'Bukankah tadi katanya Ridwan ke kamar kecil? Lalu keluar? Mana yang benar?' tanya Anita dalam hati.
Sesaat menatap layar ponsel. Angka di layar tertulis 10.30. Tiba-tiba alarm kewanitaannya berdering nyaring. *** "Mama kita mau ke mana?" tanya Izza heran. "Izza, tenang saja."Anita mendorong kursi roda Izza ke sebuah rumah besar di samping Rumah Bahagia. Sebelumnya, Bayu hanya bisa menyewa untuk Rumah Bahagia. Seiring waktu, akhirnya mampu membeli rumah mewah dengan denah tanah sangat luas. Tak lama ia dapat membangun sebuah rumah di samping rumahnya dengan warna yang sama, itulah Rumah Bahagia. Selama ini rumah besar tersebut hanya Acil Imah yang bisa masuk untuk bersih-bersih, dan Karin sebagai asisten pribadi. Izza juga anak-anak Rumah Bahagia lainnya hanya bisa memandang rumah mewah itu dari luar. Ini pertama kalinya, Bayu membuka rumah pribadinya."Surprise β¦." Izza menahan napasnya. Matanya membulat sempurna. Di dalam rumah mewah itu ternyata sudah ada Bayu dan beberapa teman-teman Izza di rumah sakit bersama orang tuanya masing-masing. Ia memutar kepala, menatap ibunya yang memegang kursi roda. "Mama yang undang teman-teman Izza?"Anita menggeleng. "Mama juga tidak tahu. Ini semuanya, ide Om Bayu."Mulut Izza membulat. Setelah mengunci kursi roda yang ditumpangi Izza, Anita berjongkok di depan Izza. "Selamat ulang tahun, Sayang. Semoga usia Izza berkah, menjadi kebanggaan Allah, ayah dan mama.""Aamiin," ucap Izza, lalu menyambut rentangan kedua tangan mamanya. Anita menciumi pipi Izza dengan linangan air mata. Masih teringat di benaknya saat Izza sempat kolaps. Ia sangat bersyukur, sampai sekarang putrinya masih bertahan."Ko, Mama nangis?" Anita menghapus air matanya. "Mama terharu, Sayang. Mama bangga punya Izza.""Izza juga bangga punya ibu kaya Mama." Anita tersenyum. "Maaf, ya Sayang. Mama belum sempat beli hadiah.""Tak apa. Asal Mama selalu di sisi Izza, Izza sudah senang."Anita mengangguk, lalu berdiri. Memberi kesempatan pada yang lain. "Selamat ulang tahun, Anak Manis. Semoga panjang umur, dan menjadi kebanggaan orang tua." Bayu menyerahkan boneka panda besar yang sedari tadi di pegangnya. "Terima kasih, Om." "Suka enggak?" tanya Bayu."Suka." Izza memeluk boneka yang ukurannya menutupi tubuhnya. Bayu tertawa melihat itu. "Sini, Om pegangin dulu. Teman-teman yang lain juga mau menyapa Izza." Izza menurut. Menyerahkan bonekanya kepada Bayu. "Dik, kakak cuma bisa kasih ini." Huda dengan kursi roda yang didorong ibunya. Ia menyerahkan lukisan kelinci dengan serigala buatannya. Bayu memperhatikan lukisan itu. Ada yang baru dari yang ia lihat sebelumnya di taman. Ada matahari terbit. Mata Bayu berkaca-kaca. Terharu atas semangat Huda. "Izza suka. Terima kasih, Kak."Setelah itu, teman-teman satu persatu mengucap selamat kepada Izza. Izza semakin terlihat ceria. Namun, Anita melihat, sesekali Izza mengedarkan pandangannya ke tempat orang dewasa. ***Setelah shalat Ashar, terlihat Karin yang selalu setia menemani Bayu mengenakan mengenakan blazer warna krim. Melihat hal itu, membuat Anita tiba-tiba mempunyai ide. "Karin, Pak Bayu mau ke mana?" "Mau ke Rantau. Mau apa?" "Kira-kira aku bisa ikut ga?""Bu Anita mau ke Barabai?" Belum sempat Karin menjawab, tiba-tiba