Share

Bab 9

Author: Violen
Vannisa bibirnya berubah pucat, lututnya melemah saat berdiri.

Dia bertanya pada salah satu petugas pengelola gedung, "Aku dengar ada paketku disimpan di lantai lima."

Petugas itu bingung. "Tapi lantai lima itu Ruang Kebugaran internal, tidak mungkin ada paket untukmu di sana."

Tiba-tiba sebuah pikiran muncul dalam benaknya.

Dia bersandar pada dinding dan berjalan keluar menuju pos satpam di pintu gerbang.

Saat melihatnya, satpam itu terlihat gugup.

"Siapa yang menyuruhmu melakukan ini?"

Vannisa mengepalkan erat tangan, suaranya gemetar.

Satpam itu minta maaf, "Aku juga tidak ingin, Ibu Vannisa, tapi Pak Andrian yang menyuruh aku melakukan ini."

Semua ini ternyata perintah Andrian?

Vannisa merasa hal itu sangat konyol.

Apakah hanya karena dia membuat Renisa malu tadi malam?

Jadi dia menyuruh satpam mengganggunya?

Vannisa gemetar karena marah, pulang ke rumah mengisi daya ponselnya, lalu membuka blokir Andrian dari daftar blokir WhatsApp dan mengiriminya pesan.

[Andrian, kamu sungguh tak tahu malu!]

Tak lama kemudian, Andrian langsung menelpon lewat WhatsApp.

"Vannisa, kalau kamu tidak patuh lagi, ini bukan yang terakhir kalinya."

Untuk pertama kalinya, Vannisa mengumpat kepadanya, "Andrian, kamu benar-benar bajingan!"

Setelah menutup telepon, dia langsung memblokir Andrian kembali.

Andrian yang diblokir itu kesal dan berkata kepada asistennya, "Bukankah hanya suruh kamu putuskan listrik dan air di rumahnya semalaman supaya dia merasakan sedikit kesulitan? Kenapa dia sampai memarahi aku bajingan?"

Asisten itu dengan hati-hati berkata, "Ini, aku juga tidak tahu kalau Nyonya sekeras itu ... "

Di kamar sebelah, Renisa dengan senang hati menonton video Vannisa terjebak di lift, lalu mentransfer sejumlah uang kepada satpam itu.

...

Setelah melewati beberapa hari terakhir yang sulit, Fika mengirimkan akta cerai.

Vannisa pun meletakkan salah satu salinan akta cerai di meja tamu, lalu membuka sebuah paket.

Isinya dua ember cat hijau.

Dia menuliskan huruf [Tukang selingkuh] ke seluruh sudut rumah, lalu mengirim pesan kepada Hana, menyuruhnya untuk cuti bulan ini, dan gajinya akan dibayarkan lebih awal.

Setelah menyelesaikan semuanya, dia mengambil koper dan meninggalkan tempat itu dengan gaya penuh percaya diri.

Tak lama setelah Vannisa pergi, Andrian kembali bersama Renisa.

Renisa merangkul lengan Andrian dengan manja berkata, "Kakak Andri, aku lapar sekali, benar-benar ingin segera makan masakan rumahan dari kakak ipar."

Andrian berkata lembut, "Tenang, aku suruh dia masak untukmu."

Sebelumnya sikap Vannisa yang seperti itu padanya membuatnya sengaja mengabaikan Vannisa selama beberapa hari.

Dia yakin selama beberapa hari ini, Vannisa pasti sudah merenung dan mau berdamai dengannya.

Selama tiga tahun, dia sudah mengabaikan dan memperlakukan Vannisa buruk berkali-kali, tapi akhirnya Vannisa juga mengalah padanya, bukan?

Andrian berpikir, kali ini jika Vannisa mau mengalah, dia pasti akan memberikan kartu kredit tambahan kepadanya.

Kalau Vannisa merasa uangnya kurang, dia akan menambah limitnya dua ratus juta lagi.

Tapi saat membuka pintu vila, Andrian mencium bau cat yang menyengat.

Dia langsung masuk dari pintu depan dan melihat rumah penuh tulisan [Tukang Selingkuh] dengan cat hijau di berbagai sudut.

Bagian dinding, sofa, bahkan lukisan koleksi pribadinya ...

Dia marah sampai seluruh tubuhnya gemetar, dan tatapannya berubah menjadi sangat mengerikan.

Renisa pun tak bisa menahan mata terbelalak, tak percaya dan berkata, "Kakak Andri, ini kenapa? Kenapa rumahmu jadi seperti ini?"

