Share

5. Aku Lelah

"Yah … ayah!" panggil Anita. Ia terus berjalan hingga memasuki kamar. 

Klik. 

"Astaghfirullaaah … !" pekik Anita.

Dua insan di atas ranjang terlonjak dengan keberadaan Anita. 

"Anita?!" 

Mata Anita menatap nanar. Jantungnya melompat tak beraturan. Dadanya turun naik, menahan napasnya yang memburu. Ia tidak ingin percaya dengan penglihatannya. Kenyataannya, keterkejutan dua orang tersebut sangat nyata.

"Anita, kau datang?" Seorang laki-laki berdiri mendekatinya. Sedang, yang perempuan sibuk merapikan pakaiannya yang tersingkap. 

"Kenapa … kalian tega lakukan ini?" Mata Anita berkaca-kaca. 

"Dengarkan aku dulu. Aku bisa jelaskan." 

Ridwan memegang tangan Anita, tetapi tangan itu keburu menarik. 

"Kenapa? Yah, Izza … di sana berjuang melawan … kematian. Kau di sini …." 

Anita tak sanggup meneruskan ucapannya.

"Dengarkan aku dulu."

"Apa yang didengarkan?!" Anita mulai mengamuk. "Jelas-jelas mataku melihatnya sendiri."

"Nit, tenang ya. Kita bicara baik-baik. Oke."

Anita memalingkan wajahnya ke arah perempuan di atas ranjang. Emosi semakin melonjak tinggi melihat wajah tanpa dosa. Secepat kilat ia merangsek maju, lalu menarik pakaian yang dikenakan perempuan itu.

*

Di lain tempat. 

"Mang Yuni, putar mobilnya?"

Amang Yuni menoleh heran. "Loh, kok?"

"Kita kembali ke rumah Anita. Perasaanku tidak nyaman."

"Pak, nanti meeting kita terlambat. Mengantar Bu Anita sudah memakan waktu berapa jam. Kita sedang keburu, Pak." Karin mengingatkan. 

"Cancel saja."

"Pak?!"

"Putar, Mang!" desak Bayu.

Meski bingung Amang Yuni menurut saja. Bayu sangat mengenal Anita. Anita tidak akan meninggalkan Izza hanya dalam urusan sepele. 

Kalau sekadar ketinggalan barang, masih bisa dikirim pakai jasa pengiriman. Ia semakin khawatir, mengingat Anita yang mondar-mandir di kamar seperti menunggu seseorang dengan cemas. 

Ketika mereka sampai, beberapa orang berkerumun di halaman sambil berbisik-bisik satu sama lain. Bayu cepat berlari, memecah kerumunan itu. 

Di dalam rumah terlihat Anita mengamuk. Pecahan kaca dan barang-barang berceceran di lantai, bahkan bercak darah. Seorang laki-laki berusaha menenangkan Anita, tetapi perempuan itu terus mengamuk. Bayu mengira itu suami Anita. 

Bayu masuk ke dalam. Ia sempat menangkap foto Izza yang hendak dilempar Anita. 

"Nit! Ini foto Izza," teriak Bayu.

Anita terdiam melihat Bayu. 

"Bayu?" 

Anita nampak acak-acakan. Matanya nanar. Rambut kusut. Kerudung Anita entah ke mana. Hilang sosok elegan yang selama ini diam-diam dikagumi Bayu. 

"Hentikan, Nit. Mengamuk tidak akan menyelesaikan masalah." 

Sesaat ia melirik perempuan yang berdiri di samping pintu kamar. 

"Istighfar, Nit."

Ridwan termangu. Melihat laki-laki yang berhasil menenangkan istrinya. 

"Bayu?"

Bayu mengangguk. Ia memegang kedua belah bahu Anita. 

"Kita pulang, yuk!" ucap Anita. 

"Tunggu dulu. Dia siapa?" sela Ridwan.

