"Nit! Anit!" Tidak ada jawaban. Bayu mempercepat ketukannya. Senyap. Abbas muncul dari kamar lain dengan wajah kusut. Ketukan dan panggilan Bayu mengusik tidurnya. Karin juga keluar. "Ada apa, Pak?" tanya seorang karyawan."Istri saya ada di dalam, bisa minta kartu kunci duplikat?""Sebentar, ya Pak," ucap karyawan dengan sedikit bingung. Sesaat ia sempat menoleh Karin yang masih berpakaian pengantin. Cahya bergegas melihat Bayu berlalu di depan kamar Anita. Qori dan Huda juga mempercepat langkah mereka. Karyawan datang membawakan cardlock duplikat lalu langsung membukakan pintu. Bayu langsung menerobos. Cahya, Huda dan Qori ingin masuk, tetapi Abbas mencegah mereka. "Biarkan Papa Bayu melihatnya."Di dalam kamar gelap. Bayu membuka lampu. Anita tidak terlihat. Bayu terperanjat ketika melihat telapak kaki Anita tergeletak di lantai. "Nit!" Bayu bergegas meraih kepala Anita lalu mengguncangnya. "Nit!" Tidak ada respon. "Huda, Qori!" teriak Bayu panik. Ia segera mengangkat
Mata Anita masih mengerjap. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. "Kita di mana?" "Di rumah sakit. Syukurlah. Akhirnya kau sudah sadar," ucap sambil menciumi tangan Anita. "Maaf. Aku telah mengganggumu malam pertamamu," lirih Anita.Bayu menggeleng. "Jangan ingatkan aku dengan perkawinan itu! Kau membuatku ketakutan." Bayu terisak. Anita mengelus kepala Bayu. "Maaf. Jangan menangis! Aku sudah tidak apa-apa. Bagaimanapun kau mempunyai dua keluarga, kau harus kuat," ucap Anita tertatih. Entah kenapa ia merasakan kebas rasa. Tak punya tenaga, meski hanya untuk cemburu.Bayu merebahkan kepalanya, menjadikan tangan Anita sebagai alas. "Aku tidak menginginkan itu. Aku hanya ingin menjadi bayimu. Selamanya."Anita tersenyum. "Dasar, Baygon. Pulanglah!""Jangan memaksaku!""Aku hanya tidak ingin kau jadi laki-laki tidak adil." "Justru tidak adil, jika aku di sana, sedang di sini kau terkulai lemas di sini.""Bayu, malam ini ….""Ah tunggu, kita panggil dokter dulu."Bayu langsung memence
Jangan lupa tinggalkan jejak dengan subscribe, rating, like, dan komen. Selamat membaca. Semoga menginspirasi****"Ayah, kenapa ayah merangkul Tante Rana?" tanya Izza, bocah sembilan tahun sambil memegang boneka. "Izza, sudah datang? Sini peluk ayah. Ayah rindu sekali." Ridwan mendekat dan menjongkok, tetapi Izza menjauh."Ayah belum jawab pertanyaan Izza. Ayah bilang, tidak boleh laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram bersentuhan, tetapi, kenapa ayah tadi merangkulnya? Dia 'kan bukan mahram Ayah?" Izza menatap sahabat ibunya polos. Matanya beralih ke perut Rana. Ia tahu Rana dan ibunya bersahabat, tetapi baru kali ini melihat ayahnya menyentuh perempuan itu.Sedang Anita tak kuasa lagi menahan air mata. Sesuatu yang dikhawatirkan akhirnya terjadi. Sebelumnya ia telah meminta Ridwan agar jangan membawa perempuan itu ke rumah mereka. Ternyata di belakangnya ini Ridwan ingkar janji dan siapa sangka bertepatan dengan Izza pulang ke rumah. Dari awal kepercayaannya sudah hilan
Izza hanyalah anak berusia tujuh tahun, tetapi enam bulan sebagai penyintas kanker, telah membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. "Hallooo .… Selamat siaaang .… Apa kabar?"Ciri khas sapaan Dokter Yolanda ketika masuk ruangan. Izza selalu bersemangat ketika melihat dokter perempuan paruh baya yang selalu ramah itu. Anita segera turun dari ranjang, sedang Izza langsung berbaring.Izza bercita-cita menjadi dokter spesialis anak, juga spesialis kanker dari Dokter Yolanda. Izza berjanji akan bersungguh-sungguh belajar, tabah menjalani pengobatan demi cita-cita itu. Ia akan menyelamatkan anak-anak dari penyakit kanker dan kelainan darah. "Hallo … Izza gimana kabarnya?" tanya Dokter Yolanda ketika sudah mendekati Izza. Perawat bertugas segera membacakan hasil laporannya, termasuk hasil laboratorium. Dokter Yolanda meringis. "Izza kenapa darahnya ga naik-naik?" tanya Dokter Yolanda dengan gaya berbicara kepada anak-anak. Izza hanya cengengesan. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
(Mas, besok Izza ulang tahun. Datanglah! Kondisi Izza sedang tidak baik)Anita langsung menghapus pesannya setelah tanda terkirim muncul. Izza tak boleh membaca pesan itu. "Assalamu 'alaikum. Selamat siang."Sontak Izza berpaling ke arah pintu. Muncul sosok tampan, jangkung yang masih memakai setelan jas warna biru malam. "Om Bayuuu!"Seketika mata Izza bersinar cerah. Ia merentangkan tangannya. Laki-laki itu langsung menyambut tangan Izza dengan mendekapnya. "Om rindu sekali sama Izza." "Benar, Izza. Om Bayu baru saja datang dari bandara. Dia langsung ke sini mendengar Izza mau pulang," sela Amang Udin."Benarkah?" Bayu mengangguk. Ia menyentil hidung Izza yang mungil. "Sekarang gimana keadaan Izza? Baik 'kan?""Tidak, Om. Darahnya tidak naik-naik," beber Anita. "Yah … kenapa, Izza? Izza bandel, ya?"Izza menggeleng. "Terus apa? Sini bisik sama Om?" Bayu mendekatkan telinganya ke wajah Izza. "Mama galak, ya?" bisik Bayu. Anita tersenyum. Izza menggeleng, lalu menunduk malu.
