Share

Bab 4

Sanggar tari yang Ardika janjikan malam harinya terlaksana di kunjungi. Berangkat setelah isak, kondisi jalanan kota Karawang tak jauh berbeda dengan Jakarta. Pengetatan peraturan yang tiap daerah ajukan menjadi kepatuhan tersendiri bagi beberapa lapisan masyarakat. Meski tidak sepenuhnya di jalankan dengan baik karena pekerja yang berseliweran di shift malam.

Sebenarnya, keadaan ini masih cukup mengkhawatirkan. Mengingat demo penolakan RUU Cipta Kerja masih berlangsung. Sebaiknya pemerintah segera bertindak lebih tegas. Meski dampak negatif dan positif selalu ada. Tapi konyol tidak, sih, jika urutan pekerja asing bisa masuk ke Indonesia sedang lapangan pekerjaan naudzubillah untuk di cari?

Setidaknya mempertimbangkan lebih matang keputusan ini atau dekati saja salah satu buruh pekerja yang kesulitan di masa ini.

Tahun ini—Pulung tarik napasnya—sesak sekali rasanya. Cobaan silih berganti. Ujian yang menyapa tak beda dengan tagihan-tagihan rumah tangga setiap bulannya. 2020 banyak yang meminta doa untuk semakin lebih baik lagi. Memiliki kemajuan untuk setiap kehidupan dan pilihan terbaik dalam menjalaninya. Sayangnya, sedang Tuhan berikan peringatan. Karena saking sayangnya dengan hamba-hambaNya.

"Mama bobok sama aku nanti, ya?" Pulung tersenyum. Ardika mendengus. Putrinya keterlaluan. Bagaimana jika Pulung tidak nyaman?

"Omi!" tegur Ardika."

"Papa selem," jawabnya.

Sumpah! Sifat putrinya sempurna. Perpaduan dua insan yang komplit antara dirinya dan masa lalunya. Meski cetakan Ardika berada di wajah mungilnya yang tak terbantahkan. Tapi tetap saja.

"Omi bobok sama papa, ya?" Ardika turunkan vokal suaranya. "Papa, kan biasa sama Omi."

Omi terlihat berpikir. Yang Ardika lirik lewat spion kaca. Jarinya mengusap dagu sempitnya—astaga. Membuat Ardika mengelus dada. Itu gayanya sekali.

"Omi bosan pa."

Tertohok. Yang menyayat hati Ardika. Tak ada darah yang menetes tapi sakit.

"Kenapa nggak bobok beltiga saja. Pasti enak. Papa sebelah kanan, mama sebelah kiri. Omi di tengah, nanti di peyuk, ya?"

Terjadi pergulatan ludah di ujung tenggorokan yang tak kasat mata. Baik Ardika maupun Pulung sama-sama terbatuk. Yang matanya mengerjap dengan polos tentu Naomi. Menyaksikan bolak-balik kejadian kompak dua orang dewasa beda jenis di hadapannya. Bibir mungilnya mengerucut kesal. Wajah ayunya cemberut layaknya kucing Persia gagal kawin.

"Lebay!" gumamnya.

Zaman secanggih itu. Dunia sudah maju. Segala kejadian terjadi dengan rekaman satu bidikan benda canggih. Sampailah kepada telinga Naomi.

"Nah sampai."

Beruntung sekali suasana langsung cepat berubah. Riangnya Naomi sebagai tanda bahwa bocah kecil itu suka dengan suasana dan tempat yang baru.

"Naomi nanti belajar nari." Tegas Ardika tanpa menoleh ke arah putrinya. Dan jawaban 'oke' lagi-lagi menohok ulu hatinya. 'Kok gue ngerasa bukan bapaknya, ya?'

***

Usai berbincang dengan pengurus sanggar yang berkali-kali hendak menyebut nama Ardika sebagai pemiliknya namun urung oleh kedipan mata yang di kode. Makan malam di lesehan menjadi pilihannya. Naomi ingin burung dara goreng. Hebat! Bocah sekrucil itu sudah ngidam aneh-aneh.

"Aduh panas papa." Manjanya merajuk.

Itu kode keras agar bisa merecoki hikmatnya makan sang papa. Dan seolah paham, Ardika ambil alih piring putrinya. Membawa tubuhnya untuk duduk di samping sang putri seraya meniup-niup daging burung dara lantas memotongnya menjadi bagian-bagian kecil.

