Sesampainya di rumah, Rayhan buru-buru membuka pintu mobil lalu mengangkat si kecil yang masih setengah terlelap. Dinda mengikuti dari belakang, membawa tas kecil berisi perlengkapan bayi yang isinya seakan lebih banyak dari barang mereka sendiri.Begitu masuk, suasana rumah terasa tenang. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Rayhan menaruh si kecil di kasur kecil di ruang tengah, sementara Dinda menyiapkan susu hangat.“Nih, biar dia tidur lebih nyenyak,” kata Dinda sambil menyerahkan botol susu ke Rayhan.Rayhan duduk di samping anaknya, perlahan menyodorkan botol itu ke mulut mungil yang langsung refleks menghisap. Senyum kecil muncul di wajah Rayhan. “Din, tiap kali aku lihat dia minum susu gini, rasanya semua capek hilang.”Dinda menatap mereka dengan mata berbinar. “Aku juga ngerasa gitu, Han. Meski sehari penuh rasanya chaos, tapi tiap malam kayak gini… ada rasa tenang.”Setelah selesai minum, si kecil tertidur pulas lagi. Rayhan dan Dinda saling bertukar pandang, lalu
Sore itu, setelah puas bermain air mancur, Dinda dan Rayhan akhirnya memutuskan untuk pulang. Si kecil sudah diganti baju hangat dan tampak nyaman dalam gendongan Dinda.“Din, tadi kita bawain baju ganti dua set, tapi ternyata semua kepake. Untung aja aku kepikiran bawa lebih,” kata Rayhan sambil tertawa kecil.Dinda menoleh dengan wajah geli. “Iya, Han. Kalau sama anak kecil, yang nggak kepikiran tuh malah sering kejadian. Makanya aku siapin ekstra.”Rayhan mengangguk setuju, lalu berjalan menuju tempat parkir sambil menenteng tas bayi yang terlihat makin penuh. Si kecil, yang awalnya semangat main air, kini terlihat lelah. Matanya sayup-sayup, tapi sesekali masih menatap keluar, mengamati keramaian.“Han, lihat deh… dia kayaknya lagi ngelamunin sesuatu,” ujar Dinda sambil mengusap lembut kepala anaknya.Rayhan melirik ke arah si kecil, lalu tersenyum. “Mungkin dia lagi replay di kepalanya gimana serunya main air tadi. Si kecil aja udah bisa punya memori bahagia.”Dalam perjalanan pu
Si kecil yang tadinya asyik bermain bunga, tiba-tiba kembali menatap air mancur dengan penuh semangat. Kedua tangannya terentang, kakinya menendang-nendang kecil sambil mengoceh riang.“Han, sepertinya dia bener-bener kepengin main air itu,” ujar Dinda sambil terkekeh.Rayhan menatap wajah penuh antusias anaknya, lalu tersenyum pasrah. “Oke deh, ayo kita dekatin. Tapi kita harus awasi dia ketat.”Mereka bertiga pun berjalan mendekat ke air mancur. Si kecil tampak semakin bersemangat, tubuh mungilnya berusaha condong ke depan, seakan tak sabar untuk menyentuh percikan air.Begitu sampai, Rayhan mengangkat anaknya tinggi-tinggi, lalu mendekatkan tangannya ke percikan air yang jatuh. Tetesan-tetesan kecil mengenai kulit mungilnya, membuat bayi itu terbahak dengan tawa renyah.“Ya ampun, Han! Liat deh! Dia ketawa sampai matanya nyipit begitu,” kata Dinda sambil menutup mulutnya menahan tawa haru.Rayhan ikut tertawa. “Dia kayak nemu dunia baru. Nih, Nak… rasain lagi airnya!”Setiap kali p
Pagi itu, udara segar menyapa rumah kecil mereka. Dinda sedang menyiapkan tas berisi bekal ringan, popok, dan selimut kecil. Rayhan sibuk memastikan stroller dan topi si kecil siap dibawa.“Nak, hari ini kita bakal jalan-jalan ke taman pertama kalinya, lho!” kata Dinda sambil menepuk lembut pipi bayi mereka.Si kecil tampak penasaran, matanya berbinar-binar saat melihat tas dan stroller yang siap digerakkan. Sesekali ia menepuk tangan kecilnya, seakan ikut bersemangat.Rayhan tersenyum, menatap istrinya. “Din, ini pasti bakal jadi momen yang nggak bakal kita lupa. Petualangan pertama si kecil di luar rumah.”Dinda mengangguk, matanya berbinar penuh antisipasi. “Iya, Han. Semoga dia enjoy. Aku penasaran dia bakal bereaksi kayak apa.”Setelah semua siap, mereka bertiga keluar rumah. Suara langkah kaki mereka di trotoar membuat si kecil tampak makin bersemangat. Sesekali ia menepuk stroller atau mencoba meraih daun-daun yang bergoyang tertiup angin.Sesampainya di taman, Dinda memilih te
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela ruang tamu, membawa kehangatan yang lembut. Dinda baru saja selesai menyapu lantai ketika terdengar suara tawa kecil yang khas—tawa anaknya yang sedang bersemangat.Rayhan yang duduk di sofa sambil membaca koran menoleh, dan pandangannya langsung jatuh pada si kecil yang tengah sibuk merangkak cepat ke arah lemari televisi.“Din! Lihat deh, calon penjelajah kecil kita mulai beraksi lagi,” ucap Rayhan sambil menahan tawa.Dinda spontan menoleh, dan benar saja, si kecil sudah membuka salah satu pintu lemari kecil. Tangannya yang mungil mulai mengobrak-abrik isi dalamnya.“Ya ampun, Nak… itu bukan mainan, itu tempat nyimpen remote sama charger,” keluh Dinda sambil buru-buru mendekat.Tapi sebelum Dinda berhasil menghalangi, si kecil sudah berhasil mengeluarkan beberapa charger dan melemparkannya ke lantai. Tawa renyah pun pecah dari bibir mungilnya, seakan menemukan permainan paling seru di dunia.Rayhan meletakkan korannya dan ikut mendekat. “Di
Sejak si kecil bisa berjalan, rumah jadi terasa jauh lebih ramai. Suara langkah kaki mungil yang berlari kecil di lantai, diselingi tawa riang, membuat suasana rumah tak pernah lagi sepi.Namun, kebahagiaan itu datang bersama tantangan baru. Dinda sering kali dibuat kewalahan mengejar buah hati yang tak bisa diam barang sebentar.“Nak, jangan lari ke sana! Ada meja!” seru Dinda panik ketika melihat si kecil berlari ke arah ruang makan.Rayhan yang baru saja pulang kerja hanya bisa tertawa melihat pemandangan itu. Jas kerjanya belum sempat ia lepas, tapi kakinya langsung ikut berlari membantu sang istri. “Hei, pangeran kecil! Ke sini sama Papa, yuk.”Namun, sebelum Rayhan berhasil menangkapnya, si kecil tersandung karpet di ruang makan. Bruk! Tubuh mungil itu terjatuh dengan wajah menghadap lantai.“Ya Allah! Han!” teriak Dinda, jantungnya seakan berhenti. Ia segera berlari menghampiri, matanya hampir berkaca-kaca.Si kecil menangis kencang, tangannya refleks mengusap lututnya yang mer