Share

Bab 6

Author: Violen
Di mal, dia memilih empat set pakaian yang pantas dan dua pasang sepatu yang nyaman, total yang dia habiskan lebih dari enam puluh juta rupiah.

Dia pun membawa tas belanja dengan perasaan yang sangat baik.

Sejak ayahnya meninggal, dia tak lagi membeli pakaian mahal.

Meskipun saat menemani Andrian menghadiri pesta, dia mengenakan gaun yang sangat mahal, tapi gaun-gaun itu bukan miliknya.

Pakaian yang dia pakai sehari-hari sangat biasa saja.

Sementara Andrian kadang bercanda mengejeknya ketinggalan zaman.

Andrian tidak pernah membayar pakaian untuknya, tetapi selalu membelikan pakaian untuk Renisa.

Dia juga pernah mendengar dari Sinti bahwa setiap tahun Andrian memesan pakaian dari beberapa merek internasional terkenal dan mengirimkannya kepada Renisa.

Dengan perlakuan yang berbeda jelas seperti itu, kalau dia masih mau berkhayal, itu benar-benar lucu sekali.

Ketika dia keluar dari mal, kebetulan bertemu dengan Sinti.

Sinti melepas kacamata hitamnya, melihat tas belanja di tangan dia dan berkata dengan ketidaksenangan, "Vannisa, Reni sampai cedera dan dirawat di rumah sakit karena kamu, tapi kamu malah nggak pergi jaga dia, sempat-sempatnya pula belanja di sini? Kamu makan dan pakai uang kakakku, sekarang berani bertingkah seperti ini?"

Vannisa menyindir, "Mengenai alasan dia sampai cedera, kakakmu sangat tahu, aku bukan orang bodoh sampai mau jadi pembantu selingkuhan. Selain itu, barang-barang yang aku beli sekarang semua pakai uangku sendiri."

"Apa maksudmu uang sendiri? Kamu kan nggak kerja, dari mana uangnya?" Sinti meremehkan.

Vannisa menjelaskan dengan logis dan berkata, "Bibi Hana gajinya lima puluh enam juta rupiah sebulan, sementara aku istri sah kakakmu, merawat dia dari makan sampai minum, bahkan nemenin dia rehabilitasi. Emang kalau dia kasih sedikit biaya hidup, aku malah harus berterima kasih?"

"Kamu!"

Sinti tidak menyangka Vannisa bisa berubah drastis.

Dulu dia lemah lembut, sekarang jadi pandai berkata-kata.

"Kamu nggak takut kakakku ninggalin kamu?"

Sinti tahu Vannisa sangat mencintai kakaknya.

Dulu Andrian cuek sama Vannisa, tapi Vannisa tetap nekat terus mendekat tanpa malu.

"Kamu lebih baik minta maaf padaku, kalau nggak aku akan lapor ke kakakku! Dia sekarang sangat nggak suka sama kamu karena Reni, kalau aku jelek-jelekkan kamu lagi, dia pasti bakal ninggalin kamu!"

Vannisa sama sekali tidak peduli. "Oh ya? Baguslah, aku juga nggak mau sama dia. Kami berdua memang sudah siap untuk bercerai, kamu nggak tahu?"

Kalau ayahnya masih hidup, Vannisa juga pasti jadi putri kesayangan, mana mau tahan dengan orang bodoh seperti Sinti.

Hidup memaksa dia untuk menunduk selama tiga tahun terakhir.

Namun sekarang karena sudah mau cerai, dia jadi tak takut lagi.

"Cerai?"

Sinti tidak menyangka Vannisa yang sangat mencintai kakaknya justru ingin bercerai.

Tak lama kemudian, dia pun kembali menyadarinya.

"Jangan-jangan kamu mau pakai cerai buat ancam kakak tinggalkan Reni, ya? Kukasih tahu ya, nggak mungkin! Kakakku cinta banget sama Reni, nggak akan percaya omonganmu! Jangan bikin ribut, nanti nggak bisa balik lagi! Setelah cerai, kamu kira bisa dapat pria yang lebih baik dari kakakku?"

Vannisa sama sekali tidak ragu dan berkata, "Santai saja, aku nggak akan balik lagi! Kalau Renisa mau Andrian, aku kasih dia!"

Setelah berkata itu, dia berjalan pergi dengan bangga dan punggung yang tegak.

Sinti menatap punggungnya, marah sampai hampir meledak.