Urat nadi di dahi dan leher Andrian menonjol.

Dia menarik napas dalam-dalam, mengambil ponsel dari tangan Renisa, lalu menelpon Vannisa.

Saat itu Vannisa yang sedang di dalam taksi, menerima sebuah panggilan dari nomor asing.

Dengan ekspresi dingin dia berkata, "Siapa?"

"Vannisa! Kamu gila!" Suara Andrian yang sangat marah terdengar di telepon.

Vannisa tersenyum tipis, semakin dia marah, semakin Vannisa senang.

"Suka nggak dengan hadiah perceraian yang aku berikan padamu?"

Andrian masih marah karena koleksi lukisannya dirusak, sama sekali tak menyadari kata perceraian yang diucapkan oleh Vannisa.

Dia marah dan berkata, "Kamu segera pulang ke sini!"

"Aku tidak akan pulang."

Nada suara Vannisa tetap tenang dan santai, seolah-olah sedang membicarakan cuaca hari ini, "Kamu juga jangan coba-coba menuntutku. Beberapa hari lalu kamu mengurungku semalaman di lift gedung manajemen, itu sudah termasuk tindak kekerasan yang menyebabkan cedera fisik. Kalau kamu nggak mau aku tuntut balik, anggap saja kita impas."

"Sejak kapan aku mengurung kamu di lift?"

Andrian merasa apa yang dikatakan Vannisa benar-benar tidak masuk akal, seperti dongeng yang mengada-ada.

Dia tahu Vannisa menderita rabun senja, dan sebelumnya menyuruh orang memutus listrik dan air di vila itu hanya untuk menakut-nakutinya sedikit saja.

Bagaimana bisa sampai jadi terjebak di lift?

Renisa yang berada di sampingnya tak bisa menahan diri untuk tidak merasa bersalah, matanya berkedip-kedip dengan gugup saat mendengar ucapan Andrian.

Vannisa menyeringai sinis. "Anda orang penting, urusan banyak sampai lupa hal ini, ya? Baiklah, kalau ingin tahu detailnya, tanya saja ke pihak pengelola gedung, pasti tahu."

Setelah siap bicara, dia langsung memutus telepon dan memblokir lagi.

"Vannisa!"

Andrian masih ingin bicara tapi telepon sudah diputus dan diblokir lagi.

Dia marah sampai sesak di dada.

"Wanita ini ngomong ngawur! Lift apaan?!"

Andrian mengeluarkan ponselnya, hendak menghubungi asistennya menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi pada malam beberapa hari lalu terhadap Vannisa.

Tapi tiba-tiba Renisa yang tampak lemas bersandar pada tubuhnya lalu berkata, "Kakak Andri, aku merasa sangat pusing, bagaimana kalau kita pergi dari sini dulu?"

Andrian melihat dia tidak enak badan, mengira itu karena bau cat yang menyengat, lalu buru-buru menopangnya keluar.

Di dekat situ masih ada sebuah vila miliknya, dia segera membawa Renisa ke sana.

Saat dia teringat untuk menyuruh asistennya menyelidiki kejadian Vannisa yang terjebak di lift, malam sudah tiba.

Asisten segera mencari tahu kebenaran kejadian itu.

"Pak Andrian, lima hari lalu Nyonya memang terjebak di lift. Saat itu ada seorang satpam yang mengantar beliau ke sana, tapi satpam itu sudah mengundurkan diri pagi ini dan sekarang tidak bisa dihubungi."

"Apakah benar ada yang menyakitinya?"

Andrian menggenggam ponselnya erat, suaranya dingin dan penuh ancaman.

"Apa pun caranya, kamu harus menemukan satpam itu!" ujar Andrian dengan nada tegas.

"Baik, Pak Andrian."

Renisa mendengar itu dengan perasaan campur aduk, jantungnya berdebar kencang penuh kecemasan.

Untungnya, dia sudah memberikan uang pada satpam itu lebih dulu, sehingga satpam tersebut cepat-cepat pergi tanpa jejak.

Asisten itu belum memutuskan telepon, lalu melanjutkan berbicara kepada Andrian, "Pak Andrian, aku sudah menyuruh petugas kebersihan untuk membersihkan vila. Oh iya, aku juga menemukan sebuah akta cerai, apakah perlu aku antarkan ke Anda?"

"Akta cerai?"

Andrian mengerutkan kening dan berkata, "Akta cerai apa?"

Dia dan Vannisa baik-baik saja, bagaimana mungkin bercerai?

