2 hari berlalu, hari ini adalah kali pertama Andira bekerja kembali. Beruntung kedua orang tuanya tinggal di desa dan Andira tinggal seorang diri di kontrakan, jadi dia tidak perlu khawatir kedua orang tuanya menanyakan keberadaan dirinya saat dia dirawat di rumah sakit
"Andira, ikut saya ke ruangan!"
Andira menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Fitriyah, atasannya yang memanggilnya. "Baik Bu." Jawabnya dengan sopan. Kemudian dia beranjak dari meja kerjanya dan mengikuti Fitriyah sesuai perintahnya.
Di ruangan Fitriyah, Andira mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan ternyata di sana juga sudah ada Yeni, kepala ruangannya yang telah menunggu. Ada apa ini? Kenapa perasaanku tidak enak, batin Andira. Andira merasakan tatapan para atasannya tidak seperti biasanya, sepertinya telah terjadi sesuatu tanpa ia sadari.
"Silahkan duduk." Titah Fitriyah.
Andira tersentak kaget saat suara Fitrinyah membuyarkan lamunannya. Kemudian dia duduk di kursi yang telah disediakan sesuai arahan atasannya.
"Kamu tahu, kenapa kamu saya panggil ke sini?"
Andira menggelengkan kepala, kerena pada kenyataannya dia memang tidak tahu apa yang telah terjadi hingga dia harus berhadapan dengan kedua atasannya saat ini. Entah kenapa, Andira merasa suara Fitriyah kali ini terdengar berbeda, seperti suara orang yang sedang menahan amarah.
"Baiklah, saya tidak akan bicara panjang lebar. Yang pasti, sikap kamu selama ini telah melukai hati saya!" Sarunya.
Andira membulatkan kedua matanya, dia bertanya-tanya sikap yang mana yang dia lakukan hingga membuat atasannya merasa sakit hati. "M-maaf bu, saya tidak mengerti." Ucapnya.
"Tidak perlu banyak bicara, cukup tanda tangan saja di sini." Jawab Fitriyah ketus, dia memberikan selembar kertas lengkap dengan materainya beserta satu buah pulpen.
Jantung Andira seakan berpacu
semakin kencang, tatkala mendengar jawaban dari atasannya. Apa lagi dia melihat kertas yang diberikan Fitriyah itu bermaterai. "M-maaf, ini kertas apa bu?" Tanyanya."Bukankah kamu bisa membaca." Jawabnya lagi, dingin.
Andira mengangguk dan menuruti perintah Fitriah, dia merogoh kertas dan pulpen yang berada di hadapannya.
"Saya yang bertanda tangan di bawah ini, nama Andira Alishba Beyza, usia 24 tahun, alamat di Jl. Semenanjung Riya Blok A no.1, posisi pekerjaan sebagai karyawan. Dengan ini menyatakan untuk istirahat sampai batas waktu yang tidak ditentukan."
Deg, hatinya bagai tersambar petir. Andira terkejut tatkala tahu atasannya menyuruhnya untuk menanda tangani surat pengunduran diri dari perusahaan. Apa yang terjadi? Kenapa aku harus mengundurkan diri? Apa aku telah melakukan satu kesalahan, kesalahan yang tidak pantas untuk dimaafkan? Banyak pertanyaan yang hadir dalam benak Andira saat ini. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan saat ini.
"Cepat tanda tangan!"
Suara perintah sang atasan membuat Andira kembali tersadar dari lamunanya. Mau tidak mau dia menuruti keinginan atasannya itu. Dengan deraian air mata yang sudah membasahi kedua pipinya, Andira memberanikan diri untuk menggerakkan pupen di tangannya, meski dalam keadaan bergetar kerena menangis. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa aku mendapat perlakuan berbeda dari yang lain? Andira membatin dalam hatinya.
