แชร์

Bab 3

ผู้เขียน: Lavender
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2022-12-17 17:33:45

Naomi Aksara. Lahir lima tahun lalu yang telah menjelma menjadi bocah kecil lucu dengan gigi ompong di tengahnya. Persis seperti gerbang masuk. Rambutnya panjang, hitam legam, dengan ciptaan mata bulat sebening air kali. Pulung suka sekali dengan bocah ini. Bibirnya tipis sehingga ceriwis dan mengajukan banyak tanya. Beruntung, Pulung memiliki sejuta jawaban yang tak kalah mengejutkan.

"Kalau tante Pulung yang jadi mama aku, mau?"

Kali ini jawaban model apapun takkan bisa Pulang berikan. Karena salah sedikit, tangisan yang Omi gemakan. Cara ampuh agar permintaannya terkabul. Jadi, hanya senyuman yang bisa Pulung perlihatkan.

"Ayo di makan."

"Suapin." Rengeknya manja.

Kata Ardika, putrinya mandiri. Makan dan mandi sendiri menjadi ritual Omi yang tak mau di ganggu siapa pun. Tapi—agaknya—itu tak berlaku ketika bocah itu berhadapan dengan Pulung. Buktinya, pagi-pagi sekali, ketika Pulung sedang mengaji, Omi mengunjungi kamarnya. Meminta di masakkan air panas untuk mandi plus di mandikan.

Ardika melotot. Mulutnya mendumel dan berhenti di kala Pulung mengatakan: "Nggak apa-apa pak Ar. Ini bagian dari tugas saya."

Hendak di tolak sebelum teriakan Omi menggelegar. Orangtua tunggal itu memilih mengalah saja dari putrinya.

"Tapi janji ya." Pulung ajukan bujuk rayunya dulu. Agar anak asuhnya mau belajar usai ini. "Habis ini belajar."

"Ah mama ..." Napas Pulung tercekat. Omi tidak sadar akan kalimatnya. "Oke. Selesai belajar main game ya tante."

Lega rasanya. Embusan napas Pulung terhela. Omi hanya keceplosan dan spontan.

"Nggak bobok, ya?"

"Tapi sama mama."

Aduh lagi. Kok kaya sengaja banget.

"Kita lihat deh sejauh mana Omi memilih warna buat gambarnya nanti."

Sorakan gembira di sertai tangan merentang ke atas adalah bukti kesenangan Omi. Dan sepertinya, untuk anak-anak seumuran Omi, belajar bukan pilihan yang di sukainya. Mereka butuh bermain, bergerombol bersama kawan-kawannya yang di saat ini tidak bisa dilakukan.

***

Siang harinya, yang membuat Pulung bingung adalah kepulangan Ardika. Lelaki itu mengatakan jika jam kerjanya selalu sampai sore. Terhitung jika tidak ada lembur. Lalu sekarang ini?

Duduk di meja makan dan menuang berbagai sayur serta lauk yang Pulung masak.

"Saya biasa pulang buat makan siang teh." Oh seperti itu. Kaki Pulung hendak melangkah ke kamar Omi. Sebelum vokal Ardika menghentikannya. "Masakan teteh enak. Saya sudah lama nggak makan makanan rumahan. Oh ya teh ..." jedanya. "Nanti malam, saya ajak teteh ke sanggar tari."

"Sanggar tari?" ulang Pulung.

Kepala Ardika mengangguk. "Kebetulan juga lagi butuh guru tari. Nanti teteh bisa ajak Omi belajar juga. Sayang, kan kalau Omi nggak punya kemampuan lain."

"Apa nggak terlalu maksa?"

"Enggak dong teh. Dulu ..." Tiba-tiba terhenti. Dahi Pulung berkerut. Bukan bermaksud untuk kepo. "Karena kita ada di tanah sunda, berdarah sunda juga, mempelajari kebudayaannya, kan nggak ada yang salah teh."

Bukannya Pulung memberikan penilaian 'terlalu memaksa' atau apa. Tapi, anak kecil lebih baik di berikan kebebasan dalam memilih. Tidak semuanya harus di penuhi demi masa yang akan datang. Meski tidak ada salahnya juga. Memberi bekal ilmu kepada anak, tak ada salahnya sama sekali.

Obrolan pun berakhir. Pulung melanjutkan langkahnya dan Ardika dengan makan siangnya. Sekali pun fokusnya terbagi pada sosok Pulung. Mengambil keputusan cepat bukanlah jalan terbaik.

Informasi yang Ardika dapat juga valid. Pulung baru saja bercerai. Belum ada hitungan bulan.

Meninggalkan segala pemikiran yang Ardika Aksara canangkan. Tidak semua yang di inginkannya tercapai dalam satu waktu. Ada step by step yang harus dirinya jalani. Menunggu salah satunya. Bersabar dengan waktu yang tepat untuk maju dan memulai aksinya.

Terkesan terburu-buru akan mendapat penilaian yang gegabah. Bukan gaya seorang Ardika Aksara jika seperti itu.

Embusan napasnya Ardika helakan. Kedua tangannya justru kaku dan mengaduk nasi serta jajaran lauk di dalamnya. Mendadak kenyang menyapa padahal tadi lapar luar biasa. Benaknya bertarung. Mati-matian Ardika pikirkan masa depan yang cerah bagi sang putri. Keputusan yang akan di ambilnya juga bagian persetujuan Naomi bukan semata dirinya yang akan menjalani.

Walaupun kecil, Naomi memiliki cara pikir yang unik. Entah karena kurangnya bimbingan sosok wanita yang di panggil 'ibu' atau Ardika yang terkesan membuka akses agar putrinya paham sejak dini. Tapi opsi pertama akan Ardika setujui. Sejak hari itu, usaha yang Ardika jalani belum membuahkan hasil.

Tahun pertama ia pikir, 'ah mungkin belum rejeki' atau 'kurang tepat dengan karakter putrinya'. Tak jarang sisi egois Ardika menguasai. Melihat dirinya sebagai pebisnis muda yang unggul, memiliki perusahaan sekali pun kecil tapi mampu memperkerjakan orang dan membuka lowongan kerja sungguh membuatnya tinggi hati.

Sombong mendadak merajai hatinya. Maka dari itu, pernah suatu ketika Ardika berkenalan dengan seorang perempuan—mahasiswa magang di kantornya—cantik dan pintar. Hanya kondisi ekonominya saja yang kurang beruntung, Ardika putuskan.

Tahun kedua, hal serupa juga terjadi. Ah, malahan lebih parah. Ardika khilaf. Tercebur dosa. Macarin anak orang, tahu-tahu ngajak ngamar. Yang waktu itu Ardika pikir: 'kan bentar lagi halal. Nengok terasnya neraka boleh kayanya.' Dan terjadilah. Bodohnya, spermanya langsung jatuh cinta sama sel telur si perempuan.

Dan sewaktu benda biru putih menunjukkan garis dua berwarna merah, perempuan itu histeris. Katanya, "Aku belum siap jadi ibu." Ardika langsung shock. Hampir-hampir darah tinggi. "Aku butuh duwit buat gugurin ini."

Ya, karena sudah begitu, apa yang bisa Ardika lakukan selain mengiyakan dan mentransfer uang berjumlah fantastis? Sekalian dirinya putuskan hubungan.

Sudah, cukup sampai di situ petualangan Ardika. Mulai saat itu fokusnya hanya pada Naomi. Kerja pagi pulang malam, melanglang buana ke berbagai kota ketika menangani proyek, dan membawa serta Naomi. Ternyata bisnisnya sukses besar. Sayapnya makin melebar.

Di tahun ini, pandemi merajalela, mematikan seluruh aspek kehidupan, belum lagi dengan RUU Cipta Kerja yang kemarin pemerintah sahkan, teman lamanya Dante—bukan sebenarnya—nanti Ardika jelaskan. Menghubungi dan meminta pertolongan perihal pekerjaan.

Awalnya Ardika pikir-pikir lagi. Tapi melihat Naomi yang semakin aktif, mau tidak mau dirinya bertindak. Bisa berabe kalau anaknya terus dirinya ajak ke proyek. Kerja enggak, musibah datang—amit-amit!