Bayu dengan mengenakan kemeja putih, di lengannya tersampir jas hitam warna yang sama dengan celana yang dipakainya. "Bu Anita mau numpang. Dia mau ke Barabai." "Sampai di Rantau saja. Nanti ke Barabai, saya pakai taksi."Bayu menoleh ke arah Izza yang asik menggambar di lantai ruang tamu bersama Huda. "Bagaimana dengan Izza?" tanya Bayu. Anita mendekati Acil Imah yang lagi mengupas bawang. "Cil, titip Izza, mau kan? Saya mau pulang sebentar, ada yang mau diurus. Jika sempat, malam ini saya langsung balik ke sini.""Saya tidak masalah. Izza anak yang pintar. Tapi bagaimana dengan Izza-nya? Dia mau enggak?""Sebentar." Anita beralih ke Bayu. "Sebenarnya ya, Pak."Bayu mengangguk. Anita segera meluncur ke ruang tengah."Izza." Izza menghentikan gerakan tangannya. Menatap ibunya. "Izza, Mama mau ke Barabai sebentar. Ada yang mau diurus. Penting. Izza mau 'kan tinggal sebentar, bersama Acil Imah? Mama usahakan pulang malam ini juga."Anita memerhatikan mata Izza yang mengerjap berkali-kali, bahkan mata itu mulai berkaca-kaca. Dari rautnya, Anita tau Izza belum siap ditinggalkan. Lebih tepatnya, Izza pun ingin pulang, bertemu ayahnya. "Mama janji akan bujuk ayah ke sini.""Benarkah?" seketika mata Izza mengkilat. Anita mengangguk. "Jika ayah tidak mau, ibu seret ayah ke sini."Izza tergelak. "Dosa, Ma."Anita tersenyum. "Iya. In sya Allah, Ayah mau koq. Jadi ga akan diseret. Ya, mau ya? Izza ini tinggal sebentar?"Izza mengangguk ragu. "Pinter anak Mama." Anita memeluk Izza, lalu mencium kedua pipinya. "Yang pinter, ya. Jangan merepotkan Acil Imah. Kalau mau ke kamar kecil, ngomong ya sama Acil Imah atau Kakak Huda."Izza mengangguk patuh."Huda, jaga adik, ya." "Tenang saja, Tante," sahut Huda dengan percaya diri.Selama sebulan diamputasi, Huda sudah mulai lincah bergerak menggunakan kruk tongkat..."Rumah Bu Anita di mana?" tanya Bayu, ketika mobil mereka mulai memasuki daerah dekat Rantau. "Di Barabai, Pak. Saya singgah di Rantau saja, Pak. Nanti ke sana saya naik taksi," jawab Anita, yang duduk di samping Karin. Sedang Bayu duduk di muka, di samping sopir pribadi, Amang Yuni. "Akan kami antar sampai ke rumah." "Jangan. Saya tidak ingin merepotkan Bapak."Bayu mendeham. "Bisa gak, jangan panggil saya Bapak! Panggil saja saya Bayu.""Mana bisa, Pak. Bapak adalah orang yang kami segani.""Tapi saya yang tidak nyaman. Seakan ada sekat di antara orang tua anak-anak Rumah Bahagia. Saya sangat suka seperti anak-anak memanggil saya, lebih akrab.""Baiklah, kalau begitu saya juga memanggil Om."Refleks Bayu berpaling. Karin terkekeh. "Bagaimana Anda yang sudah menikah, memanggil saya Om yang masih single?"Karin tergelak. "Begini saja, saya panggil Anda kamu, jadi kamu manggil saya Bayu. Gimana? Impas kan?""Baiklah, Pak, eh β¦ Ba--yu," eja Anita kaku. "Baiklah. Sekarang katakan di mana rumahmu?" ultimatum Bayu. ***Mobil Toyota Alphard meluncur ke alamat yang disebutkan Anita. Mereka sampai di sana sekitar jam delapan, setelah sekali mampir di jalan untuk shalat Maghrib dijamak shalat Isya. "Terima kasih, Pak," ucap Anita setelah keluar dari mobil, di muka rumahnya. "Pak?!" "Eh, maaf β¦. Bayu.""Baiklah. Kami pergi dulu."Anita mengangguk. "Hati-hati di jalan." Setelah mobil mewah hitam itu meluncur, Anita berpaling, memasuki halaman rumah. 