Share

Bab 8

Author: Violen
Vannisa memandangi Andrian yang menggandeng tangan Renisa, sibuk bersosialisasi dengan para tamu, dan itu membuatnya merasa sangat hambar dan membosankan.

Pandangan matanya menyapu ruangan, mencari keberadaan Fika, melihat dia dikelilingi oleh para nyonya kalangan atas, Vannisa pun memilih untuk tidak menghampiri.

Begitu Fika sudah tidak lagi dikelilingi orang, Vannisa baru melangkah mendekat dan menyerahkan hadiah yang telah dia siapkan.

Melihat Vannisa, ekspresi Fika tampak rumit dan berkata, "Akta cerai tinggal lima hari lagi bisa diambil, Vanni, sebenarnya Ibu benar-benar berat melepasmu."

Dulu, setelah Andrian kehilangan kemampuan berjalan, wataknya jadi sangat buruk, mudah marah, kasar, bahkan sering memukul dan memaki orang. Fika sempat mempekerjakan belasan perawat, tapi semuanya ketakutan dan akhirnya kabur.

Akhirnya, karena benar-benar kehabisan akal, Fika pun terpaksa memikirkan satu ide buruk yaitu mencari seseorang untuk menjadi pengganti.

Untungnya, nasib masih berpihak padanya, dia benar-benar berhasil menemukan Vannisa, seorang gadis yang baik dan lembut.

Vannisa menatap Fika dengan lembut dan tersenyum. "Kalau ada waktu, aku akan datang menjenguk Tante."

Sekarang mereka akan bercerai, tentu saja Vannisa tak bisa lagi memanggilnya ibu.

Fika mengangguk pelan, matanya tampak sedikit merah.

Dia mengeluarkan sebuah kartu dari tasnya, memasukkannya ke tangan Vannisa dan berkata, "Ini dalam ada dua miliar rupiah, sebagai kompensasi dariku untukmu. Selain itu, vila itu juga sudah diurus, besok aku akan minta asisten menemanimu untuk mengurus proses pengalihan kepemilikannya."

Vannisa melihat kartu itu, tidak menolak, lalu menerimanya.

Meskipun dia dan Andrian hanya suami istri kontrak, dengan pengorbanan selama tiga tahun ini, dia merasa berhak menerima kompensasi ini tanpa rasa bersalah.

Dia sudah menjalankan semua kewajiban sebagai istri, bahkan harus menanggung kekerasan emosional dan fisik dari Andrian, serta perselingkuhannya ...

Selama tiga tahun ini, dia hidup tanpa rasa malu dan kehilangan harga diri karena Andrian.

"Ibu, kamu memberi apa kepada Vannisa? Lalu tadi kamu bilang soal pengalihan kepemilikan apa?"

Sinti saat ini tiba-tiba muncul dari samping, wajahnya penuh rasa penasaran, lalu bertanya.

Fika memandangnya dengan kesal dan berkata, "Tidak ada apa-apa, kamu kenapa suka ikut campur urusan orang?"

Sinti dengan tidak puas berkata, "Ibu, apakah kamu diam-diam memberikan uang kepada Vannisa? Dia tiap bulan sudah disokong oleh kakakku, masih harus minta uang darimu? Jangan sampai kamu tertipu olehnya, dia cuma wanita oportunis. Dulu kakakku terpaksa menikahinya karena tidak ada pilihan lain, sekarang kakakku sudah pulih, dia sama sekali tidak membutuhkannya lagi. Kamu harus mengusirnya pergi."

Setelah berkata begitu, dia menatap Vannisa dengan marah dan berkata, "Vannisa, kamu menikah dengan kakakku, tinggal di rumah sebesar ini, setiap hari juga dilayani oleh pembantu, apa lagi yang tidak cukup buatmu? Kalau kamu berani serakah lagi, aku akan suruh kakakku memberimu pelajaran!"

