Share

4. Alarm Wanita

'Bukankah tadi katanya Ridwan ke kamar kecil? Lalu keluar? Mana yang benar?' tanya Anita dalam hati. 

Sesaat menatap layar ponsel. Angka di layar tertulis 10.30. 

Tiba-tiba alarm kewanitaannya berdering  nyaring. 

*** 

"Mama kita mau ke mana?" tanya Izza heran. 

"Izza, tenang saja."

Anita mendorong kursi roda Izza ke sebuah rumah besar di samping Rumah Bahagia. 

Sebelumnya, Bayu hanya bisa menyewa untuk Rumah Bahagia. Seiring waktu, akhirnya mampu membeli rumah mewah dengan denah tanah sangat luas. Tak lama ia dapat membangun sebuah rumah di samping rumahnya dengan warna yang sama, itulah Rumah Bahagia. 

Selama ini rumah besar tersebut hanya Acil Imah yang bisa masuk untuk bersih-bersih, dan Karin sebagai asisten pribadi. Izza juga anak-anak Rumah Bahagia lainnya hanya bisa memandang rumah mewah itu dari luar. Ini pertama kalinya, Bayu membuka rumah pribadinya.

"Surprise …." 

Izza menahan napasnya. Matanya membulat sempurna. Di dalam rumah mewah itu ternyata sudah ada Bayu dan beberapa teman-teman Izza di rumah sakit bersama orang tuanya masing-masing. 

Ia memutar kepala, menatap ibunya yang memegang kursi roda. 

"Mama yang undang teman-teman Izza?"

Anita menggeleng. "Mama juga tidak tahu. Ini semuanya, ide Om Bayu."

Mulut Izza membulat. 

Setelah mengunci kursi roda yang ditumpangi Izza, Anita berjongkok di depan Izza. "Selamat ulang tahun, Sayang. Semoga usia Izza berkah, menjadi kebanggaan Allah, ayah dan mama."

"Aamiin," ucap Izza, lalu menyambut rentangan kedua tangan mamanya. 

Anita menciumi pipi Izza dengan linangan air mata. Masih teringat di benaknya saat Izza sempat kolaps. Ia sangat bersyukur, sampai sekarang putrinya  masih bertahan.

"Ko, Mama nangis?" 

Anita menghapus air matanya. "Mama terharu, Sayang. Mama bangga punya Izza."

"Izza juga bangga punya ibu kaya Mama." 

Anita tersenyum. "Maaf, ya Sayang. Mama belum sempat beli hadiah."

"Tak apa. Asal Mama selalu di sisi Izza, Izza sudah senang."

Anita mengangguk, lalu berdiri. Memberi kesempatan pada yang lain. 

 

"Selamat ulang tahun, Anak Manis. Semoga panjang umur, dan menjadi kebanggaan orang tua." Bayu menyerahkan boneka panda besar yang sedari tadi di pegangnya. 

"Terima kasih, Om." 

"Suka enggak?" tanya Bayu.

"Suka." Izza memeluk boneka yang ukurannya menutupi tubuhnya. 

Bayu tertawa melihat itu. "Sini, Om pegangin dulu. Teman-teman yang lain juga mau menyapa Izza." 

Izza menurut. Menyerahkan bonekanya kepada Bayu. 

"Dik, kakak cuma bisa kasih ini." Huda dengan kursi roda yang didorong ibunya. Ia menyerahkan lukisan kelinci dengan serigala buatannya. 

Bayu memperhatikan lukisan itu. Ada yang baru dari yang ia lihat sebelumnya di taman. Ada matahari terbit. Mata Bayu berkaca-kaca. Terharu atas semangat Huda. 

"Izza suka. Terima kasih, Kak."

Setelah itu, teman-teman satu persatu mengucap selamat kepada Izza. Izza semakin terlihat ceria. Namun, Anita melihat, sesekali Izza mengedarkan pandangannya ke tempat orang dewasa. 

 

***

Setelah shalat Ashar, terlihat Karin yang selalu setia menemani Bayu mengenakan mengenakan blazer warna krim. Melihat hal itu, membuat Anita tiba-tiba mempunyai ide. 

"Karin, Pak Bayu mau ke mana?" 

"Mau ke Rantau. Mau apa?" 

"Kira-kira aku bisa ikut ga?"

"Bu Anita mau ke Barabai?" 

Belum sempat Karin menjawab, tiba-tiba Bayu dengan mengenakan  kemeja putih, di lengannya tersampir jas hitam warna yang sama dengan celana yang dipakainya. 

"Bu Anita mau numpang. Dia mau ke Barabai." 

"Sampai di Rantau saja. Nanti ke Barabai, saya pakai taksi."

Bayu menoleh ke arah Izza yang asik menggambar di lantai ruang tamu bersama Huda. 

