Share

Bab 4

Penulis: Lavender
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-17 17:34:07

Sanggar tari yang Ardika janjikan malam harinya terlaksana di kunjungi. Berangkat setelah isak, kondisi jalanan kota Karawang tak jauh berbeda dengan Jakarta. Pengetatan peraturan yang tiap daerah ajukan menjadi kepatuhan tersendiri bagi beberapa lapisan masyarakat. Meski tidak sepenuhnya di jalankan dengan baik karena pekerja yang berseliweran di shift malam.

Sebenarnya, keadaan ini masih cukup mengkhawatirkan. Mengingat demo penolakan RUU Cipta Kerja masih berlangsung. Sebaiknya pemerintah segera bertindak lebih tegas. Meski dampak negatif dan positif selalu ada. Tapi konyol tidak, sih, jika urutan pekerja asing bisa masuk ke Indonesia sedang lapangan pekerjaan naudzubillah untuk di cari?

Setidaknya mempertimbangkan lebih matang keputusan ini atau dekati saja salah satu buruh pekerja yang kesulitan di masa ini.

Tahun ini—Pulung tarik napasnya—sesak sekali rasanya. Cobaan silih berganti. Ujian yang menyapa tak beda dengan tagihan-tagihan rumah tangga setiap bulannya. 2020 banyak yang meminta doa untuk semakin lebih baik lagi. Memiliki kemajuan untuk setiap kehidupan dan pilihan terbaik dalam menjalaninya. Sayangnya, sedang Tuhan berikan peringatan. Karena saking sayangnya dengan hamba-hambaNya.

"Mama bobok sama aku nanti, ya?" Pulung tersenyum. Ardika mendengus. Putrinya keterlaluan. Bagaimana jika Pulung tidak nyaman?

"Omi!" tegur Ardika."

"Papa selem," jawabnya.

Sumpah! Sifat putrinya sempurna. Perpaduan dua insan yang komplit antara dirinya dan masa lalunya. Meski cetakan Ardika berada di wajah mungilnya yang tak terbantahkan. Tapi tetap saja.

"Omi bobok sama papa, ya?" Ardika turunkan vokal suaranya. "Papa, kan biasa sama Omi."

Omi terlihat berpikir. Yang Ardika lirik lewat spion kaca. Jarinya mengusap dagu sempitnya—astaga. Membuat Ardika mengelus dada. Itu gayanya sekali.

"Omi bosan pa."

Tertohok. Yang menyayat hati Ardika. Tak ada darah yang menetes tapi sakit.

"Kenapa nggak bobok beltiga saja. Pasti enak. Papa sebelah kanan, mama sebelah kiri. Omi di tengah, nanti di peyuk, ya?"

Terjadi pergulatan ludah di ujung tenggorokan yang tak kasat mata. Baik Ardika maupun Pulung sama-sama terbatuk. Yang matanya mengerjap dengan polos tentu Naomi. Menyaksikan bolak-balik kejadian kompak dua orang dewasa beda jenis di hadapannya. Bibir mungilnya mengerucut kesal. Wajah ayunya cemberut layaknya kucing Persia gagal kawin.

"Lebay!" gumamnya.

Zaman secanggih itu. Dunia sudah maju. Segala kejadian terjadi dengan rekaman satu bidikan benda canggih. Sampailah kepada telinga Naomi.

"Nah sampai."

Beruntung sekali suasana langsung cepat berubah. Riangnya Naomi sebagai tanda bahwa bocah kecil itu suka dengan suasana dan tempat yang baru.

"Naomi nanti belajar nari." Tegas Ardika tanpa menoleh ke arah putrinya. Dan jawaban 'oke' lagi-lagi menohok ulu hatinya. 'Kok gue ngerasa bukan bapaknya, ya?'

***

Usai berbincang dengan pengurus sanggar yang berkali-kali hendak menyebut nama Ardika sebagai pemiliknya namun urung oleh kedipan mata yang di kode. Makan malam di lesehan menjadi pilihannya. Naomi ingin burung dara goreng. Hebat! Bocah sekrucil itu sudah ngidam aneh-aneh.