Asisten yang melihat kebingungan Andrian, memutuskan datang langsung untuk mengantarkan akta cerai itu.

Andrian melihat akta cerai itu, matanya penuh ketidakpercayaan.

"Aku sudah bercerai dengan Vannisa? Tidak mungkin! Aku tidak pernah setuju!"

Asisten itu agak canggung tersenyum.

Dia juga tidak tahu harus bagaimana menjelaskan.

Mana ada orang yang tidak tahu dirinya sudah bercerai?

Namun Renisa justru sangat senang, ternyata Andrian diam-diam telah menyiapkan kejutan ini untuknya.

Andrian sudah bercerai, jadi mulai sekarang mereka bisa bersama secara terang-terangan.

Saat dia hendak merayakannya dengan Andrian, tiba-tiba Andrian marah besar dan melemparkan akta cerai itu ke lantai.

"Ini palsu! Aku tidak mungkin bercerai dengan Vannisa!"

Renisa tiba tiba merasa tidak tenang.

Kenapa Kakak Andri yang sudah bebas dari wanita itu justru tidak bahagia?

Bukankah dia tidak suka Vannisa?

Andrian kembali menelepon bagian hukum.

Bagian hukum mempertimbangkan sejenak, lalu berkata, "Pak Andrian, bulan lalu ibu Anda pernah meminta aku untuk menyiapkan surat perjanjian cerai untuk Anda."

Itu dibuat oleh ibunya sendiri?

Andrian pun marah dan langsung menelepon ibunya.

Saat Fika menerima telepon dan mendengar dia tidak tahu soal perceraian itu, dia sangat bingung lalu berkata, "Andrian, surat perjanjian cerai itu kan ada tanda tangan kamu sendiri? Hal sebesar ini, masa kamu bisa lupa?"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 100

    Setelah berkata begitu, dia dengan genit mengedipkan mata pada Riski.Oktavia berdiri di sebelah dengan tangan disilangkan, memandang adegan di depan mata dengan penuh minat. Sudut bibirnya terangkat sedikit, memperlihatkan ekspresi setengah tersenyum dan setengah menyembunyikan sesuatu.'Aku memang pintar sekali, haha.'Liliyana memang jago dalam hal menjalin kedekatan.Apalagi Heriyanto benar-benar hebat, sampai bisa mengajak bos yang biasanya sibuk itu ikut datang.Siska mengedipkan sepasang matanya yang besar dan bening, dengan penuh rasa ingin tahu menatap Riski, lalu dengan suara manja bertanya, "Kakak Riski, apakah mereka ini teman-temanmu?"Sambil berkata begitu, pandangannya tak sengaja tertuju pada Vannisa yang berdiri di sebelah Liliyana, lalu mulai mengamati dari atas ke bawah.Tak bisa dipungkiri, di antara ketiga wanita itu, Vannisa memang paling menonjol. Wajahnya yang halus, aura lembut yang kuat, seperti bunga camellia yang kokoh membuat Siska merasakan ancaman yang be

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 99

    Heriyanto seolah-olah tidak menangkap isyarat dari Riski, malah tersenyum ramah dan menyapa Siska dengan nada riang, "Siska ya? Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi matamu tetap cuma bisa melihat Riski yang pendiam ini. Aku sungguh tak mengerti, apa sih yang begitu menarik darinya sampai kamu segitunya jatuh hati?"Mendengar itu, pipi Siska langsung memerah malu. Dia segera mencubit lengan Heriyanto dengan manja dan berkata, "Kakak Heriyanto ... "Lalu seolah ingin segera membela Riski, dia buru-buru berkata, "Kakak Riski itu bukan pendiam!"Nada suaranya penuh rasa kagum dan pembelaan terhadap Riski.Heriyanto hanya tersenyum kecil lalu menambahkan, "Karena kamu sudah datang, biar Riski traktir kita makan siang, bagaimana?"Tentu saja Siska langsung mengangguk manis dan tersenyum ceria ke arah Riski.Namun, wajah Riski yang berdiri di samping mereka justru tampak tak begitu senang.Baru saja dia berharap Heriyanto bisa membantunya mengusir Siska, tapi tak disangka Heriyanto malah mengaj

