"Sampai kapan kamu akan terus mengabaikan aku?"
Suara seseorang yang sangat Andira kenal membuayarkan lamunannya. "K-kamu..." Andira tak dapat meneruskan kalimatnya saat tiba-tiba ubuhnya di rengkuh dan di peluk sangat erat.
"Menangislah, jangan pernah memendam masalahmu sendiri. Aku siap untuk menjadi tamengmu saat kamu ingin menangis." Ya, dia adalah Bagas, pria yang selama ini memberi perhatian lebih padanya.
Entah kenapa, kata-kata Bagas membuat kedua matanya kembali berair. Andira melingkarkan kedua tangannya di pinggang Bagas, membenamkan wajahnya ke dalam dada bidang pria itu. Dia menangis, meluapkan semua sedih dan rasa sakit hatinya di dalam dekapan pria yang tadinya ingin sekali Andira hindari, saat ini justru tengah berada di dekatnya, bahkan memeluknya.
"Benar, menangislah." Ucap Bagas, tangannya membelai lembut rambut hitam panjang Andira yang tergerai sangat indah. "Maaf. Karena aku, kamu jadi begini."
"Apa yang kamu katakan?" Andira melepas pelukannya, lalu menatap dalam pria yang selalu ada di saat kapanpun ia membutuhkan seseorang sebagai sandaran.
"Aku tahu, pasti ini terjadi karena aku." Seru Bagas yang menundukkan wajahnya.
Andra memberanikan diri untuk menggenggam tangan Bagas."Ini bukan salahmu. Ini semua takdir, jadi kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri seperti ini." Serunya kemudian. Tak dapat dipungkiri jika Andira sebenarnya juga menyukai pria yang ada di hadapannya saat ini, pria yang selalu ada untuknya.
Perlahan Bagas mengangkat pandangannya, dia menatap kedua mata indah Andira. Sungguh, dia sangat beruntung bisa bertemu dan mencintai gadis sebaik Andira. "Aku janji akan membantumu untuk mencari pekerjaan." Ucapnya yang kemudian diangguki oleh Andira.
"Terima kasih." Seru Andira tulus.
"Hei, tidak perlu begitu. Apa pun akan aku lakukan untukmu." Bagas memberanikan diri mencubit kedua pipi chuby yang selalu terlihat menggemaskan itu dan hal itu sukses membuat keduanya merona. "Hmm, apakah kamu masih belum siap untuk menjawab pertanyaanku?"
Andira menautkan kedua alisnya. Pertanyaan yang mana, batinnya.
Bagas menggaruk tengkuk kepalanya yang tak gatal saat melihat wajah kebingungan Andira. Masak iya aku harus mengatakannya lagi. Padahal waktu itu saja sudah berkeringat dingin, batinnya. "I-itu.." Serunya seraya menyatukan kedua telunjuk jarinya. Dari mana aku harus memulainya, pikirnya. Entah kenapa Bagas jadi lupa kata-kata yang akan dia ucapkan, padahal waktu itu dia sangat lantang mengutarakan perasaannya di rumah sakit.
"Iya." Jawab Andira tiba-tiba.
Bagas terkejut, dia membulatkan kedua matanya saat mendengar jawaban dari Andira. "Benar, iyaa?" Tanyanya untuk memastikan dan Andira tentu saja mengangguk.
"Aargh." Karena sangat senang, Bagas kembali reflek mencubit kedua pipi menggemaskan milik Andira.
"Eh, eh maaf sayang. Aku terlalu senang saat ini." Bagas gelagapan dan mengelus pipi Andira. Dia bahkan merutuki tangannya yang membuat kekasih barunya jadi kesakitan.
Andira mengangguk. Entah kenapa panggilan sayang yang di sematkan Bagas, membuat kedua pipinya kembali merona.
"Ayo aku antar pulang, nanti keburu hujan." Untuk pertama kalinya Bagas menggengam tangan Andira, meski sebenarnya jantungnya tengah berdisko ria dan membuat kedua otot kakinya serasa melemah.
"Tapi aku bawa motor sendiri."
Bagas terdiam. Benar juga, batinya. "Tidak apa-apa, yang penting kamu aku antar pulang." Masa bodoh dengan dua motor itu, yang penting aku bisa mengantar kekasihku pulang seperti yang lain, pikirnya.
"Terus kantor?" Andira kembali mengerutkan keningnya. Padahal ini masih jam kantor, kenapa Bagas sangat ingin mengantarnya pulang.
"Aku sudah ijin sakit." Jawab Bagas dengan senyum manisnya.
Andira menggeleng, kenapa Bagas bisa berubah konyol seperti ini. Padahal biasanya dia akan terlihat sangat berwibawa di kantor. Akhirnya kedunya melaju meninggalkan taman dengan motor masing-masing.
***
Waktu kian cepat berlalu. Selang 3 bulan kabar di pecatnya Andira secara tidak adil pun kian tenggelam. Tapi tidak dengan hubungan Andira bersama bagas, keduanya sudah resmi menjalin hubungan sejak 3 bulan yang lalu dan sebentar lagi Bagas akan menunjukkan keseriusannya untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Andira juga saat ini sudah mendapat pekerjaan baru, dia menjadi sekretaris pribadi di salah satu perusahaan sejak 1 bulan yang lalu. Meski perusahaan itu tak sebesar perusahaan Andira dulu, tapi Andira cukup betah karena dia diperlakukan cukup baik di sana.Tari yang sejatinya juga masih memendam perasaan kepada Bagas, tidak dapat menahan amarahnya saat ia mendengar rencana pernikahan Andira dan Bagas yang akan di laksanakan 2 minggu lagi. Meski Tari dan Bagas kini tak saling sapa, tapi Bagas masih menghargai Tari sebagai seniornya dan mau memberikan undangan padanya. Namun Tari tidak terima, dia justru beranggapan jika Bagas tengah memenas-manasi dirinya dengan memberikan undangan tersebut. Terlebih, Bagas yang lebih memilih Andira dari pada dirinya. Tari memutuskan pergi ke sebuah desa yang terletak di pinggiran pantai sebelah timur kota untuk menemui seseorang.
"Apa yang kamu inginkan?" Tanya mbah Kaji, pria tua yang berumur 65 tahun, dengan keriput yang memenuhi sekujur tubuhnya. Pakaian khas jawa yang melekat di tubuhnya, serta tudung kepala dengan motif batik membuat mbah Kaji terlihat seperti seorang bangsawan di jaman dulu. Dia sedang duduk bersila dengan baskom yang terbuat dari tanah liat yang berisikan arang menyala di dalamnya. Sesekali dia menaburi dupa ke atas arang tersebut hingga bau kemenyan menyeruak keseluruh penjuru ruangan. Tampah bambu berisi tujuh macam jenis bunga dengan berbagai warna, juga tersaji di hadapan mbah Kaji.
"Mbah, saya ingin mengirim teluh pada seseorang." Jawab seorang wanita muda berambut ikal sebahu dengan kulit sawo matangnya, wanita itu tak lain adalah Tari. Meski awalnya dia enggan untuk memasuki rumah bambu sederhana ini, namun karena rasa benci dan sakit hati terhadap seorang pria, membuat dia lupa akan konsekuensi yang akan dia hadapi nanti. Hatinya seolah terdorong untuk menemui pemilik dari rumah bambu ini, hingga akhirnya di sinilah dia berada. Sebuah ruangan beralaskan kain berwarna merah tanpa perabot apapun, hanya sebuah meja persegi dengan kaki meja yang dipangkas hingga berukuran jauh lebih kecil dari biasanya. Berbagai benda-benda pusaka seperti keris, tombak, panah serta berbagai patung-patung berwajah menyeramkan menambah kesan angker di ruangan ini. "Aku tahu. Semua orang yang datang menemuiku, pasti memiliki tujuan yang sama. Yang aku maksud, mau kamu apakan orang itu?" Tari tampak ragu-ragu untuk mengutarakan niatnya. Namun samar-samar, teli
"Halo sayang, apa kamu sudah siap?" Tanya Bagas di seberang telepon sana. Seperti biasa sejak Andira diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta 1 bulan yang lalu, Bagas selalu mengantar jemput Andira seperti halnya hari ini."Sudah sayang.""Kalau begitu, buka pintunya. Aku sudah di depan."Andira segera mematikan panggilannya dan bergegas membuka pintu rumahnya. Benar saja, Bagas sudah berdiri dengan gagahnya di depan gerbang rumahnya. Kemeja putih yang Bagas kenakan, begitu pas melekat di tubuh kekarnya hingga membuat Andira terpana akan ketampanan dan kegagahan prianya itu. Andira segera mengunci pintu rumahnya terlebih dahulu, sebelum akhirnya dia berlari menemui Bagas."Hei, kamu kenapa sayang?" Bagas mencubit gemas hidung Andira, saat kekasihnya itu menatap dirinya tanpa berkedip sedikitpun. "Apa kamu baru sadar kalau kekasihmu ini sangat tampan?" Godanya.Andira mengerjapkan kedua matanya, ia baru tersadar saat Bagas menggodany
"Praangg." Sebuah suara menggangu momen intim antara Andira dan Bagas. Keduanya menoleh ke arah sumber suara dan ternyata itu ulah Kevin sang atasan yang sengaja melempar botol bekas soda. "Ingat, di jalan tidak boleh mesum!" Ucapnya, lalu dia masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan tinggi. Bagas tergelak saat melihat tingkah aneh atasan kekasihnya itu. "Hei, kenapa tertawa?" Tanya Andira menautkan kedua alisnya. "Tidak, tidak apa-apa. Aku heran kenapa dia kepo sekali dengan kita." Ucapnya yang masih di selingi dengan tawa. "Apa jangan-jangan, tadi kamu sengaja untuk mengerjai Pak Kevin ya?" Tanya Andira yang kemudian di angguki oleh Bagas. "Kenapa? Apa kamu ingin, sayang? Boleh aku melakukannya sekarang?" Tanyanya dengan nada menggoda. "Cih, kamu itu bicara apa. Ayo cepat pulang." Tangan Andira meraih helmnya namun Bagas menahannya. "Aku pakaikan." Dengan telaten Bagas kembali
Sinar rembulan mulai menyapu seluruh belahan bumi, menyinari rasa dingin karena angin malam yang menerjang bumi. Malam ini adalah malam pertama Andira memulai hidupnya sebagai seorang istri dari pria yang sudah 3 bulan berstatus sebagai kekasihnya. Maski hubungan mereka terbilang sebentar, tapi Bagas berhasil meyakinkan Andira dan mempersunting dirinya menjadi seorang istri. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun Bagas dan Andira masih enggan untuk terlelap, meski tubuh mereka benar-benar terasa lelah karena acara pernikahan tadi. Andira yang bisanya tidur seorang diri di kamarnya mendadak gugup dan gelisah, saat untuk pertama kalinya dia harus berbagi kamar dengan seorang pria. Detak jantungnya semakin berpacu seolah tengah lari maraton, tubuhnya pun kini berkeringat dingin. Sama halnya dengan Bagas. Tubuhnya juga berkeringat dingin, tapi bukan karena dia tidak terbiasa jika harus berbagi ranjang. Melainkan karena dia harus berperang dengan hasrat