Dia mengertakkan gigi dan marah berkata, "Hebat sekali kamu, Vannisa! Aku akan langsung lapor kakak, biar kakak yang mengurus kamu!"

...

Di Rumah Sakit Pribadi Keluarga Farhan.

Andrian berdiri di luar kamar rawat rumah sakit, memandang ponselnya, merasa sangat gelisah.

Vannisa berani-beraninya memblokir dia?

Berani banget dia!

Wanita ini akhir-akhir ini jadi semakin temperamental.

Saat ini Sinti berjalan dari ujung lorong, melihat Andrian, lalu langsung mengeluh, "Kakak, kamu harus urus Vannisa! Wanita itu benar-benar makin nggak tahu terima kasih. Hari ini aku lihat dia di mal. Dia beli banyak sekali baju, malah ngomel-ngomel sama aku! Dia boros banget, apa dia nggak menghargai kerja kerasmu mencari uang di luar sana?"

"Dia ke mal belanja?"

Andrian sangat terkejut.

Dalam ingatannya, Vannisa selalu sangat hemat, bajunya pun itu-itu saja, kuno dan tidak punya selera.

Tapi sekarang dia belanja baju baru?

Sinti mengangguk lalu berkata, "Iya, pasti dia pakai kartu kakak. Cepat hentikan kartunya, jangan sampai dia boros."

Mendengar itu, Andrian terdiam sejenak.

Selain biaya hidup, dia tidak memberinya kartu kredit.

"Kakak, kamu bengong kenapa? Kamu pasti kasih dia kartu tambahan, kan? Kalau nggak, dari mana dia punya uang belanja?"

Andrian memang pernah kasih Sinti kartu tambahan dengan limit dua miliar rupiah per bulan.

Andrian entah kenapa tiba-tiba merasa bersalah terhadap Vannisa.

"Aku ... nggak kasih dia kartu tambahan."

"Nggak kasih kartu tambahan? Jadi kakak langsung transfer uang ke rekeningnya? Kamu setiap bulan kasih berapa? Bisa nggak bank membekukan rekeningnya?" tanya Sinti dengan cemas.

Itu kan duit kakaknya, tidak boleh dipakai seenaknya oleh wanita itu.

Suara Andrian makin tidak yakin dan berkata, "Aku cuma kasih enam puluh juta lebih per bulan ... "

"Enam puluh juta lebih?"

Kali ini, Sinti agak kebingungan.

"Kakak kamu pelit banget, enam puluh jutaan itu bahkan nggak cukup buat aku beli sepasang sepatu."

Tiba-tiba Sinti teringat bahwa tas belanja yang dibawa Vannisa tadi sepertinya tidak berlogo merek mewah.

Tadi dia sempat merasa kasihan pada Vannisa, tapi seketika teringat, biaya perawatan ibunya Vannisa yang sakit jiwa di rumah sakit itu semua ditanggung oleh kakaknya!

"Jadi kakak bantu bayar biaya pengobatan ibunya?"

Setelah diingatkan olehnya, Andrian pun teringat juga.

Biaya pengobatan ibu Vannisa setiap bulan mencapai ratusan juta, dan semua itu ditanggung olehnya.

Dia segera memanggil asistennya, "Hentikan biaya perawatan ibu Vannisa di sanatorium, aku mau buat dia memohon padaku."

Meskipun asistennya tidak mengerti alasannya, dia tetap melakukannya sesuai perintah.

Dia menelepon ke rumah sakit, lalu kembali dan berkata kepada Andrian, "Pihak rumah sakit bilang, Ibu Felicia sudah dipindahkan ke bangsal biasa enam bulan yang lalu, dan biaya pengobatan sekarang semuanya dibayar sendiri oleh Nyonya, tidak menggunakan uang Anda."

Andrian terkejut. "Nggak mungkin!"

Dia ingat beberapa hari yang lalu dia baru saja menandatangani formulir pengajuan tagihan.

Kalau itu bukan biaya pengobatan ibu Vannisa, lalu apa?

Andrian semakin marah.

Mendengar laporan asisten, Sinti mulai curiga dan berkata, "Apa benar? Dia beneran mau cerai?"

Saat mendengar kata cerai, Andrian seolah tersentuh di titik paling sensitifnya, wajahnya langsung berubah dingin.

"Cerai? Dia bilang begitu?"

Sinti mengangguk dan berkata, "Iya, waktu itu dia kelihatan serius banget, Kak, apa dia beneran mau cerai?"

