~••°••~Ada perasaan deg-degan membuka tas pemberian Pak Huspri. Keterkejutan itu bertambah tatkala isinya aku keluarkan. Sepotong celana bahan seperti celana orang kantoran, blouse bermotif sakura berwarna Lilac, dan selembar pashmina plisket warna senada. Modelan anak zaman sekarang, yang sempat aku impikan."Mak, bagus-bagus semua, pasti mahal harganya!" seru Kak Kasih."Baru beberapa hari lalu Rindu pernah cerita kan, Mak ... ingin beli baju begini sama pashmina juga. Eh, tahu-tahu ada yang kasih hadiah. Alhamdulillah." Aku terharu sangat terlalu.Emak meraih tas dari bahan kertas tersebut, "Tasnya buat Emak ya, Rin. Bagus buat bawa mukena kalau mau salat ke masjid.""Eh, ada surat, Rin!" seru Emak, menyerahkan secarik kertas padaku.Surat kecil dengan tulisan tangan. Tulisannya rapi dan cantik. Aku mengeraskan suara membacanya, agar terdengar juga oleh Kak Kasih dan Emak.____________Dear Rindu,Salam kenal dari Ibu, ya. Kamu boleh panggil Ibu dengan sebutan Ibu Listi. Selamat a
~••°••~"Rind, Emak lihat Febi pulang. Siapa tahu kamu bisa ke Padang sama dia." Emak yang baru pulang belanja dari kedai Koh Agung langsung merangsek ke kamarku."Agak tipis harapan dia akan mau, Mak." Aku meragukan Febi akan mau bersamaku."Kita coba dulu, Rin. Tetap ada rasa was-was kalau kamu sendirian berangkatnya. Padang itu jauh, Rin.""Insya Allah Rindu bisa, Mak.""Nggak ada salahnya coba kan, Rin. Toh Febi itu anak Mamakmu juga. Sepupu kamu itu, Rin!" desak Emak.Febi memang sepupuku. Tetapi sejak kami kecil Mintuo Yeni sudah memisahkan jarak antara kami. Sehingga Febi tidak pernah suka denganku, sama seperti Mintuo Yeni yang tidak menyukai Emak. Dia seolah-olah didoktrin oleh ibunya untuk membenci kami.Jika kondisinya tidak mendesak, mustahil Febi akan menyapaku. Kecuali dia butuh dampingan untuk menyelesaikan tugas sekolah. Padahal, dia setahun lebih dahulu dariku. Di sekolah, mana pernah kami bertegur sapa. Sekalipun ada hubungan keluarga, lebih seperti orang asing yang
~••°••~Selesai Subuh, semuanya sudah kemas. Tinggal aku berganti pakaian, lalu sarapan. Ojek untuk mengantar ke PO bus juga sudah dipesan semalam. Bang Heru namanya, tukang ojek pangkalan. Rumahnya tidak jauh dari rumahku. Semalam Emak ke sana, memesankan agar besok pukul tujuh mengojek ke Koto Baru.Emak memasakkan nasi goreng kampung dan telur mata sapi. Segelas teh panas juga sudah tersedia di atas meja. Emak masih mondar-mandir, lebih tepatnya menyibukkan diri saja. Ada yang Emak sembunyikan di wajahnya."Mak, kenapa menangis?" tanyaku sambil memakan nasi goreng buatan Emak."Entahlah, Rindu. Tiba-tiba saja air mata Mak tak bisa ditahan.""Rindu akan baik-baik saja, Mak.""Iya, Emak percaya itu.""Nanti bagaimananya, Rindu akan telepon Kak Kasih. Semalam juga Rindu SMS dia, kalau seandainya Rindu tidak bisa pulang biar Aldo temani Emak di sini."Bang Heru sudah datang. Emak memberikan sejumlah uang untukku, yang entah beliau dapatkan dari mana. Beberapa lembar uang seratus ribuan
~••°••~Selama ini, mungkin aku orang yang terlalu penakut. Aku berpikir berlebihan terhadap sesuatu hal. Terpenjara dalam kecemasan yang terlalu. Entah mungkin karena kurang gaul, jarang keluar daerah pergi bermain seperti kawan-kawan sekolah. Hal itu menjadikan mental kerupuk yang tertanam dalam diri. Membuat pribadi menjadi pemalu dan cenderung ragu-ragu untuk memulai.Seperti aku yang berpikir berlebihan tentang Padang. Beranggapan akan tersesat, hilang, tidak tahu jalan pulang. Tetapi, Kak Raihan dan Kak Fitra membuka mataku lebar-lebar. Padang tidak semenakutkan itu. Tidak ubahnya seperti kota Solok. Hanya dia lebih luas, lebih ramai, jalannya juga banyak persimpangan. Itu saja perbedaannya. Orangnya? Ya tetap sama seperti orang pada umumnya.Begitu pula untuk urusan di bagian kemahasiswaan. Aku terjebak dalam ketakutan besar. Takut bertemu mahasiswa atau mahasiswi di sini. Takut bertemu dengan petugas kemahasiswaan. Aku hanya anak kampung yang lugu dan katrok. Sementara orang l
