Siang malam terus berganti. Seminggu sudah sejak meninggalnya Izza, Anita masih tinggal di rumah orang tuanya, tanpa semangat hidup. Anita sudah mulai beraktivitas di rumah, membantu ibunya sebagai penjual nasi kuning pagi hari di muka rumah. Sesekali ia pergi ke sawah bersama bapaknya, berharap ia menemukan semangat baru dalam hidupnya.Kenyataannya usahanya nihil. Semangatnya telah pergi. Meninggalkan ruang kosong. Setiap saat bisa terisi oleh lamunan, tangisan dan kerinduan. Ternyata lelah berjuang demi kesembuhan Izza, belum apa-apanya dibandingkan lelahnya diterpa kerinduan. Ironisnya, rindu itu tidak berujung. Yang ada hanyalah disambut tangisan. Malamnya Ridwan datang ke rumah orang tua Anita, yang disambut dengan wajah sinis dari Saudah. "Masuklah." Suara Anita dari belakang Saudah. Saudah menyingkir. Membiarkan Ridwan masuk. Anita mempersilakan Ridwan duduk dengan isyarat tangan. "Bagaimana keadaanmu, Ma?""Aku baik-baik saja. Jangan khawatir."Ridwan terdiam, menatap An
Anita tersentak. Ia segera mengklik foto profil Zubaidah. Beranda Zubaidah penuh dengan cacian dan makian. "Ke mana Zubaidah?" desisnya. Anita terus menscroll wall Zubaidah, hingga menemukan berita duka. Bahwa putra Zubaidah meninggal. Itu status terakhir dari Zubaidah. Anita terhenyak. Selama berteman dengan di rumah sakit, Zubaidah terlihat orang baik-baik. Tidak ada sedikitpun kesan kalau Zubaidah orang culas. Anita menduga Zubaidah bersembunyi bukan berarti mau lepas tanggung jawab, melainkan untuk menghindari dari desakan penagih, dengan tetap berupaya mencari dana untuk melunasi hutang. Terngiang di benaknya sewaktu Zubaidah bercerita bahwa mereka bertahan hidup ditopang hutang. Sekarang putranya telah pergi meninggalkan luka, hutang juga cercaan. Anita mendesah. Ia teringat bagaimana Ridwan, ayahnya Izza, mantan suaminya dulu ketika dulu juga terjerat hutang? Kesalahan Ridwan hanyalah tidak menceritakan permasalahan itu kepadanya. Kalaupun Ridwan menceritakan itu, apa y
"Mengapa Izza pergi, Cil? Bukankah kemarin Izza dinyatakan negatif?"Anita melepaskan pelukannya. Memegang pundak Huda. Anak itu masih sesenggukan. Anita mengusap wajah Huda yang basah. "Itu sudah kehendak Allah. Mungkin Allah sangat menyayangi Izza. Di dekat Allah, mungkin itulah tempat yang paling aman dan indah buat Izza." Anita membayangkan, seandainya Izza masih hidup sampai sekarang, bagaimana Izza menjalani harinya tanpa orang tua yang lengkap?"Kita coba ikhlaskan Izza, ya. Supaya dia tenang di sana."Huda mengangguk lamban."Sekarang yang penting bagaimana Huda supaya bisa melewati masa-masa sulit ini. Huda harus sehat. Ya."Huda kembali mengangguk. "Koq, sepi?" Anita melongokkan kepalanya ke samping. "Ibu mana?""Iya. ada yang opname, ada juga yang pulang. Ibu pulang ke Sampit.""Heh? Kenapa?"Huda tersenyum lebar. "Ulun sudah selesai kemo, Cil. Jadi ibu pulang.""Alhamdulillah. Selamat ya. Tapi kenapa kamu masih di sini?""Om Bayu memintaku tinggal di sini. Om Bayu janji
Bayu berdeham. Ia mengambil cangkir kopi. "Tapi bagaimana dengan suamimu? Dia mengizinkan tidak?""Kami sudah bercerai." Gerakan Bayu terhenti. "Maaf "Anita hanya mengedikkan bahunya. "Dalam waktu singkat aku telah kehilangan segalanya. Ironis. Tapi mungkin ini yang terbaik. Oh iya."Anita mengambil sebuah benda tipis di kantongnya, lalu meletakkan di depan Bayu. "Aku tidak memerlukan ini lagi."Bayu mendesah. Ia mendorong kartu ke hadapan Anita. "Kartu ini dan isinya sudah kuberikan padamu pada Izza. Meski Izza tiada, kau bisa menyimpannya buat jaga-jaga. Apalagi sekarang kau sudah bercerai. Otomatis tidak ada masukan untukmu. Ambillah."Anita mengambil kartu itu ragu. Bayu melihat kalau wanita di hadapannya sedang memikirkan sesuatu. "Katakanlah!" Anita menarik napasnya terlebih dahulu. "Bagaimana kalau isinya aku pinjam dulu untuk bayar hutang kepada Rana.""Kau punya hutang?""Ridwan. Saat kami di sini, ia kena tipu. Singkat cerita ia berhutang pada Rana, dan akhirnya sepert
