Aku berusaha tarik napas dan memutuskan untuk tidak gegabah. Jangan sampai mempermalukan diri sendiri di hadapan umum. Jika aku marah, itu artinya aku menjatuhkan harga diri sendiri. Seharusnya balas saja nanti dengan cara elegan."Aku nggak tahu kalau kamu dan papamu sekarang sesukses ini, aku salut," ucap Mas Dimas lagi."Ya, setelah aku sudah kaya raya kini banyak lelaki yang mendekati, termasuk kamu," celetuk wanita yang itu."Bukan aku orangnya, kita kan ketemu secara tidak sengaja, artinya itu adalah jodoh, bukan aku yang mendekatimu tapi Tuhan langsung," sahut Mas Dimas.Dulu juga Mas Dimas meyakinkan aku seperti itu, bilang bahwa kami adalah jodoh makanya dipertemukan oleh alam. Kenyataannya, setelah menikah, dia terang-terangan mengatakan bahwa aku tidak pantas bersanding dengannya."Ya udah yuk, kita ke kamar! Aku sudah lama nih nggak___" Aku mendengar wanita itu becanda dengan suamiku saat dia memotong pembicaraannya. Gelak tawa seakan memperlihatkan bahwa Mas Dimas memang t
Belum selesai Pak Pram menjawab, tiba-tiba telepon genggam wanita itu berdering."Aduh, aku buru-buru, Pram. Besok ketemu di kantor deh ya. Aku ada perlu setelah ambil kunci yang kutitip ke resepsionis," ucap Safitri. Ya, itu nama wanita yang tadi tidur bersama suamiku."Bye," timpal Pak Pram. Kemudian kami tidak langsung keluar lobi. Sebab dipastikan sudah ada Mas Dimas yang ada di parkiran, jadi kami menunggu mereka pergi terlebih dahulu."Biarkan mereka pergi, biarkan mereka menikmati masa-masa indah. Memang biasanya yang haram lebih enak daripada yang halal, itu untuk orang yang kurang imannya," ungkap Pak Pram membuat dahiku mengkerut."Tante," sapa Jingga mengejutkan."Ya, Sayang," timpalku."Tadi aku temenin Papa salat di mushola, papaku itu rajin salat loh," celetuk bocah itu.Baru saja aku ingin menegurnya yang berkata seperti orang beriman padahal tadi sewaktu aku melakukan ibadah, dia tetap berada di restoran. Namun ternyata itu salah, dia bicara seperti itu karena memang o
"Iya saya sedang di mall, gimana pertemuan dengan klien?" Pak Pram mengalihkan pembicaraan. Kalau atasan memang bebas, mau jawab pertanyaan bawaannya atau tidak Itu terserah. Mas Dimas pun tak akan bisa protes."Sudah beres, Pak. Besok sudah bisa mulai kerjasamanya," jawab Mas Dimas."Oh ya sudah kalau gitu, tolong jangan telepon saya kalau tidak penting ya," timpal Pak Pram.Rasanya aku ingin tertawa saat Mas Dimas diceletuki seperti itu, Sebab Dia tidak bisa berkutik atas apa yang dikatakan Pak Pram."Ma-maaf, Pak." Dia hanya membalas seperti itu, sangat singkat sekali jawabannya. Aku menghela napas seraya menahan tawa. Kemudian Pak Pram menutup sambungan teleponnya. "Kenapa kamu? Kok kelihatan sedang nahan tawa? Pipinya agak tembem," sindir Pak Pram."Hm, selain jadi bos, ternyata bapak seperti dukun, yang bisa baca pikiran dari raut wajah," ejekku juga."Sudahlah ayo kita pulang, kasihan Bu Anis di hotel sendirian," ajak Pak Pram.Kemudian kami bergegas ke parkiran, berhubung Mas
"Jadi kabur untuk buka open BO? Luar biasa istriku ini," ucap Mas Dimas. Dia bahkan bertepuk tangan saat mengatakan hal itu padaku. Beruntungnya kami sangat jauh dari tempat Pak Pram memarkirkan mobilnya. Aku tertawa saat dia mengatakan hal itu, bisa-bisanya berpikir aku melakukan hal buruk. "Aku pernah baca di satu buku, biasanya orang yang berprasangka buruk itu sedang berkaca dirinya sendiri, apa nggak kebalik, Mas, kamu kali yang buka jasa open BO di sini," sindirku.Mas Dimas nyaris melayangkan telapak tangannya ke wajahku, ya banting kembali dan justru memukul tangannya sendiri dengan kepalan sebelah kanan."Terus kamu ngapain di hotel? Hah!" Mas Dimas terdengar sangat marah. Ia semakin meninggikan nada bicaranya.Aku terbiasa mendengar dia marah, tapi baru kali ini mendengar Mas Dimas emosinya luar biasa, bahkan ini di depan umum, dia tak bisa mengontrolnya."Kamu marah aku di sini?" tanyaku. "Terus ada buktinya Nggak aku buka open BO di sini?" lanjutku."Aku tanya kamu ngapa