Selesai menyematkan tanda tangannya di sampaing materai, dia di perintahkan untuk langsung pulang dengan membawa barang-barangnya sekaligus. Saat dia keluar dari ruangan atasannya, banyak teman-temannya yang menanyakan apa yang telah terjadi sampai dia dipanggil ke ruangan Bu Fitriyah. Apa lagi dia keluar dalam keadaan menangis. Andira tak mampu menjawab jika dia mendapat perlakuan yang tak adil di sana, saat ini dia hanya bisa menangis di pelukan teman-temannya.
Dari kejauhan seorang wanita dengan kulit kecoklatan serta rambut pendek ikalnya, memperhatikan dengan senyum puasnya. "Ini belum seberapa Andira! Lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu nanti." Serunya dengan senyum sinisnya.
Andira menyusuri jalanan ibu kota dengan air mata yang membasahi wajahnya. Beruntung saat dia pergi, dia tidak bertemu dengan Bagas, jadi dia tidak perlu bingung untuk menyembunyikan wajahnya yang terlihat sembab.
Dering ponsel yang sejak tadi berbunyi, tidak ia hiraukan. Dia lebih memilih berkeliling menyusuri jalanan yang di penuhi dengan lalu lalang kendaraan. Lelah menyusuri jalanan ibu kota, kini ia memberhentikan motornya di sebuah pinggiran taman kota. Dia mendudukkan bokongnya di kursi yang berada di bawah pohon yang rindang. Dia menunduk dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, dia menangis sejadi-jadinya meluapkan semua kesedihan dan rasa sakit hati dalam dirinya kerena perlakuan yang tidak adil yang baru saja ia dapatkan.
Dering ponsel kembali terdengar dari dalam tas selempangnya, menggangu luapan kesedihan yang ia tumpahkan. Dengan berat dia membuka tasnya dan mengamit ponselnya. Ternyata Bagas, pria yang baru 1 bulan ini dekat dengannyalah yang telah menelponnya.
Andira kembali mengabaikan panggilan itu, dia tidak ingin Bagas khawatir dengan dirinya. Hingga beberapa saat kemudian, panggilan itupun terputus. Dira menatap layar ponselnya yang terdapat puluhan panggilan tak terjawab serta puluhan pesan yang belum ia baca. Dia membuka kunci ponselnya untuk memeriksa siapa yang mencoba menghubunginya sebanyak ini dan ternyata semua panggilan dan pesan itu dikirm oleh Bagas.
"Haah." Andira menghela nafas, entah apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Andira menatap langit yang terlihat menggelap karena tertutup awan.
"Sampai kapan kamu akan terus mengabaikan aku?"
"Sampai kapan kamu akan terus mengabaikan aku?"Suara seseorang yang sangat Andira kenal membuayarkan lamunannya. "K-kamu..." Andira tak dapat meneruskan kalimatnya saat tiba-tiba ubuhnya di rengkuh dan di peluk sangat erat."Menangislah, jangan pernah memendam masalahmu sendiri. Aku siap untuk menjadi tamengmu saat kamu ingin menangis." Ya, dia adalah Bagas, pria yang selama ini memberi perhatian lebih padanya.Entah kenapa, kata-kata Bagas membuat kedua matanya kembali berair. Andira melingkarkan kedua tangannya di pinggang Bagas, membenamkan wajahnya ke dalam dada bidang pria itu. Dia menangis, meluapkan semua sedih dan rasa sakit hatinya di dalam dekapan pria yang tadinya ingin sekali Andira hindari, saat ini justru tengah berada di dekatnya, bahkan memeluknya."Benar, menangislah." Ucap Bagas, tangannya membelai lembut rambut hitam panjang Andira yang tergerai sangat indah. "Maaf. Karena aku, kamu jadi begini.""Apa yang kamu katak