Selama dua tahun terakhir, setiap kali Andrian marah dan memarahi Vannisa, Sinti selalu menyaksikannya. Di matanya, Vannisa hanyalah sebuah barang milik kakaknya, sesuatu yang bisa dipukul dan dimarahi kapan saja.

Vannisa tidak ingin membuang waktu dengan omong kosongnya, lalu berbalik dan hendak pergi.

Saat Sinti mencoba meraih Vannisa untuk melanjutkan makiannya, tiba-tiba Fika melangkah maju dan menghentikannya.

Fika dengan nada tegas berkata, "Vanni bukan seperti yang kamu kira, dia sudah setuju untuk bercerai dengan kakakmu."

Dengan mata berbinar, Sinti lalu berkata, "Benarkah? Dia rela melepas kakak?"

Fika meliriknya sejenak lalu menghela napas. "Jangan lagi bikin masalah, selama tiga tahun ini dia merawat kakakmu dengan susah payah, lebih baik daripada para perawat dan pembantu itu, dan dia juga tulus kepada kakakmu. Selain itu ... "

Fika terdiam sejenak, lalu mengungkapkan isi hatinya, "Aku memberi dia uang, bukan hanya untuk mengganti rugi, tapi juga untuk menutup mulutnya, supaya orang-orang di luar tidak berkata bahwa anakku tidur dengan dia selama tiga tahun tanpa alasan!"

Dua miliar rupiah dan satu vila, bagi Keluarga Farhan, itu bukanlah apa-apa.

Kalau Vannisa benar-benar bisa berperilaku baik dan pergi dengan tenang, itu juga hal yang baik.

Setelah mendengar itu, Sinti tak bisa menahan diri untuk bertanya lagi, "Kalau begitu, bukankah kakak bisa menikahi Reni?"

Wajah Fika tiba-tiba berubah dingin lalu berkata, "Renisa mau jadi pacar Andrian, kekasihnya, itu terserah dia! Tetapi posisi istri Andrian, jangan harap dia dapatkan seumur hidupnya!"

Dia tidak lupa mengapa anaknya bisa menjadi cacat!

Wanita yang gampang berubah pikiran itu, masih ingin jadi menantunya? Jangan mimpi!

Setelah anaknya bercerai, dia akan mengaturkan pertemuan perjodohan untuknya.

...

Ketika Vannisa hendak pergi, tiba-tiba mendengar Renisa memanggilnya.

"Vannisa!"

Renisa mengenakan jas luar Andrian, melangkah mendekatinya.

Sebenarnya Vannisa tidak ingin berbicara dengannya, tapi jelas Renisa tak akan membiarkannya pergi begitu saja.

"Ada apa?"

Renisa tersenyum sambil meletakkan syal sutra di tangan Vannisa lalu berkata, "Baru tadi aku agak membuat syal ini kotor, ini yang dibeli oleh Kakak Andri saat di Pulau Toya, harganya cukup mahal, kalau kotor cuma bisa dicuci dengan tangan. Kakak Andri bilang baju yang dibersihin kamu lebih bersih daripada pembantu, bisakah aku merepotkanmu untuk membawanya pulang dan mencucinya?"

Vannisa sontak merasa dirinya dihina.

"Pergi! Aku bukan pembantumu!"

Dia ingin pergi, tapi Renisa justru menarik tangannya dan tak melepaskannya. Dengan nada sedikit sombong, sama sekali tidak seperti sikap lemah dan polos saat berhadapan dengan Andrian, dia menambahkan, "Kamu berani suruh aku pergi? Kamu kira kamu siapa? Hanya mainan untuk melayani orang lain, apa kamu benar-benar menganggap dirimu istri Andrian?"

Kata-kata yang hina itu membuat kemarahan Vannisa semakin membara di dalam hatinya.

Dia mengangkat tangan dan langsung menampar Renisa.

Andrian saat ini kebetulan membawa sepiring kue datang, melihat Renisa yang ditampar, dia langsung bergegas maju untuk menolong Renisa berdiri.

"Reni, kamu nggak apa-apa?"