Setelah berkata begitu, wajahnya penuh semangat. "Bukankah itu hal yang baik? Dulu kamu sudah menyuruh wanita yang nggak tahu malu itu pergi, tapi dia nggak mau. Sekarang akhirnya dia sadar diri, kakak cepat ceraikan dia dan nikah sama Reni saja!"

"Siapa bilang aku mau cerai!"

Andrian tiba-tiba berteriak marah kepada Sinti.

Sinti terdiam terpana setelah dimarahi oleh Andrian.

"Kakak, bukannya kamu cuma suka sama Reni?"

Andrian juga berpikir begitu dalam hatinya.

Tapi saat memikirkan harus bercerai dengan Vannisa, hatinya tak bisa menahan rasa tidak puas dan kesal.

"Aku tidak pernah terpikir untuk bercerai."

Sinti tidak percaya dan berkata, "Kalau begitu, bagaimana dengan Reni?"

Kata-kata itu memang membuat Andrian merasa sulit.

Tentu saja dia juga bisa melihat bahwa Renisa masih menyukainya.

Tapi bagaimanapun juga, Vannisa sudah menemani dia selama tiga tahun.

Dia bisa bangkit, itu juga berkat Vannisa.

Dia merasa berhutang budi pada Vannisa, dan satu-satunya yang bisa dia berikan padanya hanyalah pernikahan.

Namun, dia juga tak mau menyakiti Renisa. Ke depannya, dia akan mencintai Renisa dengan baik dan membalas semua pengorbanannya.

Dia tidak ingin mengubah keadaan saat ini.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 100

    Setelah berkata begitu, dia dengan genit mengedipkan mata pada Riski.Oktavia berdiri di sebelah dengan tangan disilangkan, memandang adegan di depan mata dengan penuh minat. Sudut bibirnya terangkat sedikit, memperlihatkan ekspresi setengah tersenyum dan setengah menyembunyikan sesuatu.'Aku memang pintar sekali, haha.'Liliyana memang jago dalam hal menjalin kedekatan.Apalagi Heriyanto benar-benar hebat, sampai bisa mengajak bos yang biasanya sibuk itu ikut datang.Siska mengedipkan sepasang matanya yang besar dan bening, dengan penuh rasa ingin tahu menatap Riski, lalu dengan suara manja bertanya, "Kakak Riski, apakah mereka ini teman-temanmu?"Sambil berkata begitu, pandangannya tak sengaja tertuju pada Vannisa yang berdiri di sebelah Liliyana, lalu mulai mengamati dari atas ke bawah.Tak bisa dipungkiri, di antara ketiga wanita itu, Vannisa memang paling menonjol. Wajahnya yang halus, aura lembut yang kuat, seperti bunga camellia yang kokoh membuat Siska merasakan ancaman yang be

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 99

    Heriyanto seolah-olah tidak menangkap isyarat dari Riski, malah tersenyum ramah dan menyapa Siska dengan nada riang, "Siska ya? Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi matamu tetap cuma bisa melihat Riski yang pendiam ini. Aku sungguh tak mengerti, apa sih yang begitu menarik darinya sampai kamu segitunya jatuh hati?"Mendengar itu, pipi Siska langsung memerah malu. Dia segera mencubit lengan Heriyanto dengan manja dan berkata, "Kakak Heriyanto ... "Lalu seolah ingin segera membela Riski, dia buru-buru berkata, "Kakak Riski itu bukan pendiam!"Nada suaranya penuh rasa kagum dan pembelaan terhadap Riski.Heriyanto hanya tersenyum kecil lalu menambahkan, "Karena kamu sudah datang, biar Riski traktir kita makan siang, bagaimana?"Tentu saja Siska langsung mengangguk manis dan tersenyum ceria ke arah Riski.Namun, wajah Riski yang berdiri di samping mereka justru tampak tak begitu senang.Baru saja dia berharap Heriyanto bisa membantunya mengusir Siska, tapi tak disangka Heriyanto malah mengaj

