Share

Merasa Bersalah

Penulis: YuRa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-03 22:26:04

Sampai di rumah, rumah dalam keadaan gelap, Alan semakin bingung dengan kondisi ini. Ia pun masuk ke dalam rumah.

"Kemana kamu Aira? Apakah kamu minggat? Tapi nggak mungkin, kita kan nggak ada masalah apa-apa," kata Alan dalam hati.

Ia segera masuk ke kamarnya, mengecek lemari pakaian.

"Masih ada pakaian Aira dan Kenzo. Kemana mereka ya?"

Alan membuka ponselnya. Ternyata masih dinonaktifkan. Begitu diaktifkan, ada panggilan tak terjawab dari Aira dan beberapa pesan. Ia pun membuka pesan itu.

[Mas, Kenzo dirawat di rumah sakit.]

Alan gemetar membaca pesan dari Aira yang singkat, padat dan jelas.

"Maafkan Ayah, Kenzo. Ayah tidak tahu," kata Alan dengan pelan, matanya berkaca-kaca.

"Bodoh sekali aku, coba tadi aku tidak menonaktifkan ponselku. Kalau terjadi apa-apa dengan Kenzo, aku pasti akan menyesalinya seumur hidupku. Bodoh sekali aku!" rutuk Alan pada dirinya sendiri.

Ia pun menelpon Aira. Tidak ada jawaban dari Aira. Alan menjadi cemas.

"Aira, tolong angkat teleponnya. Jangan membuatku khawatir," kata Alan dengan pelan. Ia pun mencoba menelpon lagi.

Di rumah sakit, Aira tampak terlelap tidur setelah kecapekan menggendong Kenzo yang dari tadi rewel terus. Setelah Kenzo tertidur, Aira pun berusaha untuk tidur.

Drtt…Drtt ponsel Aira berdering. Tapi Aira tidak bergerak sedikitpun. Ia masih terlelap, saking lelahnya.

Tok…tok pintu kamar rawat Kenzo diketuk. Aira terbangun dari tidurnya.

"Maaf, Bu. Mau mengecek suhu tubuh Adik," kata seorang perawat yang masuk ke kamar Kenzo.

"O iya, Mbak. Silahkan," sahut Aira.

Perawat itu pun mengecek suhu tubuh Kenzo dengan menempelkan termometer di ketiak Kenzo. Kenzo masih terlelap tidur, sesekali tubuhnya tampak bergetar.

"39,5." Perawat itu berkata pada Aira.

Waktu dibawa ke rumah sakit tadi, suhu tubuh Arka mencapai 40,4. Karena takut akan kemungkinan terburuk, akhirnya dokter menyarankan untuk dirawat di rumah sakit. Supaya bisa diawasi dan di cek suhu tubuhnya secara berkala.

"Agak turun ya, Mbak."

"Iya, Bu. Turunnya perlahan. Tetap dikompres ya, Bu."

"Iya, Mbak."

"Saya permisi, kalau ada apa-apa pencet bel ini." Perawat itu memberi arahan.

Aira mengangguk. Kemudian mengompres dahi Kenzo.

Drtt..Drtt...ponselnya berdering, nama Alan yang muncul di ponsel Aira.

"Di rumah sakit apa?" tanya Alan.

"Rumah Sakit Ananda."

"Ya sudah, aku kesitu sekarang."

Panggilan pun ditutup. Ada kelegaan terpancar di wajah Aira dan Alan karena akhirnya bisa berkomunikasi. Alan bergegas pergi ke rumah sakit, ia tidak sempat berganti pakaian ataupun mandi. Padahal tadi dia habis melakukan sesuatu dengan Firda.

Ceklek! Pintu kamar Kenzo terbuka, tampak Alan dengan wajah cemasnya. Aira menyambut Alan dan memeluk Alan. Tercium bau asing di tubuh Alan.

Aira pun curiga, ia mengendus tubuh Alan lagi.

"Kenapa?" tanya Alan.

"Mas dari mana, kok berkeringat kayak gini. Baunya juga aneh." Aira menatap Alan.

Alan tampak gugup.

"Tadi di kantor banyak kerjaan, pas pulang belum sempat mandi. Hanya berganti baju saja, bahkan nggak sempat pakai parfum." Alan berusaha menjelaskan, tentu saja ia berbohong.