"Aduh panas papa." Manjanya merajuk.

Itu kode keras agar bisa merecoki hikmatnya makan sang papa. Dan seolah paham, Ardika ambil alih piring putrinya. Membawa tubuhnya untuk duduk di samping sang putri seraya meniup-niup daging burung dara lantas memotongnya menjadi bagian-bagian kecil.

"Masih panas?" Yang Ardika jejalkan nasi beserta daging ke mulut Naomi. Gelengan kepala Naomi Ardika pahami. Di jamin, kelar ini putrinya akan langsung pingsan kekenyangan. "Pelan-pelan!" seru Ardika mana kala mendapati anaknya menjejalkan tempe goreng bebarengan dengan nasi yang belum di telan.

"Uyut akooo eyen, kan?"

Mengangguk saja dulu. Ardika paham translet kata anaknya: "Mulut aku keren, kan?" Ya kamu keren nak. Papa yang jantungan. Kesedak dikit berakhir di ranjang operasi.

"Nggak akan papa minta."

Mendapati interaksi seperti itu, pikiran Pulung berkelana. Otaknya berjalan tidak pada tempatnya. Tapi bolehkah sekali ini saja berangan? Jika berharap sebuah ketidakmungkinan. Ada sesal yang menaungi hati Pulung.

Tentang dirinya yang tidak di beri amanat untuk hamil semasa menikah. Tidak adanya anak ketika perceraian terjadi. Tidak ada yang bisa Pulung bawa selain kenangan indah semasa janji sucinya pernah terucap. Dan berakhir sia-sia.

Pulung suapkan nasi beserta ayamnya perlahan. Bola matanya menyipit sesekali mendengar obrolan yang Ardika bangun bersama putrinya. Ini makan malam bernuansa keluarga—menurut penglihatan orang lain. Nyatanya bukan. Ini makan malam biasa majikan dan bawahan. Miris.

"Pokoknya aku mau bobok sama tante Pulung. Debat no valid papa."

Yorobun. Ardika istigfar kencang-kencang dalam hati. Ini anaknya dapat kata-kata dari mana coba?

"Kamu suka?"

"Sukaaaaa angetttt," sambar Naomi.

Jelas-jelas yang Ardika tatap adalah Pulung. Anaknya sungguh sesuatu sekali.

"Bukan kamu sayang." Pipi merah semu-semu itu milik Pulung. Kok konyol, sih? Terdengar seperti panggilan itu di tujukan Ardika kepada Pulung. "Kamu suka sama sanggar tarinya?"

"Oh." Masih Naomi yang menimpali.

Bisa di pecel dulu tidak ini anaknya? Ardika kok geram tapi juga sayang. Satu-satunya copy paste ini.

"Suka, pak."

"Kalau kamu suka, mulai besok bisa berangkat."

Eh?

Mata Pulung mengerjap.

"Naomi juga setuju. Kamu dengar sendiri tadi."

Bocah lima tahun itu mulai mencari kenyamanan di dada sang papa yang sedang mengurap sambal dengan nasinya. Tah, ucapan orangtua memang manjur.

"Memang boleh, pak?" Pulung ingin memastikan. Takutnya yang kemarin di bicarakan di rubah mendadak karena ini.

"Saya nggak masalah. Senang-senang saja malahan kalau Naomi punya aktivitas di luar rumah. Main hp di rumah juga nggak bagus. Nonton tv juga mesti pintar cari channel. Selama corona, nggak banyak kegiatan Omi."

Kepala Pulung mengangguk. Mengerti ke mana muara maunya atasan.

"Soal teteh jaga Naomi itu masih berlaku. Gaji bisa teteh ajukan berapa pun. Besok siang saya tunggu nominal yang teteh ajukan. Dan di sanggar, tentu ada perjanjian payment yang sudah sesuai peraturan. Itu nggak bisa di rubah karena sudah sah walaupun ada perubahan di kebijakan saat ini."

Tentu tak akan Ardika rubah. Gaji guru bukan yang paling besar sekali pun anggapan masyarakat selalu begini: 'enak ya. Kerjanya cuma kasih perintah dan benerin gerakan yang bla bla bla.' Yang menjalani dan yang terlihat tidak selalu sama.