~••°••~Selasa sudah berjalan setengah hari. Kak Fitra yang mengambil libur kerja dua hari demi aku, kini mengantarkan kembali ke By Pass. Di sinilah bus memuat penumpang sebelum bertolak ke Solok. Aku pulang dengan armada bernama Jasa Malindo lagi."Ingat yang kemarin ya, Rindu. Cukup ketahui saja, jangan gembar-gembor ke sana-sini soal Febi, bisa ya!" Kak Fitra mengingatkan.Di waktu bersamaan Kak Raihan datang. Ia membawa sekantong besar bengkuang sebagai oleh-oleh. Malu-malu aku menerimanya."Titip untuk Emak dan Kak Kasih ya, Rindu. Kapan-kapan kalau Fitra senggang, Kakak mau dong main ke Solok," ujarnya."Banyak banget, Kak. Masya Allah! Alhamdulillah, terima kasih banyak oleh-olehnya. Boleh banget dong, Kak. Rindu tungguin ya, pintu rumah terbuka lebar untuk Kak Raihan juga Kak Fitra."Hingga akhirnya kernek menyuruh segera masuk. Mobil akan bergerak menuju Solok. Aku pamit pada keduanya. Terbersit doa sebelum aku melangkah naik ke bus, Semoga orang-orang baik ini panjang umurn
~••°••~"Jangan semua, Bang. Cukup satu!""Semua aja, Rindu. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih seperti kata Bang Wahyu. Kalau enggak ada kamu, entah bagaimana ibu kami sekarang."Lidah terasa tergigit, sampai tidak tahu mau bicara apa lagi. Memang bukan aku yang membayar, tapi nominalnya itu ....Setelah turun ke bawah, Bang Farid membeli buah-buahan juga. Baru menuju tempat parkir. Tanpa banyak komentar, aku naik dan duduk diam sampai mobil berjalan."Kuliah di mana?" Bang Farid mulai bicara."Di UNAND, Bang.""Wow, keren dong. UNAND itu kampus elite loh.""Iya, Bang. Tapi saya kuliahnya mengandalkan beasiswa. Kami orang biasa-biasa aja. Kalau pakai biaya mandiri, nggak akan tercapai. Boro-boro masuk UNAND, kuliah di sini aja kayaknya mustahil.""Jangan merendah begitulah. Boleh saja tidak kaya harta, asal kaya hati."Hening di antara kami, baru saja terlewati Masjid Agung Al-Muhsinin Kota Solok. Kemudian berhenti sejenak menunggu traffic light berubah hijau di Simpang Rumbio
~••°••~Langkah sore ini agak beruntung. Cukuplah di-bully ibu-ibu di posyandu barusan, jangan sampai ditambah Ceu Nova yang mulutnya pedas level tiga lima. Melihat yang sedang berjaga di warung adalah Koh Agung, seketika rasa lega menyusup ke dada."Eh, Rindu ... beli apa, Rin?" Koh Agung menyambut lebih dulu, beliau memang seramah itu. Berbanding terbalik dengan istrinya yang ahh ... sama pahamlah."Beli minyak goreng setengah kilo ya, Koh. Minyak curah biasa. Gula seperempat, kopi kemasan lima ribu, garam kasar satu, Ajinomot* yang seribuan juga, Koh. Terus telur sepuluh ribu."Koh Agung sigap mengambilkan permintaan. Aku memilih-milih sawi untuk disayur. Lalu beralih ke keranjang wortel, mengambilnya satu. Keduanya ditimbang dan disaksikan oleh Koh Agung selaku pemilik kedai."Ini jadi tiga ribu, Rin." Koh Agung memasukkan ke kresek ukuran sedang."Jadi berapa semua, Koh?""Minyak, 7000. Terus gula, 3500. Kopi, 5000. Garam dan Aji kena 3000, ditambah sawi wortel 3000. Kemudian tel
~••°••~Waktu akan terus berjalan. Hari demi hari sebelum perkuliahan di mulai masih kuisi dengan menjadi buruh harian. Membersihkan bawang milik orang, untuk menerima upah yang dihitung perkilo setiap hari.Aku menyadari Emak yang mulai pusing memikirkan nasibku. Beberapa hari lalu, aku tidak sengaja mendapati Emak sedang menangis di kamar. Beliau mendekap figura foto Bapak. Air mata Emak berhujanan menuruni pipinya yang mulai keriput.Belum ada bayangan untuk memulai hidup sebagai anak kos di Padang. Entah nanti akan mengekos di mana, juga belum tahu. Sementara tanggal untuk mulai pengenalan kampus, sudah di depan mata. Aku juga tidak berani bertanya pada Emak.Hari ini berkarung-karung bawang diturunkan Pak Mus untuk dikerjakan. Beruntunglah kali ini hasil panennya sangat baik. Bawangnya besar-besar, kering dengan sempurna. Sangat memudahkan dalam pembersihan uratnya. Seharian kami berkutat, menyelesaikan puluhan kilo. Ketika sore tiba nanti, sejumlah rupiah akan diterima Emak. Seb