Renisa menyembunyikan wajahnya dengan tangan, matanya basah, lalu bersandar di pelukannya sambil menangis pelan. "Aku baik-baik saja, Kakak Andri, jangan marah. Tadi Kakak Vannisa juga bukan sengaja, dia cuma kesal karena aku merebutmu, sampai kamu tidak pulang menemani dia. Aku mengerti semuanya, ini salahku ... "

Andrian mendengar ucapannya, lalu menatap dingin ke Vannisa. "Vannisa, aku beri kamu satu menit untuk menjelaskan tindakanmu barusan."

Mendengar Renisa memutar-balikkan fakta, Vannisa tak punya hati untuk membela diri.

Wajah Vannisa tetap tenang dan berkata, "Dia memang suka mencari masalah, aku sudah tampar dia, masih harus jelasin lagi?"

Andrian begitu marah hingga napasnya jadi memburu, tatapannya mengerikan seolah ingin memangsa seseorang.

Kalau bukan karena masih ada tamu di sini, dia pasti sudah maju dan memberi pelajaran pada Vannisa.

Vannisa tahu betul bahwa dia sangat menjaga muka, maka dia pun mendongakkan dagu dengan angkuh dan berkata, "Kalau Pak Andrian tak ada perintah lain, aku permisi dulu."

Dia berbalik dan pergi dengan punggung tegak lurus penuh keangkuhan.

Melihat Andrian tidak membela dirinya, Renisa menangis semakin keras.

"Kakak Andri, hik hik, sakit sekali ... "

Andrian menenangkannya dengan suara lembut, "Sayang, jangan menangis lagi, malam ini aku akan menemanimu. Aku akan suruh orang memberinya pelajaran."

Renisa mengangguk lemah dan berkata, "Baik, Kakak Andri memang yang paling baik padaku."

...

Beberapa saat kemudian.

Vannisa kembali ke kompleks apartemen.

Tapi satpam di pintu gerbang melihatnya lalu berkata, "Ibu Vannisa, ada paket untuk Anda. Kurir salah antar ke gedung lain, pemiliknya minta pembantu menitipkan paket itu di lantai lima gedung pengelola, tolong ambil sendiri, ya."

Vannisa pun membuka ponselnya, sedikit penasaran paket dari jasa pengiriman mana yang salah kirim.

Dia berjalan menuju gedung pengelola, lalu masuk ke dalam lift.

Namun tiba-tiba, lampu lift padam.

Dia segera menyalakan lampu senter di ponselnya dan menekan tombol darurat lift, tapi tidak ada respons.

Dia segera menelepon pihak pengelola gedung.

Tapi mendadak sinyal ponselnya malah hilang.

Daya baterai ponselnya juga tidak akan bertahan lama.

Tak lama kemudian, cahaya terakhir di ponselnya pun padam.

Dia mengidap rabun senja, terjebak dalam ruang sempit yang gelap, dia merasa seperti ada seseorang yang mencekik lehernya dari belakang, membuatnya semakin sulit bernapas.

Rasa takut akan kematian menyerbu pikirannya seperti ombak pasang yang tak terbendung.

Dia sontak memeluk kepalanya dengan kedua tangan, berjongkok di sudut lift, tubuhnya tak bisa menahan gemetar.

Dia teringat di malam ayahnya melompat dari gedung, saat dia pergi ke Perusahaan Wijaya untuk mencarinya.

Waktu itu, kantor dalam keadaan gelap gulita.

Dia menyalakan lampu senter di ponselnya dan melihat ayahnya duduk sendirian di ambang jendela sambil minum-minum.

Ketika melihat Vannisa, ayahnya tersenyum tipis kepadanya.

Senyuman itu suram dan penuh keanehan.

Dia terkejut hingga ponselnya terjatuh ke lantai.

Lampu penerangan di ponselnya mulai meredup.

Dia pun terjebak sendiri dalam kegelapan.

Rasa takut yang tak bertepi merayap dari dalam hatinya.