Pekerjaan—sawang sinawang—istilah jawa yang pernah Ardika dengar. Artinya, apa yang kamu lihat belum tentu enak begitu juga sebaliknya. Jadi bersyukur adalah kuncinya. Jangan mengeluh atau Tuhan kurangkan nikmatmu.

"Kadang, manusia suka lupa." Ardika hanya mengatakan tanpa berniat menyindir. Tapi Pulung merasa kalimatnya tepat sekali. "Kehidupan ini terus berputar. Layaknya roda, kehidupan tidak pernah berhenti. Terus berjalan, mengitari rotasi. Kadang di bawah dan di atas. Itu menunjukkan di mana keberadaan kita."

Berakhir dengan habisnya semua makanan yang tersaji di atas meja.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Setelah Bercerai    Bab 115

    Tiap orang punya rahasia yang tak bisa di ungkapkan secara gamblang. Dan tiap orang juga punya sisi lain yang disebut topeng untuk menutupi wujud keasliannya alih-alih yang terlihat di hari-harinya. Begitu juga dengan Pulung yang paham betul akan makna itu. Bahkan mungkin keberadaan dirinya yang ada di rumah ini selama hampir sepuluh tahun belum mengetahui sampai bagian terdalamnya. Karena memang ada tempat lain yang belum bisa Pulung jamah.Mungkin juga lewat sebuah rahasia yang tak bisa diucapkan lewat kata-kata, ada jiwa-jiwa lelah yang menghadapi sikap kekanak-kanakannya selama masa kehamilan ini. Bukan maunya Pulung, sungguh. Murni bawaan sang jabang bayi yang mengharuskan sikapnya berubah drastis. Mulai keluar dari jalur keaslian siapa dirinya sampai ke akar-akar sikapnya yang paling menyebalkan.Namun di atas itu semua yang paling membuat Pulung terkesan adalah Maharaja Askara yang dua puluh empat jam penuh mau mengurusi dirinya dengan telaten. Penuh kesabaran tanpa mengeluh a

  • Setelah Bercerai    Bab 114

    Yang semalam tak bisa Ardika berikan jawaban.Pagi ini semuanya berjalan seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada obrolan seputar perasaan Naomi Aksara dengan B.S Negara yang membuat Ardika penasaran setengah mati. Ingin searching pun rasanya belum sempat. Ardika betul-betul melupakan di mana letak ponselnya berada dan fokus menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya.Usai sarapan, agenda yang sangat di tunggu oleh Baraja pun terkabulkan. Paralayang yang sudah di incarnya sejak masih dalam perjalanan. Dan selesai dengan itu, mereka akan segera turun untuk Ardika bawa ke rumah orangtua Pulung.Tentu yang bingung tidak hanya para krucil itu saja. Bahkan ibunya Pulung tertegun selama berdetik-detik sebelum memeluk Baraja seraya menghujani dengan ciuman.“Ada milik Pulung di sini. Matanya punya Pulung. Hidungnya punya Pulung. Sisanya dia cetakanmu.”Ardika tersenyum kikuk. Dan di persilakan untuk duduk di ruang tamu sederhananya. Sudah ada suguhan padahal Ardika tidak memberi

  • Setelah Bercerai    Bab 113

    Tidak ada halangan apa pun untuk sampai ke puncak Gunung Putri. Suasana cukup ramai karena ini weekend. Dan semilir angin malam mulai menyapa. Sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut milik Naomi yang mencuat. Sejauh mata memandang, kerlipan lampu malam kota Garut tersaji dengan indah. Tidak ada suara bising di sini. Sunyi dan senyap namun menenangkan. Suara jangkrik malam menjadi pengiring semesta menunjukkan keunggulannya.Embusan napas Naomi terhela dengan teratur. Seulas senyum terbit dengan jari menyelipkan anak-anak rambut.“Kakak belum bobok?” Adalah Ardika yang menatapi putri sulungnya sejak 15 menit yang lalu. Ada gejolak aneh di dalam hatinya. Desirannya penuh kesakitan dan sesaknya kesakitan. Bergumul jadi satu menyumbat saluran pernapasannya.“Mau ngelukis bentar lagi.”“Malam-malam begini?” Naomi mengangguk. “Nggak bisa besok saja kak?”“Papa lihat deh.” Ardika baru sadar bahwa anaknya yang satu ini tidak suka banyak bicara dan lebih menyukai tindakan. “Aku suka kerlipan l

