Pulung menjadi janda di usia muda dan di pernikahannya yang baru terjalin selama satu tahun. Pandemi yang menyerang Indonesia melumpuhkan banyak sektor ekonomi dan Pulung menjadi salah satunya. Belum ada anak, maka mudah saja bagi suaminya kala itu mengikuti kemauan Ibunya. Ardika dan Maha adalah satu Ayah beda Ibu. Keduanya selalu bersaing dalam hal apa pun.
Lihat lebih banyakTahun 2020 adalah tahun keterpurukan bagi seluruh manusia. Tidak satu atau dua negara yang merasakan dampaknya, hampir seluruh dunia merasakan. Merosotnya perekonomian yang tajam, angka pengangguran yang berjubel naik, kemiskinan yang tidak bisa di elakkan dan kasus-kasus lainnya yang ikut mendukung.
Covid-19 menyapa Indonesia di bulan ketiga tahun ini—Maret. Bagi sebagian orang, mereka yang pegawai kantoran akan memanfatkan waktu work from home sebagai sarana mempererat tali keluarga atau mengganti waktu rodinya untuk bertukar cerita. Sedang bagi kaum bawahan, babu katakanlah begitu, akan menjerit tangis, legowo lan nerimo karena kehilangan pekerjaannya. Berusaha segigih apa pun, jika atasan sudah mencantumkan namanya masuk daftar di rumahkan, tetap saja say good bye.Pulung Narendra salah satunya. Perempuan berusia 26 tahun yang harus menghela napas berkali-kali. Ibu kota begitu kejam untuk dirinya yang hanya lulusan SMA. Sudah sangat beruntung baginya mengenyam pendidikan sampai SMA. Di kampungnya, Garut, sekolah tidaklah begitu penting. Asal sudah laku di pinang oleh lelaki, menikah dijadikan ajang balapan. Bekerja bagi kaum hawa di daerah pegunungan bukan sebuah keharusan.Sayangnya, Pulung tidak memiliki hak istimewa untuk berleha-leha seusai tamat sekolah.Bertahun-tahun sejak lulus sekolah, Jakarta menjadi sahabatnya. Pekerjaannya ia jadikan rumah di mana untuknya bisa makan nasi dua kali sehari—minimalnya. Dan mengirim sebagian gajinya untuk Ayah Ibunya di kampung. Dari situ, bisa Pulung angkatkan derajat keluarganya dengan si bungsu yang masuk ke tingkat Universitas.Naas, pandemi ini menghancurkan impian sebagian orang yang awalnya sudah hidup dengan adem ayem.Fakta itu diiringi dengan surat cerai yang suaminya kirimkan. Lelaki tampan yang Pulung nikahi dua tahun lalu ini ternyata memilih menyudahi hubungan keduanya.Katanya:“Tahun ini susah. Ekonomi juga turun drastis. Kalau harus menghidupi kamu, saya bisa mati berdiri.”Arga Brasta mengucapkan susunan kalimatnya dengan lancar. Pulung terima saja. Kalau harus bercerai, artinya sudah tidak jodoh. Yang hari itu juga Pulung bubuhkan tanda tangannya. Pertanda itu, usai sudah perjalanan kehidupan rumah tangganya.Kan, nikah cepat, nikah muda untuk akhirnya jadi janda. Lucu tidak, sih di permainkan sama kehidupan berkedok takdir?“Maaf. Jika selama melayani saya kurang memuaskan.”“Beruntung kamu tidak hamil.”Tidak Pulung dengarkan. Kedua kakinya melangkah mantap keluar dari rumah yang mengayomi tubuhnya dari panas dan hujan selama masa pernikahannya. Kopernya Pulung seret menuju taksi online yang sudah di pesan.Perkataan Arga cukup menyakiti hati Pulung meski tidak di gubrisnya. Setahun menikah dan hidup bersama lelaki tersebut, Pulung selalu di uber-uber oleh mertuanya untuk segera hamil. Tapi anaknya sendiri justru ingin menikmati masa kebersamaan dan sengaja menundanya. Pulung jadi serba salah dan merasa di bodohi.“Ke mana, Neng?” Bapak sopir sigap menaruh bawaan Pulung ke dalam bagasi dan bertanya tujuannya.“Fatmawati, Pak.” Ada saudara Pulung di sana. Mungkin bisa memberikan dirinya pekerjaan.Pasca di PHK dari pabrik yang menjadi pundi-pundi uangnya, Pulung harus lebih ekstra mencari. Tiga bulan di rumahkan, Pulung pikir suaminya—mantan—sudah pas menjadi lelaki idaman mengingat trackingnya yang penuh tanggung jawab. Mereka selalu bekerja sama dalam urusan keperluan rumah mulai dari air, listrik, belanja bulanan, sampai cicilan motor dan mobil. Yang bisa teratasi dengan mudah. Begitu Pulung menganggur, justru di campakkan lantaran tidak memiliki pemasukan.“Jakarta mah kejam, Neng.” Vokal Bapak sopir mengudara. Membelah sunyinya mobil dan terbawa keramaian di luarnya. “Corona bikin yang miskin makin miskin. Yang kaya keenakan.” Pulung benarkan dalam hati. “Cari gawe susah. Pemerintah kagak bisa kasih jaminan buat rakyatnya.”Ini salah satu contoh kesalahan di mana masyarakat getol menyalahkan pemerintah. Pemerintah sekali pun memiliki wewenang untuk bertindak, mereka tetap punya pertimbangan untuk menjalankan setiap kebijakan. Apakah peraturan yang mereka keluarkan berdampak pada kebaikan atau malah membuat suasana memanas.“Mungkin belum rejeki, Pak.” Pulung ulaskan senyum segarisnya.Hatinya teriris pilu. Bukan pada perceraian yang baru di awalinya. Namun pada bagaimana pandangan masyarakat akan dirinya yang janda terlebih tanpa adanya anak. Penilaian netizen pasti pada unsur keburukan.Seperti:“Mandul kali.”“Nggak pintar di ranjang.”“Namanya sudah punya suami ya mesti pandai merawat diri.”“Cantik saja nggak menjamin.”“Ibarat kucing di kasih rendang, mana nolak!”Mata Pulung terpejam. Ketakutan yang tidak pernah dirinya bayangkan mendadak membayangi. Status jandanya pasti buruk sekali citranya.“Sampai, Neng.”Pulung sodorkan uang kertas sesuai nominal di aplikasi.“Ambil saja kembaliannya, Pak. Jaga kesehatan. Masker dan hand sanitizernya jangan lupa.”“Nuhun, Neng. Sami-sami buat, Neng juga dan doa yang terbaik selalu menyertai ya, Neng.”Kost mewah yang ada di hadapan Pulung menggambarkan seberapa banyak penghasilan saudaranya. Dan menjelaskan seperti apa pekerjaannya. Akankah Pulung ikut sertakan?Demi kuliah Adiknya. Demi Ayah Ibunya. Demi keberlangsungan hidupnya. Toh, bukankah dirinya sudah rusak sejak beberapa jam yang lalu. Jadi, tidak akan menimbulkan masalah yang pelik selama bangkainya tersimpan rapat.Baik. Tidak masalah.Tapi Pulung gelengkan kepalanya sekali lagi. Mencoba menyadarkan dirinya sendiri bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda. Menjadi janda tidak seburuk yang orang lain lemparkan. Menjadi janda bukan berarti buruk.Tidak! Pulung harus bangkit dari keterpurukannya dan membenahi dirinya sendiri. Masih banyak yang Pulung bisa tanggung termasuk kedua orang tua dan Adiknya.Embusan napas Pulung terhela bersamaan dengan pandangan matanya yang mengedar. Kondisi kost milik Dante—Adik sepupunya cukup asri dengan tumbuhan yang berjejer rapi sebagai hiasan dan satu pohon rindang besar. Sepoi-sepoi angin malam membelai pipi Pulung. Tumben sekali Jakarta sesejuk ini di saat polusi sulit teratasi.“Nyari siapa, Teh?” Satpam jaga menyapa Pulung dengan ramahnya. “Biar saya bantu.”“Dante.” Pulung balas dengan senyuman yang sama ramahnya.“Oh Mbak Dante. Mari.”Pulung ikut ke mana arah satpam yang membawanya. Pulung wajib kagum dengan suasana kost yang sepi dan bersih. Tidak berisik pada umumnya atau memang seperti ini fasilitas memadai dengan harga yang sesuai menguras kantong?“Tapi kayaknya belum pulang, Teh.” Satpam hanya memberi informasi saja. “Ada kode akses masuknya nggak yang di kasih sama Mbak Dante? Biar saya bantu semisal belum di kasih.”Nah ini dia keunikan lain yang bikin Pulung terperangah. Dirinya yang terlalu ndeso atau memang kurangnya pergaulan sehingga hanya dunia kerja yang Pulung ketahui. Sekarang kost saja masuknya sudah pakai kode bak apartemen yang biasa ada di drama-drama. Bukan lagi kunci jadul.“Sudah sih, Pak. Tapi kalau Bapaknya mau bantu saya nggak keberatan.”Satpam itu mengangguk dan segera menekan nomor-nomor tombol sesuai instruksi yang beberapa jam lalu Dante titipkan.“Silakan, Teh. Kalau ada perlu apa-apa bisa telepon ke nomor pos satpam yang tercatat di sini.” Tunjuknya pada kertas yang tertera di dekat telepon. “Selamat beristirahat ya, Teh.”Pulung mengangguk dan tersenyum. Membiarkan Satpam itu undur diri dan kembali Pulung edarkan pandangannya ke dalam ruangan Dante.Mewah, itu kesan pertama yang Pulung decakkan. Tidak hanya bangunannya yang mewah dan fasilitas yang memadai. Isi kamar Dante benar-benar mewah bak orang kaya sungguhan.Ranjangnya king size, ada meja makan yang rangkap dengan dapur. Semuanya kelihatan rapi dan Pulung semakin kagum dengan keberhasilan Adik sepupunya itu.Pulung turut senang dan semoga setelah ujian yang menyapa dirinya akan hadir kebahagiaan lain yang tak Pulung duga kedatangannya.Tiap orang punya rahasia yang tak bisa di ungkapkan secara gamblang. Dan tiap orang juga punya sisi lain yang disebut topeng untuk menutupi wujud keasliannya alih-alih yang terlihat di hari-harinya. Begitu juga dengan Pulung yang paham betul akan makna itu. Bahkan mungkin keberadaan dirinya yang ada di rumah ini selama hampir sepuluh tahun belum mengetahui sampai bagian terdalamnya. Karena memang ada tempat lain yang belum bisa Pulung jamah.Mungkin juga lewat sebuah rahasia yang tak bisa diucapkan lewat kata-kata, ada jiwa-jiwa lelah yang menghadapi sikap kekanak-kanakannya selama masa kehamilan ini. Bukan maunya Pulung, sungguh. Murni bawaan sang jabang bayi yang mengharuskan sikapnya berubah drastis. Mulai keluar dari jalur keaslian siapa dirinya sampai ke akar-akar sikapnya yang paling menyebalkan.Namun di atas itu semua yang paling membuat Pulung terkesan adalah Maharaja Askara yang dua puluh empat jam penuh mau mengurusi dirinya dengan telaten. Penuh kesabaran tanpa mengeluh a
Yang semalam tak bisa Ardika berikan jawaban.Pagi ini semuanya berjalan seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada obrolan seputar perasaan Naomi Aksara dengan B.S Negara yang membuat Ardika penasaran setengah mati. Ingin searching pun rasanya belum sempat. Ardika betul-betul melupakan di mana letak ponselnya berada dan fokus menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya.Usai sarapan, agenda yang sangat di tunggu oleh Baraja pun terkabulkan. Paralayang yang sudah di incarnya sejak masih dalam perjalanan. Dan selesai dengan itu, mereka akan segera turun untuk Ardika bawa ke rumah orangtua Pulung.Tentu yang bingung tidak hanya para krucil itu saja. Bahkan ibunya Pulung tertegun selama berdetik-detik sebelum memeluk Baraja seraya menghujani dengan ciuman.“Ada milik Pulung di sini. Matanya punya Pulung. Hidungnya punya Pulung. Sisanya dia cetakanmu.”Ardika tersenyum kikuk. Dan di persilakan untuk duduk di ruang tamu sederhananya. Sudah ada suguhan padahal Ardika tidak memberi
Tidak ada halangan apa pun untuk sampai ke puncak Gunung Putri. Suasana cukup ramai karena ini weekend. Dan semilir angin malam mulai menyapa. Sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut milik Naomi yang mencuat. Sejauh mata memandang, kerlipan lampu malam kota Garut tersaji dengan indah. Tidak ada suara bising di sini. Sunyi dan senyap namun menenangkan. Suara jangkrik malam menjadi pengiring semesta menunjukkan keunggulannya.Embusan napas Naomi terhela dengan teratur. Seulas senyum terbit dengan jari menyelipkan anak-anak rambut.“Kakak belum bobok?” Adalah Ardika yang menatapi putri sulungnya sejak 15 menit yang lalu. Ada gejolak aneh di dalam hatinya. Desirannya penuh kesakitan dan sesaknya kesakitan. Bergumul jadi satu menyumbat saluran pernapasannya.“Mau ngelukis bentar lagi.”“Malam-malam begini?” Naomi mengangguk. “Nggak bisa besok saja kak?”“Papa lihat deh.” Ardika baru sadar bahwa anaknya yang satu ini tidak suka banyak bicara dan lebih menyukai tindakan. “Aku suka kerlipan l
Membutuhkan waktu 3 jam 42 menit dengan jarak tempuh 217 km Jakarta-Garut via tol.Ardika kemudikan mobilnya sendiri di dampingi Baraja dan Naomi serta Armani di kursi belakang. Kedua kakak adik perempuan itu anteng bersama tablet soal edukasi mendaki bagi pemula. Sesekali canda tawa akan terkuar dan berebut channel untuk di play lebih dulu.Hati Ardika tenang melihatnya dan Baraja yang bermain rubrik di sampingnya kentara fokusnya. Anak ini persis dirinya di masa kecil dulu jika boleh Ardika katakan demikian. Pasti tidak akan adil bagi Maharaja kalau mendengar keegoisan hatinya tentang ini. Tapi memang kadang hati tak mau munafik juga enggan di tampik.“Papa … Garut.” Rengek Baraja yang sudah lelah dengan permainannya. Menagih janji yang kemarin Ardika cetuskan. “Oh, iya. Papa lupa.” Ardika tengok lewat spion tengahnya. Kedua putrinya sedang asik jadi tidak perlu di usik. “Kabupaten Garut. Ada tulisan Aksara Sundanya yang papa nggak tahu bacanya gimana. Adalah sebuah Kabupaten di pr
Sudah matang semua persiapan yang Ardika kumpulkan. Jadi satu di atas meja ruang tengah milik Maha. Ketiga anaknya sedang asik bercengkerama—lebih merecoki Naomi yang hendak membawa peralatan melukisnya. Ardika setujui. Memberi dukungan untuk putri sulungnya serta merta mengembangkan bakat di gunung.“Tapi pemandangan gunung lebih cocok dengan ini teteh.” Suara Armani tak mau kalah dengan Baraja yang terus melengkingkan ketinggiannya. Kepala Ardika menggeleng dengan senyum yang tak pudar sedikit pun.“Kan pepohonan hijau adek.” Naomi tetap kekeuh pada pendiriannya karena—yeah—menurutnya dia lah sang pelukis sejati. Aduh memang ya.“Sentuhan cokelat juga bagus kakak. Kaka kapa nggak tahu? Nih abang kasih lihat ya.” Tablet Baraja sudah memutar sebuah video dengan pemandangan pegunungan-pegunungan berbagai pilihan. “Dari jauh iya biru. Pas dekat itu malah cokelat kayak gini tahu. Jadi kak, warna cokelat pun berguna untuk kakak bawa.”Mulai dari sini terlihat wajah bimbang Naomi. Semula y
"Gitu ya sementang punya rumah sendiri.”“Nggak tahu saja yang nunggu sampai keroncongan.”“Ini sejak kapan tamu malah pesan delivery?”“Heran Gusti heran!”Sindiran demi sindiran yang tersentil ke rungu Maha maupun Pulung tak menjadi halangan bagi pasangan yang sedang menanti kelahiran sang buah hati terusik.“Pasangan budak cinta mah gitu.”“Gaes … Sudah punya masing-masing jangan ngeledek.”“Iri bilang bos!”Kan maen! Jawaban Maha lebih estetik dari mulut tetangga yang di sumpal lombok setan sepuluh kilo. “Ibu hamil apa kabar nih? Makin adem ayem saja kayaknya.” Adalah Ayana yang pertama kali menyapa.Perempuan itu pun sedang hamil muda. Dan menurut cerita Maha, Rambe di buat kelimpungan habis-habisan. Mulai dari terpangkasnya jatah waktu untuk berduaan sampai harus rela memomong putra pertamanya. Salut dengan Rambe yang berbesar hati.“Ih teteh mah jorok pisan. Masa tiga hari nggak mandi?” Dante ikut serta nimbrung. “Asli aku mau semaput di certain itu.”Pada akhirnya hubungan me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen