Share

Di Serang Warga Lama.

Author: Winarsih_wina
last update Last Updated: 2024-01-18 22:35:22

"Kau mau kemana, Bram? Tunggu ibu, apa kau yakin menyewa rumah kecil ini?"

Bram berhenti dan menatap ibunya. Dia sangat kesal dengan keegoisan keluarganya, mereka masih tak sadar, kalau sedang dalam masalah besar saat ini.

"Ibu tau, kita tak jadi pergi liburan dan semuanya hangus begitu saja. Uang penjualan rumah hanya tersisa sedikit lagi. Aku harus membuat bapak Amara tak jadi melaporkan kita ke polisi."

Bram melangkah pergi. Dia harus segera bertindak, jika tak mau masuk penjara. Satu-satunya cara hanya dengan mengembalikan uang Amara.

"50 juta sudah aku transfer ke rekening Amara. Semoga bapak mau mengurungkan niatnya untuk melapor ke polisi," ujarnya pelan.

"Memangnya kau yakin, dengan mengembalikan uang itu, mertuamu tak akan melanjutkan laporan ke kantor polisi, Bram?"

Rudi, teman kerja yang dia minta untuk menemaninya ke bank untuk setor tunai. Bertanya seolah tak pasti, kalau laporan akan diurungkan setelah menerima uang dari sahabatnya.

"Aku hanya bisa berharap mertuaku tak ingkar janji, apalagi aku sudah tambahkan dua juta sebagai bunga."

Bram benar-benar tak tau diri. Dia pikir semua beres setelah dia mengembalikan uang kiriman mertuanya dan menambahkan dua juta. Tanpa mengingat keadaan istrinya yang sekarang menghilang.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Bram? Malam itu aku bertemu dengan Amara, tapi dia kabur begitu melihatku."

Bram terkejut lalu menatap Rudi. Dia heran kenapa pria itu baru bicara sekarang.

"Kapan kau bertemu dengan Amara? Kenapa kau baru bicara sekarang, saat aku kehilangan dirinya?"

Bukannya menjawab Rudi justru tertawa. Dia seolah mengejek ucapan Bram barusan.

"Untuk apa aku bicara padamu? Pertama karena kau tak bertanya, kedua keadaan Amara begitu berantakan. Saat aku temui kau di rumahmu, ternyata aku dengar kau baru duel dengannya jadi buat apa aku bilang."

Rudi tertawa, lalu melangkah menuju ke motornya. Dia menunggu Bram naik, baru mereka meninggalkan bank.

"Kalau masih ada uang jangan di bawa kemana-mana, Bram. Bagus kau simpan di bank saja."

Mendengar ucapan Rudi, Bram tertawa sedih. Apa yang mau di simpan kalau uangnya semua sudah habis. Tersisa tiga juta saja untuk bertahan hingga akhir bulan.

"Apa kau bilang, Bram? Uang penjualan rumah tersisa tiga juta. Bukankah seharusnya masih ada sekitar 55 juta lagi. Kemana sisanya kau buat?"

Bram menarik napas saat mendengar teriakan ibunya. Dia terpaksa menjelaskan kemana perginya uang itu.

"Kau kirim ke rekening Amara sebanyak 50 juta. Apa kau sudah gila, Bram? Itu uang penjualan rumah ibu."

Brak ....

Bram mengebrak meja. Dia sangat kesal mendengar teriakan ibunya, wanita itu seolah tak ingat ancaman bapak Amara, kalau akan melaporkan mereka jika tak mengembalikan uang anaknya.

"Seharusnya kau jangan bodoh, Bram. Uang Amara kan uangmu juga, mana bisa dijadikan bukti untuk melaporkan kita."

Bram menarik napas sekali lagi. Dia tak perduli ucapan ibunya yang penting sekarang dia merasa aman dulu. "Sekarang cari istrimu itu. Ibu mau uang kita kembali, enak saja dia mau menikmati uang penjualan rumah ibu."

Brak ... Brak ...

Sebelum Bram menjawab ucapan ibunya. Mereka dikejutkan dengan gedoran di depan pintu rumah, membuat Bram dan ibunya melompat karena kaget. Mereka segera bergegas keluar untuk melihat apa yang terjadi.

"Rumah kontrakan ini satu dinding, apa tak bisa kalian bicara pelan sedikit. Pusing aku dengar suara kalian setiap hari tak kenal waktu, teriak-teriak meski bicara berhadapan."

Bram dan ibunya terdiam, saat melihat seorang pria berkepala botak. Kedua pelipisnya di tempeli koyok, sepertinya dia sedang sakit kepala.

"Memangnya kenapa kalau kami bicara keras-keras? Ini hak kami karena sudah bayar sewa selama setahun, jadi jangan sok karena kita sama-sama pengontrak di sini."

Bram terkejut karena mendengar ibunya melawan. Sudah jelas mereka yang salah karena membuat keributan. "Bu, tolong kecilkan suara, mereka terganggu karena kita. Tolong jangan membuat kita susah lagi."

Bram berusaha menenangkan ibunya, tapi wanita itu semakin berteriak, seolah tak terima karena pria botak itu. "Sudah Jono, kau masuk saja, biar ibu yang menghadapi wanita tak tau adab ini. Kami sudah sabar sejak kalian datang, tapi semakin lama kok semakin ngelunjak."

Seorang wanita tampak berjalan menghampiri. Dia jelas emosi saat mendengar ucapan ibu Bram yang tak mau mengalah meski tau salah. "Sini kau perempuan kurang ajar, aku lawanmu sekarang."

Wanita itu menghampiri ibu Bram dan menghajarnya. Semua orang terkejut, namun segera menarik tubuh kedua wanita yang sudah bergelut seperti sumo itu. "Bram tolong, lepaskan wanita gila ini. Kepala ibu sakit ini!"