Cahaya terang yang menyelinap di sela-sela jendela kamar, tidak dihiraukan oleh sepasang insan yang sedang malakukan pemanasan pagi hari. Meski tidak dengan penyatuan tubuh, tapi mereka mampu menghasilkan desahan serta erangan kenikmatan di atas ranjang mereka yang masih berhiaskan bunga. Ya, karena melihat penderitaan sang suami yang terjaga semalaman karena hasrat yang tak bisa tersalurkan, akhirnya Andira membiarkan Bagas untuk mencumbu dan menikmati tubuhnya dan mau tidak mau Bagas juga harus menuntaskan hasratnya secara soloist. Setelah Bagas berhasil menuntaskan hasratnya, dia tertidur dengan sangat pulas. Sedangkan Andira, karena kini dia hanya tinggal berdua saja di rumah baru pemberian sang mertua, jadi dia harus menyelesaikan tugasnya di dapur untuk menyiapkan sarapan paginya bersama sang suami. Setelah semua selesai, Andira memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu lalu kemudian bersolek sebelum akhirnya ia membangunkan sang suami untuk sarapan be
"S-siapa?" Tanya Andira dengan suara yang gemetar karena ketakutan. "Dira, ini kakak." Seketika, ada perasaan lega yang menyelimuti hati Andira saat mendengar suara yang sangat ia kenali. Dia bergegas melangkah ke arah pintu, lalu kamudian memutar gagang kunci untuk membuka pintu rumahya. Wuussh... Angin berhembus kencang bersamaan dengan terbukanya pintu rumah, menerjang tubuh Andira yang berdiri di ambang pintu. Dedaunan yang mengeringpun ikut terbawa angin, masuk hingga ke teras rumah. Andira mengedarkan pandangannya, mencari pemilik suara yang ia kira kenali namun hasilnya nihil. "Kak? Kak Ema di mana? Ini tidak lucu loh Kak." Hawa dingin mulai menerpa kulit Andira, menusuk hingga ke tulang dan membuat bulu kuduknya merinding.Tiba-tiba, sekelebat bayangan hitam melesat cepat di taman samping rumahnya. "S-siapa itu? K-kak Ema, apa itu dirimu?" Andira memberanikan diri untuk memeriksanya, pelan-pelan ia melangkah
Entah kemana perginya jiwa Bagas yang sesungguhnya dan siapa yang tengah bersemayam dalam jasadnya saat ini. Yang pasti, malam ini tubuh Bagas benar-benar brutal dan tidak bisa di kendalikan. Wanita yang sangat berarti dalam hidupnyapun kini terisak di bawah kungkungannya karena perlakuan buruknya. "Tidak sayang, jangan lakukan itu." Seru Andira di tengah-tengah isak tangisnya. Tubuhnya yang lemah tidak bisa menandingi kekuatan tubuh Bagas. Dia hanya bisa menangis dan mencoba untuk menyadarkan sang suami. "Aaaargh..." Andira berteriak saat tubuh Bagas kembali mengambil ancang-ancang untuk melukai dirinya. Bruugh. Tubuh Bagas terjungkal saat mendapat tendangan dari seseorang. Plakk, satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri Bagas. "Bagas! Apa yang kamu lakukakan? Dia itu istri kamu!" Hardik Deni, sang kakar ipar. "Kakak?" Ya, Ema serta Deni sang suami yang baru saja datang, langsung berlari saat mendengar teriakan Andira dari dalam. Berunt
Andira berlari dengan tangisnya yang sudah kembali pecah. Sesekali tangannya mengusap bulir-bulir bening yang mengalir membasahi kedua pipinya. Entah apa yang ada di dalam pikiran suaminya kali ini, Andira sama sekali tidak bisa memahaminya. "Dira sayang, kamu kenapa?" Leni yang baru saja turun dari mushollah bersama Deni dan juga Ema, terkejut saat berpapasan dengan Andira yang tengah berlari sambil menangis. "Aaaaarrrrgghh.." Tiba-tiba erangan panjang seseorang mengalihkan perhatian mereka. "Bagas." Leni memekik dan berlari ke arah sumber suara yang diikuti oleh Ema, Deni dan Andira di belakangnya. "Bagas, buka pintunya. Kamu kenapa?" Teriak Leni saat mendapati pintu kamarnya terkunci dari dalam. "Tidak, bawa Andira pergi dari sini Bu. Aku tidak ingin menyakitinya lagi. Aaarrrgh." Seru Bagas dari dalam kamar. "Apa maksudmu? Cepat buka pintunya." Leni yang tak mengerti, tetap berusaha membuka pintu kamar itu. "Mereka datang Bu, mereka