Sebuah minimarket menjadi tujuan utama Rebecca. Rasa pusing yang menyakiti kepala dan mual di perut yang begitu menyiksa mengharuskan Rebecca untuk lebih dulu memprioritaskan.
Di teras minimarket itu dia sendirian menikmati sebotol minuman penghilang pengar–efek dari mabuk alkohol. Tatapannya begitu kosong seiring berangsur-angsur rasa tidak mengenakkan itu tak lagi dia rasakan.
Rebecca menghela napas kasar. Batinnya mengeluhkan awal hari yang lagi-lagi dilalui buruk. Sebab sejak pagi naas itu dia tidak pernah lagi merasakan seujung kuku pun kebahagiaan. Seolah-olah mulai pagi naas itu takdir Rebecca sudah digariskan terisi oleh keburukan yang menyapu bersih kebahagiaan.
Rebecca merasa tidak pernah melakukan dosa keji yang membuatnya harus ditindak tidak adil seperti itu. Dia bahkan tidak pernah mengusik kehidupan orang lain termasuk Rowena–saudara tirinya.
Pantaskah Rebecca direndahkan sejatuh-jatuhnya seperti itu?
Lamunan Rebecca terpecah oleh notifikasi telepon masuk yang sempat mengejutkannya. Dia berhasil mengeluarkan handphone miliknya dari tas. Detik itu juga wajah lusuh Rebecca telah bersinar melihat nama si penelepon pada layar handphone.
Jolie calling ...
“Jolie–”
“Where are you, Becca!” suara panik Jolie–sahabatnya menginterupsi Rebecca yang ingin menyapa dari seberang sana. “Kau ini ... argh! Aku sudah seperti orang gila menghubungi dan mencarimu! Kau ada di mana?! Kau mau tahu? Aku seperti disambar petir saat mendengar kabar terbaru setibanya aku di rumahmu kemarin malam! Becca ... oh my! Katakan semua itu tidak benar! Katakan padaku mengenai Rowena yang akan menikah dengan Elvis, Becca!”
Rebecca memejamkan mata saat menyadari kesalahan diri. Bahwa dia lupa mengabari Jolie–sahabatnya itu karena Rebecca terlalu larut dalam masalahnya itu. Dia sibuk mencari bukti sendirian, sibuk mengobati hati yang terluka sakit dan sibuk memeluk tubuhnya yang kedinginan oleh kesepian.
Walaupun yang Rebecca dapatkan tetaplah tak bisa memperjuangkan keadilan, namun setidaknya dia sudah cukup tenang dan tahu siapa dalang di balik semua yang telah terjadi. Meski hancur dan terluka, tetapi wanita itu tetap berjuang berdiri tegak di kedua kakinya sendiri.
Selain itu, jarak antara Manchester dan London serta kesibukan mereka membuat Rebecca lupa sejenak atas sosok sahabat yang dia kenal sejak di bangku perkuliahan. Karena Jolie merupakan warga London dan menetap di sana.
“Jawab aku, Becca! Jangan diam saja dan buat aku panik!” Jolie menghentak tak sabar karena Rebecca tak kunjung bersuara.
“Jolie ...” Rebecca menyapa dengan suara parau yang gemetar. “I am sorry, aku ... aku ... aku akan sharelock posisiku saat ini. Kau bisa datang ke sini kan, Jolie?”
“Sure, Becca.” Suara Jolie begitu lembut tulus akibat merasakan rasa sakit lewat suara Rebecca. “Sharelock sekarang juga. Aku akan segera menemuimu.”
***
“Tidak tahu malu! Benalu tidak tahu diri! Pelacur sialan! Jalang murahan!”
Cibiran keji itu Jolie ucapkan penuh emosional setelah mendengarkan cerita Rebecca. Emosinya tersulut saat mendengarkan dari awal hingga akhir keseluruhan penderitaan Rebecca yang sangat mendadak.
Jolie sampai tak habis pikir mengenai reaksi calon suaminya Rebecca yang begitu dangkal memahami situasi. Terkecuali reaksi ayahnya Rebecca. Jolie yang mengenal Rebecca sejak kuliah begitu hapal porsi kasih sayang yang Rebecca dapatkan dari ayahnya.
Yang bisa Jolie lakukan saat itu hanya mencibir, mengatai-ngatai ‘bodoh’, bahkan dia bersumpah mereka yang menyakiti Rebecca akan mendapatkan balasan berpuluh-puluh kali lipat dari yang Rebecca rasakan.
Meski hatinya memanas oleh api emosi, Jolie tidak lupa untuk memberikan pelukan penyemangat pada Rebecca yang duduk lesu di sebelahnya. Jemari mengusap-usap sayang kepala Rebecca, menepuk-nepuk ringan bahu Rebecca. Jolie juga berkali-kali mengatakan jika Rebecca tidak sendirian saat semua orang yang dia sayang mencampakkan dirinya.
“So, apa rencanamu selanjutnya? You wanna stay here or go?”
Mata Rebecca yang berkaca-kaca telah menatap Jolie. “I wanna go. Aku tidak bisa ada di sini. Daddy akan paksa aku untuk pergi ke Skotlandia. Daddy akan mengupayakan apapun agar aku tidak balik ke sini dan Rowena menguasai semuanya di sini.”
“Kau ingin ke mana?” tanya Jolie sembari mengusap-usap bahu Rebecca.
“Maybe ... London,” jawab Rebecca pelan.
“Seriously, Becca?” Jolie sangat antusias sampai dia duduk menegak dan berbinar-binar menatap Rebecca. “Aku sangat senang mendengarnya. Oke! Kau tenang saja, aku akan selalu berada di sisimu. Kita akan mulai kehidupan baru di London. Your smart, Becca! Kau bukanlah pengecut yang akan terpuruk oleh mereka. Kita buat mereka menyesal seumur hidup karena telah membuatmu seperti ini.”
Untuk pertama kalinya Rebecca bisa tersenyum. Kehadiran dan ucapan Jolie menjadi penghibur terbaik di tengah hati yang kritis.
“Aku berencana membuka weight control center di sana. Ya ... klinik kecil untuk memulai kehidupanku yang baru. Tabunganku dan warisan dari Mommy sangat cukup untuk aku melakukan itu,” ucap Rebecca memaparkan rencana ke depannya.
“Aku setuju! Kau memiliki lisensi dan My mom akan membantumu.” Lagi-lagi Jolie berantusias menyemangati. Hal itu masuk akal dia lakukan karena Rebecca menyandang gelar S2 gizi dan ibunya Jolie memiliki klinik penurunan berat badan serupa yang cukup terkenal di London. Sementara Jolie yang berprofesi sebagai dokter estetika juga memiliki klinik kecantikan kecil di sana.
“Seharusnya kau melakukan ini sejak lulus S2 kemarin, Becca! Bukannya malah banting setir masuk ke perusahaan your Daddy!” Jolie menggerutu kesal dan memasang wajah masam. “Anyway, kapan kau akan berangkat ke London?”
“Aku akan pergi hari ini juga. Tapi sebelum pergi aku ingin mengucapkan ‘selamat’ pada saudari tiriku.”
Sama seperti Rebecca, Jolie ikut latah mengulas seringai sinis. “Beritahu aku rencanamu!”
“Karena Rowena yang lebih dulu cari masalah, aku hanya ingin sedikit merusak pernikahan itu. Sangat adil, kan?” ucap Rebecca mengulas senyum ironi penuh dendam.
Jolie mengangguk-angguk setuju pada rencana Rebecca itu. Walau dia tidak diberitahu secara mendetail, Jolie sangat yakin Rebecca pasti akan melakukan balas dendam yang terbaik. Sehingga Jolie tidak sabar untuk menantikannya. Namun di tengah-tengah kebahagiaan itu, dia agak penasaran mengenai pria yang meniduri dan merusak hari Rebecca pagi itu.
“Becca, kau yakin tidak mengenali pria menyebalkan itu?” tanya Jolie penasaran.
Segera Rebecca menggelengkan kepala. “Aku tidak kenal. Aku juga tidak ingin mencari tahu karena aku ingin melupakan semua kesialan itu.”