"Omi mau punya bibi?" Malam itu sembari memboyong Naomi ke ranjang besarnya, dirinya curahkan cerita—pengganti dongeng. "Ini papa kasih lihat."

"Mama buat Omi?" Mata bening sipitnya melebar. "Mau ... Omi mau."

Langsung tancap gas. Biasanya Omi akan berpikir seribu kali dan ogah-ogahan. Tapi ini tanpa alasan sabang sampai merauke langsung setuju singgah di lhokseumawe. Rasanya anjim bet kaya odading mang Oleh yang seperti jadi ironman.

"Nanti bakal nemenin Omi sekolah juga."

"Oke."

Sudah. Begitu saja? Kok Ardika mendengus kencang, ya?

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Setelah Bercerai    Bab 115

    Tiap orang punya rahasia yang tak bisa di ungkapkan secara gamblang. Dan tiap orang juga punya sisi lain yang disebut topeng untuk menutupi wujud keasliannya alih-alih yang terlihat di hari-harinya. Begitu juga dengan Pulung yang paham betul akan makna itu. Bahkan mungkin keberadaan dirinya yang ada di rumah ini selama hampir sepuluh tahun belum mengetahui sampai bagian terdalamnya. Karena memang ada tempat lain yang belum bisa Pulung jamah.Mungkin juga lewat sebuah rahasia yang tak bisa diucapkan lewat kata-kata, ada jiwa-jiwa lelah yang menghadapi sikap kekanak-kanakannya selama masa kehamilan ini. Bukan maunya Pulung, sungguh. Murni bawaan sang jabang bayi yang mengharuskan sikapnya berubah drastis. Mulai keluar dari jalur keaslian siapa dirinya sampai ke akar-akar sikapnya yang paling menyebalkan.Namun di atas itu semua yang paling membuat Pulung terkesan adalah Maharaja Askara yang dua puluh empat jam penuh mau mengurusi dirinya dengan telaten. Penuh kesabaran tanpa mengeluh a

  • Setelah Bercerai    Bab 114

    Yang semalam tak bisa Ardika berikan jawaban.Pagi ini semuanya berjalan seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada obrolan seputar perasaan Naomi Aksara dengan B.S Negara yang membuat Ardika penasaran setengah mati. Ingin searching pun rasanya belum sempat. Ardika betul-betul melupakan di mana letak ponselnya berada dan fokus menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya.Usai sarapan, agenda yang sangat di tunggu oleh Baraja pun terkabulkan. Paralayang yang sudah di incarnya sejak masih dalam perjalanan. Dan selesai dengan itu, mereka akan segera turun untuk Ardika bawa ke rumah orangtua Pulung.Tentu yang bingung tidak hanya para krucil itu saja. Bahkan ibunya Pulung tertegun selama berdetik-detik sebelum memeluk Baraja seraya menghujani dengan ciuman.“Ada milik Pulung di sini. Matanya punya Pulung. Hidungnya punya Pulung. Sisanya dia cetakanmu.”Ardika tersenyum kikuk. Dan di persilakan untuk duduk di ruang tamu sederhananya. Sudah ada suguhan padahal Ardika tidak memberi

  • Setelah Bercerai    Bab 113

    Tidak ada halangan apa pun untuk sampai ke puncak Gunung Putri. Suasana cukup ramai karena ini weekend. Dan semilir angin malam mulai menyapa. Sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut milik Naomi yang mencuat. Sejauh mata memandang, kerlipan lampu malam kota Garut tersaji dengan indah. Tidak ada suara bising di sini. Sunyi dan senyap namun menenangkan. Suara jangkrik malam menjadi pengiring semesta menunjukkan keunggulannya.Embusan napas Naomi terhela dengan teratur. Seulas senyum terbit dengan jari menyelipkan anak-anak rambut.“Kakak belum bobok?” Adalah Ardika yang menatapi putri sulungnya sejak 15 menit yang lalu. Ada gejolak aneh di dalam hatinya. Desirannya penuh kesakitan dan sesaknya kesakitan. Bergumul jadi satu menyumbat saluran pernapasannya.“Mau ngelukis bentar lagi.”“Malam-malam begini?” Naomi mengangguk. “Nggak bisa besok saja kak?”“Papa lihat deh.” Ardika baru sadar bahwa anaknya yang satu ini tidak suka banyak bicara dan lebih menyukai tindakan. “Aku suka kerlipan l