  • Setelah Bercerai    Bab 112

    Membutuhkan waktu 3 jam 42 menit dengan jarak tempuh 217 km Jakarta-Garut via tol.Ardika kemudikan mobilnya sendiri di dampingi Baraja dan Naomi serta Armani di kursi belakang. Kedua kakak adik perempuan itu anteng bersama tablet soal edukasi mendaki bagi pemula. Sesekali canda tawa akan terkuar dan berebut channel untuk di play lebih dulu.Hati Ardika tenang melihatnya dan Baraja yang bermain rubrik di sampingnya kentara fokusnya. Anak ini persis dirinya di masa kecil dulu jika boleh Ardika katakan demikian. Pasti tidak akan adil bagi Maharaja kalau mendengar keegoisan hatinya tentang ini. Tapi memang kadang hati tak mau munafik juga enggan di tampik.“Papa … Garut.” Rengek Baraja yang sudah lelah dengan permainannya. Menagih janji yang kemarin Ardika cetuskan. “Oh, iya. Papa lupa.” Ardika tengok lewat spion tengahnya. Kedua putrinya sedang asik jadi tidak perlu di usik. “Kabupaten Garut. Ada tulisan Aksara Sundanya yang papa nggak tahu bacanya gimana. Adalah sebuah Kabupaten di pr

  • Setelah Bercerai    Bab 111

    Sudah matang semua persiapan yang Ardika kumpulkan. Jadi satu di atas meja ruang tengah milik Maha. Ketiga anaknya sedang asik bercengkerama—lebih merecoki Naomi yang hendak membawa peralatan melukisnya. Ardika setujui. Memberi dukungan untuk putri sulungnya serta merta mengembangkan bakat di gunung.“Tapi pemandangan gunung lebih cocok dengan ini teteh.” Suara Armani tak mau kalah dengan Baraja yang terus melengkingkan ketinggiannya. Kepala Ardika menggeleng dengan senyum yang tak pudar sedikit pun.“Kan pepohonan hijau adek.” Naomi tetap kekeuh pada pendiriannya karena—yeah—menurutnya dia lah sang pelukis sejati. Aduh memang ya.“Sentuhan cokelat juga bagus kakak. Kaka kapa nggak tahu? Nih abang kasih lihat ya.” Tablet Baraja sudah memutar sebuah video dengan pemandangan pegunungan-pegunungan berbagai pilihan. “Dari jauh iya biru. Pas dekat itu malah cokelat kayak gini tahu. Jadi kak, warna cokelat pun berguna untuk kakak bawa.”Mulai dari sini terlihat wajah bimbang Naomi. Semula y

  • Setelah Bercerai    Bab 110

    "Gitu ya sementang punya rumah sendiri.”“Nggak tahu saja yang nunggu sampai keroncongan.”“Ini sejak kapan tamu malah pesan delivery?”“Heran Gusti heran!”Sindiran demi sindiran yang tersentil ke rungu Maha maupun Pulung tak menjadi halangan bagi pasangan yang sedang menanti kelahiran sang buah hati terusik.“Pasangan budak cinta mah gitu.”“Gaes … Sudah punya masing-masing jangan ngeledek.”“Iri bilang bos!”Kan maen! Jawaban Maha lebih estetik dari mulut tetangga yang di sumpal lombok setan sepuluh kilo. “Ibu hamil apa kabar nih? Makin adem ayem saja kayaknya.” Adalah Ayana yang pertama kali menyapa.Perempuan itu pun sedang hamil muda. Dan menurut cerita Maha, Rambe di buat kelimpungan habis-habisan. Mulai dari terpangkasnya jatah waktu untuk berduaan sampai harus rela memomong putra pertamanya. Salut dengan Rambe yang berbesar hati.“Ih teteh mah jorok pisan. Masa tiga hari nggak mandi?” Dante ikut serta nimbrung. “Asli aku mau semaput di certain itu.”Pada akhirnya hubungan me

