Share

6. Rahasia Bayu

Anita berjalan pelan. Ia mempertajam pendengarannya ketika sampai di samping pintu kamar mandi. Tidak salah lagi. Suara orang menangis di dalam. Namun, bukan Karin. Siapa?

 "Pak Bayu?" Anita menutup mulutnya. 

Anita segera kembali ke ranjangnya. Langkahnya terjingkat ketika merasakan perih di kakinya.  

Ketika sampai di ranjang ia langsung mengangkat kakinya, terlihat plester ukuran jumbo menempel di kaki kanannya. 

Tak lama Bayu keluar sambil menggosok kepalanya dengan handuk.

"Sudah bangun?" Bayu merapatkan piama mandinya ketika menyadari Anita sudah duduk di tepi ranjang.

Bayu menyalakan ponsel, memeriksa pesan lalu mengetik suatu pesan. Kemudian mengeluarkan pakaiannya dari koper kecil dan kembali ke kamar mandi. 

Hanya beberapa menit, Bayu keluar dengan wajah terlihat lebih segar. Namun, Anita melihatnya, ada duka di balik wajah itu dan baru kali ini Anita melihatnya. 

Bayu menggeser sofa satu dudukan, lalu  duduk menghadap Anita. 

"Sekarang bagaimana keadaanmu? Sudah agak baikan?"

Anita mengangguk. "Terima kasih, Pak. Maaf, telah merepotkan Bapak."

"Bapak lagi?"

"Maaf." 

Tiba-tiba Anita teringat jam. "Jam berapa sekarang?"

Bayu mengangkat tangannya yang berarloji. "Hampir jam dua belas."

"Kira-kira travel ada ga jam segini?"

"Mau ke Banjarmasin? Ini sudah lari larut malam, Nit." 

"Izza tidak pernah ditinggalkan. Khawatir sangat merepotkan Acil Imah." 

"Tapi kamu juga harus istirahat. Lihat tanganmu. Dokter sampai memberi infus," gerutu Bayu. 

"Tapi …."

"Begini saja, aku telpon Acil Imah, oke."

"Apa tidak terlalu malam?!"

Bayu mengambil ponselnya. "Acil Imah selalu mengangkat telponku, kapanpun itu," ucap Bayu, sambil menyentuh ikon daftar panggilan. 

Hanya beberapa detik, sudah ada sahutan dari seberang. "Hallo …. Pak?"

Bayu menyerahkan ponselnya pada Anita. 

"Cil, saya Anita. Bagaimana Izza? Dia sudah tidur? Dia nangis tidak? Pasti merepotkan Acil."

Terdengar tawa dengan rentetan pertanyaan Anita. 

"Izza sudah tidur. Dia pintar ko. Sekarang tidur sama neneknya."

"Nenek Izza?"

"Iya. Tak lama kamu berangkat, neneknya datang." 

"Baiklah, kalau begitu. Makasih, Cil."

"Sama-sama."

"Ya sudah, saya tutup, ya Cil. Assalamualaikum."

Anita memutuskan panggilan setelah terdengar jawaban salam dari Acil Imah. 

Anita termangu. Ponsel Bayu masih dipegangnya. 

"Siapa yang datang?" tanya Bayu.

"Neneknya," jawabnya, lalu menyerahkan ponsel Bayu. Anita kembali melamun. 

"Nit," panggilan Bayu memecah lamunan Anita.

"Ya, Pak?"

"Boleh aku ngomong sesuatu padamu?"

Anita mengangguk lemah. Kedatangan orang tua Ridwan memenuhi ruang pikirannya. 

"Apa pun permasalahanmu, cobalah bersikap tenang."

Ia mengangkat wajahnya, menatap Bayu. 

"Permasalahan rumah tanggamu memang rumit, tapi jangan sampai mempengaruhi dalam merawat Izza. Jangan sampai Izza merasakan dampaknya."

Air mata Anita mulai menganak sungai. Ia tak yakin bisa bersikap tidak terjadi apa-apa di depan Izza. 

"Bertahanlah."

 Anita menatapnya tangannya yang digenggam Bayu. Ia tau, ia tidak boleh disentuh laki-laki bukan suaminya, tapi ada sisi lain yang menahannya. Ia sangat lemah saat ini. Ia butuh seseorang yang menopangnya. Seseorang yang memberinya kekuatan.

"Berjanjilah padaku, agar selalu bersikap tenang dan tegar demi Izza."

Anita mengangguk. 

Bayu tersenyum. "Kamu tau, Izza anak yang paling kusayangi. Kalau dia kenapa-napa, aku tidak memaafkanmu."

Anita tercenung. Tatapannya lekat pada manik hitam milik Bayu. Anita yakin, Bayu tadi menangis di kamar mandi.

 "Bolehkah kita saudaraan?" 

Sebelah alis Bayu terangkat. 

"Supaya Izza punya paman, yang selalu peduli padanya."

"Tentu saja boleh. Aku sangat berterima kasih dan bahagia memiliki keponakan seperti Izza."

Anita tersenyum. Kembali ia menatap manik hitam milik Bayu. Ia tak menyangka di balik mata indah, teduh dan teguh itu, bersemayam kesedihan yang tidak diketahui oleh siapapun. 

 

Anita mengangguk. "Kalau begitu, bisakah cerita padaku, mengapa kamu tadi menangis di kamar mandi?"

Bayu terkesiap. Ia tak menyangka tangisannya sampai didengar Anita. 

"Aku tau ini terlalu lancang, tapi kita sudah saudara, meski tidak sedarah. Kamu juga memiliki banyak kebaikan kepada kami, apa salahnya jika kami ikut menanggung beban yang kamu rasakan?"

Bayu masih tak bersuara. Seorang laki-laki ketahuan menangis, baginya tentu ini sangat memalukan. 

"Apa kamu teringat adikmu?" tanya Anita pelan. 

Bayu tercengang. 

"Dari mana kamu tau? Siapa yang cerita?" selidik Bayu.

"Dari Acil Imah. Acil Imah bilang, dulu kamu punya adik yang meninggal disebabkan kanker. Mungkin karena itulah kamu begitu sayang kepada anak-anak kanker."

"Hanya itu?" 

Anita mengangguk. 

Bayu menghela napasnya. "Iya, betul. Adikku memang meninggalkan disebabkan kanker. Dan itu meninggalkan trauma bagiku. Karena itu, aku mohon, jagalah Izza selalu. Melihatnya, aku seperti melihat adikku sendiri."

Anita menatap lekat. Ia tau, masih ada yang disembunyikan Bayu.

"Aku janji. Demi izza, apapun akan aku lakukan."

"Bagus." Bayu tersenyum puas. Ia mengeluarkan selembar kartu dan meletakkannya ke tangan Anita. 

"Apa ini?" Anita mencermati kartu ATM yang sekarang ada di tangannya.

"Sebagai paman, saat ini, hanya ini yang bisa kulakukan. Belikan herbal, vitamin, nutrisi atau apapun yang menunjang kesembuhan dia. Penuhilah segala keperluan dan permintaannya. Ya."

Anita tertawa kecil. Matanya berair. "Kalau semua permintaannya dipenuhi, dia jadi manja."

"Aku percaya Izza. Dia tidak akan seperti itu."

Anita sekali lagi memperhatikan kartu ATM itu. Ia tidak nyaman menerimanya, kebaikan Bayu padanya dan Izza sudah terlalu banyak. Tidak akan pernah bisa membalasnya. Namun, ia sendiri yang memulai untuk bersaudara. Sebagai saudara tentu harus saling terbuka, memberi dan menerima. 

"Baiklah, kalau begitu. Terima kasih, ya."

Bayu tersenyum sempurna. Sesaat Anita terkesiap. Ia baru menyadari, kalau ia bisa berbicara dengan laki-laki dermawan sedekat ini. 

