Share

Bab 4. Wanita Tidak Tahu Aturan

Glenn mengunci tatapannya pada wanita yang dia gagahi itu. Tidak ada sedikitpun niatan dia ingin mengabaikan wanita itu dikarenakan ada banyak hal yang ingin Glenn gali.

Bagaimana wanita itu bisa menyelinap masuk ke kamarnya? Apa tujuan dia menggoda Glenn sampai membuatnya kecanduan malam itu? Dia menilai jika wanita itu bukanlah wanita penghibur alias pelacur. Glenn memastikan sendiri bahwa dia yang pertama kali menyentuh wanita itu. Bercak darah yang mengalir di selangkangan dan menodai seprai menjadi bukti terkuat.

Atau mungkin wanita itu diutus oleh seseorang untuk mencoreng nama baiknya? Glenn harus dapatkan jawabannya malam itu juga. Dia tidak akan mengizinkan seorang pun merusak reputasi bersih dan cemerlang dirinya.

Dan keinginannya itu tidak berjalan mulus ketika ingin membawa pergi wanita itu. Wanita itu membuka mata tepat di detik Glenn mencengkram pergelangannya yang kurus.

“Kau siapa?” suara serak wanita itu sayup terdengar, sementara mata cantiknya mengerjap-ngerjap di tengah penglihatan yang berkabut.

“Ikutlah denganku!” Glenn tetap menarik kasar tangan wanita itu.

“Pergilah! Jangan ganggu aku!” wanita itu memberontak dalam pelukan Glenn.

Glenn menggeram di kala wanita itu menolaknya. Detik itu juga, dia menyeret paksa wanita itu agar ikut dengannya. Tampak wanita itu sedikit berontak di kala Glenn menyeretnya.

“Lepaskan aku!” Energy wanita itu seakan berkuras. Dia tak sanggup lagi berontak. Tubuhnya lunglai ke pelukan Glenn seiring kesadaran yang berangsur-angsur hilang.

Glenn yang masih tenggelam rasa penasaran mengenai ucapan wanita itu berubah was-was oleh tatapan bartender yang mencurigai dirinya. Sehingga segera mungkin Glenn membawa wanita itu pergi dari klub malam.

Tetapi, jangan harapkan Glenn akan bersimpati ketika berhasil membawa wanita itu ke kamar hotel–tempatnya menginap. Logikanya sudah mendikte untuk tidak terpengaruh sekalipun tubuh manis yang menggoda, pun kesadaran yang hilang bisa dia manfaatkan.

Sepanjang malam dia meletakkan wanita itu di sofa. Membiarkannya tidur tidak nyaman. Bahkan ketika mentari pagi sudah meninggi, Glenn sengaja memercik-mercikkan air pada wanita yang belum terbangun dari tidurnya.

“Bangun! Kita perlu bicara!” Glenn terpaksa membentak untuk membangunkan wanita itu, memaksa wanita itu untuk membuka mata.

Caranya itu berhasil. Wanita itu mengusap-usap wajahnya yang basah sembari memposisikan duduk. Di saat itu juga kepalanya diserang rasa pusing yang luar biasa. Sudah dipastikan pula rasa sakit yang mengerikan itu akibat efek alkohol kemarin malam.

Namun bukan hal itu saja yang membuat wanita itu masih belum menggubris keberadaan Glenn di hadapannya. Matanya yang terbuka sudah membulat sempurna. Tak sedetik pun dia berkedip ketika memindai dari sudut ke sudut kamar itu. Dia ingin memastikan keberadaannya saat itu bukanlah ilusi.

Keinginannya itu sia-sia. Matanya yang agak membengkak telah menangkap sosok Glenn. Dia adalah pria yang sama–yang beberapa hari lalu telah menghancurkan rencana indahnya.

“Kau sudah sadar, kan? Jadi sudah waktunya kita berbicara,” Glenn menggeram kesal, menatap tajam sosok wanita itu.