  • Setelah Bercerai    Ba. 109

    'Aku sudah melewati banyak waktu untuk sembuh. Banyak hari untuk pulih. Banyak memori yang terkikis. Aku sudah jauh berjalan dalam gelap. Menyingsing lengan dan menggulung panjangnya hampara. Dari tajam menyayat yang kurasakan sepanjang jalan. Namun aku bertahan hingga akhirnya sakit itu tumbuh sendiri. Tatapan kelam. Kernyitan dahi karena silaunya putih di depan. Haruskah tertawa? Atau menangis? Sudah tak tampak lagi bagian belakang. Aku lupa bagaimana rasanya tertusuk duri.’Jadi begini para pemirsa dan saudara setanah air setumpah darah, ehm.Ada cerita tersembunyi kenapa Maharaja Askara harus berpuisi di tengah semua orang yang berkumpul. Di ruang keluarganya di mana mestinya terjadi acara liburan karena ini weekend. Juga sebagai libur pertama kedua anak-anaknya; Baraja dan Naomi.Tapi seolah nasib sial—boleh tidak mengatakan demikian? Takutnya ada setan lewat terus mampir. Tercatat sudah itu omongan untuk di jadikan karma kemudian hari. Kan berabe, Hyung!“Lagi, Sayang.”Ini sum

  • Setelah Bercerai    Ba. 108

    Kehamilan anak Maharaja yang pertama ini memanglah luar biasa. Mulai dari sikap manja Pulung yang tiada duanya (menggemaskan bagi Maha) namun terlihat menyebalkan bagi orang sekitar. Sampai hal-hal aneh yang tak terduga.Pagi ini misalnya.Tumben-tumbenan Pulung mager (malas gerak). Dan hanya gegulingan di atas kasur. Biasanya, usai salah subuh dan mengaji, aktivitas Pulung langsung yoga karena memang itu olahraga teraman rekomendasi dari dokter. Di samping memudahkan untuk kelahiran nanti, yoga mengurangi stres. Pulung tidak ke dapur. Memasak seperti biasanya. Tidak Maha hiraukan. Mencoba paham dengan kondisi sang istri yang di yakini bawaan anaknya.“Nggak mau mandi?” Maha elusi rambut Pulung. Tidur menyamping dan memegang ponsel dengan asik. Entah video apa yang di tonton hingga asik tanpa merasa terganggu sedikit pun. “Mau mas masakin sesuatu nggak?”Sejak Pulung hamil, Maha tidak bisa semena-mena. Urusan makan tak seleluasa request seperti saat awal-awal menikah. Meski dengan mu

  • Setelah Bercerai    Bab 107

    Maharaja Askara jadi punya hobi baru; nyanyi. Yang menurut Pulung, boleh juga. Suaranya berat dan serak-serak gimana gitu. Ketika di dengarkan—apa lagi ketika Pulung letakkan kepalanya di dada Maha—uwah sensasinya nggak kaleng-kaleng.Dugun-dugun di jantung Maha terdengar sangat jelas. Dan Pulung suka sekali mendengar detakannya. Iramanya selaras dengan nyanyian yang terlantun dari mulut Maha. Malam ini, begitu Bara dan Naomi memasuki kamarnya masing-masing. Terlelap setelah berdebat mengenai tugas sekolah. Maha dan Pulung bergelung malas di depan ruang televisi. Ada kasur lipat yang biasa Maha gunakan untuk rebahan malas-malasan di sana. Pulung ikut saja. Dengan daster hamilnya, rambutnya yang tak berbentuk lagi dan manja-manja time bersama suami di mulai.“Semua ini pasti akan musnah. Tetapi tidak cintaku padamu. Karena aku sang pangeran cinta.” Lirik yang Maha senandungkan mengikuti penyanyi aslinya di televisi. Once Mekel masih saja tampan sejak Pulung duduk di bangku Sekolah Da

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status