Entah sudah berapa lama, terdengar suara ribut dari luar.

"Ada yang lompat dari gedung!"

Air matanya langsung mengalir deras.

Dug ... Dug ...

Dunianya runtuh begitu saja pada hari itu.

Di dalam lift, dia berjuang melawan rasa takut dan melewati malam itu.

Keesokan harinya, petugas pengelola gedung akhirnya membuka pintu lift.

Saat melihatnya, mereka sangat terkejut.

"Ibu Vannisa, kenapa Anda di sini? Lift ini sudah lama rusak, Anda tidak melihat pemberitahuannya? Eh, stiker pengumuman itu siapa yang sobek ya?"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 100

    Setelah berkata begitu, dia dengan genit mengedipkan mata pada Riski.Oktavia berdiri di sebelah dengan tangan disilangkan, memandang adegan di depan mata dengan penuh minat. Sudut bibirnya terangkat sedikit, memperlihatkan ekspresi setengah tersenyum dan setengah menyembunyikan sesuatu.'Aku memang pintar sekali, haha.'Liliyana memang jago dalam hal menjalin kedekatan.Apalagi Heriyanto benar-benar hebat, sampai bisa mengajak bos yang biasanya sibuk itu ikut datang.Siska mengedipkan sepasang matanya yang besar dan bening, dengan penuh rasa ingin tahu menatap Riski, lalu dengan suara manja bertanya, "Kakak Riski, apakah mereka ini teman-temanmu?"Sambil berkata begitu, pandangannya tak sengaja tertuju pada Vannisa yang berdiri di sebelah Liliyana, lalu mulai mengamati dari atas ke bawah.Tak bisa dipungkiri, di antara ketiga wanita itu, Vannisa memang paling menonjol. Wajahnya yang halus, aura lembut yang kuat, seperti bunga camellia yang kokoh membuat Siska merasakan ancaman yang be

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 99

    Heriyanto seolah-olah tidak menangkap isyarat dari Riski, malah tersenyum ramah dan menyapa Siska dengan nada riang, "Siska ya? Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi matamu tetap cuma bisa melihat Riski yang pendiam ini. Aku sungguh tak mengerti, apa sih yang begitu menarik darinya sampai kamu segitunya jatuh hati?"Mendengar itu, pipi Siska langsung memerah malu. Dia segera mencubit lengan Heriyanto dengan manja dan berkata, "Kakak Heriyanto ... "Lalu seolah ingin segera membela Riski, dia buru-buru berkata, "Kakak Riski itu bukan pendiam!"Nada suaranya penuh rasa kagum dan pembelaan terhadap Riski.Heriyanto hanya tersenyum kecil lalu menambahkan, "Karena kamu sudah datang, biar Riski traktir kita makan siang, bagaimana?"Tentu saja Siska langsung mengangguk manis dan tersenyum ceria ke arah Riski.Namun, wajah Riski yang berdiri di samping mereka justru tampak tak begitu senang.Baru saja dia berharap Heriyanto bisa membantunya mengusir Siska, tapi tak disangka Heriyanto malah mengaj

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 98

    Berpikir sampai di situ, Vannisa tak bisa menahan untuk menghela napas pelan, dalam hati bertanya-tanya bagaimana cara terbaik menghadapi situasi rumit yang ada di depan matanya ... Saat itulah, Oktavia tak bisa menahan diri untuk mengedipkan mata.Oktavia diam-diam mengeluarkan ponselnya, lalu mengambil foto Vannisa yang sedang menghela napas dengan wajah penuh kesedihan dari samping.Kemudian, dengan cekatan dia menyentuh layar ponsel dan mengirimkan foto itu kepada Heriyanto.Belakangan ini, Heriyanto sering berkunjung ke kantor pengacara itu. Karena sifatnya yang ramah, ceria, dan humoris, dia cepat akrab dengan para pengacara di sana. Selain itu, dia juga dengan cepat tahu kalau Oktavia dan Vannisa adalah sahabat.Mendengar ini, Heriyanto pun punya ide. Dia ingin membantu Riski, adiknya yang pendiam untuk mendapatkan hati wanita.Setelah mendengar permintaan Heriyanto, Oktavia langsung setuju. Bos mereka di kantor hukum yang dijuluki Jomblo Abadi itu sebenarnya orang baik, dan V