  • Setelah Bercerai    Bab 112

    Membutuhkan waktu 3 jam 42 menit dengan jarak tempuh 217 km Jakarta-Garut via tol.Ardika kemudikan mobilnya sendiri di dampingi Baraja dan Naomi serta Armani di kursi belakang. Kedua kakak adik perempuan itu anteng bersama tablet soal edukasi mendaki bagi pemula. Sesekali canda tawa akan terkuar dan berebut channel untuk di play lebih dulu.Hati Ardika tenang melihatnya dan Baraja yang bermain rubrik di sampingnya kentara fokusnya. Anak ini persis dirinya di masa kecil dulu jika boleh Ardika katakan demikian. Pasti tidak akan adil bagi Maharaja kalau mendengar keegoisan hatinya tentang ini. Tapi memang kadang hati tak mau munafik juga enggan di tampik.“Papa … Garut.” Rengek Baraja yang sudah lelah dengan permainannya. Menagih janji yang kemarin Ardika cetuskan. “Oh, iya. Papa lupa.” Ardika tengok lewat spion tengahnya. Kedua putrinya sedang asik jadi tidak perlu di usik. “Kabupaten Garut. Ada tulisan Aksara Sundanya yang papa nggak tahu bacanya gimana. Adalah sebuah Kabupaten di pr

  • Setelah Bercerai    Bab 111

    Sudah matang semua persiapan yang Ardika kumpulkan. Jadi satu di atas meja ruang tengah milik Maha. Ketiga anaknya sedang asik bercengkerama—lebih merecoki Naomi yang hendak membawa peralatan melukisnya. Ardika setujui. Memberi dukungan untuk putri sulungnya serta merta mengembangkan bakat di gunung.“Tapi pemandangan gunung lebih cocok dengan ini teteh.” Suara Armani tak mau kalah dengan Baraja yang terus melengkingkan ketinggiannya. Kepala Ardika menggeleng dengan senyum yang tak pudar sedikit pun.“Kan pepohonan hijau adek.” Naomi tetap kekeuh pada pendiriannya karena—yeah—menurutnya dia lah sang pelukis sejati. Aduh memang ya.“Sentuhan cokelat juga bagus kakak. Kaka kapa nggak tahu? Nih abang kasih lihat ya.” Tablet Baraja sudah memutar sebuah video dengan pemandangan pegunungan-pegunungan berbagai pilihan. “Dari jauh iya biru. Pas dekat itu malah cokelat kayak gini tahu. Jadi kak, warna cokelat pun berguna untuk kakak bawa.”Mulai dari sini terlihat wajah bimbang Naomi. Semula y

  • Setelah Bercerai    Bab 110

    "Gitu ya sementang punya rumah sendiri.”“Nggak tahu saja yang nunggu sampai keroncongan.”“Ini sejak kapan tamu malah pesan delivery?”“Heran Gusti heran!”Sindiran demi sindiran yang tersentil ke rungu Maha maupun Pulung tak menjadi halangan bagi pasangan yang sedang menanti kelahiran sang buah hati terusik.“Pasangan budak cinta mah gitu.”“Gaes … Sudah punya masing-masing jangan ngeledek.”“Iri bilang bos!”Kan maen! Jawaban Maha lebih estetik dari mulut tetangga yang di sumpal lombok setan sepuluh kilo. “Ibu hamil apa kabar nih? Makin adem ayem saja kayaknya.” Adalah Ayana yang pertama kali menyapa.Perempuan itu pun sedang hamil muda. Dan menurut cerita Maha, Rambe di buat kelimpungan habis-habisan. Mulai dari terpangkasnya jatah waktu untuk berduaan sampai harus rela memomong putra pertamanya. Salut dengan Rambe yang berbesar hati.“Ih teteh mah jorok pisan. Masa tiga hari nggak mandi?” Dante ikut serta nimbrung. “Asli aku mau semaput di certain itu.”Pada akhirnya hubungan me