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 98

    Berpikir sampai di situ, Vannisa tak bisa menahan untuk menghela napas pelan, dalam hati bertanya-tanya bagaimana cara terbaik menghadapi situasi rumit yang ada di depan matanya ... Saat itulah, Oktavia tak bisa menahan diri untuk mengedipkan mata.Oktavia diam-diam mengeluarkan ponselnya, lalu mengambil foto Vannisa yang sedang menghela napas dengan wajah penuh kesedihan dari samping.Kemudian, dengan cekatan dia menyentuh layar ponsel dan mengirimkan foto itu kepada Heriyanto.Belakangan ini, Heriyanto sering berkunjung ke kantor pengacara itu. Karena sifatnya yang ramah, ceria, dan humoris, dia cepat akrab dengan para pengacara di sana. Selain itu, dia juga dengan cepat tahu kalau Oktavia dan Vannisa adalah sahabat.Mendengar ini, Heriyanto pun punya ide. Dia ingin membantu Riski, adiknya yang pendiam untuk mendapatkan hati wanita.Setelah mendengar permintaan Heriyanto, Oktavia langsung setuju. Bos mereka di kantor hukum yang dijuluki Jomblo Abadi itu sebenarnya orang baik, dan V

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 97

    Pagi itu, Vannisa dan Liliyana sudah datang lebih awal ke studio untuk merapikan beberapa barang.Studio mereka berada di gedung yang sama dengan Kantor Pengacara Gemilang Mitra. Oleh karena itu, Liliyana pun mengajak Oktavia untuk makan siang bersama.Tak lama kemudian, Oktavia pun datang sesuai janji. Ketiganya pergi ke sebuah restoran yang nyaman dan memiliki suasana yang tenang tak jauh dari gedung kantor.Saat sedang makan, pandangan Oktavia beberapa kali jatuh pada Vannisa. Wajahnya tampak ragu, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi masih menimbang-nimbang.Akhirnya, dia membuka suara juga dan berkata, "Vannisa, kamu mungkin belum dengar, ya? Bos kami ternyata punya teman masa kecil yang dekat banget! Katanya hubungan mereka sudah terjalin dari lama dan kelihatannya cukup spesial juga!"Selesai berkata begitu, seolah ingin membuktikan ucapannya bukan sekedar gosip belaka, Oktavia dengan sigap membuka ponselnya. Dia menggulir layar cepat-cepat, lalu menunjukkan sebuah foto yang s

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 96

    Dia membuka bibir tipisnya dengan dingin berkata, "Aku sedang sangat sibuk. Kalau kamu tidak ada urusan penting, tolong segera pergi dari sini."Belum selesai berbicara, Riski sudah berbalik dan melangkah menuju kantornya dengan langkah pasti dan tegas, seolah tidak mau tinggal satu detik lebih lama.Namun, Siska tampak sama sekali tidak menyadari sikap dingin dan ketidaksabaran Riski. Dia dengan cepat mengejarnya.Wajahnya tersenyum cerah, mata indahnya berbentuk bulan sabit, dengan suara manja berkata, "Aih, tidak apa-apa kok! Aku cuma mau lihat kamu kerja sebentar saja, dan kita kan bisa makan siang bersama, kan?"Mendengar sikap penuh semangat dari Siska, hati Riski bukan malah tergerak, melainkan semakin merasa kesal.Riski benar-benar tidak mengerti mengapa wanita ini begitu gigih, padahal dia sudah berkali-kali menegaskan tidak ada hubungan asmara di antara mereka, tapi Siska terus tak mau menyerah.Saat itu, Riski hanya ingin segera bebas dari gangguan Siska, tapi Siska seolah-

  • Setelah Aku Pergi, Baru Kau Menangi   Bab 95

    Siska duduk santai di sofa ruang tunggu, tampak sangat nyaman dan rileks.Wajah cantik dan menawan itu tersungging senyum tipis yang menawan hati.Para pengacara yang berlalu lalang tak bisa menahan diri untuk melirik penuh rasa ingin tahu, membisikkan dalam hati siapa gerangan wanita asing ini.Namun, di bawah tatapan semua orang, Siska tetap bersikap sangat alami dan familiar.Dia tampak seperti pelanggan tetap di sini, setiap gerak-geriknya memancarkan kepercayaan diri dan ketenangan yang khas.Bahkan membuat orang-orang seolah-olah berpikir bahwa dia adalah penguasa dari kantor pengacara ini.Tak lama kemudian, resepsionis dengan senyum ramah menghampiri, membawa secangkir kopi hangat yang mengepul dan menyerahkannya pada Siska.Dia menerima cangkir itu dengan lembut, menyeruput sedikit, lalu dengan ramah memberikan saran kepada resepsionis, "Hmm ... kopinya agak terlalu manis. Aku lebih suka setengah gula, dan kalau bisa diberi es batu, rasanya jadi lebih segar. Tolong perhatikan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status