"Justru aku yang minta maaf. Aku tak menyangka kamu mengalami hal seperti itu. Tapi bagaimana kamu bisa sampai menjadi sukses seperti sekarang ini? Padahal saat itu usiamu saat itu masih belia?"**Bayu remaja berjalan pelan memasuki ruang rumahnya yang sudah banyak orang, mengelilingi mayat yang ditutup dengan kain panjang. Tatapan iba langsung menyambutnya. Seorang tetangga langsung berdiri demi melihat kedatangan Bayu. "Sabar ya, Nak."Dada Bayu berdegup semakin kencang. Dibimbing oleh tetangganya, dengan pelan ia membuka kain yang menutupi wajah. "Ibu…." Bayu langsung memeluk jasad ibunya yang dingin. Ia berteriak memanggil-manggil sambil mengguncang badan ibunya. "Bu, bangun! Bangun, Bu. Jangan pergi! Fatimah masih sakit. Bu, jangan tinggalkan kami."Semua perempuan dewasa yang ada di sana menangis tersedu-sedu melihat Bayu yang meraung-raung.Saat ikut memandikan mayat ibunya, ia melihat bekas tali di leher ibunya dan ada memar di wajah, pergelangan dan kaki. Dari sana ia
Biarlah ia mati di kota asing, tanpa sanak saudara. Setidaknya, tidak lagi melihat tatapan iba.Kerasnya kehidupan yang dijalaninya, membuatnya menjadi remaja pemberani dan sensitif. Bayu remaja, ternyata mewarisi bakat berdagang dari ibunya. Tempat pertama kali yang ditujunya adalah pasar. Pengalaman yang dialami ibunya, rupanya memberi bekal yang luar biasa. Ia tidak ingin gegabah menggunakan sisa tabungannya untuk langsung dijadikan modal.Pekerjaan pertama dijalaninya adalah menjadi buruh pasar. Lalu penjaga toko, jika ada kesempatan ia menjadi makelar sampai akhirnya ia berani berdagang sendiri.Hari-hari melihat wajah bengis ayahnya dikiranya sudah cukup sebagai modal untuk berhati-hati. Ternyata tidak. Ia tidak lolos dari korban penipuan. Tabungannya habis. Kembali lagi menjadi buruh, tetapi hati dan mentalnya semakin matang.Di usia awal dua puluh tahunan, ia sudah menjadi pedagang sukses. Meski demikian, ia tidak lupa menyisihkan sedikit uangnya untuk anak-anak kanker. Meli
"Di rumah biasanya memang sama saya kalau ibunya kerjanya, tapi entah kenapa malam ini jadi rewel?" ucap Farhat setengah berbisik. "Mungkin ini pertama kali bagi tanpa ibu. Terlebih lagi dengan kondisinya sekarang ini, ia semakin memerlukan keberadaan ibunya."Farhat mengangguk. Ia menatap iba wajah putrinya di gendongan Anita.Karena terlihat nyenyak, Anita mencoba membaringkan Intan di kasur. Namun, Intan kembali menangis ketika terlepas dari tangannya. Anita langsung meraihnya, Intan langsung diam dan memejamkan mata. Terdengar dengkuran halus dari Intan. Mata Anita berkaca-kaca. Sesak kembali memenuhi ruang kosong di relung hatinya.**Pagi di ruang dapur Rumah Bahagia, Bayu memilih duduk di samping Huda. Sedang Karin berdiri di samping ibunya yang membuat kopi.Bayu tersenyum melihat Huda yang asik membaca komik, sedang mulutnya sibuk mengunyah makanan.Ia mengacak rambut Huda. "Kalau lagi makan, ya makan, selesaikan. kalau sudah selesai, terserah mau apa.""Hoaaah …." Anita ke
Sampai di dalam kafe, Bayu berhenti sejenak, pandangannya mengedar hingga retinanya menangkap lambaian seorang wanita. Anita masih berdiri menunggunya. Anita sengaja memesan untuk orang banyak. Di tempat paling pojok, dengan meja panjang diapit oleh dua belas bangku. "Sudah lama?" tanya Bayu."Tidak. Aku dan Huda juga baru sampai. Oh, ya Bayu, kenalkan ini Isal. Pelopor grup Satu Jiwa." "Hallo, selamat malam, saya Bayu."Bayu mengulurkan tangannya kepada seorang pemuda yang duduk bersisian dengan Huda, berseberangan dengan Anita. "Isal, ini Bayu. Pemilik Rumah Bahagia."Mata Isal mengkilat. "Saya Muhammad Risaldi. Panggil saja Isal. Senang sekali, akhirnya bisa bertemu dengan Bapak."Bayu hanya tersenyum tipis. "Saya juga." "Kalau yang lainnya adalah membernya. Dari mereka inilah biasanya Isal mencari pendonor yang siap menyumbangkan darahnya."Bayu lanjut menyalami tiga orang pemuda di sana. Ia mempersilakan duduk dengan gerakan tangan. Mengabaikan beberapa tiga orang cewek yang