenapa perasaanku tidak enak, batin Andira. Andira merasakan tatapan para atasannya tidak seperti biasanya, sepertinya telah terjadi sesuatu tanpa ia sadari. "Silahkan duduk." Titah Fitriyah. Andira tersentak kaget saat suara Fitrinyah membuyarkan lamunannya. Kemudian
"Sampai kapan kamu akan terus mengabaikan aku?"Suara seseorang yang sangat Andira kenal membuayarkan lamunannya. "K-kamu..." Andira tak dapat meneruskan kalimatnya saat tiba-tiba ubuhnya di rengkuh dan di peluk sangat erat."Menangislah, jangan pernah memendam masalahmu sendiri. Aku siap untuk menjadi tamengmu saat kamu ingin menangis." Ya, dia adalah Bagas, pria yang selama ini memberi perhatian lebih padanya.Entah kenapa, kata-kata Bagas membuat kedua matanya kembali berair. Andira melingkarkan kedua tangannya di pinggang Bagas, membenamkan wajahnya ke dalam dada bidang pria itu. Dia menangis, meluapkan semua sedih dan rasa sakit hatinya di dalam dekapan pria yang tadinya ingin sekali Andira hindari, saat ini justru tengah berada di dekatnya, bahkan memeluknya."Benar, menangislah." Ucap Bagas, tangannya membelai lembut rambut hitam panjang Andira yang tergerai sangat indah. "Maaf. Karena aku, kamu jadi begini.""Apa yang kamu katak
"Mbah, saya ingin mengirim teluh pada seseorang." Jawab seorang wanita muda berambut ikal sebahu dengan kulit sawo matangnya, wanita itu tak lain adalah Tari. Meski awalnya dia enggan untuk memasuki rumah bambu sederhana ini, namun karena rasa benci dan sakit hati terhadap seorang pria, membuat dia lupa akan konsekuensi yang akan dia hadapi nanti. Hatinya seolah terdorong untuk menemui pemilik dari rumah bambu ini, hingga akhirnya di sinilah dia berada. Sebuah ruangan beralaskan kain berwarna merah tanpa perabot apapun, hanya sebuah meja persegi dengan kaki meja yang dipangkas hingga berukuran jauh lebih kecil dari biasanya. Berbagai benda-benda pusaka seperti keris, tombak, panah serta berbagai patung-patung berwajah menyeramkan menambah kesan angker di ruangan ini. "Aku tahu. Semua orang yang datang menemuiku, pasti memiliki tujuan yang sama. Yang aku maksud, mau kamu apakan orang itu?" Tari tampak ragu-ragu untuk mengutarakan niatnya. Namun samar-samar, teli
"Halo sayang, apa kamu sudah siap?" Tanya Bagas di seberang telepon sana. Seperti biasa sejak Andira diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta 1 bulan yang lalu, Bagas selalu mengantar jemput Andira seperti halnya hari ini."Sudah sayang.""Kalau begitu, buka pintunya. Aku sudah di depan."Andira segera mematikan panggilannya dan bergegas membuka pintu rumahnya. Benar saja, Bagas sudah berdiri dengan gagahnya di depan gerbang rumahnya. Kemeja putih yang Bagas kenakan, begitu pas melekat di tubuh kekarnya hingga membuat Andira terpana akan ketampanan dan kegagahan prianya itu. Andira segera mengunci pintu rumahnya terlebih dahulu, sebelum akhirnya dia berlari menemui Bagas."Hei, kamu kenapa sayang?" Bagas mencubit gemas hidung Andira, saat kekasihnya itu menatap dirinya tanpa berkedip sedikitpun. "Apa kamu baru sadar kalau kekasihmu ini sangat tampan?" Godanya.Andira mengerjapkan kedua matanya, ia baru tersadar saat Bagas menggodany
"Praangg." Sebuah suara menggangu momen intim antara Andira dan Bagas. Keduanya menoleh ke arah sumber suara dan ternyata itu ulah Kevin sang atasan yang sengaja melempar botol bekas soda. "Ingat, di jalan tidak boleh mesum!" Ucapnya, lalu dia masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan tinggi. Bagas tergelak saat melihat tingkah aneh atasan kekasihnya itu. "Hei, kenapa tertawa?" Tanya Andira menautkan kedua alisnya. "Tidak, tidak apa-apa. Aku heran kenapa dia kepo sekali dengan kita." Ucapnya yang masih di selingi dengan tawa. "Apa jangan-jangan, tadi kamu sengaja untuk mengerjai Pak Kevin ya?" Tanya Andira yang kemudian di angguki oleh Bagas. "Kenapa? Apa kamu ingin, sayang? Boleh aku melakukannya sekarang?" Tanyanya dengan nada menggoda. "Cih, kamu itu bicara apa. Ayo cepat pulang." Tangan Andira meraih helmnya namun Bagas menahannya. "Aku pakaikan." Dengan telaten Bagas kembali
Sinar rembulan mulai menyapu seluruh belahan bumi, menyinari rasa dingin karena angin malam yang menerjang bumi. Malam ini adalah malam pertama Andira memulai hidupnya sebagai seorang istri dari pria yang sudah 3 bulan berstatus sebagai kekasihnya. Maski hubungan mereka terbilang sebentar, tapi Bagas berhasil meyakinkan Andira dan mempersunting dirinya menjadi seorang istri. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun Bagas dan Andira masih enggan untuk terlelap, meski tubuh mereka benar-benar terasa lelah karena acara pernikahan tadi. Andira yang bisanya tidur seorang diri di kamarnya mendadak gugup dan gelisah, saat untuk pertama kalinya dia harus berbagi kamar dengan seorang pria. Detak jantungnya semakin berpacu seolah tengah lari maraton, tubuhnya pun kini berkeringat dingin. Sama halnya dengan Bagas. Tubuhnya juga berkeringat dingin, tapi bukan karena dia tidak terbiasa jika harus berbagi ranjang. Melainkan karena dia harus berperang dengan hasrat
Cahaya terang yang menyelinap di sela-sela jendela kamar, tidak dihiraukan oleh sepasang insan yang sedang malakukan pemanasan pagi hari. Meski tidak dengan penyatuan tubuh, tapi mereka mampu menghasilkan desahan serta erangan kenikmatan di atas ranjang mereka yang masih berhiaskan bunga. Ya, karena melihat penderitaan sang suami yang terjaga semalaman karena hasrat yang tak bisa tersalurkan, akhirnya Andira membiarkan Bagas untuk mencumbu dan menikmati tubuhnya dan mau tidak mau Bagas juga harus menuntaskan hasratnya secara soloist. Setelah Bagas berhasil menuntaskan hasratnya, dia tertidur dengan sangat pulas. Sedangkan Andira, karena kini dia hanya tinggal berdua saja di rumah baru pemberian sang mertua, jadi dia harus menyelesaikan tugasnya di dapur untuk menyiapkan sarapan paginya bersama sang suami. Setelah semua selesai, Andira memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu lalu kemudian bersolek sebelum akhirnya ia membangunkan sang suami untuk sarapan be
"S-siapa?" Tanya Andira dengan suara yang gemetar karena ketakutan. "Dira, ini kakak." Seketika, ada perasaan lega yang menyelimuti hati Andira saat mendengar suara yang sangat ia kenali. Dia bergegas melangkah ke arah pintu, lalu kamudian memutar gagang kunci untuk membuka pintu rumahya. Wuussh... Angin berhembus kencang bersamaan dengan terbukanya pintu rumah, menerjang tubuh Andira yang berdiri di ambang pintu. Dedaunan yang mengeringpun ikut terbawa angin, masuk hingga ke teras rumah. Andira mengedarkan pandangannya, mencari pemilik suara yang ia kira kenali namun hasilnya nihil. "Kak? Kak Ema di mana? Ini tidak lucu loh Kak." Hawa dingin mulai menerpa kulit Andira, menusuk hingga ke tulang dan membuat bulu kuduknya merinding.Tiba-tiba, sekelebat bayangan hitam melesat cepat di taman samping rumahnya. "S-siapa itu? K-kak Ema, apa itu dirimu?" Andira memberanikan diri untuk memeriksanya, pelan-pelan ia melangkah