'Ada tamu, ya?' batin Anita, setelah memperhatikan mobil yang parkir di halamannya. Suasana sepi. Tetangga kiri kanan juga sepi. "Assalamu 'alaikum." Anita mengetuk pintu. Hening. Setelah berkali-kali salam tidak ada jawaban, Anita memutuskan membuka dengan kunci cadangan yang dipegangnya. "Yah β¦ Ayah!" panggil Anita. Ia terus berjalan hingga memasuki kamar. Klik. "Astaghfirullaaah β¦." pekik Anita. **Mata Anita masih mengerjap. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. "Kita di mana?" "Di rumah sakit. Syukurlah. Akhirnya kau sudah sadar," ucap sambil menciumi tangan Anita. "Maaf. Aku telah mengganggumu malam pertamamu," lirih Anita.Bayu menggeleng. "Jangan ingatkan aku dengan perkawinan itu! Kau membuatku ketakutan." Bayu terisak. Anita mengelus kepala Bayu. "Maaf. Jangan menangis! Aku sudah tidak apa-apa. Bagaimanapun kau mempunyai dua keluarga, kau harus kuat," ucap Anita tertatih. Entah kenapa ia merasakan kebas rasa. Tak punya tenaga, meski hanya untuk cemburu.Bayu merebahkan kepalanya, menjadikan tangan Anita sebagai alas. "Aku tidak menginginkan itu. Aku hanya ingin menjadi bayimu. Selamanya."Anita tersenyum. "Dasar, Baygon. Pulanglah!""Jangan memaksaku!""Aku hanya tidak ingin kau jadi laki-laki tidak adil." "Justru tidak adil, jika aku di sana, sedang di sini kau terkulai lemas di sini.""Bayu, malam ini β¦.""Ah tunggu, kita panggil dokter dulu."Bayu langsung memence
"Nit! Anit!" Tidak ada jawaban. Bayu mempercepat ketukannya. Senyap. Abbas muncul dari kamar lain dengan wajah kusut. Ketukan dan panggilan Bayu mengusik tidurnya. Karin juga keluar. "Ada apa, Pak?" tanya seorang karyawan."Istri saya ada di dalam, bisa minta kartu kunci duplikat?""Sebentar, ya Pak," ucap karyawan dengan sedikit bingung. Sesaat ia sempat menoleh Karin yang masih berpakaian pengantin. Cahya bergegas melihat Bayu berlalu di depan kamar Anita. Qori dan Huda juga mempercepat langkah mereka. Karyawan datang membawakan cardlock duplikat lalu langsung membukakan pintu. Bayu langsung menerobos. Cahya, Huda dan Qori ingin masuk, tetapi Abbas mencegah mereka. "Biarkan Papa Bayu melihatnya."Di dalam kamar gelap. Bayu membuka lampu. Anita tidak terlihat. Bayu terperanjat ketika melihat telapak kaki Anita tergeletak di lantai. "Nit!" Bayu bergegas meraih kepala Anita lalu mengguncangnya. "Nit!" Tidak ada respon. "Huda, Qori!" teriak Bayu panik. Ia segera mengangkat
"Tapi Kakak yang paling terluka di sini.""Ini takdirku, Cahya. Seberapa besar pun aku berusaha melepaskan diri takdir ini, selalu muncul bagian diriku yang tidak tega meninggalkannya." "Jika itu keputusan Kakak, aku dukung." Cahya meraih bahu Kakaknya. Air mata Anita kembali merembes. "Seberapa pun aku menyiapkan diri, tetap saja hati ini getir. Yang lebih nelangsa, aku tidak boleh menangis di depannya, dan kedua anakku. Aku harus kelihatan lebih tegar agar mereka juga bisa kuat." "Allah tidak akan menguji seseorang melebihi kemampuan. Jika Allah buka hati Kakak untuk tetap di sisi Kak Bayu, Allah pasti memberikan kekuatan lain pada Kakak yang mungkin saat ini tidak Kakak sadari."Di luar sepasang mata sendu mengalirkan air mata antara haru dan pilu. Ia tidak menyangka memiliki istri setulus Anita. Ia sempat menilai berprasangka buruk pada Anita karena tiba-tiba meminta lebih dari separuh hartanya. Ia tetap memberi Anita, karena perasaannya yang terlanjur mencinta.Beberapa menit