Sayangnya, dia diabaikan oleh Rebecca. Wanita itu masih tenggelam oleh keterkejutan yang membuat jantungnya hampir copot. Sebab, Rebecca ingat dia yang datang ke klub malam untuk menghibur diri dari kesedihan yang menyesakkan.

Sekujur tubuhnya gemetar saat isi kepala dipenuhi oleh percintaan panas beberapa malam yang lalu. Dia memeluk tubuhnya sendiri karena takut pria di hadapannya itu kembali menyerang saat dia tak sadarkan diri.

“Kau pasti telanjang jika aku menidurimu,” Glenn mencibir sinis karena tersinggung oleh Rebecca yang panik memeluk tubuhnya. “Aku bukan pria bejat yang meniduri wanita mabuk.”

Bullshit! Buktinya malam itu kau meniduriku,” Rebecca menggerutu kesal sembari membuang tatapannya dari Glenn.

Glenn kembali tersinggung. Jiwanya sudah terkena percikan api amarah yang menaikkan suhu emosi pria itu. Anehnya, ada sebuah bisikan yang menggurui Glenn. Rasanya lebih menyenangkan untuk mempermalukan Rebecca dibandingkan harus berdebat. Presepsinya itu didukung kuat oleh sikap Rebecca yang berani membantah ucapannya.

“Kau yang lebih dulu merayuku.” Glenn terkekeh mengejek dan begitu menjengkelkan bagi Rebecca.

“Itu karena aku–”

“Karena seseorang yang menyuruhmu untuk merayuku?” sela Glenn yang tidak memberi kesempatan Rebecca untuk berbicara. “Katakan padaku, siapa yang menyuruhmu? Apa yang mereka berikan padamu sehingga kau mau melakukan perbuatan menjijikan seperti itu?”

Rebecca yang kebingungan tidak dibuat bernapas tenang oleh Glenn. Pria tampan itu merapatkan jarak antara dirinya dengan Rebecca yang masih duduk, kemudian dia membungkuk sementara satu tangannya mencapit kedua sisi rahang Rebecca dengan tekanan agak menyakitkan.

“Aku akan berbaik hati jika kau mau bekerjasama. Aku akan berikan dua kali lipat dari yang mereka berikan padamu. Tapi jika kau tidak mau bekerjasama ... aku akan melaporkanmu ke polisi dengan tuduhan prostitusi. Silakan pilih keputusan bijak. Mau tidur di penjara atau terima uangku?” Glenn menggeram dengan nada bersungguh-sungguh, penuh ancaman yang tak main-main.

Raut wajah Rebecca berubah mendengar apa yang dikatakan Glenn. Sepasang iris matanya melebar. Amarah dan emosi menyelimutinya di kala mendapatkan tuduhan keji tak berperasaan padanya. Pria yang ada di hadapannya langsung menuduh, tanpa sama sekali meminta penjelasan darinya.

“Singkirkan tanganmu sekarang juga.” Suara parau Rebecca menggeram marah, menatap tajam Glenn.

“Aku menyuruhmu untuk memutuskan pilihan. Bukan untuk menentangku.” Glenn tak mau kalah, pun tangannya semakin kencang mencapit rahang Rebecca. Ancamannya tidaklah main-main.

Kesabaran Rebecca benar-benar diuji oleh Glenn. Hidupnya sudah rumit, ditambah lagi pusing yang menyakiti kepala membuat Rebecca harus bersikap tegas atas perbuatan Glenn.

Dan ... bugh! Sekuat tenaga Rebecca membenturkan kepalanya ke wajah Glenn dengan sangat keras. Dia berhasil melepaskan tangan Glenn yang menyakiti rahanngnya. Pun dia berhasil melumpuhkan Glenn yang sedang mengerang sakit akibat perbuatannya itu.

Rebecca yang berdiri tegak tak membuang kesempatan untuk mendorong Glenn. Beruntungnya saat itu Glenn mampu menyeimbangkan tubuhnya yang hampir terjatuh.