  • Setelah Bercerai    Ba. 109

    'Aku sudah melewati banyak waktu untuk sembuh. Banyak hari untuk pulih. Banyak memori yang terkikis. Aku sudah jauh berjalan dalam gelap. Menyingsing lengan dan menggulung panjangnya hampara. Dari tajam menyayat yang kurasakan sepanjang jalan. Namun aku bertahan hingga akhirnya sakit itu tumbuh sendiri. Tatapan kelam. Kernyitan dahi karena silaunya putih di depan. Haruskah tertawa? Atau menangis? Sudah tak tampak lagi bagian belakang. Aku lupa bagaimana rasanya tertusuk duri.’Jadi begini para pemirsa dan saudara setanah air setumpah darah, ehm.Ada cerita tersembunyi kenapa Maharaja Askara harus berpuisi di tengah semua orang yang berkumpul. Di ruang keluarganya di mana mestinya terjadi acara liburan karena ini weekend. Juga sebagai libur pertama kedua anak-anaknya; Baraja dan Naomi.Tapi seolah nasib sial—boleh tidak mengatakan demikian? Takutnya ada setan lewat terus mampir. Tercatat sudah itu omongan untuk di jadikan karma kemudian hari. Kan berabe, Hyung!“Lagi, Sayang.”Ini sum

  • Setelah Bercerai    Ba. 108

    Kehamilan anak Maharaja yang pertama ini memanglah luar biasa. Mulai dari sikap manja Pulung yang tiada duanya (menggemaskan bagi Maha) namun terlihat menyebalkan bagi orang sekitar. Sampai hal-hal aneh yang tak terduga.Pagi ini misalnya.Tumben-tumbenan Pulung mager (malas gerak). Dan hanya gegulingan di atas kasur. Biasanya, usai salah subuh dan mengaji, aktivitas Pulung langsung yoga karena memang itu olahraga teraman rekomendasi dari dokter. Di samping memudahkan untuk kelahiran nanti, yoga mengurangi stres. Pulung tidak ke dapur. Memasak seperti biasanya. Tidak Maha hiraukan. Mencoba paham dengan kondisi sang istri yang di yakini bawaan anaknya.“Nggak mau mandi?” Maha elusi rambut Pulung. Tidur menyamping dan memegang ponsel dengan asik. Entah video apa yang di tonton hingga asik tanpa merasa terganggu sedikit pun. “Mau mas masakin sesuatu nggak?”Sejak Pulung hamil, Maha tidak bisa semena-mena. Urusan makan tak seleluasa request seperti saat awal-awal menikah. Meski dengan mu

  • Setelah Bercerai    Bab 107

    Maharaja Askara jadi punya hobi baru; nyanyi. Yang menurut Pulung, boleh juga. Suaranya berat dan serak-serak gimana gitu. Ketika di dengarkan—apa lagi ketika Pulung letakkan kepalanya di dada Maha—uwah sensasinya nggak kaleng-kaleng.Dugun-dugun di jantung Maha terdengar sangat jelas. Dan Pulung suka sekali mendengar detakannya. Iramanya selaras dengan nyanyian yang terlantun dari mulut Maha. Malam ini, begitu Bara dan Naomi memasuki kamarnya masing-masing. Terlelap setelah berdebat mengenai tugas sekolah. Maha dan Pulung bergelung malas di depan ruang televisi. Ada kasur lipat yang biasa Maha gunakan untuk rebahan malas-malasan di sana. Pulung ikut saja. Dengan daster hamilnya, rambutnya yang tak berbentuk lagi dan manja-manja time bersama suami di mulai.“Semua ini pasti akan musnah. Tetapi tidak cintaku padamu. Karena aku sang pangeran cinta.” Lirik yang Maha senandungkan mengikuti penyanyi aslinya di televisi. Once Mekel masih saja tampan sejak Pulung duduk di bangku Sekolah Da

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status