Aira melihat Alan yang tampak gugup, ia tahu kalau Alan berbohong. Tapi bukan saatnya untuk berdebat. Fokusnya sekarang adalah Kenzo.

"Bagaimana kondisi Kenzo? Kenapa ia sampai ke rumah sakit?" tanya Alan mengalihkan pembicaraan untuk menghindari kecurigaan Aira.

"Dari pagi sudah demam, pas Mas berangkat tadi. Sudah dikasih obat belum turun juga. Siang tadi menelpon Mas, nggak diangkat. Di telpon lagi malah dimatikan. Akhirnya ku bawa Kenzo kesini." Aira berkata dengan suara yang bergetar.

"Maaf, tadi sedang meeting. Nggak lihat ponsel lagi, pas sampai rumah ternyata ponselnya mati." Alan lancar sekali berbohongnya.

Aira terdiam, ia memandangi Kenzo yang terlelap tidur. Ia kesal, kalau teringat betapa paniknya ia tadi siang. Andai ia tahu ketika ia panik, Alan malah sedang bergelut, berbagi peluh dengan wanita lain, pasti ia akan sangat kecewa.

"Mas, andai Mas tahu bagaimana paniknya aku tadi. Semua aku putuskan sendiri, aku bingung sekali. Bahkan tas yang kubawa tertinggal di taksi. Untung saja pengemudinya baik, mengantarkan kesini." Aira menarik nafas panjang.

"Apalagi waktu Kenzo diambil darahnya tadi. Ia menangis, membuatku ikut menangis juga," kata Aira dengan mata berkaca-kaca.

"Maafkan aku, ya? Hari ini benar-benar banyak sekali pekerjaan yang harus aku lakukan. Tenang saja, besok aku akan disini menunggu Kenzo. Aku akan minta izin nggak masuk kerja." Alan berkata dengan penuh penyesalan. Ia berusaha menebus rasa bersalahnya. Kemudian memeluk Aira lagi.

"Apa diagnosa dokter?" tanya Alan lagi.

"Gejala tipes, Mas."

Krucuk…krucuk, terdengar suara dari perut Aira.

"Mas, aku lapar. Dari siang belum sempat makan. Kenzo rewel terus, terpaksa aku harus menggendongnya. Baru sore tadi ia bisa tidur. Kalau aku cari makan, aku nggak tega meninggalkan Kenzo sendirian. Mau menitipkan pada perawat pun aku nggak tega," kata Aira dengan wajah yang tampak memelas.

Alan tertegun mendengar penuturan istrinya, Aira memang tampak pucat dengan wajah yang terlihat kusut. Rasa bersalah itu semakin membesar.

"Kamu mau makan apa? Nanti biar aku belikan."

"Apa saja Mas. Yang penting bisa untuk mengisi perut, dari tadi isinya cuma air saja. Jangan lupa beli air mineral, juga cemilan."

"Oke."

Alan pun mencium kening Kenzo, kemudian mencium kening istrinya. Aira mengerutkan keningnya, ia melihat sesuatu yang agak mencurigakan. Belum sempat bertanya, Alan sudah keluar dari kamar.

"Sepertinya hari ini Mas Alan tampak aneh. Apakah ia punya masalah?" gumam Aira.

Aira pun mencoba untuk memejamkan mata lagi.

"Ibu," panggil Kenzo.

Aira pun langsung membuka matanya lagi.

"Iya, Sayang?" Aira langsung memegang dahi Kenzo, sudah mulai agak dingin.

"Lepas." Kenzo berkata sambil berusaha untuk melepas infus yang ada di tangannya.

"Jangan Sayang. Ini ada obatnya, biar Kenzo cepat sembuh. Kita bisa pulang."

Tiba-tiba Kenzo menggigil lagi, Aira langsung menyelimuti Kenzo.

"Kepala Kenzo sakit?" tanya Aira. Kenzo hanya mengangguk.

"Bobok lagi ya?"

"Kelonin," rengek Kenzo.

Akhirnya Aira berbaring di tempat tidur bersama dengan Kenzo. Sambil mengelus-elus badan Kenzo, biar ia merasa nyaman.