Jolie terdiam sebentar. “Ya sudah, lupakan saja. Tidak penting untuk kau ingat. Dengan seperti ini, kau tahu bahwa Elvis bukanlah orang yang mengenalmu, meskipun kalian sudah menjalin hubungan bertahun-tahun.”
Tidak ada kata yang Rebecca ucapkan, dia hanya melukiskan senyuman samar, dan mata yang memancarkan perasaan sakit tertahan.
***
Kaki panjangnya melangkah tak sabar melintasi lobby dari hotel bintang lima tujuan siang itu. Glenn begitu terburu-buru untuk segera tiba menghadiri pesta pernikahan yang telah berlangsung di ballroom hotel itu. Sampai-sampai Glenn tidak peduli bagaimana kesusahan Eric menyamai langkahnya.
Dia sudah terlambat! Seharusnya dia hadir dua jam sebelumnya. Glenn juga tidak bisa mengabaikan undangan itu dikarenakan sang pemilik acara merupakan kolega baru dalam projek pengembangan bisnisnya.
Dan semua itu karena ulah Rebecca. Jika saja Rebecca tidak membenturkan kepalanya yang keras seperti batu ke wajah Glenn, pria itu tidak perlu mendapatkan penanganan medis apalagi mengkonsumsi beberapa jenis obat. Glenn juga tidak seharusnya menahan nyeri di hidungnya saat menghadiri undangan pernikahan itu.
“Wanita sialan! Awas saja kalau aku bertemu lagi denganmu,” Glenn menggerutu kesal.
“Tuan Glenn kita sudah sampai. Beliau yang di depan menyambut Anda merupakan pemilik rumah sakit Omega Hospital, Tuan Dalton. Putranya yang menjadi pengantin pria merupakan dokter bedah di rumah sakit itu. Dan yang berdiri di sebelahnya adalah besannya, Tuan Nelson Colvin. Beliau memiliki perusahaan food di sini.”
Eric melakukan tugasnya seperti biasa, menjelaskan setiap profil dari orang-orang yang akan Glenn temui seiring kaki berjalan menghampiri. Hal itu sangat penting dia lakukan demi menunjang sikap ramah dan loyalitas Glenn dalam bertemu koleganya.
Glenn yang terbantu hanya diam menyerap informasi. Tetapi matanya melakukan hal sebaliknya, dia membidik tajam dan mengawasi kolega yang akan menjadi lawan bicaranya. Lewat tatapan itu juga Glenn berusaha membaca karakter orang-orang yang menyambutnya dengan senyum manis penuh arti.
“Halo, Tuan Glenn. Saya sangat senang sekali mendengar kabar kedatangan Anda. Walau tadi saya sempat pesimis Anda tidak muncul di awal-awal.”
Glenn terpaksa tersenyum manis mendengarkan keluhan dari Tuan Dalton yang menyapa dirinya. “Saya minta maaf. Tadi ada urusan penting yang mendadak dan tidak bisa saya tunda. Tapi yang terpenting saya sudah hadir di sini, Tuan Dalton,” jelas beralasan.
“Saya paham. Dan ... oh iya, perkenalkan ini adalah anak saya–Elvis Dalton, dia dokter bedah di rumah sakit kami.” Ya, pria itu adalah Alfie—ayah Elvis yang mengenalkan Elvis kepada Glenn.
“Kau sudah tahu siapa beliau kan, Elvis?” lanjutnya mendikte pada putranya.
“Siapa yang tidak mengetahui orang hebat seperti Anda, Tuan Glen? Wakil presdir sekaligus pewaris tunggal Medico group–rumah sakit ternama di Eropa, senang bisa berkenalan Anda ... Tuan Glenn Romanov.”
Glenn menyambut uluran tangan Elvis yang lebih dulu ingin berjabat tangan. Bibirnya mengulas senyuman tanpa keraguan pada pengantin pria yang mengenakan setelan tuksedo berwarna putih.
Bukan hanya pada Elvis, Glenn juga berjabat tangan dengan Nelson Colvin dan yang lainnya termasuk si pengantin wanita, yaitu Rowena.
Namun keakraban diantara mereka terganggu oleh keributan dari pintu masuk. Kehadiran wanita berkaos putih dengan celana jeans-nya menyita perhatian orang-orang, termasuk Glenn yang menyipitkan mata tajamnya.
Dia berteriak, dia memberontak dari dua pria berbadan tegap yang mencengkram lengan kurusnya itu.
“Kenapa anak itu ada di sini? Aku sudah bilang jangan buat kesalahan hari ini! Kau tidak lihat?! Ada tamu pentingku hari ini,” bisik ayahnya Elvis yang panik kepada Nelson. “Cepat! Singkirkan dia sekarang juga!” lanjutnya marah dengan mata melototi Nelson.
Bisikan itu terdengar oleh Glenn yang mengetahui sosok dalang keributan itu. Dia penasaran sehingga ingin segera memastikan. Karena sosok itu adalah Rebecca–wanita bar-bar yang membuat hidungnya sakit pagi tadi.
“Siapa wanita itu?” Glenn mendesak Nelson yang sudah berkeringat dingin akibat panik.
Anastasia Romanov, dia adalah putri cantik Glenn dan Rebecca yang terlahir sempurna. Gadis kecil yang dua tahun lalu menangis kencang itu telah tumbuh menggemaskan.Gadis kecil cantiknya begitu mirip dengan Rebecca. Rambutnya cokelat, lembut dan panjang. Matanya juga indah dan meneduhkan. Hidungnya mancung seperti Glenn, sementara bibirnya tipis dan mungil seperti Rebecca.Sayangnya, di mata Gabriel adiknya itu sosok menggemaskan yang dijahili.Gabriel suka mencubit gemas pipi Anastasia yang gembul. Gabriel memang mengajak Anastasia bermain, tetapi dia juga menjahili Anastasia sampai membuatnya menangis.Suasana taman belakang pagi di momen weekend telah ramai oleh riak suara Gabriel yang tertawa dan Anastasia yang menangis. Keduanya telah bermain di sana dengan diawasi oleh para pengasuh mereka.“Jangan ganggu aku, Kakak!” Anastasia kesal pada Gabriel yang menarik rambutnya. Padahal Anastasia sedang memberi makan anjing kecilnya.“Aku hanya ingin merapikan rambutmu, Ana.” Gabriel mem
Tidak perlu dijelaskan secara terperinci kebahagiaan keluarga ketika Glenn mengumumkan kehamilan kedua Rebecca. Mereka membanjiri ucapan selamat kepada Glenn dan Rebecca, pun Gabriel yang akan menjadi seorang kakak.Emilia dan Abraham langsung menyumbangkan segelintir uang kepada yayasan sosial dan panti asuhan sebagai wujud syukur atas kebahagiaan Glenn dan Rebecca. Nelson pun melakukan kegiatan sosial yang sama di Manchester.Bagaimana dengan Gabriel?Putra tampan Glenn dan Rebecca itu dengan bangga menceritakan perihal dia yang akan menjadi kakak. Dia juga menjadi sosok manis dan perhatian kepada Rebecca.Seperti pagi itu, Gabriel yang telah rapi mengenakan seragam sekolah datang ke kamar tidur Glenn dan Rebecca. Dia membawakan segelas susu untuk dinikmati oleh Rebecca.Hal itu dilakukan karena selama kehamilan yang sudah mengijak lima bulan itu, Rebecca mengalami ngidam yang luar biasa. Wanita cantik itu masih saja mengalami morning sickness yang mengganggu rutinitas pekerjaan.“I
Sebuah ciuman hangat Rebecca hadiahkan ke dahi Gabriel. Putra tampannya itu sudah terlelap tidur akibat lelah seharian merayakan ulang tahunnya. Selimut yang menghangatkan tubuh Gabriel telah dirapikan kembali oleh Rebecca. Namun, ada kejadian lucu yang menahan langkah Rebecca ketika ingin beranjak dari kamar Gabriel.Putra tampannya itu mengigau. “Mom, aku mau adik,” gumamnya.Rebecca geleng-geleng kepala menatap putranya. Gabriel tidak hanya mewarisi ketampanan Glenn, tetapi sikap keras kepala Glenn juga menurun pada Gabriel.Rebecca akhirnya memadamkan lampu kamar Gabriel untuk kemudian menyusul Glenn yang sudah menunggu di kamar mereka. Glenn teralihkan oleh kehadiran Rebecca. iPad yang dipergunakan memeriksa beberapa email penting telah Glenn letakkan ke meja nakas di sebelahnya.“Gabriel sudah tidur?” tanya Glenn berbasa-basi pada Rebecca yang merangkak naik ke ranjang tidur.Rebecca berdehem singkat. “Dia sangat kelelahan, tapi dia masih saja ingat pada keinginannya memiliki ad