"Mbah, saya ingin mengirim teluh pada seseorang." Jawab seorang wanita muda berambut ikal sebahu dengan kulit sawo matangnya, wanita itu tak lain adalah Tari. Meski awalnya dia enggan untuk memasuki rumah bambu sederhana ini, namun karena rasa benci dan sakit hati terhadap seorang pria, membuat dia lupa akan konsekuensi yang akan dia hadapi nanti. Hatinya seolah terdorong untuk menemui pemilik dari rumah bambu ini, hingga akhirnya di sinilah dia berada. Sebuah ruangan beralaskan kain berwarna merah tanpa perabot apapun, hanya sebuah meja persegi dengan kaki meja yang dipangkas hingga berukuran jauh lebih kecil dari biasanya. Berbagai benda-benda pusaka seperti keris, tombak, panah serta berbagai patung-patung berwajah menyeramkan menambah kesan angker di ruangan ini. "Aku tahu. Semua orang yang datang menemuiku, pasti memiliki tujuan yang sama. Yang aku maksud, mau kamu apakan orang itu?" Tari tampak ragu-ragu untuk mengutarakan niatnya. Namun samar-samar, teli
"Halo sayang, apa kamu sudah siap?" Tanya Bagas di seberang telepon sana. Seperti biasa sejak Andira diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta 1 bulan yang lalu, Bagas selalu mengantar jemput Andira seperti halnya hari ini."Sudah sayang.""Kalau begitu, buka pintunya. Aku sudah di depan."Andira segera mematikan panggilannya dan bergegas membuka pintu rumahnya. Benar saja, Bagas sudah berdiri dengan gagahnya di depan gerbang rumahnya. Kemeja putih yang Bagas kenakan, begitu pas melekat di tubuh kekarnya hingga membuat Andira terpana akan ketampanan dan kegagahan prianya itu. Andira segera mengunci pintu rumahnya terlebih dahulu, sebelum akhirnya dia berlari menemui Bagas."Hei, kamu kenapa sayang?" Bagas mencubit gemas hidung Andira, saat kekasihnya itu menatap dirinya tanpa berkedip sedikitpun. "Apa kamu baru sadar kalau kekasihmu ini sangat tampan?" Godanya.Andira mengerjapkan kedua matanya, ia baru tersadar saat Bagas menggodany
"Praangg." Sebuah suara menggangu momen intim antara Andira dan Bagas. Keduanya menoleh ke arah sumber suara dan ternyata itu ulah Kevin sang atasan yang sengaja melempar botol bekas soda. "Ingat, di jalan tidak boleh mesum!" Ucapnya, lalu dia masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan tinggi. Bagas tergelak saat melihat tingkah aneh atasan kekasihnya itu. "Hei, kenapa tertawa?" Tanya Andira menautkan kedua alisnya. "Tidak, tidak apa-apa. Aku heran kenapa dia kepo sekali dengan kita." Ucapnya yang masih di selingi dengan tawa. "Apa jangan-jangan, tadi kamu sengaja untuk mengerjai Pak Kevin ya?" Tanya Andira yang kemudian di angguki oleh Bagas. "Kenapa? Apa kamu ingin, sayang? Boleh aku melakukannya sekarang?" Tanyanya dengan nada menggoda. "Cih, kamu itu bicara apa. Ayo cepat pulang." Tangan Andira meraih helmnya namun Bagas menahannya. "Aku pakaikan." Dengan telaten Bagas kembali
Sinar rembulan mulai menyapu seluruh belahan bumi, menyinari rasa dingin karena angin malam yang menerjang bumi. Malam ini adalah malam pertama Andira memulai hidupnya sebagai seorang istri dari pria yang sudah 3 bulan berstatus sebagai kekasihnya. Maski hubungan mereka terbilang sebentar, tapi Bagas berhasil meyakinkan Andira dan mempersunting dirinya menjadi seorang istri. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun Bagas dan Andira masih enggan untuk terlelap, meski tubuh mereka benar-benar terasa lelah karena acara pernikahan tadi. Andira yang bisanya tidur seorang diri di kamarnya mendadak gugup dan gelisah, saat untuk pertama kalinya dia harus berbagi kamar dengan seorang pria. Detak jantungnya semakin berpacu seolah tengah lari maraton, tubuhnya pun kini berkeringat dingin. Sama halnya dengan Bagas. Tubuhnya juga berkeringat dingin, tapi bukan karena dia tidak terbiasa jika harus berbagi ranjang. Melainkan karena dia harus berperang dengan hasrat
