Share

3. Mari Kita Berpisah, Mas

Sesampai di mess, denyut jantung sudah berdegup tak karuan. Tidak bisa kukatakan lagi bagaimana berkecemuknya jiwa, hati yang ingin menjerit sekencang-kencangnya. Meski beberapa kali menarik dan membuang napas panjang, tapi perasaan masih saja seperti badai. Bergejolak kesana kemari.

Dengan gemetar, kugerakkan tangan untuk menelpon Mas Wisnu. Degup di dada semakin berpacu.

Ya Allah, tolong tenangkan lah jiwa ini.

Panggilan masuk

Tut .

[Hallo Ma]

Aku menggigit bibir yang bergetar tiba-tiba, pita suara ini bahkan tak bisa mengeluarkan suara. Ingin rasanya menangis dan meraung-raung, tapi tidak bisa.

[Hallo, Mama ...]

[Iya, Pa]

[Mama nggak papa 'kan?]

[Nggak Pa. Papa dimana sekarang?]

[Papa masih dijalan, Mama udah pulang?]

[Udah. Kapan Papa pulang?]

Aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak memangis, meski sejujurnya hati menjerit.

[Papa baru bisa pulang nanti malam, Ma. Ini masih ada kegiatan sama boss]

Alasannya sama, di sana dia membuat pengakuan boss minta jemput. Padahal kedapatan ada aku di rumah Dita. Lalu sekarang ketika aku mengajak bicara, dia beralasan boss lagi. Padahal pastinya sudah kembali ke rumah Dita untuk bersenang-senang.

Sayangnya, aku tidak bisa lagi kamu tipu, Mas. Aku sudah memegang kartu merahmu.

[Oya nggak papa, Pa. Mama tunggu Papa pulang.] jawabku dengan rasa sakit yang sedemikian besar.

[Yaudah, baik-baik ya, Ma]

[Iya, Pa.]

Kututup telpon lalu menghempaskan diri ke atas ranjang. Kedua mata kini sudah basah oleh cairan, dada ini terasa begitu sesak. Sedang hati mendadak terasa perih.

Mas Wisnu, teganya kau menipuku Mas. Kau katakan pada Dita bahwa aku yang bersalah. Aku yang selalu menolak ajakanmu ke Kalimantan. Lalu kau katakan aku berselingkuh. Semuanya adalah dusta. Padahal kau yang melarangku ikut denganmu, kau juga yang berselingkuh dengan sahabatku sendiri.

Kenapa kamu setega ini padaku Mas. Padahal kita menikah bukan setahun dua tahun, tapi tiga belas tahun, Mas.

Tak adakah dari semua kebaikanku dan kesabaranku yang bisa membuatmu mengunci hatimu, Mas?

Sekujur tubuh terasa lemah. Kubiarkan air mata mengalir tanpa jeda. Jika dengan menangis bisa menghilangkan segala duka. Maka akan aku lakukan sampai tak ada lagi air mata yang bisa keluar.

Sakit, sakit rasanya dikhianati. Apalagi oleh seseorang yang kita anggap tidak akan pernah menyakiti.

Ya Allah, apa salahku, hingga tega Mas Wisnu menduakanku dengan wanita lain? Apa kurangnya diri ini, betapa aku melupakan semua karir demi berbakti padanya, mengurus anak dan rumah tangga kami. Tapi dengan begitu mudahnya ia berpaling, menodai kesucian cintaku yang begitu sempurna untuknya.

Jam terus bergulir. Aku tak bangkit kecuali untuk menunaikan shalat magrib. Tepat pukul delapan malam, terdengar deru mobil Mas Wisnu memasuki halaman. Masih enggan, aku bangkit untuk membukakan pintu.

Dia menatapku dan menyunggingkan selarik senyuman. Tapi aku menerimanya dengan perasaan sakit dan terluka.

"Mata Mama kok bengkak, wajah Mama juga pucat? Mama pasti belum makan 'kan? Ini Papa bawakan Mama nasi khas kota ini," ucapnya sembari menyerahkan dua buah kotak nasi.

Tak ingin menyalaminya, aku hanya meraih dan melangkah masuk lebih dulu. Tapi ternyata Mas Wisnu menghentikan, dia sepeti hendak merangkul tubuh ini. Namun, dengan segera aku mengelak. Membuat lelaki itu sedikit terkejut.

"Mama kenapa?"

Pertanyaannya membuat dua netraku kembali basah. Padahal tadi aku sudah tidak bisa lagi menangis.