Suara mobil yang berhenti di depan kediaman mewah telah memanggil langkah gadis kecil di ruangan tamu. Dia berlari tergesa-gesa, begitu tidak sabar ingin menghampiri seseorang yang mengendarai mobil di depan itu.Baginya, momen kehadiran itu sudah dinanti-nanti. Dia sudah menunggu sejak pagi hari tanpa rasa bosan–sampai waktu telah menunjukkan pukul empat sore.Pintu yang tertutup terbuka, bola mata cantiknya telah berbinar bahagia menyambut sosok tampan yang muncul dari balik pintu.“Daddy sudah pulang?” seru gadis cantik itu menyapa hangat.Sayang, kehangatan itu dibalas oleh sikap dingin dari sosok yang disapa ‘Daddy’ itu. Kehadirannya yang begitu menyambut tidak dianggap, seolah-olah gadis kecil itu tidak terlihat oleh mata.Tanpa rasa peduli apalagi menghargai, sosok ayah itu berjalan meninggalkan gadis kecil yang masih berharap belas kasihnya. Dia benar-benar mengacuhkan, sedikit pun dia tidak melirik ke belakang untuk sekadar melihat gadis kecil yang mulai terengah-engah menyus
Glenn dan Rebecca akhirnya pergi bersama Gabriel sesuai rencana mereka siang itu. Mereka menuju sebuah toko yang menjual lengkap permainan anak-anak. Anehnya, Gabriel tampak berbeda ketika tiba di sana. Dia tidak antusias seperti biasanya. Padahal ketika Glenn dan Rebecca berjanji akan membebaskannya memilih hadiah permainan, bocah laki-laki sangat antusias luar biasa.“Apa mainan yang kau cari tidak ada?” Rebecca menegur Gabriel yang termenung di salah satu rak mainan.Gabriel menggelengkan kepalanya. “Aku mau makan steak di restoran–hotel favoritku, Mom.”Rebecca terheran dengan permintaan putranya. Benaknya tidak menyalahkan dikarenakan Gabriel memang menyukai menu steak di restoran–hotel favorit mereka.“Kenapa tiba-tiba?” Rebecca memastikan.“Tiba-tiba aku ingin makan steak di sana,” pinta Gabriel setengah merengek.“Kita akan ke sana setelah kau selesai memilih hadiah mainanmu. Tapi sebelum ke sana, Mommy akan memantau persiapan perayaan ulang tahunmu besok di ballroom hotel itu
Note: Holla, karena pada minta extra part tampil di Goodnovel, jadi abi tampilin di sini juga. Selamat membaca yaaa :) ~ Lima tahun kemudian ~Kedamaian jiwa Glenn terusik oleh gerakan yang menggelitik di lengannya. Matanya yang lama terpejam perlahan terbuka, dengan gerakan tidak memburu mulai berusaha menjernihkan pandangan mata yang samar-samar.Ujung bibirnya tertarik dan menyimpulkan senyuman tampan. Jiwanya yang terusik seketika tersapu oleh kehangatan yang menggelitik pikiran untuk tertawa geli.Tepat di depan mata, Glenn mendapati tersangka utama yang mengusik kedamaian jiwanya dari dunia mimpi. Namun, dia sama sekali tidak berniat untuk menegur.Pria tampan yang bertelanjang di dalam selimut itu malah berniat untuk menenangkan tersangka utama yang gelisah tertidur dalam pelukannya. Dengan gerakan lembut, dia membelai kepala yang menjadikan lengannya sebagai bantal. Gerakan tangannya berlanjut turun ke bahu telanjang tersangka utama untuk menebarkan kehangatan lewat belaian m