"Yah … ayah!" panggil Anita. Ia terus berjalan hingga memasuki kamar.
Klik. "Astaghfirullaaah … !" pekik Anita.Dua insan di atas ranjang terlonjak dengan keberadaan Anita. "Anita?!" Mata Anita menatap nanar. Jantungnya melompat tak beraturan. Dadanya turun naik, menahan napasnya yang memburu. Ia tidak ingin percaya dengan penglihatannya. Kenyataannya, keterkejutan dua orang tersebut sangat nyata."Anita, kau datang?" Seorang laki-laki berdiri mendekatinya. Sedang, yang perempuan sibuk merapikan pakaiannya yang tersingkap. "Kenapa … kalian tega lakukan ini?" Mata Anita berkaca-kaca. "Dengarkan aku dulu. Aku bisa jelaskan." Ridwan memegang tangan Anita, tetapi tangan itu keburu menarik. "Kenapa? Yah, Izza … di sana berjuang melawan … kematian. Kau di sini …." Anita tak sanggup meneruskan ucapannya."Dengarkan aku dulu.""Apa yang didengarkan?!" Anita mulai mengamuk. "Jelas-jelas mataku melihatnya sendiri.""Nit, tenang ya. Kita bicara baik-baik. Oke."Anita memalingkan wajahnya ke arah perempuan di atas ranjang. Emosi semakin melonjak tinggi melihat wajah tanpa dosa. Secepat kilat ia merangsek maju, lalu menarik pakaian yang dikenakan perempuan itu.*Di lain tempat. "Mang Yuni, putar mobilnya?"Amang Yuni menoleh heran. "Loh, kok?""Kita kembali ke rumah Anita. Perasaanku tidak nyaman.""Pak, nanti meeting kita terlambat. Mengantar Bu Anita sudah memakan waktu berapa jam. Kita sedang keburu, Pak." Karin mengingatkan. "Cancel saja.""Pak?!""Putar, Mang!" desak Bayu.Meski bingung Amang Yuni menurut saja. Bayu sangat mengenal Anita. Anita tidak akan meninggalkan Izza hanya dalam urusan sepele. Kalau sekadar ketinggalan barang, masih bisa dikirim pakai jasa pengiriman. Ia semakin khawatir, mengingat Anita yang mondar-mandir di kamar seperti menunggu seseorang dengan cemas. Ketika mereka sampai, beberapa orang berkerumun di halaman sambil berbisik-bisik satu sama lain. Bayu cepat berlari, memecah kerumunan itu. Di dalam rumah terlihat Anita mengamuk. Pecahan kaca dan barang-barang berceceran di lantai, bahkan bercak darah. Seorang laki-laki berusaha menenangkan Anita, tetapi perempuan itu terus mengamuk. Bayu mengira itu suami Anita. Bayu masuk ke dalam. Ia sempat menangkap foto Izza yang hendak dilempar Anita. "Nit! Ini foto Izza," teriak Bayu.Anita terdiam melihat Bayu. "Bayu?" Anita nampak acak-acakan. Matanya nanar. Rambut kusut. Kerudung Anita entah ke mana. Hilang sosok elegan yang selama ini diam-diam dikagumi Bayu. "Hentikan, Nit. Mengamuk tidak akan menyelesaikan masalah." Sesaat ia melirik perempuan yang berdiri di samping pintu kamar. "Istighfar, Nit."Ridwan termangu. Melihat laki-laki yang berhasil menenangkan istrinya. "Bayu?"Bayu mengangguk. Ia memegang kedua belah bahu Anita. "Kita pulang, yuk!" ucap Anita. "Tunggu dulu. Dia siapa?" sela Ridwan."Dia orang lain, tapi lebih peduli dengan Izza daripada ayahnya sendiri. Bayu, ayo pulang!" ucap Anita dengan tatapan kosong. Anita meraih kerudungnya yang tercecer di lantai, lalu memasang tanpa peduli kerapiannya.Bayu menatap punggung Anita yang melangkah gontai. Meninggalkan jejak-jejak darah di lantai. Tiba-tiba matanya tertumpu pada tas selempang yang sempat dipakai Anita. Ia segera mengambil tas itu, lalu menyusul Anita yang sudah memasuki mobilnya. ***Di dalam mobil Anita kembali menangis. Karin yang duduk di sampingnya