Sesaat Abbas menatap isi cangkir yang masih mengepulkan asap. "Haruskah dia kubawa kembali ke Balikpapan?" Bayu menarik cangkir di tangannya, lalu meletakkan ke atas meja. Ia memilih duduk di sofa satu dudukan."Jika itu pilihannya dan bisa membuatnya bahagia," tantang Bayu.Abbas mengerutkan kening. Menatap wajah Bayu yang terlihat tenang. Diam-diam Abbas mengagumi sikap Bayu. Tenang, tetapi tegas.Dua sifat inilah yang mengantarkan Bayu bisa setinggi sekarang ini. Abbas duduk di sofa panjang. Refleks ia mengambil cangkir yang tadi diletakkan Bayu. "Tapi kau harus berbalik dan memulainya dari awal, sama seperti kau mengambil kopi itu. Tapi Anita bukan cangkir, bukan pula kopi. Ia memiliki pilihannya sendiri." "Aku tidak rela kau menduakannya.""Kau pikir aku rela? Aku pun berpikir keras bagaimana supaya pernikahanku dengan Karin tidak terjadi.""Haruskah aku yang menikahi Karin?" Bayu tertawa. "Dari mana kau mendapatkan kepercayaan diri setinggi ini?"**"Pak!" Karin tersenyum
Hari pernikahan Bayu dengan Karin sudah ditentukan. Undangan sudah disebarkan. Atas permintaan Acil Imah rencana perkawinan mereka diselenggarakan cukup mewah. Karena Karin anak Acil Imah satu-satunya. Baru beberapa hari undangan disebarkan, Anita semakin merasa tertekan. Berbagai pandangan mengarah kepadanya. Tatapan kasihan, meremehkan bahkan menghina menjadi santapannya beberapa hari terakhir. Sedang beberapa gadis lainnya semakin terang-terangan mendekatinya. Sebuah minuman dalam gelas plastik mendarat di atas mejanya. Ia mencermati nama kafe yang tertulis di gelas itu. Lalu menengadahkan kepala, menatap si pemberi. "Kafe baru buka di dekat sini. Kebetulan aku mampir, jadi aku pesan aja dua. Sekalian buat Bu Anita."Anita terdiam. Mengamati perempuan di depannya. Dibanding Adilia, kali ini pakaian dan tutur katanya lebih sopan. Hanya saja, Anita tetap tidak bisa membuang kecurigaan. "Hallo, Nit." Tiba-tiba seorang laki-laki datang. Dengan santainya ia mengambil gelas itu dan
Bayu tersenyum. Ia mengecup sekilas sepasang merah ranum di wajah Anita. "Memangnya apa yang kau inginkan?""Aku ingin 52% saham dan semua harta dari yang kau miliki."Bayu terperanjat. Ia terdiam, mengamati setiap partikel manik hitam istrinya. Ia memang pebisnis handal, tapi bukan sebagai seorang laki-laki. Meski begitu, ia perlu mencerna setiap situasi. Memprediksi berbagai kemungkinan. Satu hal yang harus ia sadari, pemikiran perempuan lebih rumit daripada struktur perusahaan. Ia curiga ini bukan sekadar permintaan materi, melainkan sebuah ujian. Bukan sekadar dipenuhi atau tidak, melainkan bom waktu. Tak peduli memilih kabel yang mana, keduanya berisiko meledak.Mata Anita bergerak-gerak, menunggu keputusan Bayu. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia merasa jawaban Bayu adalah hidup matinya. Iya atau tidak, keduanya berisiko tebasan nyawa.Semenit dua menit berlalu. Keduanya masih terdiam. HeningBayu mempertimbangkan banyak hal. Jika tidak dikabulkan, jawabannya s