Anita meneguk ludah. Ia baru tahu, kalau Bayu ternyata sangat tampan. Mata teduh dipayungi alis tebal dengan ukiran indah, di selanya bertengger hidung mancung. Kulit putih, bersih, menjadi sempurna dihiasi bibir merah. 

Anita mengerjap. Anita beristigfar dalam hati. Ia menyesal meminta Bayu menjadi saudara. Ini fitnah. 

Bunyi ketukan pintu terdengar. Bayu berdiri membuka pintu. Muncul seorang karyawan hotel membawa meja dorong yang di atas beberapa buah tudung saji dari stainless.  Bayu menyambutnya, mengucapkan terima kasih, lalu menutup pintu.

"Makanlah, kamu pasti lapar." Bayu meletakkan meja dorong itu di samping Anita. "Setelah itu istirahatlah. Pastikan kamu istirahat yang cukup, supaya lebih segar ketika bertemu Izza."

"Kamu tidur di mana?" tanya Anita ketika langkah melihat Bayu mengarah keluar.

Langkah Bayu terhenti. Ia mengangkat alisnya, menatap Anita. 

"Maksudku, kamar ini kan kamu yang nyewa."

"Oh, aku bisa menyewa satu lagi. Tenang saja." Bayu menggerakkan gagang pintu. "Jangan lupa kunci pintunya."

***

Sekitar jam enam Karin masuk ke kamar Anita bersama seorang dokter. Setelah memastikan Anita sudah membaik, dokter itu melepaskan infus di tangan Anita. 

"Bersiap-siaplah! Pak Bayu sudah menunggu di bawah. Kita sarapan bersama," ucap Karin, setelah dokter itu keluar. 

Anita mengangguk. "Karin, dokter itu …?"

Karin mengerutkan kening. "Ooh. Itu dokter perusahaan. Jangan khawatir."

Anita mendesah. "Aku terlalu merepotkan Pak Bayu."

Karin hanya merespon dengan senyuman tipis.

Setelah Karin keluar, Anita mengeluarkan ponselnya yang ada di dalam tas. 

Ia menyalakan ponselnya. Menatap ikon daftar panggilan yang masih kosong notifikasi.

"Jika masih punya hati nurani, seharusnya kamu menanyakan keberadaanku," gumam Anita. 

Jarinya menyentuh ikon aplikasi warna hijau yang sudah muncul angka merah 99 .

Jari Anita terus menscroll melewati pesan beberapa group, sampai akhirnya pada pesan dari seseorang yang membuat jantungnya melompat tinggi. Darah mendesir. Emosi meluap. Matanya berkaca-kaca. 

Dari Rana, sahabat, sekarang jadi madunya.

[Aku tak perlu minta maaf, karena kamu juga menganiayaku]

[Asal kamu tahu, Ridwan itu mantanku. Jadi aku hanya mengambil apa yang pernah kumiliki]

[Oh tidak. Aku tidak mengambilnya. Aku hanya meminta sedikit waktu dan perhatiannya]

[Seharusnya kamu bersyukur dan berterima kasih padaku. Uang yang sering Ridwan transfer padamu, itu juga uangku. Coba mikir, bagaimana bisa Ridwan bisa rutin mentransfer sebanyak itu dalam kondisi keuangan toko yang kolaps]

Gleg. Apa yang terjadi? Batin Anita. Ia tidak tahu kalau suaminya sebenarnya mantan sahabatnya. Ia tidak tahu kalau sebenarnya dirinya yang merebut Ridwan dari Rana. Dan apa maksudnya uang yang ditransfer suaminya adalah uang Rana? Keuangan toko kolaps? 

Dan beberapa rentetan pertanyaan yang membuat kepala Anita mendadak jadi pusing.

🍒

Terima kasih ❤️

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rema Melani
inget Rana,.. ada hukum karma ya,..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status