Nura's POV
"Kalau kamu mau dengan pemberianku, besok ikut saya keluar kota selama dua hari."
Aku masih terdiam sejenak kemudian kembali berkata, "Orang-orang kantor akan mencurigai saya, Pak."
"Besok pagi kamu bisa izin tidak masuk kerja dengan alasan menunggu ibumu yang sakit. Nanti akan saya jemput di rumahmu jam delapan pagi."
Tanpa berpikir lagi aku mengangguk. Otak kotorku tidak bisa berpikir panjang. Selain mendapatkan kemudahan dengan cara apapun. Apalagi ditambah dengan kekalutan pikiran karena memikirkan Ilham.
Pak Rony juga bukan pria yang buruk rupa. Dia masih menawan di usianya yang setengah abad.
🌺🌺🌺
Kedatangan mobil Fortuner di depan rumahku sepagi itu, merupakan awal petualangan tergilaku kedua setelah sempat memanfaatkan Ilham.
Mobil meluncur keluar kota. Pak Rony menyuruhku menu
Aku memandang langit jingga yang kian memudar. Menikmati semilir angin sore, menyejukkan dan mengibarkan jilbab warna biru yang kupakai.Aku suka senja. Aku suka dengan segala keindahannya. Pada senja aku bisa berbagi rasa meski hanya duduk diam dan memandanginya.Meski bertemu senja hanya sebentar.Sudah hampir setengah jam aku duduk di depan teras rumah Ibu, menunggu gadis kecilku pulang ke rumah setelah mengaji."Mama, Assalamu'alaikum," sapanya riang."Wa'alaikumsalam, Sayang," jawabku sambil menerima uluran tangannya."Syifa mau balik lagi ke Masjid, Ma. Ini mau ngambil mukena. Mau Salat Maghrib di Masjid.""Sama siapa?""Sama teman-teman.""Nanti kalau sudah azan Ibu nyusul. Jangan khawatir sudah seminggu ini Syifa jamaah sama Ibu di Masjid. Biasanya dia akan berangkat dulu sam
Wanita itu tersenyum ramah sambil menyalamiku. Ini pertemuan pertama kami lagi setelah konseling beberapa bulan yang lalu. Tapi kali ini aku datang seorang diri, bahkan Mas Ilham tidak mengetahuinya. Aku telah menelepon dan membuat janji temu seminggu sebelumnya.Bu Aisyah mempersilakan duduk. Menyuguhkan sebotol air mineral dan setoples camilan."Terima kasih," ucapku sambil mengangguk.Pembicaraan dimulai diluar jalur konsultasi. Beliau menanyakan usia kehamilanku dan mendoakan agar lancar ketika persalinan. Kemudian aku mulai menceritakan maksud tujuanku datang lagi.Beliau mengira kami telah selesai dengan masalah yang kemarin. Aku menceritakan semuanya, tidak ada yang aku tutupi. Termasuk perubahan Mas Ilham yang lebih religius dan ingin menebus kesalahannya.Aku di sini tidak mencari pembenaran sendiri agar di bela. Aku sedang mencari solusi tentan
Pagi yang basah, setelah semalaman hujan mengguyur bumi. Cuaca sekarang tidak bisa diprediksi. Kemarau hanya sebentar lantas musim hujan akan berkepanjangan.Kami duduk berdua menikmati sarapan nasi goreng."Kamu ingin makan apa, biar nanti Mas belikan?" tanya Mas Ilham sambil menyuap makanannya.Aku menggeleng. Sedang tidak ingin apapun."Mas ingin membersamaimu dengan kehamilan ini. Kenapa tidak pernah meminta Mas untuk membelikan sesuatu?" Dia mengungkapkan rasa penasarannya. Kurasa itu pertanyaan yang mungkin sudah di simpan lama."Bayi ini enggak rewel kok, Mas," jawabku singkat. Padahal sebenarnya, sejak awal banyak yang diinginkan. Namun aku berusaha untuk mendapatkannya sendiri.Demi bayi ini aku harus bahagia. Apapun kemelut dalam hati. Aku masih ingat apa yang dikatakan Ibu Aisyah dipertemuan kedua kami."Seperti y