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 97

    Pagi itu, Vannisa dan Liliyana sudah datang lebih awal ke studio untuk merapikan beberapa barang.Studio mereka berada di gedung yang sama dengan Kantor Pengacara Gemilang Mitra. Oleh karena itu, Liliyana pun mengajak Oktavia untuk makan siang bersama.Tak lama kemudian, Oktavia pun datang sesuai janji. Ketiganya pergi ke sebuah restoran yang nyaman dan memiliki suasana yang tenang tak jauh dari gedung kantor.Saat sedang makan, pandangan Oktavia beberapa kali jatuh pada Vannisa. Wajahnya tampak ragu, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi masih menimbang-nimbang.Akhirnya, dia membuka suara juga dan berkata, "Vannisa, kamu mungkin belum dengar, ya? Bos kami ternyata punya teman masa kecil yang dekat banget! Katanya hubungan mereka sudah terjalin dari lama dan kelihatannya cukup spesial juga!"Selesai berkata begitu, seolah ingin membuktikan ucapannya bukan sekedar gosip belaka, Oktavia dengan sigap membuka ponselnya. Dia menggulir layar cepat-cepat, lalu menunjukkan sebuah foto yang s

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 96

    Dia membuka bibir tipisnya dengan dingin berkata, "Aku sedang sangat sibuk. Kalau kamu tidak ada urusan penting, tolong segera pergi dari sini."Belum selesai berbicara, Riski sudah berbalik dan melangkah menuju kantornya dengan langkah pasti dan tegas, seolah tidak mau tinggal satu detik lebih lama.Namun, Siska tampak sama sekali tidak menyadari sikap dingin dan ketidaksabaran Riski. Dia dengan cepat mengejarnya.Wajahnya tersenyum cerah, mata indahnya berbentuk bulan sabit, dengan suara manja berkata, "Aih, tidak apa-apa kok! Aku cuma mau lihat kamu kerja sebentar saja, dan kita kan bisa makan siang bersama, kan?"Mendengar sikap penuh semangat dari Siska, hati Riski bukan malah tergerak, melainkan semakin merasa kesal.Riski benar-benar tidak mengerti mengapa wanita ini begitu gigih, padahal dia sudah berkali-kali menegaskan tidak ada hubungan asmara di antara mereka, tapi Siska terus tak mau menyerah.Saat itu, Riski hanya ingin segera bebas dari gangguan Siska, tapi Siska seolah-

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 95

    Siska duduk santai di sofa ruang tunggu, tampak sangat nyaman dan rileks.Wajah cantik dan menawan itu tersungging senyum tipis yang menawan hati.Para pengacara yang berlalu lalang tak bisa menahan diri untuk melirik penuh rasa ingin tahu, membisikkan dalam hati siapa gerangan wanita asing ini.Namun, di bawah tatapan semua orang, Siska tetap bersikap sangat alami dan familiar.Dia tampak seperti pelanggan tetap di sini, setiap gerak-geriknya memancarkan kepercayaan diri dan ketenangan yang khas.Bahkan membuat orang-orang seolah-olah berpikir bahwa dia adalah penguasa dari kantor pengacara ini.Tak lama kemudian, resepsionis dengan senyum ramah menghampiri, membawa secangkir kopi hangat yang mengepul dan menyerahkannya pada Siska.Dia menerima cangkir itu dengan lembut, menyeruput sedikit, lalu dengan ramah memberikan saran kepada resepsionis, "Hmm ... kopinya agak terlalu manis. Aku lebih suka setengah gula, dan kalau bisa diberi es batu, rasanya jadi lebih segar. Tolong perhatikan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status