Bram berlari dan segera berlutut, dia tau pria ini pasti merasakan sakit yang luar biasa, karena putrinya menderita di bawah perlindungannya."Maafkan Bram, Pak. Tolong beritahu di mana Amara berada, aku mau minta maaf." Bram menangis membuat Husin meludah ke tanah. Dia muak melihat tingkah Bram, seolah pria itu tengah bersandiwara di hadapannya."Sudah cukup Bram, semoga kau bisa memperbaiki diri meski tanpa Amara. Lepaskan dia, kalau memang kau mencintainya." Bram masih berlutut sambil menangis. Namun Husin tak mau tau lagi, dia tadi datang untuk melihat kehancuran menantunya, kini dia bisa melangkah dengan tenang, setelah melihat kedua pria itu saling menghancurkan."Dendam sudah terbalaskan, sekarang kita tinggal menunggu kehancuran Bram dan keluarganya. Mereka tak boleh hidup tenang setelah membuat Amara menderita." Husin menatap ikhram yang sedang mengemudikan mobil. Pria itu tersenyum seolah ikut senang setelah mengetahui yang terjadi pada Bram."Benar, ini pasti jadi berita ba
"Disini rupanya kau bersembunyi, Ara? Pantas berkeras minta cerai setelah kabur dari rumah, rupanya kau sudah dihidupi pria kaya dasar lont*."Plak ....Ibu Bram terkejut, saat merasakan pipinya terasa perih, setelah menerima tamparan dari Amara. Wanita itu menatap mantan menantunya yang dua bulan lalu baru ketuk palu. "Berani kau menamparku dasar murahan. Kau tinggalkan suami mu demi hidup mewah dengan pria kaya."Wanita itu kembali bicara menghina Amara. Dia tampak senang, saat beberapa orang warga datang karena ingin tau masalahnya."Ada apa ini Jeng? Apa kau kenal wanita ini?"Mendengar pertanyaan itu membuat ibu Bram tersenyum senang. Dia pasti akan membuat malu Amara yang telah menyengsarakan hidup Bram. "Tentu saja aku kenal, dia mantan menantuku yang pergi dari rumah, lalu menggugat cerai suaminya. Anakku yang malang terus mencari, sedang wanita ini hidup nyaman menjadi simpanan orang kaya."Amara mengepalkan tangannya, karena warga mulai berkomentar buruk padanya. Mantan mert
Bram terkejut saat seseorang memukul pagar tepat di depannya. Dia melotot saat melihat satpam berbadan tegap, menatapnya dengan pandangan curiga. "Mau apa kau menatap rumah ini? Mau melihat kondisinya untuk kau rampok, iya?"Bram mengelus dadanya karena terkejut. Untung dia tak punya penyakit jantung, kalau tidak mungkin sekarang dia sudah menjadi mayat, karena terkejut atas perbuatan satpam itu.."Dasar tidak punya otak. Kau hanya kacung, harusnya bersikap sopan pada tamu. Aku mau bertemu Amara, beritahu dia Bram ingin bertemu. Kalau perlu suruh keluar juga pria yang memelihara pelac** itu."Trang ...Trang ....Bram menutup kupingnya, saat satpam itu dengan beringas memukuli pagar dengan tongkat yang dia pegang. Bram berteriak, meminta pria itu untuk berhenti memukuli pagar. "Hentikan Beno? Kau menganggu ketenangan warga kampung. Untuk apa kau lakukan itu?"Amara bersama kedua orangtuanya keluar menemui satpam. Mereka melihat apa yang membuat Beno melotot keluar pagar."Kau?"Bram m
"Bram, bangunlah jangan membuat ibu takut," panggil ibu Bram lirih di telinga Bram yang tidak sadarkan diri.Bram membuka mata perlahan, dia melihat ibunya menangis di samping tempat tidur. Dia berusaha mengerakkan tubuhnya, tapi terasa aneh karena kakinya seolah tak bergerak. "Kenapa kakiku tak bisa bergerak, Bu?"Bram mulai menyingkap selimut yang menutup tubuhnya. Sesaat kemudian napasnya terasa tersekat di tenggorokan, bagaimana tidak, dia melihat kakinya sudah tinggal satu. "Apa yang terjadi? Kenapa kakiku tinggal satu?"Bram mulai menangis, tak lama dia berteriak seperti orang gila. Dia tak menyangka akan menjadi orang cacat. Sekarang dia tak punya kesempatan, untuk bersaing dengan kedua pria yang mendekati Amara. "Sudahlah Bram, terima saja nasibmu. Sekarang cobalah untuk melupakan Amara, ibu tak mau kau memikirkan wanita itu lagi." Kata-kata ibunya membuat Bram murka. Dia merasa ibunya tak punya perasaan, di saat dia terpuruk begini, bukan membuat tenang justru membuatnya sem
