Pagi itu, hujan turun rintik-rintik di luar jendela apartemen kecil Dinda dan Rayhan. Aroma kopi memenuhi ruangan, sementara suara berita pagi mengalun pelan dari televisi. Dinda duduk di sofa, menatap laptopnya yang terbuka, namun matanya kosong. Bukan karena pekerjaannya membosankan, tapi pikirannya sibuk dengan percakapan semalam.Rayhan masih di kamar, menyelesaikan sesi meeting online. Tapi bahkan dari kejauhan, Dinda bisa merasakan ada yang berbeda. Sejak Rayhan mendapatkan tawaran kerja ke luar kota, hubungan mereka terasa seperti menggantung di udara. Ada percakapan yang tertunda, ada keputusan yang menunggu di ujung diam.“Din,” suara Rayhan terdengar saat ia melangkah ke ruang tengah. Rambutnya sedikit acak-acakan, namun sorot matanya tajam.“Udah selesai?” tanya Dinda, berusaha tersenyum meski dagunya sedikit bergetar.Rayhan mengangguk. Ia duduk di samping Dinda, menatap wajah istrinya yang tampak lelah.“Aku mau ngomongin soal tawaran itu,” ucapnya akhirnya.Dinda memalin
Panggung kecil itu berdiri sederhana di sudut ruangan co-working space. Beberapa kursi sudah terisi. Di barisan depan, terlihat wajah-wajah yang Dinda kenal—teman penulis, dua sahabat lamanya dari komunitas baca, dan tentu saja, Rayhan yang duduk paling kanan dengan mata berbinar penuh semangat.Dinda menggenggam kertas catatan di tangannya. Jantungnya berdetak cepat, tapi tidak sekuat dulu saat ia masih diliputi rasa takut akan penolakan. Kini, yang ia rasakan lebih seperti gelombang hangat—tegang, tapi tenang.“Selamat datang,” ucap pembawa acara dari depan, “Hari ini, kita akan mendengar cerita dari seseorang yang menuliskan luka dan menjadikannya jembatan bagi orang lain untuk pulih.”Tepuk tangan menggema. Dinda berdiri. Melangkah pelan ke mikrofon. Di hadapannya, mata-mata yang menanti bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami.“Hai,” sapa Dinda lembut. “Namaku Dinda. Dan seperti banyak dari kalian di sini… aku pernah patah.”Beberapa orang tersenyum kecil. Ada yang mulai meng
Dinda sedang duduk di ayunan taman belakang rumah saat suara Rayhan terdengar dari dapur, “Kamu mau teh atau kopi sore ini?”“Teh aja,” jawab Dinda, tangannya masih sibuk memegang buku catatan kecil yang ujung-ujungnya mulai lusuh. Buku itu sudah bersamanya sejak masa-masa tergelap, dan kini kembali dibuka — bukan karena luka, tapi karena rindu akan perjalanan panjang yang telah dilewati.Beberapa halaman pertama masih penuh dengan coretan marah, patah hati, hingga tangisan diam-diam. Tapi halaman-halaman terakhir justru lembut: berisi puisi pendek, kutipan film, dan catatan kecil tentang hari-hari bersama Rayhan.Rayhan datang dengan dua cangkir teh. Ia duduk di kursi taman, menatap istrinya dengan senyum tenang.“Kamu kelihatan nostalgia,” katanya.Dinda tersenyum samar. “Iya. Aku lagi baca catatan waktu aku masih belajar berdiri sendiri lagi.”Rayhan melirik buku kecil itu. “Ada satu bagian yang belum pernah kamu ceritain ke aku. Tentang malam terakhir kamu di rumah sakit… malam wa
Dinda menatap layar laptopnya yang menampilkan naskah setengah jadi. Jari-jarinya menari pelan di atas keyboard, tapi pikirannya tak sepenuhnya ada di sana. Ia sedang mencari kata yang tepat — bukan hanya untuk menyelesaikan kalimat terakhir di bab novel barunya, tapi juga untuk mengungkapkan isi hatinya yang terus meluap sejak malam pertemuan dengan Nadya.Di sudut ruang kerja kecil itu, Rayhan muncul sambil membawa dua gelas susu hangat. “Kamu nulis apa sampai nggak kedip begitu?”Dinda tersenyum dan memutar kursi ke arahnya. “Akhir cerita.”“Cerita kamu atau ceritanya tokoh fiksi yang diam-diam kamu titipin bagian hidupmu di sana?”Dinda tertawa pelan. “Keduanya.”Rayhan duduk di sebelahnya, menatap layar yang menampilkan kutipan terakhir:“…Dan dia belajar, bahwa cinta yang tidak datang dengan luka, bukan berarti tak dalam. Terkadang, cinta yang datang setelah kehilangan, justru membawa keberanian untuk mulai dari awal.”“Bagus,” ucap Rayhan pelan.Dinda memandangnya. “Menurutmu,
Minggu pagi di rumah kontrakan kecil mereka terasa lebih ramai dari biasanya. Dinda berdiri di dapur dengan celemek bermotif lemon, sementara Rayhan sibuk mengatur daftar belanja mingguan lewat ponselnya.“Aku nggak ngerti kenapa kamu selalu nulis ‘cabe rawit 10 biji’ padahal yang kita beli selalu lebih dari itu,” celetuk Rayhan sambil tertawa kecil.Dinda menoleh sambil membalik dadar telur. “Itu kode. Maksudnya, beli secukupnya. Tapi kamu selalu panik dan beli satu plastik penuh.”“Insting bertahan hidup,” jawab Rayhan sok serius. “Kalau suatu hari kamu marah dan butuh bahan buat sambal, aku udah siap.”Tawa mereka menggema di ruang kecil itu, hangat. Tapi di sela riuh kecil itu, ada sesuatu yang mengganggu hati Dinda—sebuah pesan dari seseorang yang sudah lama tak muncul.Malam sebelumnya, Dinda menerima pesan singkat dari adik Arsen: Nadya. Isinya sederhana:“Mbak, boleh nggak kita ketemu? Ada hal yang harus aku kasih tau soal malam terakhir Kak Arsen.”Dinda belum membalas. Bahka
Dinda menyalakan kompor kecil di dapur mungil apartemen mereka. Aromanya menguar perlahan — bau tumis bawang putih dan cabai rawit, khas sarapan ala rumah. Di luar jendela, Jakarta baru mulai menggeliat. Tapi di dalam, pagi sudah penuh warna.Rayhan keluar dari kamar sambil mengucek mata. Rambutnya masih acak-acakan, dan kausnya kusut, tapi senyumnya langsung muncul begitu melihat punggung Dinda di dapur.“Aku suka banget bangun dengan bau masakan kamu,” gumamnya, lalu memeluk Dinda dari belakang.“Bukan karena masakannya enak, tapi karena kamu lapar,” Dinda menggoda, tapi wajahnya bersemu saat Rayhan mengecup pipinya pelan.Mereka sarapan berdua di meja kecil dekat jendela. Obrolan pagi mereka ringan — tentang klien kantor Rayhan yang sempat salah kirim dokumen, dan kelas menulis Dinda yang minggu ini mulai mengulas tema ‘puisi dari luka’. Tapi dari sorot mata mereka, semuanya terasa penuh — tak ada yang sia-sia, tak ada yang sekadar basa-basi.Sesudah sarapan, Rayhan bergegas bersia