“Dasar pria gila! Kau pikir kau siapa? Sampai mulut kurang ajarmu itu seenaknya menuduhku!” bentak Rebecca dengan napas tersengal seiring dadanya yang naik turun mengeluarkan emosi yang tak lagi tertahankan.

Ya, Rebecca seakan mendapatkan kesialan bertubi-tubi di hidupnya. Mulai dari dicampakan keluarganya, lalu dicampakan calon suaminya, dan sekarang malah dirinya bertemu dengan seseorang yang tidak waras.

“Kau ingin melaporkanku ke polisi?” Rebecca terkekeh kesal, lalu tanpa peringatan dia menatap Glenn penuh kebencian yang terpancar. “Aku yang akan melaporkanmu ke polisi! Kau membawaku ke sini tanpa izin itu sudah termasuk penculikan. Kau menyakiti wajahku, itu sudah termasuk penganiayaan!” Rebecca menjeda, menunjuk wajah Glenn dengan menggunakan telunjuknya. “Dan satu hal yang wajib kau ketahui! Aku bukan wanita sembarangan yang mau melakukan hal menjijikan seperti malam itu. Yang aku lakukan malam itu adalah kesalahan yang membuatku sial bisa terlibat denganmu!”

Rebecca benar-benar menjawab sempurna pertanyaan Glenn lewat kalimat penuh kebencian yang merendahkan. Wanita itu semakin sinis menatap Glenn, sampai-sampai dia tidak bersimpati ketika ada darah segar mengalir lewat hidung Glenn.

Glenn berdecak kesal. Dia tak kalah sinis menatap Rebecca. Seumur hidup, baru kali itu ada seseorang yang berani menentang sampai memukul dirinya. Matanya yang tajam seolah ingin membalas balik perbuatan Rebecca.

Sehingga pada saat itu juga Glenn ingin menyuarakan kebencian yang sama pada Rebecca yang takt ahu aturan. Sayangnya, keinginan Glenn terhalangi oleh suara bel yang berbunyi.

Itu pasti Eric–sekretarisnya yang melakukan rutinitas harian pada pagi hari. Yaitu melaporkan jadwal harian yang akan Glenn lalui.

“Sebaiknya gunakan uangmu itu untuk mengobati hidungmu. Karena aku punya banyak uang,” ujar Rebecca yang terpaksa menyombongkan diri.

Rebecca segera pergi setelah puas melampiaskan kemarahannya. Langkahnya menghentak-hentak arogan sampai-sampai pintu dibuka kasar olehnya. Dia juga tidak peduli pada keberadaan Eric yang tercengang melihatnya keluar dari kamar Glenn. Pergi segera mungkin dari sana adalah hal terpenting yang Rebecca lakukan saat itu.

 “Tuan Glenn, apa yang terjadi?” Eric kebingungan menghampiri Glenn yang sudah duduk di sofa, dalam keadaan wajah bosnya itu mengalami luka.

Glenn tidak bersuara. Dia masih sibuk membasuh darah di hidungnya menggunakan tissue yang dia ambil sendiri.

“Anda baik-baik saja, Tuan?” tanya Eric menegang cemas ketika melihat noda darah pada tissue itu.

“Aku baik-baik saja. Ini hanya luka kecil,” Glenn menanggapi tenang. Luka yang diberikan oleh Rebecca sangat kecil. Tidak akan mungkin bisa membuat Glenn tumbang.

Eric tampak tidak puas oleh pernyataan Glenn. Benaknya menuntut untuk mencari jawaban sendiri. Kehadiran wanita asing yang berpapasan di depan tadi mengantarkan sinyal pemikiran buruk berputar di kepalanya.

“Apa wanita tadi yang membuat Anda seperti ini?” Eric percaya diri pada tebakannya. “Jika memang benar, saya akan menangkap wanita itu–”

“Biarkan saja! Tidak usah urus wanita gila itu,” titah Glenn melarang dengan nada menekan tak terbantahkan.

Eric tak bisa berkata apa pun ketika sudah mendapatkan jawaban yang menekankan. