"Kalau kamu, kan, anak kuliahan. Sudah pasti bisa mendidik anak dengan baik nantinya. Ibu masih berharap kamu bisa jadi menantu ibu, meski ibu sudah tak lagi punya anak laki-laki."
Deg … deg … deg … .Astaghfirullah … astaghfirullah … apa yang terjadi dengan ibu mertua hamba ya, Rabb …Apakah ibu sedang berniat meminta salah satu anak lelakinya untuk berpoligami?"Bu Elis … ."Kudengar suara perempuan yang menemani ibu mulai terdengar. Aku ingin tau, ia menanggapi seperti apa ungkapan ibu mertuaku yang baru saja ia dengar barusan."Tidak apa-apa, Mir. Nanti biar ibu bujuk lagi si Yudha."Ya Allah!Aku menekap mulut. Membayangkan suamiku akan menikah lagi seperti pinta ibu. Mengingat selama ini Mas Yudha lebih banyak patuh pada beliau, bukan tak mungkin nanti ia akan mengabulkan jika memang sang ibu memohon.Apa yang harus kulakukan sekarang, ya Rabb … .Tiba-tiba saja terdengar suara ponsel yaEnam bulan berlalu. Tak ada yang mencurigakan dari suamiku. Ia tetap menjadi suami dan ayah yang baik untuk Dinar. Masih sering berbicara dengan anakku yang satu lagi melalui telepon. Pun dengan bapak dan ibu, ia selalu berusaha menjaga silaturahmi dengan mereka meski tak bertatap muka.Aku tak lagi melihat Mira datang ke rumah ibu. Setidaknya begitu yang kulihat saat aku diajak berkunjung. Entah di waktu lain.Perasaan curiga pun berusaha kutepis. Aku tak mau digerogoti oleh rasa penasaran dan penuh curiga, yang nantinya akan merusak moodku. Fokusku kini pada anakku, serta toko online yang kini mulai merangkak naik. Kondisi ekonomi kian stabil. Aku bisa membeli beberapa lembar baju yang kuinginkan. Kiriman untuk anakku juga kulebihkan, meski ibu dan ayah tak pernah meminta..Aku menatap heran pada isi rumah yang nyaris kosong, kecuali beberapa boks berisi penuh dengan perabotan dan pernak-pernik rumah.Barang-barang telah dimasukkan ke kardu
Inikah akhirnya?Setelah menikmati kurang dari setahun hidup bebas, aku harus kembali ke rumah itu, dimana aku pernah diminta pergi tanpa membawa anakku oleh orang tua suamiku?Aku sudah bahagia tinggal di sini. Merdeka, bebas melakukan apa saja, bebas bangun jam berapa saja, bebas mau beli apa dan akan ke mana, tak ada yang mengabsen dan bertanya-tanya.Tapi sekarang apa? Aku dipaksa kembali ke sana tanpa kompromi. Inikah arti dari tenangnya Mas Yudha menghadapi aku selama setahun terakhir ini?Berakhir di sini kah, 'pestaku'? Oh, aku sungguh ingin membantah, tapi lidahku kelu. Kata-kata yang siap meluncur, kutelan kembali tanpa sempat terucap."Ibu, beliau hampir dilecehkan oleh salah satu pelanggan, Dek. Aku tak bisa membiarkan orang tuaku seperti itu. Ibu memang sudah sepuh, tapi beliau beberapa kali menghadapi lelaki hidung belang sendirian.""Ibu, dilecehkan?" Aku bertanya dengan kening mengernyit. Hatiku mencelos saat
"Ini nanti kalau ditanya Pak Yai bilang acara apa, Bu?"Mas Yudha bertanya, bersiap menyambut kedatangan Pak ustadz yang akan memimpin doa."Acaranya itu, menyambut kepulangan kamu sama cucuku untuk tinggal kembali ke rumah ini.""Heh? Acara apa itu? Kamu mau masalah keluargamu diketahui orang sekampung?" Bulek Ratih membantah ucapan ibu.Aku tak peduli. Bahkan yang disebut kepulangan Mas Yudha dan sang cucu. Aku? Ah, mungkin beliau lupa, kalau aku ini ibu dari cucu yang diminta tinggal di sini. Kubiarkan saja mereka berdebat. Nanti kalau beruntung biasanya bakal nemu adegan lucu.Mbak Andin masih sibuk memasukkan kotak nasi ke dalam kantong plastik. Banyaknya kegiatan, membuatku tak busa leluasa berbicara dengannya. Mungkin nanti, kalau rumah sudah sepi."Bilang saja ini syukuran, berdoa untuk keselamatan dan kebaikan semua anggota keluarga, nggak usah ngomong kalau penyambutan atau yang lain. Malu, Mbak!"Tuh