"Pak Pram," ucap Mas Dimas. Wajahnya terlihat sangat kaku, dia menoleh ke belakang dengan muka pucat."Iya, ini saya," timpal Pak Pram."Saya nggak bermaksud seperti itu, Pak." Mas Dimas menyanggah ucapannya. Padahal jelas-jelas tadi dia menuduhku menjajakan diri, itu artinya secara tidak langsung Mas Dimas menuduh Pak Pram adalah langgananku.Kini mereka berdiri saling berhadapan, tatapan keduanya menangkap sempurna."Jadi maksud kamu itu apa? Bukankah tadi kamu bilang Inggit itu buka open BO?" tanya Pak Pram."Anu, Pak. Maksud saya Pak Pram kenal Inggit dari mana? Saya hanya kaget aja gitu, Pak Pram seorang pemilik perusahaan, tapi kenal dengan upik abu seperti Inggit," jelas Mas Dimas membuatku kesal sendiri. Dia masih saja menjelek-jelekkan aku di hadapan Pak Pram, Mas Dimas masih menyebutku sebagai upik abu.Aku menghela napas, kemudian bergeser sedikit supaya berada di tengah-tengah mereka berdua."Silakan kamu mengumpat aku, mencaci, menghina, dan apa saja yang kamu sukai, Mas,
"Lalu setelah ini Pak Pram akan memecat Mas Dimas?" tanyaku padanya."Nggak dong, kamu jangan berpikir pendek." Pak Pram menyunggingkan senyuman sambil mengibaskan jas yang ia kenakan. Kemudian, ia bangkit dari duduknya. "Saya pulang dulu, nanti Jingga kumat lagi minta kamu ikut ke rumah, bisa repot," sambungnya.Aku pun mengangguk sambil tersenyum. Kemudian memperhatikan Pak Pram dari kejauhan saja menuju mobilnya.Di kursi depan hotel, aku masih menatap ke arah mobil, lalu dari jauh terlihat Jingga mengeluarkan kepalanya dan melambaikan tangan. "Dadah, Tante!" Itu teriakan Jingga membuatku sontak turut melambaikan tangan.Mobil pun melaju perlahan, aku masih terduduk sambil senyum sendirian.'Ternyata hidup itu tak serumit yang aku pikirkan, Tuhan tidak mungkin membiarkan hambanya kelaparan, apalagi sudah disertai usaha,' batinku merasa bersyukur, ternyata dibalik meninggalnya bapak, ada hikmah yang tersembunyi.Lalu aku bangkit dan menuju kamar hotel. Kasihan ibu yang sudah menunggu
Setelah Pak Pram menutup teleponnya, aku pun bergegas siap-siap. Aku turuti saja perintah dari bosnya suamiku itu. Sebab, ini sebuah kesempatan yang tidak mungkin aku peroleh lagi."Kesempatan itu datang hanya sekali, kenapa kita kemarin nolak tawaran Pak Satria ya?" Aku bicara pada ibu sambil bersolek diri."Niat kita tidak ingin membebankan nama Bapak dalam urusan duniawi lagi." Ibu menjawab sambil membantuku merapikan rambut."Bu, memang aku seperti upik abu?" Aku melontarkan pertanyaan yang membuat ibu tersenyum."Pasti kepikiran ucapan Dimas. Kamu kayak nggak tahu aja mulut suamimu itu seperti sampah. Sepertinya dia itu mencintaimu tapi gengsi mengatakan itu," tutur ibu.Aku melirik ke arah ibu melalui cermin yang ada di hadapanku."Cinta?""Iya, benci dan cinta itu beda tipis, Dimas pasti kesepian dan merasa kehilangan kamu makanya bersikap seperti itu," timpal ibu.Aku terkekeh sambil bangkit dari duduk dan menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhku ini. Aku mau bertemu dengan sel
Aku meraih sebuah handuk kecil, lalu meminta Bibi untuk mengambilkan air hangat. Kemudian, aku kompres di kening Jingga. "Semoga Jingga cepat bangun, sepertinya dia pingsan karena suhunya yang panas tinggi," tuturku dengan gelagat panik."Maafkan Bibi, Non. Kurang sigap, Non Jingga tidak pernah seperti ini kalau demam, biasanya dia nurut," ucapnya.Beberapa menit kemudian, tiba-tiba mata Jingga terbuka perlahan. Aku segera mengangkat kain yang menempel di keningnya."Tante." Aku terkesiap mendengar suara rintihan Jingga yang menyapaku."Alhamdulillah, ya Allah. Terima kasih banyak. Jingga kamu segera minum obat penurun panas ya, supaya nggak pingsan lagi," suruhku.Jingga tersenyum, ia meminta dibangunkan dan disandarkan supaya bisa meneguk obat sirup yang sudah bibi sediakan."Anak pintar," ucapku memuji Jingga.Anak dari Pak Pram yang manis dan lucu, Jingga, telah membuatku terhanyut dan merasakan menjadi seorang ibu walau hanya beberapa waktu saja. Aku merebahkan tubuhnya lagi su