"Dia orang lain, tapi lebih peduli dengan Izza daripada ayahnya sendiri. Bayu, ayo pulang!" ucap Anita dengan tatapan kosong. Anita meraih kerudungnya yang tercecer di lantai, lalu memasang tanpa peduli kerapiannya.

Bayu menatap punggung Anita yang melangkah gontai. Meninggalkan jejak-jejak darah di lantai. Tiba-tiba matanya tertumpu pada tas selempang yang sempat dipakai Anita. 

Ia segera mengambil tas itu, lalu menyusul Anita yang sudah memasuki mobilnya. 

***

Di dalam mobil Anita kembali menangis. Karin yang duduk di sampingnya hanya bisa mengelus punggung Anita, tanpa tahu harus berkata apa? Sementara Bayu memilih diam, membiarkan Anita melepaskan semua perasaannya. 

"Pak, ini sudah di muka Rantau. Apa kita ke tempat meeting?" 

Bayu masih diam sesaat ia menoleh ke Anita yang sudah berhenti menangis. Ia tidak tahu perempuan di sampingnya sudah baikan atau kehabisan air matanya. 

Anita yang mendengar pertanyaan Amang Yuni segera menyadari situasinya. 

"Biar saya singgah di sini saja, Mang."

"Kamu mau ke mana? Ke Banjarmasin? Naik taksi? Dengan kondisi seperti ini?"

"Mang!" Anita mengabaikan rentetan pertanyaan Bayu. Otaknya memang tak bisa menampung apa-apa lagi, selain ingin secepatnya bertemu putrinya. 

Amang Yuni menepikan mobilnya. Anita merangsek, melewati Bayu. "Buka pintunya, Mang."

Pintu terbuka. Anita segera turun.

Bayu mendesis dengan tindakan Amang Yuni. Amang Yuni menekukkan wajah. 

Bayu terus mengamati Anita dari kejauhan. Anita berjalan gontai tanpa sandal. Pakaian Anita kumal. Warnanya pudar. Bayu meringis melihat batu-batu kerikil yang diinjak Anita, tetapi sepertinya wanita itu sudah kehilangan indra perasa

Bayu teringat awal-awal ia bertemu Anita. Ibu dari Izza itu termasuk wanita fashionable. Pakaian Anita terlihat simpel, tapi kekinian dan terlihat anggun. Namun perlahan, selama anaknya dirawat, beberapa kali bertemu, Anita hanya mengenakan pakaian yang diulang-ulang, sampai akhirnya memudar. 

Kanker yang diderita Izza, telah membuat Anita berubah 180 derajat.

Bayu terkesiap ketika melihat Anita melambaikan tangan saat ada mobil colt yang lewat. Mobil angkutan umum yang biasa dipakai orang Kalimantan Selatan antar kabupaten. 

Bayu bergegas turun ketika melihat mobil itu mulai menepi. 

Bayu berlari hingga ia berhasil menarik tangan Anita. 

"Naik mobilku saja. Tidak aman dengan kondisimu seperti ini." 

Beberapa penumpang di mobil saling berbisik. 

"Jadi naik gak niiih?" tanya Sopir setengah berteriak.

"Jadi." Anita berusaha menarik tangannya, tapi gagal.

"Enggak jadi, Pak. Maaf … Bapak pergilah."

Sopir melajukan mobil. Bayu sempat mendengar gerutuan sang sopir. 

Anita berang. Ia menarik keras hingga pegangan Bayu terlepas. "Bapak selesaikan saja urusan Bapak. Jangan pedulikan saya."

"Siapa yang peduli sama kamu?!" bentak Bayu. Membuat Anita terkesiap. "Saya hanya peduli sama Izza. Bagaimana perasaan Izza melihat kondisimu seperti ini?!"

Disebut nama Izza. Seketika Anita tersungkur ke tangan. Tangisan kembali terdengar. 

Bayu berjongkok, menghadap Anita. 

"Mengapa jadi begini?" suara Anita di sela isaknya, tenggelam di antara deru mobil yang lewat.