"Mas Alan kok lama sekali ya?" kata Aira dalam hati. Perutnya sudah mulai terasa perih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Dasar suaminya brengsek
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
sabar ya Aira nnti jg bakal tahu qm klu Alan suami mu selingkuh
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
apa si aira ini g hapal bau orang habis ml. tipikal istri tolol,lemot,lemah dan menye2
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Setelah Kau Mendua   Ending

    Tok tok! Terdengar suara orang mengetuk pintu.“Masuk!” Bara terlihat kesal karena mengganggunya.Pintu terbuka dan ada seorang perempuan setengah baya yang tampak anggun dan berwibawa. Perempuan itu tersenyum melihat Bara dan Aira, Aira pun tersenyum. Ia menatap Aira dengan tatapan lembut tidak seperti Olivia tadi.“Mama telpon kamu, tapi nggak diangkat-angkat. Ternyata kamu sibuk dengan perempuan ini. Inikah orangnya?” tanya mamanya Bara yang bernama Sinta.“Iya, Ma. Ini menantu Mama.” Bara berkata sambil tersenyum.Aira kaget mendengar ucapan Bara.“Sayang, ini Mama.” Bara memperkenalkan mamanya pada Aira. Aira pun mendekati Sinta dan mengajaknya bersalaman. Tapi malah Sinta langsung cipika-cipiki. Jantung Aira berdetak dengan kencang.Sinta mengajak Aira untuk duduk bersebelahan.“Bara sering bercerita tentang kamu, setiap Mama minta mengajakmu ke rumah, alasannya kamu yang belum mau.”Aira menatap Bara, Bara hanya tersenyum simpul. “Aira takut kalau Mama itu seperti mertua-mertu

  • Setelah Kau Mendua   Jangan Jual Mahal

    Hari ketiga di rumah sakit.Ceklek! Pintu dibuka, tampak Bara dengan sorot mata yang sulit diartikan.“Pak Bara,” gumam Aira.“Aku kecewa sama kamu. Kenapa kamu tidak memberitahu kalau Kenzo dirawat di rumah sakit?” “Bagaimana mau memberitahu, sedangkan Bapak pergi ke luar kota. Aku takut akan mengganggu.”“Jangan panggil aku bapak! Kalau kamu menelponku, aku akan berusaha pulang. Bagaimanapun caranya.” Suara Bara yang terdengar tegas, membuat hati Aira terasa nyeri. Ia hanya diam seribu bahasa. Bara berjalan mendekati Kenzo yang sedang tertidur. Kemudian mengelus kepalanya. “Tadi malam aku telepon, nggak diangkat. Kenapa kamu sengaja menghindariku? Apakah aku berbuat salah?” Bara menatap Aira.“Tadi malam aku ketiduran, aku nggak tahu kalau ada yang menelpon.” Aira memberikan alasan.Drtt..drtt..ponsel Bara berdering, ia melihat ke layar ponsel. Kemudian mengabaikan panggilan itu.“Kamu tahu, aku kecewa karena aku mendengar dari orang lain, bukan dari kamu. Seharusnya akulah oran

  • Setelah Kau Mendua   Benar-benar Kecewa

    Aira disibukkan dengan pekerjaannya, sampai lupa kalau sudah waktunya istirahat. Biasanya Vani yang mengingatkannya, tapi hari ini Vani sedang keluar bersama beberapa staff untuk suatu urusan. “Bu, dipanggil Pak Bara,” kata seorang OB mendekati Aira.“Saya?”“Iya, Bu. Ditunggu di ruangannya.”“Ok, terima kasih.”“Ngapain Pak Bara memanggilku ya? Apa yang aku kerjakan tadi salah ya?” kata Aira dalam hati. Ia takut jika sampai melakukan kesalahan.“Masuk!” Terdengar suara Bara, ketika Aira mengetuk pintu ruangan.“Bapak memanggil saya?” tanya Aira dengan sopan.Bara mengangguk, ia masih menyelesaikan pekerjaannya. “Duduklah!” Bara menunjuk sofa yang ada di ruangan itu. Aira mengangguk.Baru beberapa kali Aira masuk keruangan ini. Ruangan yang tampak elegan, tanpa banyak furniture dan barang-barang.Bara mendekati Aira sambil memegang kantong berisi makanan dan duduk di depannya.“Nggak usah tegang gitu, masa sama calon suami kok formal sekali,” ledek Bara.“Ini dikantor, Pak!”“Aira,

