Share

Kemarahan Bapak Mertua.

"Apa yang kalian lakukan? Kenapa membuat keributan di rumah kami?" Bram dan ibunya terkejut, karena kedatangan Bandot yang langsung masuk ke rumahnya. Disaat dia dan ibunya sedang mempersiapkan sarapan.

"Kau tak usah banyak tanya, segera bereskan barang kalian dan segera keluar dari rumah ini. Karena aku sudah membelinya dengan harga mahal." Bram dan ibunya tertawa, mereka mengira kalau Bandot sedang bercanda. Mereka sampai terduduk, karena merasa lucu pada pria berperut buncit itu.

"Kau salah Bos, rumah yang kau beli milik ibuku. Tempatnya bukan di sini tapi di sebelah sana." Bram menunjuk ke arah rumah ibunya yang letaknya tak terlalu jauh. Namun Bandot seperti tak perduli, membuat Bram dan ibunya kesal padanya.

"Lagipula ini rumah tidak kami jual, Karena kami akan tinggal selamanya di sini," ujar Bram sinis.

"Siapa bilang kalian akan tinggal disini? Karena Amara sudah pergi. Maka aku ambil lagi rumah yang aku izinkan kalian tempati, apalagi sertifikat rumah ini juga masih namaku. Sejak lama Amara tak mau merubah kepemilikan rumah ini, jadi aku jual saja sekarang.

Silahkan keluar sekarang juga, ingat hanya membawa baju karena semua perabotan dibeli istriku dan anaknya." Bram dan ibunya terkejut, mereka baru sadar telah melupakan hal yang penting itu. Kini mereka harus kehilangan segalanya, kecerobohan membuat mereka resah.

"Pak tolong jangan begini. Kalau rumah ini di jual kami mau tinggal dimana? Sedang rumah ibu sudah kami jual, dan uangnya sudah kami bayarkan untuk pergi liburan." Mendengar ucapan Bram membuat Husin tertawa. Hal itu membuat Bram takut, dia takut mertuanya menjadi gila sama seperti anaknya.

"Lalu? Apa otakmu berpikir, kemana Amara pergi kalau dia tak pulang ke rumah orangtuanya? Bukannya mencari kau malah berniat liburan, sekarang segera tinggalkan rumah ini, karena Bandot akan mengunakan rumah ini untuk istri mudanya." Bram berlutut di kaki mertuanya. Dia berharap pria itu merasa kasihan, namun dia terkejut saat tangannya di tepis dengan kasar.

"Bandot, silahkan minta anak buahmu melempar orang-orang ini. Aku harus segera pergi, setelah mereka keluar dari rumahku."

Sekali lagi Bram dan ibunya terkejut. Saat beberapa orang pria berbadan besar masuk dan mulai melakukan perintah tuannya.

Mereka bahkan mengangkat tubuh adik-adiknya keluar dari kamar mereka. "Beres, hanya itu saja barang mereka. Jadi semua sudah selesai ya, sudah tak ada penghuni yang akan menyusahkanmu lagi."

Husin berbalik akan kembali pulang. Rencananya sudah selesai, sekarang saatnya mencari Amara, namun sebelum itu dia harus menjemput sang istri terlebih dahulu. "Kang Bandot sayang!"

Husin terkejut, dia segera minggir, ketika seorang wanita berpakaian kurang bahan berlari menuju ke arah Bandot. Dia yakin itu pasti janda idaman Bandot.

"Hai mas Bram, lihat kan aku bisa mendapatkan rumah ini. Sayang Amara sudah pergi, jadi dia tak bisa melihat rumahnya aku miliki."

Wanita itu tersenyum genit, sembari membelai wajah Bandot. Membuat Husin mual melihatnya, dia bersyukur anaknya tak seperti janda itu.

"Jadi ini ulahmu, dasar janda gatal. Kau tak bisa mendapatkan aku, lalu kau mengusir kami dari sini."

Mendengar ucapan menantunya. Husin baru paham kenapa wanita itu berkeras meminta mahar rumah ini, ternyata untuk balas dendam karena tak bisa memiliki Bram.

"Kalau begitu selamat menikmati rumah barumu. Aku rasa Amara tak akan keberatan kau membeli rumah ini, lagi pula dia tak akan kembali kemari setelah menceraikan suaminya." Bram terkejut mendengar ucapan mertuanya. Dia segera mengejar pria itu untuk meminta ampun, namun sebuah tendangan membuatnya terkapar di bawah kaki ibunya.

"Aku sudah bersabar dari tadi, tapi kau semakin bertingkah Bram. Sepertinya ini satu-satunya cara, untuk menghentikan kebodohanmu. Mulai sekarang diam dan tunggu surat cerai dari Amara, kalau punya uang silahkan cari pengacara untuk melawan, kalau tidak punya uang lebih baik kau pasrah saja."

Husin tersenyum, dia bahkan meludah ke tanah. Seakan jijik melihat pria yang menikahi anaknya, keluarga Bram tak ada yang bicara mereka seperti takut untuk melawan.

****

"Mau apa kau kemari, Bram? Bukankah kita sudah tak ada hubungan keluarga lagi. Apalagi sejak kau tak perduli meski istrimu pergi, aku akan mengurus perceraian kalian." Husin dan istrinya menatap Bram yang datang bersama ibunya. Kedua orang itu sampai, tepat di saat Husin dan istrinya akan pergi.