hanya bisa mengelus punggung Anita, tanpa tahu harus berkata apa? Sementara Bayu memilih diam, membiarkan Anita melepaskan semua perasaannya. "Pak, ini sudah di muka Rantau. Apa kita ke tempat meeting?" Bayu masih diam sesaat ia menoleh ke Anita yang sudah berhenti menangis. Ia tidak tahu perempuan di sampingnya sudah baikan atau kehabisan air matanya. Anita yang mendengar pertanyaan Amang Yuni segera menyadari situasinya. "Biar saya singgah di sini saja, Mang.""Kamu mau ke mana? Ke Banjarmasin? Naik taksi? Dengan kondisi seperti ini?""Mang!" Anita mengabaikan rentetan pertanyaan Bayu. Otaknya memang tak bisa menampung apa-apa lagi, selain ingin secepatnya bertemu putrinya. Amang Yuni menepikan mobilnya. Anita merangsek, melewati Bayu. "Buka pintunya, Mang."Pintu terbuka. Anita segera turun.Bayu mendesis dengan tindakan Amang Yuni. Amang Yuni menekukkan wajah. Bayu terus mengamati Anita dari kejauhan. Anita berjalan gontai tanpa sandal. Pakaian Anita kumal. Warnanya pudar. Bayu meringis melihat batu-batu kerikil yang diinjak Anita, tetapi sepertinya wanita itu sudah kehilangan indra perasaBayu teringat awal-awal ia bertemu Anita. Ibu dari Izza itu termasuk wanita fashionable. Pakaian Anita terlihat simpel, tapi kekinian dan terlihat anggun. Namun perlahan, selama anaknya dirawat, beberapa kali bertemu, Anita hanya mengenakan pakaian yang diulang-ulang, sampai akhirnya memudar. Kanker yang diderita Izza, telah membuat Anita berubah 180 derajat.Bayu terkesiap ketika melihat Anita melambaikan tangan saat ada mobil colt yang lewat. Mobil angkutan umum yang biasa dipakai orang Kalimantan Selatan antar kabupaten. Bayu bergegas turun ketika melihat mobil itu mulai menepi. Bayu berlari hingga ia berhasil menarik tangan Anita. "Naik mobilku saja. Tidak aman dengan kondisimu seperti ini." Beberapa penumpang di mobil saling berbisik. "Jadi naik gak niiih?" tanya Sopir setengah berteriak."Jadi." Anita berusaha menarik tangannya, tapi gagal."Enggak jadi, Pak. Maaf … Bapak pergilah."Sopir melajukan mobil. Bayu sempat mendengar gerutuan sang sopir. Anita berang. Ia menarik keras hingga pegangan Bayu terlepas. "Bapak selesaikan saja urusan Bapak. Jangan pedulikan saya.""Siapa yang peduli sama kamu?!" bentak Bayu. Membuat Anita terkesiap. "Saya hanya peduli sama Izza. Bagaimana perasaan Izza melihat kondisimu seperti ini?!"Disebut nama Izza. Seketika Anita tersungkur ke tangan. Tangisan kembali terdengar. Bayu berjongkok, menghadap Anita. "Mengapa jadi begini?" suara Anita di sela isaknya, tenggelam di antara deru mobil yang lewat.Bayu tak bersuara. Ia melepas jasnya, melampirkan ke atas kepala Anita. "Aku capek." Tangisnya makin menderu. "Masuklah ke mobilku. Kau bisa Istirahat di sana."Anita menggeleng. Bukan itu yang dimaksudnya. "Sebaiknya masuk mobil dulu." Bayu memegang kedua pundak Anita dan berusaha membantu Anita berdiri yang tertatih.Belum sempurna Anita berdiri, tiba-tiba matanya terpejam. Tubuhnya limbung. Beruntung Bayu sigap menangkap tubuhnya.