Bayu tak bersuara. Ia melepas jasnya, melampirkan ke atas kepala Anita. 

"Aku capek." Tangisnya makin menderu. 

"Masuklah ke mobilku. Kau bisa Istirahat di sana."

Anita menggeleng. Bukan itu yang dimaksudnya. 

"Sebaiknya masuk mobil dulu." Bayu memegang kedua pundak Anita dan berusaha membantu Anita berdiri yang tertatih.

Belum sempurna Anita berdiri, tiba-tiba matanya terpejam. Tubuhnya limbung. Beruntung Bayu sigap menangkap tubuhnya.

**

"Kau istirahatlah! Biar aku jaga Anita," titah Bayu pada Karin setelah dokter merawat Anita pergi.

"Tapi, Pak..."

"Karin!"

Karin tak berani lagi membantah. Ia tahu betul dengan nada itu. 

"Baik, Pak." Karin segera keluar dari kamar hotel itu. 

Bayu duduk di tepi ranjang, di samping Anita yang masih tidak sadarkan diri. Di tangannya sudah terpasang infus. Ia menarik merapatkan selimut yang dikenakan Anita. 

"Kau harus kuat, Nit," bisik Bayu. 

Menatap Anita, seketika berkelebat wajah seorang wanita yang membiru. Bayu mengerjap. Menghalau memori itu muncul. Kenyataannya, semakin diusir, fragmen masa lalu semakin merajalela. Semakin menyesakkan dada. Luka yang belum kering, kini terbuka lagi.

Bayu tak kuasa lagi menahan air matanya. Semakin di tahan, semakin nelangsa batinnya. 

.

.

Sementara Anita, sedikit demi sedikit kesadarannya mulai kembali. Matanya mengerjap pelan. Ada bagian dirinya yang ingin terus memejamkan mata.

"Mamaaa .…"

"Izza!" Anita terlonjak. 

Ia berusaha mengenali ruangan apa yang ditangkap matanya. Bukan kamar Rumah Bahagia, apalagi rumahnya. Setelah bergerak, barulah menyadari kalau di tangannya terpasang infus. 

Ranjang yang direbahinya sangat empuk, ukuran king size, dan selimut yang menutupi badannya sangat lembut. 

Di samping ranjang ada nakas yang di atasnya bertengger sebuah lampu tidur mewah. Di samping lampu, tergeletak tas selempangnya sudah kumal.

Tak jauh dari ranjangnya, satu set sofa minimalis mewah warna abu-abu. Di atas meja ada sebuah koper kecil serta sebuah ponsel pintar. Anita mengenali ponsel itu milik Bayu. 

"Mungkinkah ini hotel?" lirih Anita,  mengingat terakhir yang bersamanya adalah Bayu. 

Perlahan benaknya mulai menampilkan potongan demi potongan kejadian sebelum kesadarannya hilang.

Indra pendengarnya memindai sebuah bunyi air yang terus mengalir. Dari arah bunyi, Anita tau kalau air itu berasal dari kamar mandi. 

"Apa itu Karin?" 

Namun, telinganya mendengar sesuatu yang lain. Ada bunyi timbul tenggelam di balik bunyi air itu.

 

Anita berjalan pelan. Ia mempertajam pendengarannya ketika sampai di samping pintu kamar mandi. Tidak salah lagi. Bunyi orang menangis di kamar mandi. Namun, bukan Karin. Siapa?

 "Pak Bayu?" Anita menutup mulutnya. 

***

Terima kasih telah menemukan dan membaca cerita ini. Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen. Jejak kalian sangat berarti bagi Othur amatiran ini 😀. 

Comments (8)
goodnovel comment avatar
PiMary
Yakin marathon baca ini mah.....keren thor.
goodnovel comment avatar
Mua Wanah
semangat kakak
goodnovel comment avatar
Elia Utami Akhmad
ada ya seorang ayah yg egois .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status