Adaptasi lagi. Itulah hal yang kini coba kujalani.Hampir setahun hidup dan tinggal di lingkungan yang tenang tanpa bising kendaraan, dan kini seperti dipaksa harus membiasakan diri lagi dengan ramainya arus lalu lintas jalan raya di depan rumah.Banyaknya pabrik yang baru berdiri lah, menjadikan lonjakan arus lalu lintas sedemikian padat. Kemacetan terus terjadi sepanjang pagi hingga menjelang jam sembilan. Demikian halnya jika sore hari, mulai jam empat sore hingga menjelang Isya', baru terlihat mulai berkurang ramainya kendaraan yang melintas.Aku mencoba berdamai dengan kondisi ini. Menganggap ini takdir yang telah digariskan untukku. Pun anakku, kuharap ia nyaman dan betah tinggal di sini lagi."Bersabarlah, tak ada rumah tangga yang tak diuji." Ucapan Mbak Fatma menenangkan aku. Jika bisa, saat ini juga ingin kubawa anakku ke sini. Bukankah ini sudah satu tahun, batas waktu yang diberi oleh ibu mertua untuk membawa serta anak yang
Aku terjaga saat terdengar suara benda keras beradu dengan aspal. Bayi kecilku ikut terjingkat. Sayup-sayup kudengar ada kecelakaan. Aku menghela napas panjang. Menenangkan degup jantung yang seakan hendak lepas dari tempatnya. Tinggal di tepi jalan raya dan laka lantas, sepertinya ini memang satu paket komplit, dan aku harus bersiap dengan segala kemungkinan..Ridho Allah tergantung ridho orang tua.Aku mengaminkan sepenuhnya. Seiring berjalannya waktu, aku merasa banyak keberkahan yang terjadi di hidupku semenjak tinggal dekat ibu.Usaha online yang sempat terseok-seok, kini mulai menampakkan hasilnya. Jika saat tinggal di kontrakan aku bisa membeli baju untukku dan anak-anak, maka sekarang aku bisa membeli beberapa perhiasan untuk gadis kecilku.Sebuah rak berisi stok pakaian yang dijual online dan offline, kini melengkapi isi rumah. Satu langkah besar, karena sebelumnya, kami–aku dan
Matahari baru beranjak naik, tapi kesibukan telah terlihat di dapur Bu Elis. Wanita paruh baya itu akan mengadakan selamatan sore nanti, jadilah sibuk menyiapkan makanan, dibantu Ratih serta kedua menantunya, Andin dan Karin.Ketiga cucu Bu Elis dihandle oleh Angga. Sementara Yudha sibuk dengan toko onlinenya. Suami dari Karin itu memilih berdiam di kamar, hanya keluar sebentar, lalu kembali menenggelamkan diri dengan toko onlinenya.Bu Elis mencari kesempatan untuk berbicara dengan menantu pertamanya. Beliau pun menghampiri Andin yang sedang mengiris wortel untuk campuran mi goreng."Andin, ibu mau bicara sama kamu."Bu Elis mengambil kursi kecil lantas duduk di depan kedua menantunya.Andin menghentikan kegiatannya sejenak, melihat adik iparnya, lantas memusatkan perhatian pada sang ibu mertua. "Iya, Bu. Ada apa, ya?" tanya Andin dengan kening mengernyit. Terlihat olehnya raut wajah serius di wajah ibu mertuanya.
Beberapa Minggu kemudian … .Angga baru saja menyelesaikan makan malamnya. Gegas ia menyandang tas laptop, lantas berpamitan pada sang istri."Dek, aku mau ke rumah ibu, ya?"Andin yang masih berbaring karena menemani anaknya tidur, segera beringsut bangun. Ia terkejut melihat sang suami berpakaian rapi, menyandang tas, serta wangi. 'Mau ke mana dia malam begini? Mana rapi dan wangi lagi,' gumam Andin dalam hati, sambil memindai penampilan suaminya."Dek?" Angga memanggil sekali lagi, karena sang istri justru melamun, alih-alih langsung mengiyakan ijinnya kali ini."Eh, iya? Ke rumah ibu malam begini, Mas? Kok bawa tas segala?" tanya Andin bingung. Ia memindai penampilan suaminya sekali lagi. Tak dapat dipungkiri kalau ia merasa heran, kenapa suaminya pamit pergi semalam ini.Angga terlihat salah tingkah. Andin makin curiga."Ya, itu, ada urusan sedikit di sana, sama ibu," jawab Angga sedikit gugup, lantas meng
Ada sepasang mata lain yang melepas kepergian Angga dari kediaman Bu Elis. Ya, Karin melonjak bangun begitu mendengar suara motor Angga, lantas berdiri tegak di balik jendela kaca."Kamu terlihat lebih keren saat menggendong tas ransel, Mas," gumam Karin seorang diri."Coba kalau datang agak sorean, kan lumayan bisa main sama Dinar agak lamaan. Ini cuma sebentar, sibuk amat ngikutin maunya ibu yang mau bikin rumah. Belum tentu juga Mbak Andinnya mau diajak tinggal di sini nanti."Aku rasa bakalan sia-sia, deh, bangun rumah itu. Lihat aja entar."Karin masih bergumam panjang pendek, sampai motor Angga menghilang di kelokan jalan depan warung sang ibu."Ngapain itu, ngomong sendiri di situ?"Karin terjingkat, lantas memegangi dadanya yang berdegup kencang. Ketika berbalik badan, ia dapati sang suami berdiri di ambang pintu yang menghubungkan ruang tamu sama ruang tengah. Karin hanya nyengir kuda, lalu bergerak mendekat."N