Bab 19B (kebodohan ibu Bram)"Amara keluar! Buka pintu!" Ibu Bram berteriak di depan rumah Ikhram yang di tempati Amara. Banyak warga yang melihat wanita yang bertingkah seperti orang gila itu, tapi tak ada yang datang untuk menegurnya, mereka ingin tau apa yang hendak wanita itu lakukan lagi kali ini.Amara segera keluar begitu mendengar teriakan mantan ibu mertuanya. Entah mau apa lagi wanita itu datang ke rumahnya, kadang dia menyesal telah meminta Ikhram menarik laporannya di kantor polisi, kalau ternyata Bram dan ibunya tidak berubah sama sekali."Mau apa lagi kau kemari? Belum puas mendekam di penjara. Bukannya menjaga anak yang sedang terbaring di rumah sakit, kau justru mulai cari gara-gara."Ibu Bram seolah tak perduli pada ucapan bapak Amara. Dia tetap berteriak memanggil mantan menantunya. "Heran gak ada kapoknya, baru semalam anaknya kecelakaan. Sekarang ibunya bikin ulah gak ada jeranya."Terdengar suara para tetangga yang melihat, karena suara ibu Bram begitu keras. Meli
Manda baru saja akan merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Namun dia terkejut saat mendengar teriakan ibunya, meski malas dia bergegas juga keluar, karena takut terjadi sesuatu pada ibunya saat tidak ada orang di rumah. "Itu tidak mungkin, kalian pasti salah."Manda mendekati ibunya yang tengah menerima telpon entah dari siapa. Namun dia heran karena sang ibu terlihat panik, akhirnya dia bertanya karena penasaran. "Ada apa Bu? Siapa yang baru menghubungi nomor ibu?"Bukannya menjawab sang ibu justru menangis makin keras, hal itu membuat Manda makin pusing dan sakit kepala. "Bu, tolong jangan menangis lagi. Cepat katakan apa yang terjadi?" tanya Manda dengan nada tinggi."Mbakmu Manda, dia ditangkap warga, saat berbuat mesum di rumah pacarnya," jawab ibu Bram lirih. Amanda terkejut, dia tak menyangka kakaknya bisa sebebas itu. Apalagi sampai di tangkap warga."Apa yang harus kita lakukan Manda? Dia masih SMA, mana mungkin kita nikahkan." Manda menarik napas panjang, dia juga tak tau har
Iya, sudah sana berisik amat sih. Nanti pulang cepat, bisa bantu jaga Bram. Ibu mau istirahat capek tau." Mendengar permintaan ibunya Manda terlihat kesal. Sebenarnya dia tak mau terbebani dengan Bram, tapi mau bagaimana lagi pria itu saudara kandungnya."Desi bangun bantu ibu masak, jangan mengurung diri terus di kamar! Setelah Manda pergi, kini ibu Bram berteriak pada anak satunya lagi. Dia heran sejak pulang tadi, Desi langsung mengurung diri di kamar."Kenapa kau menangis? Jangan bilang kalau kau jatuh cinta pada pria tak berguna itu?" Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Desi justru menarik selimut dan menutupi seluruh tubuhnya."Bagaimana kalau Desi hamil Bu? Mana mungkin dia mau tangung jawab, setelah ibu hajar habis-habisan." Mendengar ucapan Desi sang ibu tampak terdiam. Dia kesal mendengar ucapan anaknya."Makanya lain kali gunakan otakmu itu, Des. Kalau begini kau yang rugi kan, lihat sampai sekarang pria itu tak ada menghubungimu." Desi bergerak cepat menyingkap selimutnya
Bram menatap kedua mempelai yang duduk dihadapannya. Ada rasa sakit luar biasa, melihat resepsi pernikahan adiknya yang terlihat sangat sederhana. Jauh lebih sederhana dari pernikahan yang dia berikan pada Amara."Tidak usah kau sesali lagi Bram. Sekarang kau sudah terlepas, satu tanggungjawab pada adikmu. Masih ada Manda yang bisa kau buat untuk menebus kesalahanmu, kelak beri dia pernikahan paling mewah," pinta ibunya.Bram menarik napas panjang, mendengar ucapan ibunya. Jangankan memikirkan pernikahan Manda, untuk masa depannya saja dia masih belum tau lagi. "Carilah kerja, Bram. Agar kita bisa bilang pada Amara dan orangtuanya, kalau kita baik-baik saja tanpa mereka."Kembali Bram menarik napas. Mengedarkan pandangan ke seluruh tempat, tak terlihat Amara dan keluarganya, meski dia sudah mengundang mereka semua. "Bahkan mereka tak sudi datang, Bu. Padahal aku sendiri yang mengantar undangan."Bram terlihat sedih, sebenarnya dia berniat membuat Amara iba atau kasihan. Sehingga mau k