"Aku minta maaf pak, tolong jangan pisahkan aku dan Amara. Tunjukkan dimana bapak sembunyikan dia?"

Plak ... Plak ... Bug ....

Tamparan dan tendangan itu mendarat cantik di tubuh Bram. Emosi Husin tak terkendali, karena ucapan Bram membuat para tetangga yang kebetulan lewat berbisik-bisik.

"Bukannya sadar pada kesalahan. Kau justru datang berniat memfitnahku, dasar anak setan, kau dan ibumu itu sama-sama serakah. Jangan kau kira aku tak tau, kalau selama ini kau tak menafkahi Amara justru menguasai uang yang kami kirim untuknya," pekik husin penuh emosi.

"Tutup mulutmu, besan!"

Plak ... Plak ...

Ibu Bram terkejut setengah mati, saat merasakan perih di pipinya. Dia tak menyangka ibu Amara pelakunya. "Kami sudah cukup bersabar selama ini, Besan. Sekarang sudah cukup, kalau Amara tak bertindak maka kami yang akan bergerak. Kau pikir bisa selamanya menyembunyikan kekejaman kalian pada Amara, Kami punya cukup bukti untuk menjebloskan kalian ke penjara."

Bram dan ibunya saling pandang, mereka tak tau apa yang di ucapkan oleh bapak Amara.

"Kau boleh pura-pura bodoh, Bram. Tapi ingat selama kalian menikah, aku selalu mengirim Dua juta setiap bulan. Kami juga tau kemana larinya uang itu, saatnya kau masuk penjara karena memeras anakku."

Bram terkejut, dia tak menyangka Husin tau. Kalau sebenarnya uang kiriman mereka di gunakan untuk bulanan ibu dan kedua adiknya. Parahnya lagi semua tercatat di pembukuan bank Amara, karena transaksi melalui transfer bank. "Setiap bulan Amara mengirim uang untuk ibu dan kedua adikmu. Tepat setelah kami mengirim uang padanya."

Ibu Bram terkejut. Dia juga menatap anaknya seolah tak percaya, tapi dia harus membela Bram dari penghinaan mertuanya. "Memang salah kami dimana? Kalau Amara membantu suaminya berbakti pada ibunya. Kalian harus senang, karena Bram berhasil mendidik Amara, untuk berbakti pada mertuanya."

Husin dan istrinya mengepalkan tangan. Mereka mencoba menahan emosinya, besan mereka berkeras kalau perbuatan Bram sudah benar. "Baiklah kalau begitu kita bertemu di pengadilan. Aku akan melaporkan perbuatan kalian, karena menyiksa batin menantumu. Selain tak memberi nafkah dengan layak, anakmu bahkan merampas hak Amara yang diberi orangtuanya."

Husin dan istrinya bergegas hendak pergi. Membuat Bram ketakutan, dia segera memeluk kaki mertuanya dan meminta ampun. "Terlambat Bram, kau sudah mengecewakan kami sebagai orangtua Amara. Bukannya bahagia yang kau beri, justru kau buat anakku depresi dan hampir mati di jalanan."

Bram terkejut, dia tak menyangka mendengar ucapan mengerikan itu dari mulut mertuanya. "Pak tolong, aku ingin bertemu dengan Amara. Dimana dia bersembunyi?"

Bug ....

Sekali lagi sebuah tendangan mengenai perut Bram. Membuat pria itu tersungkur di tanah. "Kau tak akan lepas dari kami, Bram. Kecuali kau kembalikan semua uang yang kau ambil dari Amara, mungkin kami bisa membatalkan laporan pada polisi."

Husin bicara sembari menatap wajah Bram yang terlihat kesakitan. Para warga segera pergi, setelah melihat Husin dan istrinya pergi mengunakan sebuah mobil.

"Kita harus bagaimana, Bram? Ibu tak mau ada anak ibu yang masuk penjara." Bram terkejut, dia menatap ibunya. Bisa-bisanya wanita itu berusaha lepas tangan, setelah apa yang mereka lakukan.

"Aku juga tak mau itu terjadi Bu. Jika harus masuk penjara maka ibu juga harus ikut serta, karena semua ini atas permintaan ibu. Aku terlalu bodoh menuruti semua permintaan ibu, meski tau itu menyakiti Amara." Bram berusaha bangun meski sakit di perut masih begitu terasa. Dia harus mencegah, agar mertuanya tak melaporkan dia ke polisi.

"Jadi kau menyesal membelikan motor adikmu, dan membayar uang sekolah mereka berdua. Kau juga tak ikhlas menafkahi keduanya yang masih menjadi tanggunganmu," pekik ibu Bram.

"Aku bukan tak ikhlas Bu, tapi bukan berarti harus merampas juga uang Amara. Sudah tak aku nafkahi dengan benar, masih juga merampas kiriman bapaknya. Sekarang dia pergi dengan luka di hatinya, pantas dia berubah drastis sebelum pergi." Bram memotong ucapan ibunya. Dia baru sadar telah melukai hati Amara, dia juga baru paham sekarang, kenapa wanita pendiam itu menjadi bringas dan brutal sebelum pergi.

"Dimana kau berada saat ini, Ara?" desis Bram lirih.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status