'Bukankah tadi katanya Ridwan ke kamar kecil? Lalu keluar? Mana yang benar?' tanya Anita dalam hati. Sesaat menatap layar ponsel. Angka di layar tertulis 10.30. Tiba-tiba alarm kewanitaannya berdering nyaring. *** "Mama kita mau ke mana?" tanya Izza heran. "Izza, tenang saja."Anita mendorong kursi roda Izza ke sebuah rumah besar di samping Rumah Bahagia. Sebelumnya, Bayu hanya bisa menyewa untuk Rumah Bahagia. Seiring waktu, akhirnya mampu membeli rumah mewah dengan denah tanah sangat luas. Tak lama ia dapat membangun sebuah rumah di samping rumahnya dengan warna yang sama, itulah Rumah Bahagia. Selama ini rumah besar tersebut hanya Acil Imah yang bisa masuk untuk bersih-bersih, dan Karin sebagai asisten pribadi. Izza juga anak-anak Rumah Bahagia lainnya hanya bisa memandang rumah mewah itu dari luar. Ini pertama kalinya, Bayu membuka rumah pribadinya."Surprise …." Izza menahan napasnya. Matanya membulat sempurna. Di dalam rumah mewah itu ternyata sudah ada Bayu dan beberapa
"Yah … ayah!" panggil Anita. Ia terus berjalan hingga memasuki kamar. Klik. "Astaghfirullaaah … !" pekik Anita.Dua insan di atas ranjang terlonjak dengan keberadaan Anita. "Anita?!" Mata Anita menatap nanar. Jantungnya melompat tak beraturan. Dadanya turun naik, menahan napasnya yang memburu. Ia tidak ingin percaya dengan penglihatannya. Kenyataannya, keterkejutan dua orang tersebut sangat nyata."Anita, kau datang?" Seorang laki-laki berdiri mendekatinya. Sedang, yang perempuan sibuk merapikan pakaiannya yang tersingkap. "Kenapa … kalian tega lakukan ini?" Mata Anita berkaca-kaca. "Dengarkan aku dulu. Aku bisa jelaskan." Ridwan memegang tangan Anita, tetapi tangan itu keburu menarik. "Kenapa? Yah, Izza … di sana berjuang melawan … kematian. Kau di sini …." Anita tak sanggup meneruskan ucapannya."Dengarkan aku dulu.""Apa yang didengarkan?!" Anita mulai mengamuk. "Jelas-jelas mataku melihatnya sendiri.""Nit, tenang ya. Kita bicara baik-baik. Oke."Anita memalingkan wajahnya
Anita berjalan pelan. Ia mempertajam pendengarannya ketika sampai di samping pintu kamar mandi. Tidak salah lagi. Suara orang menangis di dalam. Namun, bukan Karin. Siapa? "Pak Bayu?" Anita menutup mulutnya. Anita segera kembali ke ranjangnya. Langkahnya terjingkat ketika merasakan perih di kakinya. Ketika sampai di ranjang ia langsung mengangkat kakinya, terlihat plester ukuran jumbo menempel di kaki kanannya. Tak lama Bayu keluar sambil menggosok kepalanya dengan handuk."Sudah bangun?" Bayu merapatkan piama mandinya ketika menyadari Anita sudah duduk di tepi ranjang.Bayu menyalakan ponsel, memeriksa pesan lalu mengetik suatu pesan. Kemudian mengeluarkan pakaiannya dari koper kecil dan kembali ke kamar mandi. Hanya beberapa menit, Bayu keluar dengan wajah terlihat lebih segar. Namun, Anita melihatnya, ada duka di balik wajah itu dan baru kali ini Anita melihatnya. Bayu menggeser sofa satu dudukan, lalu duduk menghadap Anita. "Sekarang bagaimana keadaanmu? Sudah agak baikan