"Masih panas?" Yang Ardika jejalkan nasi beserta daging ke mulut Naomi. Gelengan kepala Naomi Ardika pahami. Di jamin, kelar ini putrinya akan langsung pingsan kekenyangan. "Pelan-pelan!" seru Ardika mana kala mendapati anaknya menjejalkan tempe goreng bebarengan dengan nasi yang belum di telan.

"Uyut akooo eyen, kan?"

Mengangguk saja dulu. Ardika paham translet kata anaknya: "Mulut aku keren, kan?" Ya kamu keren nak. Papa yang jantungan. Kesedak dikit berakhir di ranjang operasi.

"Nggak akan papa minta."

Mendapati interaksi seperti itu, pikiran Pulung berkelana. Otaknya berjalan tidak pada tempatnya. Tapi bolehkah sekali ini saja berangan? Jika berharap sebuah ketidakmungkinan. Ada sesal yang menaungi hati Pulung.

Tentang dirinya yang tidak di beri amanat untuk hamil semasa menikah. Tidak adanya anak ketika perceraian terjadi. Tidak ada yang bisa Pulung bawa selain kenangan indah semasa janji sucinya pernah terucap. Dan berakhir sia-sia.

Pulung suapkan nasi beserta ayamnya perlahan. Bola matanya menyipit sesekali mendengar obrolan yang Ardika bangun bersama putrinya. Ini makan malam bernuansa keluarga—menurut penglihatan orang lain. Nyatanya bukan. Ini makan malam biasa majikan dan bawahan. Miris.

"Pokoknya aku mau bobok sama tante Pulung. Debat no valid papa."

Yorobun. Ardika istigfar kencang-kencang dalam hati. Ini anaknya dapat kata-kata dari mana coba?

"Kamu suka?"

"Sukaaaaa angetttt," sambar Naomi.

Jelas-jelas yang Ardika tatap adalah Pulung. Anaknya sungguh sesuatu sekali.

"Bukan kamu sayang." Pipi merah semu-semu itu milik Pulung. Kok konyol, sih? Terdengar seperti panggilan itu di tujukan Ardika kepada Pulung. "Kamu suka sama sanggar tarinya?"

"Oh." Masih Naomi yang menimpali.

Bisa di pecel dulu tidak ini anaknya? Ardika kok geram tapi juga sayang. Satu-satunya copy paste ini.

"Suka, pak."

"Kalau kamu suka, mulai besok bisa berangkat."

Eh?

Mata Pulung mengerjap.

"Naomi juga setuju. Kamu dengar sendiri tadi."

Bocah lima tahun itu mulai mencari kenyamanan di dada sang papa yang sedang mengurap sambal dengan nasinya. Tah, ucapan orangtua memang manjur.

"Memang boleh, pak?" Pulung ingin memastikan. Takutnya yang kemarin di bicarakan di rubah mendadak karena ini.

"Saya nggak masalah. Senang-senang saja malahan kalau Naomi punya aktivitas di luar rumah. Main hp di rumah juga nggak bagus. Nonton tv juga mesti pintar cari channel. Selama corona, nggak banyak kegiatan Omi."

Kepala Pulung mengangguk. Mengerti ke mana muara maunya atasan.

"Soal teteh jaga Naomi itu masih berlaku. Gaji bisa teteh ajukan berapa pun. Besok siang saya tunggu nominal yang teteh ajukan. Dan di sanggar, tentu ada perjanjian payment yang sudah sesuai peraturan. Itu nggak bisa di rubah karena sudah sah walaupun ada perubahan di kebijakan saat ini."

Tentu tak akan Ardika rubah. Gaji guru bukan yang paling besar sekali pun anggapan masyarakat selalu begini: 'enak ya. Kerjanya cuma kasih perintah dan benerin gerakan yang bla bla bla.' Yang menjalani dan yang terlihat tidak selalu sama.

Pekerjaan—sawang sinawang—istilah jawa yang pernah Ardika dengar. Artinya, apa yang kamu lihat belum tentu enak begitu juga sebaliknya. Jadi bersyukur adalah kuncinya. Jangan mengeluh atau Tuhan kurangkan nikmatmu.

"Kadang, manusia suka lupa." Ardika hanya mengatakan tanpa berniat menyindir. Tapi Pulung merasa kalimatnya tepat sekali. "Kehidupan ini terus berputar. Layaknya roda, kehidupan tidak pernah berhenti. Terus berjalan, mengitari rotasi. Kadang di bawah dan di atas. Itu menunjukkan di mana keberadaan kita."

Berakhir dengan habisnya semua makanan yang tersaji di atas meja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status