**"Kau istirahatlah! Biar aku jaga Anita," titah Bayu pada Karin setelah dokter merawat Anita pergi."Tapi, Pak...""Karin!"Karin tak berani lagi membantah. Ia tahu betul dengan nada itu. "Baik, Pak." Karin segera keluar dari kamar hotel itu. Bayu duduk di tepi ranjang, di samping Anita yang masih tidak sadarkan diri. Di tangannya sudah terpasang infus. Ia menarik merapatkan selimut yang dikenakan Anita. "Kau harus kuat, Nit," bisik Bayu. Menatap Anita, seketika berkelebat wajah seorang wanita yang membiru. Bayu mengerjap. Menghalau memori itu muncul. Kenyataannya, semakin diusir, fragmen masa lalu semakin merajalela. Semakin menyesakkan dada. Luka yang belum kering, kini terbuka lagi.Bayu tak kuasa lagi menahan air matanya. Semakin di tahan, semakin nelangsa batinnya. ..Sementara Anita, sedikit demi sedikit kesadarannya mulai kembali. Matanya mengerjap pelan. Ada bagian dirinya yang ingin terus memejamkan mata."Mamaaa .…""Izza!" Anita terlonjak. Ia berusaha mengenali ruangan apa yang ditangkap matanya. Bukan kamar Rumah Bahagia, apalagi rumahnya. Setelah bergerak, barulah menyadari kalau di tangannya terpasang infus. Ranjang yang direbahinya sangat empuk, ukuran king size, dan selimut yang menutupi badannya sangat lembut. Di samping ranjang ada nakas yang di atasnya bertengger sebuah lampu tidur mewah. Di samping lampu, tergeletak tas selempangnya sudah kumal.Tak jauh dari ranjangnya, satu set sofa minimalis mewah warna abu-abu. Di atas meja ada sebuah koper kecil serta sebuah ponsel pintar. Anita mengenali ponsel itu milik Bayu. "Mungkinkah ini hotel?" lirih Anita, mengingat terakhir yang bersamanya adalah Bayu. Perlahan benaknya mulai menampilkan potongan demi potongan kejadian sebelum kesadarannya hilang.Indra pendengarnya memindai sebuah bunyi air yang terus mengalir. Dari arah bunyi, Anita tau kalau air itu berasal dari kamar mandi. "Apa itu Karin?" Namun, telinganya mendengar sesuatu yang lain. Ada bunyi timbul tenggelam di balik bunyi air itu. Anita berjalan pelan. Ia mempertajam pendengarannya ketika sampai di samping pintu kamar mandi. Tidak salah lagi. Bunyi orang menangis di kamar mandi. Namun, bukan Karin. Siapa? "Pak Bayu?" Anita menutup mulutnya. ***Terima kasih telah menemukan dan membaca cerita ini. Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen. Jejak kalian sangat berarti bagi Othur amatiran ini 😀.Anita berjalan pelan. Ia mempertajam pendengarannya ketika sampai di samping pintu kamar mandi. Tidak salah lagi. Suara orang menangis di dalam. Namun, bukan Karin. Siapa? "Pak Bayu?" Anita menutup mulutnya. Anita segera kembali ke ranjangnya. Langkahnya terjingkat ketika merasakan perih di kakinya. Ketika sampai di ranjang ia langsung mengangkat kakinya, terlihat plester ukuran jumbo menempel di kaki kanannya. Tak lama Bayu keluar sambil menggosok kepalanya dengan handuk."Sudah bangun?" Bayu merapatkan piama mandinya ketika menyadari Anita sudah duduk di tepi ranjang.Bayu menyalakan ponsel, memeriksa pesan lalu mengetik suatu pesan. Kemudian mengeluarkan pakaiannya dari koper kecil dan kembali ke kamar mandi. Hanya beberapa menit, Bayu keluar dengan wajah terlihat lebih segar. Namun, Anita melihatnya, ada duka di balik wajah itu dan baru kali ini Anita melihatnya. Bayu menggeser sofa satu dudukan, lalu duduk menghadap Anita. "Sekarang bagaimana keadaanmu? Sudah agak baikan