Gerimis kembali turun malam itu. Aku rebahan di kasur lantai depan TV. Mas Ilham duduk di sebelahku sambil fokus ke layar laptop.Semenjak aku hamil, dia mengerjakan pekerjaan kantor tidak di ruang kerjanya. Namun di dekatku seperti sekarang ini. Kadang juga di kamar saat aku tiduran di sana.Dia menoleh sebentar saat aku mengusap perut yang kian membulat."Sudah belajar menendang dia," ucapnya sambil tersenyum saat merasakan sundulan kecil pada telapak tangannya."Sakit tak?"Aku menggeleng. Bukan sakit, tapi seru dan membanggakan. Meski kadang tiba-tiba membuat kaget ketika aku terlelap.Begitulah hari-hariku selanjutnya. Kujalani dengan fokus pada Syifa dan adiknya yang masih dalam kandungan.Mas Ilham makin protektif meski banyak pekerjaan yang menyita waktu dan pikirannya. Dia makin sibuk dengan beberapa pro
"Ma, adeknya boleh dicium, enggak?" tanya Syifa sambil memperhatikan adeknya yang tidur di box bayi. Dia baru dijemput papanya habis Maghrib ini dari rumah Ibu."Boleh," jawabku sambil tersenyum.Aku hendak berdiri dari dudukku, tapi Mas Ilham menahan. "Biar Mas saja yang gendong."Mas Ilham mengendong putranya untuk di dekatkan dengan sang kakak. Mereka bertiga duduk di sofa depan brankar. Syifa mencium adeknya berkali-kali. Mengelus pipi kemerahan itu dengan gemas. Membuat bayi yang masih merah dalam bedong itu terusik. Kepalanya bergerak-gerak tapi tidak terbangun."Adek namanya siapa, Pa?""Abian.""Abian?""Iya, bagus, 'kan?" jawab Mas Ilham sambil memandang putrinya.Abian Aarav Bagaskara, nama yang kami berikan untuk pangeran kecil kami.Syifa mengangguk senang. Aku melihat ke
Acara aqiqah Abian baru saja selesai. Mama dan para saudara sudah pamitan pulang. Aku masuk kamar dengan rasa lelah. Ingin segera berbaring dan istirahat. Namun, Abian mulai rewel, bahkan setelah minum ASI."Mungkin dia masih lapar, Vi. Coba kasih ASI lagi," kata Ibu yang masuk ke kamar kami.Ibu menungguku yang sedang menyusui. Namun Abian tidak mau minum ASI lagi. Mungkin sudah kenyang karena hampir dua puluh menit dia minum tadi. Aku sampai bingung, hingga Mas Ilham masuk kamar setelah selesai Salat Isya."Kenapa rewel? Sini Papa gendong." Tanpa berganti baju dulu, Mas Ilham mengambil Abian dari pangkuanku. Baru diayun sebentar putra kecil kami diam dan terlelap.Sejak dia lahir, seperti memiliki ikatan batin dengan papanya. Padahal waktu proses kelahirannya tidak ditunggui.Ibu berdiri dan mendekati cucunya. "Manja sama papanya dia, nih," ucap Ibu sambil m
Part 58[Hari ini, Mas pulang telat, enggak?]Aku mengirim pesan untuk Mas Ilham di jam istirahatnya siang itu.[Insya Allah, tidak Sayang. Ada apa? Mau dibelikan sesuatu?]Balas Mas Ilham beberapa menit kemudian.[Enggak ada. Aku cuman tanya aja.]Tidak lama setelah balasan pesanku terkirim, Mas Ilham menelepon."Ada apa?" tanya Mas Ilham buru-buru. Ada nada cemas dalam suaranya. Mungkin karena aku tidak biasa menanyakan hal itu."Enggak apa-apa. Aku tunggu di rumah."Agak lama baru terdengar jawaban, "Ya."Telepon kututup. Aku ke belakang, menyiapkan botol ASI untuk menampung air susu yang akan ku pompa nanti. Harus menyediakan cukup untuk semalam.Aku sudah bilang ke Ibu kalau aku dan Mas Ilham akan keluar malam ini. Ibu akan ditemani Budhe untuk
Part 59Mas Ilham membuang pandangan pada hujan di luar. Napasnya tersengal sebentar saat menahan emosi. Untuk beberapa saat kami terdiam.Rasa sesak juga menghimpit dadaku sendiri. Tidak kupungkiri aku masih mencintainya, rasa sakit dan kecewa tidak merubah segalanya."Kenapa kita harus berpisah? Mas mencintaimu dan anak-anak. Berikan Mas kesempatan, Vi," ucapnya sendu."Aku hanya enggak ingin terluka lagi, Mas. Masalah kita yang kemarin sudah kumaafkan meski mungkin aku enggak akan bisa melupakan. Tapi aku takut, kelak akan ada Nura-Nura yang lain. Mas pria yang mapan. Karier Mas cemerlang, Mas juga tampan, berada di lingkaran pergaulan kelas atas. Jujur aku takut dikecewakan lagi. Aku takut Mas mengkhianati pernikahan kita lagi. Perempuan seperti Nura akan mengincar pria seperti, Mas. Tidak peduli beristri atau belum."Mas Ilham menatapku lekat sambil mendekat. Dia