  • Setelah Kau Mendua   Lelah Dengan Keadaan

    Sejak kejadian Bara mengantar Kenzo pulang, Aira tidak pernah bertemu dengan Bara lagi. Aira juga tidak bercerita hal ini pada Vani, ia malu untuk bercerita. Apalagi beberapa hari ini Vani disibukkan dengan persiapan lamaran. Entah kenapa, di pikiran Aira selalu ada nama Bara. “Ada berita heboh, Mbak.” Tiba-tiba Vani datang dengan tergopoh-gopoh, mengagetkan Aira yang sedang berkonsentrasi pada pekerjaannya. “Ada apa?” Aira menoleh ke arah Vani.“Pak Bara datang bersama calon istrinya.”Deg! Aira merasa lemas.“Kok tahu kalau itu calon istrinya?” tanya Aira.“Mereka berdua tampak mesra. Perempuannya cantik sekali, lebih cantik dari Bu Firda.” Vani nyerocos membicarakan tentang Bara dan perempuan itu. Hati Aira semakin sakit, tapi tidak mungkin ia meminta Vani untuk berhenti berbicara. Ia hanya diam saja tanpa berkomentar.*Menjelang tidur malam, Aira masih teringat cerita Vani tadi siang. “Aku terlalu ge er, seharusnya aku tahu kalau Pak Bara mengantar Kenzo itu karena kasihan. B

  • Setelah Kau Mendua   Duren

    Satu bulan sudah berlalu, hubungan Aira dengan Gunawan dan Dwita tetap baik. Tapi Dewi dan Trisa masih sama seperti dulu, tidak menyukai Aira. Beberapa kali Aira datang di rumah Gunawan untuk ikut acara mendoakan Alan, tapi tanggapan Dewi masih dingin. Aira tidak peduli, yang penting kehadirannya diterima baik oleh Gunawan dan Dwita.Keluarga besar Aira juga tidak tahu kalau Alan sudah meninggal. Aira pernah menelpon ayahnya untuk memberitahu berita ini, tapi tidak diangkat oleh Hasan. Ketika ia menghubungi ibunya, malah ditolak. Sejak saat itu, komunikasi dengan orang tuanya hampir tidak pernah ia lakukan lagi. Daripada ia sakit hati, lebih baik ia menjaga mentalnya untuk tetap waras.Berita perceraian Bara dan Firda ternyata sudah menyebar di kantor. Entah dari mana berita itu, tapi sepertinya sudah menjadi trending topik di kantor. Banyak spekulasi tentang penyebab perceraian itu, salah satunya adanya orang ketiga. Beberapa orang mulai kasak-kusuk, bahkan ada yang mulai mencari per

  • Setelah Kau Mendua   Pergilah, Nak!

    Di rumah sakit.“Siapa yang menelpon?” tanya Gunawan pada Dwita.“Firda.”“Kalau dia menelpon lagi, nggak usah diladeni.”“Iya, Pa.”“Apa dia tahu kalau Mas Alan kecelakaan? Terus ingin tahu bagaimana kondisinya.”“Sudah, biarkan saja. Kita tidak ada urusan dengannya.”“Baik, Pa.” Akhirnya Dwita menuruti ucapan papanya.Suasana pun tampak hening lagi. Mereka berdua masih menunggu di depan ruang ICU. Menunggu kabar baik tentang kondisi Alan. Dewi tadi sudah sadar dan sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Kondisinya sudah membaik, tidak ada luka serius pada Dewi. Dewi ditemani oleh kakak perempuannya, Dita. Sedangkan Alan kondisinya tadi mulai stabil, tapi ternyata memburuk lagi. Ia belum sadar juga, karena itu ia dipindahkan ke ruang ICU.“Kok Mas Alan belum sadar juga ya, Pa? Padahal luka luarnya hanya sedikit,” kata Dwita membuka obrolan dengan papanya.“Mungkin ada luka dalam yang belum terdeteksi.”“Semoga Mas Alan cepat sadar.”“Amin, doakan yang terbaik untuk Alan.” Pintu ICU te

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status