Cahaya terang yang menyelinap di sela-sela jendela kamar, tidak dihiraukan oleh sepasang insan yang sedang malakukan pemanasan pagi hari. Meski tidak dengan penyatuan tubuh, tapi mereka mampu menghasilkan desahan serta erangan kenikmatan di atas ranjang mereka yang masih berhiaskan bunga. Ya, karena melihat penderitaan sang suami yang terjaga semalaman karena hasrat yang tak bisa tersalurkan, akhirnya Andira membiarkan Bagas untuk mencumbu dan menikmati tubuhnya dan mau tidak mau Bagas juga harus menuntaskan hasratnya secara soloist. Setelah Bagas berhasil menuntaskan hasratnya, dia tertidur dengan sangat pulas. Sedangkan Andira, karena kini dia hanya tinggal berdua saja di rumah baru pemberian sang mertua, jadi dia harus menyelesaikan tugasnya di dapur untuk menyiapkan sarapan paginya bersama sang suami. Setelah semua selesai, Andira memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu lalu kemudian bersolek sebelum akhirnya ia membangunkan sang suami untuk sarapan be
"S-siapa?" Tanya Andira dengan suara yang gemetar karena ketakutan. "Dira, ini kakak." Seketika, ada perasaan lega yang menyelimuti hati Andira saat mendengar suara yang sangat ia kenali. Dia bergegas melangkah ke arah pintu, lalu kamudian memutar gagang kunci untuk membuka pintu rumahya. Wuussh... Angin berhembus kencang bersamaan dengan terbukanya pintu rumah, menerjang tubuh Andira yang berdiri di ambang pintu. Dedaunan yang mengeringpun ikut terbawa angin, masuk hingga ke teras rumah. Andira mengedarkan pandangannya, mencari pemilik suara yang ia kira kenali namun hasilnya nihil. "Kak? Kak Ema di mana? Ini tidak lucu loh Kak." Hawa dingin mulai menerpa kulit Andira, menusuk hingga ke tulang dan membuat bulu kuduknya merinding.Tiba-tiba, sekelebat bayangan hitam melesat cepat di taman samping rumahnya. "S-siapa itu? K-kak Ema, apa itu dirimu?" Andira memberanikan diri untuk memeriksanya, pelan-pelan ia melangkah
Entah kemana perginya jiwa Bagas yang sesungguhnya dan siapa yang tengah bersemayam dalam jasadnya saat ini. Yang pasti, malam ini tubuh Bagas benar-benar brutal dan tidak bisa di kendalikan. Wanita yang sangat berarti dalam hidupnyapun kini terisak di bawah kungkungannya karena perlakuan buruknya. "Tidak sayang, jangan lakukan itu." Seru Andira di tengah-tengah isak tangisnya. Tubuhnya yang lemah tidak bisa menandingi kekuatan tubuh Bagas. Dia hanya bisa menangis dan mencoba untuk menyadarkan sang suami. "Aaaargh..." Andira berteriak saat tubuh Bagas kembali mengambil ancang-ancang untuk melukai dirinya. Bruugh. Tubuh Bagas terjungkal saat mendapat tendangan dari seseorang. Plakk, satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri Bagas. "Bagas! Apa yang kamu lakukakan? Dia itu istri kamu!" Hardik Deni, sang kakar ipar. "Kakak?" Ya, Ema serta Deni sang suami yang baru saja datang, langsung berlari saat mendengar teriakan Andira dari dalam. Berunt