Mendengar teriakan ibunya Bram yang terdengar kesakitan. Membuat wanita yang menyerangnya semakin senang. "Rasakan perempuan sombong, dibilangi baik-baik gak mau dengar," ujarnya ketus.

"Cukup Mak Romlah. Kau bisa membuatnya botak kalau begitu." Mendengar suara seorang pria yang dia kenali. Mak Romlah segera melepaskan ibu Bram.

"Apa kalian tak punya malu, ribut sama tetangga sendiri? Apa perlu aku datang kemari daripada kalian bicara baik-baik?" Pria itu terlihat kesal, karena harus datang jauh-jauh untuk melihat warganya bertengkar. "Warga baru ini yang berulah. Dia tak mau dengar kalau suaranya menganggu orang lain.

"Jono baru pulang jaga malam. Dia sakit kepala sejak pagi, tapi kedua orang ini bicara tak bisa pelan. Suaranya sampai tembus ke rumah kami semua, lihat anak Siti juga tak bisa tenang di dalam rumahnya."

Semua orang melihat kearah wanita yang mengendong seorang bayi. Terlihat sekali dia lelah, karena mengendong anaknya sejak tadi pagi. "Anak saya sedang rewel pak RT. Sedangkan mereka terus saja berteriak, membuat bayiku tak bisa tidur."

Siti berkata dengan nada pelan. Dia merasa tak enak dengan Bram dan ibunya. "Dengar kan betapa menyusahkan mereka. Sudah tinggal di tengah tak bisa pelan kalau bicara, apa anak lelakinya tuli, sampai harus teriak kalau bicara. Satu lagi, kedua anak gadisnya kerja atau kuliah? Kenapa selalu pulang larut malam, jangan sampai mereka bikin malu wilayah kita."

Bram terkejut karena wanita ini mulai membawa-bawa kedua adiknya. Dia mulai kesal, karena nada bicaranya seolah kedua adiknya bukan gadis baik-baik. "Tolong, kalau bicara di jaga, Bu. Jangan karena saya diam, terus anda merembet kemana-mana. Kedua adikku ada urusan, memangnya kenapa kalau pulang malam?"

Mendengar ucapan Bram yang terlihat kesal. Pak RT segera menengahi pertengkaran mereka semua. "Sudah-sudah mau sampai kapan kalian ribut? Apa perlu saya usir kalian semua dari sini?"

Kali ini pak RT berkata dengan nada keras. Dia tak mau warganya bertengkar seperti ini, dia merasa wilayahnya tak akan tenang, jika ada yang memulai keributan. "Selama ini wilayah ku tenang dan aman saja. Aku tak mau karena kedatangan kalian memancing keributan, aku bisa saja mengusir siapa saja biang keroknya, jadi tolong kerjasamanya untuk membuat tempat ini aman dan tenang."

Mendengar ucapan pak RT semua orang terdiam. Mereka takut dan segan pada pria yang telah banyak membantu mereka selama ini.

"Sudah, kita selesaikan sampai disini. Kalau ada yang tak senang, silahkan pergi dari tempat ini." Pak RT menatap ibu Bram yang terlihat bersungut-sungut. Wanita itu seolah tak perduli, dengan pria yang masih berada di depan rumahnya.

"Apa ibu mau pergi dari kampung ini? Atau berdamai dengan warga lama? Sebagai warga baru, seharusnya berbuat baik bukan seperti ini bersikap." Ibu Bram tak menjawab, dia memilih masuk ke dalam rumah. Dia merasa pak RT tak bersikap adil hanya karena mereka warga baru.

"Ayo masuk Bram, kita belum selesai bicara. Heran ada aja gangguan dari kemarin." Siti menunduk karena dia merasa gangguan itu adalah dia, karena anaknya rewel sejak kemarin, akibat imunisasi jadi agak demam.

"Silahkan masuk rumah mbak Siti, kasihan adik Shifa di luar dari tadi." Siti segera masuk ke rumah. Dia merasa tenang karena bisa istirahat sebentar, kalau anaknya mau tidur.

"Saya minta maaf, kalau telah menganggu warga sini pak. Saya akan meminta ibu bicara pelan-pelan mulai sekarang." Bram segera meminta maaf, dia tak mau urusan semakin panjang. Karena tak mau harus cari kontrakan baru dan pindah lagi.

"Baiklah kalau begitu, tolong bersikap baik pada tetangga. Mereka tak akan membantu, kalau kita ada masalah." Bram mengangguk, dia segera masuk ke rumah, setelah melihat pak RT meninggalkan halaman rumahnya. Tak lama kedua adiknya pulang dengan wajah kesal.

"Tolong kalau bicara pelan- pelan. Kalau tidak kita pasti akan di usir dari sini, kalau masih saja teriak kalau bicara." Bram segera mengingatkan, karena kedua adiknya terlihat kesal. Dia tau keduanya pasti akan marah-marah seperti biasanya. "Tapi masalah apa yang membuat mereka kesal," tanya Bram dalam hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Istriku Berkata Lelah.   Berani Menyentuh Keluargaku Rasakan Akibatnya..

    Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan

  • Setelah Istriku Berkata Lelah.   pembalasan Ikhram.

    Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan

  • Setelah Istriku Berkata Lelah.   Hampir Celaka.

    Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan

  • Setelah Istriku Berkata Lelah.   Dijadikan Pion melawan Ikhram.

    Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d

  • Setelah Istriku Berkata Lelah.   Tidak Belajar Dari Pengalaman.

    Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani

  • Setelah Istriku Berkata Lelah.   Ikhram Melihat Kebusukan Ibunya.

    Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status