"Bagaimana dengan Izza?" tanya Bayu. 

Anita mendekati Acil Imah yang lagi mengupas bawang. "Cil, titip Izza, mau kan? Saya mau pulang sebentar, ada yang mau diurus. Jika sempat, malam ini saya langsung balik ke sini."

"Saya tidak masalah. Izza anak yang pintar. Tapi bagaimana dengan Izza-nya? Dia mau enggak?"

"Sebentar." Anita beralih ke Bayu. "Sebenarnya ya, Pak."

Bayu mengangguk. Anita segera meluncur ke ruang tengah.

"Izza." 

Izza menghentikan gerakan tangannya. Menatap ibunya. 

"Izza, Mama mau ke Barabai sebentar. Ada yang mau diurus. Penting. Izza mau 'kan tinggal sebentar, bersama Acil Imah? Mama usahakan pulang malam ini juga."

Anita memerhatikan mata Izza yang mengerjap berkali-kali, bahkan mata itu mulai berkaca-kaca. Dari rautnya, Anita tau Izza belum siap ditinggalkan. Lebih tepatnya, Izza pun ingin pulang, bertemu ayahnya. 

"Mama janji akan bujuk ayah ke sini."

"Benarkah?" seketika mata Izza mengkilat. 

Anita mengangguk. "Jika ayah tidak mau, ibu seret ayah ke sini."

Izza tergelak. "Dosa, Ma."

Anita tersenyum. "Iya. In sya Allah, Ayah mau koq. Jadi ga akan diseret. Ya, mau ya? Izza ini tinggal sebentar?"

Izza mengangguk ragu. 

"Pinter anak Mama." Anita memeluk Izza, lalu mencium kedua pipinya. 

"Yang pinter, ya. Jangan merepotkan Acil Imah. Kalau mau ke kamar kecil, ngomong ya sama Acil Imah atau Kakak Huda."

Izza mengangguk patuh.

"Huda, jaga adik, ya." 

"Tenang saja, Tante," sahut Huda dengan percaya diri.

Selama sebulan diamputasi, Huda sudah mulai lincah bergerak menggunakan kruk tongkat.

.

.

"Rumah Bu Anita di mana?" tanya Bayu, ketika mobil mereka mulai memasuki daerah dekat Rantau. 

"Di Barabai, Pak. Saya singgah di Rantau saja, Pak. Nanti ke sana saya naik taksi," jawab Anita, yang duduk di samping Karin. Sedang Bayu duduk di muka, di samping sopir pribadi, Amang Yuni. 

"Akan kami antar sampai ke rumah." 

"Jangan. Saya tidak ingin merepotkan Bapak."

Bayu mendeham. "Bisa gak, jangan panggil saya Bapak! Panggil saja saya Bayu."

"Mana bisa, Pak. Bapak adalah orang yang kami segani."

"Tapi saya yang tidak nyaman. Seakan ada  sekat di antara orang tua anak-anak Rumah Bahagia. Saya sangat suka seperti anak-anak memanggil saya, lebih akrab."

"Baiklah, kalau begitu saya juga memanggil Om."

Refleks Bayu berpaling. Karin terkekeh. 

"Bagaimana Anda yang sudah menikah, memanggil saya Om yang masih single?"

Karin tergelak. 

"Begini saja, saya panggil Anda kamu, jadi kamu manggil saya Bayu. Gimana? Impas kan?"

"Baiklah, Pak, eh … Ba--yu," eja Anita kaku. 

"Baiklah. Sekarang katakan di mana rumahmu?" ultimatum Bayu. 

***

Mobil Toyota Alphard meluncur ke alamat yang disebutkan Anita. Mereka sampai di sana sekitar jam delapan, setelah sekali mampir di jalan untuk shalat Maghrib dijamak shalat Isya. 

"Terima kasih, Pak," ucap Anita setelah keluar dari mobil, di muka rumahnya. 

"Pak?!" 

"Eh, maaf …. Bayu."

"Baiklah. Kami pergi dulu."

Anita mengangguk. "Hati-hati di jalan." 

Setelah mobil mewah hitam itu meluncur, Anita berpaling, memasuki halaman rumah. 

'Ada tamu, ya?' batin Anita, setelah memperhatikan mobil yang parkir di halamannya. 

Suasana sepi. Tetangga kiri kanan juga sepi. 

"Assalamu 'alaikum." Anita mengetuk pintu. Hening. 

Setelah berkali-kali salam tidak ada jawaban, Anita memutuskan membuka dengan kunci cadangan yang dipegangnya. 

"Yah … Ayah!" panggil Anita. Ia terus berjalan hingga memasuki kamar. 

Klik. 

"Astaghfirullaaah …." pekik Anita. 

**

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rema Melani
thor,... jantungku tak ikat kuat2,.. biar gak lepas,....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status