Gleg.Apa yang terjadi? Batin Anita. Ia tidak tahu kalau suaminya sebenarnya mantan sahabatnya. Ia tidak tahu kalau sebenarnya dirinya yang merebut Ridwan dari Rana, apa maksudnya uang yang ditransfer suaminya adalah uang Rana? Keuangan toko memburuk? Seketika beberapa rentetan pertanyaan muncul silih berganti, membuat dunia Anita menjadi berputar. ***Mobil hitam mewah itu hanya sekitar sejam membelah jalan dari Rantau ke Banjarmasin. Anita merasakan perutnya ingin memuntahkan isi, andai saja tidak sekuat tenaga ditahan."Cepat sekali jalannya, Mang. Hoek …." gerutu Anita, ketika keluar sudah dari mobil.Mang Yuni dan Bayu tertawa dengan ocehan Anita. "Hoek ….""Mama …." Izza duduk di kursi roda yang didorong oleh neneknya. Anita tersenyum, ketika melihat putrinya. Seketika mual terlupakan. "Ingat, bersikaplah tenang! Jangan gegabah."Jantung Anita mencelus. "Kenapa laki-laki ini jadi tanpa jarak?" gerutu Anita dalam hati. "Izza …." Seperti biasa, Bayu merentangkan tangan jik
"Ayah ingat, Sayang. Mana mungkin lupa ulang tahun anak Ayah yang cantik ini." Ridwan mencium pipi kanan."Maaf, Ayah baru bisa datang sekarang." Ridwan mencium pipi kiri. "Lalu, hadiahnya mana?"Ridwan terkesiap. Yang dipikirkannya hanyalah Anita, sampai ia lupa soal ulang tahun Izza. "Duduk dulu, ya. Ayah cape."Izza mengangguk. Ridwan mendudukkan Izza di kursi samping Anita. "Maaf ya, Sayang. Ayah benar-benar lupa membawa hadiah. Ayah sangat terburu-buru tadi ke sini." Izza merengut. "Atas permintaan maaf ayah, Izza mau apa?" "Izza mau jalan-jalan bareng Ayah dan Mama." Ridwan menatap Anita. Meminta pendapat wanita itu. Anita menyentuh punggung Izza. "Untuk saat ini, Izza tak boleh keluar. Izza tidak boleh capek dan ingat, Mama pernah bilang, semakin banyak orang, Izza semakin rawan terpapar virus bakteri. Itu tak baik buat tubuh Izza yang masih lemah."Izza menampilkan wajah sedih. Matanya mulai berkaca-kaca. "Eh, Izza anak Ayah yang paling penurut. Apa yang Mama bilang
"Aku yang terlalu naif, dengan mudahnya mentransfer uang kepada temanku itu. Ternyata barang tak kunjung datang, bahkan orangnya menghilang."**"Wan, kapan kau kembalikan uangku?"Suara langsung memberondong begitu Ridwan menjawab panggilan teleponnya. "Maaf, Zan. Kau tau, aku telah ditipu. Jadi berilah aku waktu.""Ndasmu. Memang aku bapakmu? Aku tak mau tau masalahmu, kau harus kembalikan uangku secepatnya. Aku perlu itu. Kalau kau masih saja ngeyel, aku tidak segan bertindak kasar. Ingat itu!"Panggilan terputus, tanpa memberi kesempatan kepada Ridwan. "Mas lagi ada masalah?" Ridwan terkejut. "Sejak kapan kamu ada di sini?" tanya Ridwan. Ia keluar dari kamarnya. "Udah lama. Ke sini mau ketemu Anita dan Izza. Mereka ke mana?""Mengapa kau masuk tanpa salam?""Aku sudah ngucap salam tadi. Mas saja yang tidak dengar. Kebetulan pintu juga terbuka, jadi aku masuk saja. Kadang aku juga begitu 'kan? Anita sama Izza di mana? Aku rindu mereka.""Belum pulang," jawab Ridwan judes. "H
Bagaimana untuk orang tidak mampu seperti Misna? Bagaimana juga dengan dirinya dan Izza? Apalagi Izza juga akan melakukan biopsi susulan. Ia sangsi apakah Ridwan akan terus memperhatikan mereka. Sekarang obrolan online, bahkan berkunjung juga semakin berkurang. Mungkin besok-besok transferan juga berkurang. Anita tidak bisa lagi mengusir kecemasan, mengingat kebutuhan dirinya dan Izza berkali lipat dari orang biasa. ***Di ruang rapat minimalis berdinding putih bersih, meja dari kayu dan kursi yang kontras, Bayu, Karin, dan beberapa staf sedang konsentrasi musyawarah untuk memecahkan suatu masalah di perusahaan mereka.Tiba-tiba ponsel di saku jas Bayu berdering. Membuat Bayu dan beberapa orang di sana tersentak, terlebih lagi Karin. Mata Bayu mengkilat ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel."Tunggu, sebentar. Aku angkat telpon dulu."Bayu keluar ruangan. Teman-teman di ruangan bersitatap heran. Mengangkat panggilan telepon bukan gaya Bayu. Bayu sering mensenyapkan, ba