"Mama buatkan kopi untuk Papa, ada bubuknya sama gula?"

"Em ... Nggak ada, Ma. Papa nggak pernah buat apapun di rumah, kalau mau ya tinggal beli," ucapnya kini duduk di kursi tamu.

Kenyataan semakin jelas, kemana kubawa hati yang sudah tak lagi berwujud ini?

"Rumah ini juga tampaknya sudah lama tak ditempati ya, Pa? Mama lihat dapurnya berdebu?" tanyaku lagi dengan sekuat tenaga menutupi gemuruh di dada.

"Kalau tidak tidur di sini, Papa mau tidur dimana lagi? Cuma ini satu-satunya rumah yang Papa punya saat ini. Kalau kelihatan kotor, namanya yang ngurus cuma Papa doank. Ya Mama tahu sendirilah gimana kalau lelaki ngurus rumah.

Astaghfirullah, andai yang kamu katakan ini benar, Mas. Maka aku adalah wanita paling beruntung di dunia punya suami jujur dan setia. Tapi kenyataannya? aku benar-benar tak ingin percaya jika ternyata kamu telah mendua.

Meski hati ini sakit, diri kini duduk di kursi di hadapan Mas Wisnu. Mata kami sejenak saling memandang. Kembali pelupuk ini terasa hangat. Dua mata itukah yang telah terpikat pada pesona wanita lain?

"Anak-anak gimana saat Mama pergi tadi? Ada nanyain Papa, nggak?"

Mendengar pertanyaan itu, hatiku semakin terasa perih. Apa yang harus kulakukan? Setelah tahu semua kebohongan Mas Wisnu, masih bisakah aku bertahan, demi menjaga perasaan tiga putra putriku yang masih sangat membutuhkan sosok kedua orang tuanya?

Ya Allah .

"Anak-anak sehat, Pa. Hanya tadi Rizky yang menangis saat Mama pergi. Tapi sudah berhasil didiemin sama Neneknya.

"Kita telpon mereka, ya? Papa kangen."

Tanpa menungguku mengiyakan, Mas Wisnu langsung mengeluarkan ponsel dan melakukan video call ke Jakarta.

[Hallo Sayang]

[Papa ...]

Jeritan anak-anak membuat tulangku terasa ngilu.

[Papa kapan pulang, aku kangen, Pa.]

Anak kami nomor dua berbicara. Dia memang yang paling dekat dengan papanya karena menjadi satu-satunya yang cantik diantara dua yang lain.

[In Syaa Allah segera ya, Nak. Ini ada Mama di sini.]

Mas Wisnu mengarahkan ponsel padaku. Aku memaksakan diri tersenyum.

[Mama curang, pergi ke tempat Papa nggak ajak kami]

Wajah mereka bertiga kini tampak di layar handphone. Hatiku semakin terluka.

[Maaf ya, Sayang. Lain kali Mama ajak, tadi itu ada dadakan banget.]

[Iya, Ma. Jangan lupa bawa pulang oleh-oleh ya, Ma]

[Iya, Nak]

[Dada Mama, dada Papa]

[Dada Sayang ....] ucapku dan Mas Wisnu berbarengan.

Ya Allah, begini sempurna sudah kebahagiaan kami. Kenapa Mas Wisnu bisa berpikir untuk mendua.

Aku membuang napas berat. Sejenak mata kembali menatapnya. Gemuruh di dada semakin menjadi.

"Papa sayang nggak sama Mama dan ketiga anak-anak kita?" tanyaku dengan segenap luka yang masih berusaha kututupi.

"Mama kok nanya gitu? Ya pastinya sayang, kalau nggak mana mungkin Papa mau jauh-jauh kerja sampai terabaikan gini hidup Papa. Semua demi kalian, supaya kalian bisa tidur enak, makan enak, pakai baju bagus, kemana pergi nggak harus kepanasan naik motor."

"Tapi Mama lebih milih hidup sederhana asalkan tidak kehilangan kesetiaan seorang suami, Pa."

"Maksud Mama apa."

"Pa, tolong jawab dengan jujur pertanyaan Mama ini? Benar hanya Mama satu-satunya wanita yang bertahta di hati Papa?"

Mas Wisnu terhenyak. Tapi wajahnya kini menunduk.

"Tolong jujur, Pa. Mama hanya butuh kejujuran dari Papa."

"Kejujuran apa sih, Ma?"

"Mama sudah tahu semuanya, Pa. Mama hanya butuh Papa yang jujur."

Mas Wisnu kini bangkit dan bersimpuh di kakiku. Dan ini membuatku semakin hancur.

"Maaf Ma. Maafkan Papa. Papa khilaf," ucapnya disertai isakan.

Astaghfirullah, aku memegang dada yang terasa begitu nyeri.

"Sudah sejauh mana, Pa?"

Sejenak hening, sampai akhirnya Mas Wisnu berbicara.

"Kami sudah menikah."

Air mata tak dapat lagi kubendung. Mengalir begitu saja di kedua pelupuk.

"Sejak kapan?"

"Satu bulan ini, Ma."

Lemah sekujur tubuh mendengar kesaksiannya. Aku harus menunggu apa lagi?

"Kalau begitu, biarkan Mama yang mundur."

"Tidak Ma, tidak ada yang akan mundur. Tak ada sedikitpun cinta Papa berkurang untuk Mama, semua masih utuh. Papa sangat mencintai Mama, dan Papa mencintai Dita pada sudut hati Papa yang lain. Papa minta maaf karena tidak jujur, Papa hanya tidak ingin Mama terluka."

"Tapi andai Papa tahu, seperti ini Mama hancur, Pa. Dita adalah sahabat Mama. Karena dialah Mama ke kota ini. Tapi apa yang Mama dapat? Justru perselingkuhan Papa yang terkuak. Kenapa Papa tega sama Mama? Jika LDR menjadi alasan, bukankah Mama sudah pernah minta ikut tapi Papa melarang."

Mas Wisnu terdiam, dia mengecup kedua tanganku.

"Maafkan Papa, Ma."

Aku memejam mata, permintaan maafnya terasa amat sakit terdengar di telinga.

"Lalu kenapa, Pa? Apa Mama sudah tak cantik lagi di mata Papa?"

"Tidak Ma, bukan itu."

"Lalu apa, Pa?"

"Papa mencintainya dan Papa juga mencintai Mama. Kalian adalah dua wanita dengan kelebihan masing-masing. Papa mohon Mama bisa mengerti perasaan Papa ini."

"Tidak, Pa. Mama tidak bisa mengerti, banyak kok lelaki diluar sana yang bisa hanya dengan mencintai satu wanita. Jadi, kalau Papa mencintainya, maka tetaplah bersama dia. Mama mundur."

"Jangan Ma, Papa mohon. Kasihan anak-anak."

Tak sanggup mendengar lagi kata-kata Mas Wisnu, akhirnya kulepas kedua tangan lalu berjalan kembali ke kamar."

Kuhempas tubuh ini di atas ranjang, lalu menutup wajah dengan selimut. Air mata kini mengalir tanpa jeda. Lelaki yang sangat kupercaya, yang cinta untuknya tak pernah berubah semenjak ijab Qabul terucap, lelaki yang sudah memberiku tiga orang putra dan putri, kini telah membagi cintanya untuk wanita lain.

Sedih, marah, kecewa, semua kini menyatu dengan jiwa. Kemana harus kulabuhkan segala duka, jika yang menjadi cobaan adalah sumber kekuatanku selama ini.

Ya Allah ... Apa yang harus kulakukan?

Terdengar ranjang berderit, tanda Mas Wisnu kini naik ke atasnya.

"Mama ...."

Tangan lelaki itu merangkulku dari belakang.

Aku memindahkannya.

"Jangan sentuh Mama, Pa. Biarkan Mama sendiri."

Mas Wisnu menghela napas berat, kupikir dia sudah meluruskan tubuhnya. Entahlah, sebab aku tak sedikitpun membuka selimut yang menutupi seluruh tubuh.

Malam ini adalah malam terburuk sepanjang umur pernikahan kami. Dua belas tahun bersama, tak kutemukan satu cacat apapun padanya. Tapi kini, kesalahan terbesar ia lakukan.

Mungkin aku bisa memaafkannya. Tapi untuk berdamai, aku tak bisa.

"Ijinkan Papa poligami, Ma?" ucapnya lirih.

Aku menahan sesak di dada. Kubuka sedikit selimut lalu menjawab,

"Mama tidak pernah menentang syariat poligami. Tapi hingga detik ini, Mama belum mampu membagi cinta dengan wanita lain, Papa. Jika Papa mencintainya, maka mari kita berpisah

***

Bersambung

Komen (6)
goodnovel comment avatar
R0syadi Maulida
setuju,, gass kak
goodnovel comment avatar
Anggiria Dewi
baru 3 part udah banjir air mata ...
goodnovel comment avatar
Cornelia Titirloloby
lanjut kak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status