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 98

    Berpikir sampai di situ, Vannisa tak bisa menahan untuk menghela napas pelan, dalam hati bertanya-tanya bagaimana cara terbaik menghadapi situasi rumit yang ada di depan matanya ... Saat itulah, Oktavia tak bisa menahan diri untuk mengedipkan mata.Oktavia diam-diam mengeluarkan ponselnya, lalu mengambil foto Vannisa yang sedang menghela napas dengan wajah penuh kesedihan dari samping.Kemudian, dengan cekatan dia menyentuh layar ponsel dan mengirimkan foto itu kepada Heriyanto.Belakangan ini, Heriyanto sering berkunjung ke kantor pengacara itu. Karena sifatnya yang ramah, ceria, dan humoris, dia cepat akrab dengan para pengacara di sana. Selain itu, dia juga dengan cepat tahu kalau Oktavia dan Vannisa adalah sahabat.Mendengar ini, Heriyanto pun punya ide. Dia ingin membantu Riski, adiknya yang pendiam untuk mendapatkan hati wanita.Setelah mendengar permintaan Heriyanto, Oktavia langsung setuju. Bos mereka di kantor hukum yang dijuluki Jomblo Abadi itu sebenarnya orang baik, dan V

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 97

    Pagi itu, Vannisa dan Liliyana sudah datang lebih awal ke studio untuk merapikan beberapa barang.Studio mereka berada di gedung yang sama dengan Kantor Pengacara Gemilang Mitra. Oleh karena itu, Liliyana pun mengajak Oktavia untuk makan siang bersama.Tak lama kemudian, Oktavia pun datang sesuai janji. Ketiganya pergi ke sebuah restoran yang nyaman dan memiliki suasana yang tenang tak jauh dari gedung kantor.Saat sedang makan, pandangan Oktavia beberapa kali jatuh pada Vannisa. Wajahnya tampak ragu, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi masih menimbang-nimbang.Akhirnya, dia membuka suara juga dan berkata, "Vannisa, kamu mungkin belum dengar, ya? Bos kami ternyata punya teman masa kecil yang dekat banget! Katanya hubungan mereka sudah terjalin dari lama dan kelihatannya cukup spesial juga!"Selesai berkata begitu, seolah ingin membuktikan ucapannya bukan sekedar gosip belaka, Oktavia dengan sigap membuka ponselnya. Dia menggulir layar cepat-cepat, lalu menunjukkan sebuah foto yang s

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 96

    Dia membuka bibir tipisnya dengan dingin berkata, "Aku sedang sangat sibuk. Kalau kamu tidak ada urusan penting, tolong segera pergi dari sini."Belum selesai berbicara, Riski sudah berbalik dan melangkah menuju kantornya dengan langkah pasti dan tegas, seolah tidak mau tinggal satu detik lebih lama.Namun, Siska tampak sama sekali tidak menyadari sikap dingin dan ketidaksabaran Riski. Dia dengan cepat mengejarnya.Wajahnya tersenyum cerah, mata indahnya berbentuk bulan sabit, dengan suara manja berkata, "Aih, tidak apa-apa kok! Aku cuma mau lihat kamu kerja sebentar saja, dan kita kan bisa makan siang bersama, kan?"Mendengar sikap penuh semangat dari Siska, hati Riski bukan malah tergerak, melainkan semakin merasa kesal.Riski benar-benar tidak mengerti mengapa wanita ini begitu gigih, padahal dia sudah berkali-kali menegaskan tidak ada hubungan asmara di antara mereka, tapi Siska terus tak mau menyerah.Saat itu, Riski hanya ingin segera bebas dari gangguan Siska, tapi Siska seolah-

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 95

    Siska duduk santai di sofa ruang tunggu, tampak sangat nyaman dan rileks.Wajah cantik dan menawan itu tersungging senyum tipis yang menawan hati.Para pengacara yang berlalu lalang tak bisa menahan diri untuk melirik penuh rasa ingin tahu, membisikkan dalam hati siapa gerangan wanita asing ini.Namun, di bawah tatapan semua orang, Siska tetap bersikap sangat alami dan familiar.Dia tampak seperti pelanggan tetap di sini, setiap gerak-geriknya memancarkan kepercayaan diri dan ketenangan yang khas.Bahkan membuat orang-orang seolah-olah berpikir bahwa dia adalah penguasa dari kantor pengacara ini.Tak lama kemudian, resepsionis dengan senyum ramah menghampiri, membawa secangkir kopi hangat yang mengepul dan menyerahkannya pada Siska.Dia menerima cangkir itu dengan lembut, menyeruput sedikit, lalu dengan ramah memberikan saran kepada resepsionis, "Hmm ... kopinya agak terlalu manis. Aku lebih suka setengah gula, dan kalau bisa diberi es batu, rasanya jadi lebih segar. Tolong perhatikan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status