"Aku telah kehilangan seorang adik karena kanker. Di dunia ini, hanya kalian keluargaku. Aku tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya."Anita mengerjap. Ia baru menyadari, apakah Bayu hidup sebatang kara? Orang tua Bayu ke mana? Apakah mereka masih hidup? Anita menghela napas beratnya. Ia mengangguk ragu. "Terima kasih."Bayu meraih tangan Anita. "Aku juga berterima kasih padamu. Menganggapku saudara, dan sekarang aku memiliki keponakan cantik dan secerdas Izza."Napas Anita. Ia merutuk dalam hati. Mengapa Bayu terlihat sangat tampan jika bahagia?Seketika ia merasakan hangat menjalar dari tangan. Ia memandang sumber kehangatan, dan segera menarik tangannya. Ia menarik napas, lalu menghembuskan pelan. **"Bujang pang*.""Marasa maka tahu*" Suara melengking dari seorang perempuan dengan dandanan menor.Disahut dengan tawa perempuan lainnya sebangku, Misna. Di samping Misna duduk seorang laki-laki. Dan seorang laki-laki lainnya berdiri, menyandarkan punggung ke dinding, men
"Badan sudah gede, masih saja cengeng."Isma masih menangis. "Sakit, Ma.""Ya gimana lagi? Ini waktunya tidur, mama cape. Coba dibawa tidur. Gitu aja nangis."Anita menciumi ubun-ubun Izza, berharap bisa membantu Izza menenangkan diri.Lingkungan salah satu ujian bagi anak-anak kanker, khususnya bagi mereka yang hanya bisa dirawat di kamar bersama. Mereka harus terbiasa tangisan, jeritan, bahkan berita kematian. Tentu saja, di ruangan bersama juga akan mendapatkan keuntungan, di antaranya saling berbagi informasi, membantu dan saling memotivasi. Terlebih lagi, mereka sama-sama senasib dan sepenanggungan.*Izza sudah dibiasakan bangun pagi-pagi, mandi lalu sarapan. Seperti pagi itu, Izza sudah kelihatan segar setelah mandi. "Isma?!"Anita menoleh sesaat, lalu kembali melanjutkan kegiatannya. Menyuapi Izza. "Isma, kamu kenapa, Nak?" Misna terdengar panik. Perhatian Anita dan Izza teralih ke Isma. Beberapa orang dewasa yang tadinya meringkuk di lantai kini terjaga. "Isma kenapa, Bu
"Hebaaat …." Bayu segera menyambut tubuh Izza. Lima langkah pertama tanpa alat bantu setelah Izza mendapat diagnosis kanker darah. Biasanya Izza berlatih berjalan dengan menggunakan Walker atau alat bantu jalan.Kemoterapi salah satu prosedur medis yang kerap diberikan kepada penderita tumor atau kanker untuk memperlambat ataupun menghentikan sel kanker. Dengan segala kemanfaatannya, kemoterapi juga memiliki beberapa efek samping, di antaranya kerontokan rambut juga pengeroposan tulang. Karena itu, Anita rutin memberikan kepada Izza susu kambing, mengingat susu kambing baik untuk kesehatan tulang dan gigi. Sebelumnya Izza tidak menyukai susu, berkat semangat sembuh yang terus diberikan kepadanya, akhirnya Izza mencoba secara perlahan. Awalnya cuma sepuluh ml, bertahap hingga sekarang Izza sudah menyukai susu kambing. Terutama susu kambing dengan rasa Vanila. Berbeda dengan Bayu. Bayu sering membawakan anak-anak kacang-kacangan, terutama almond. Almond dipercaya memiliki kandungan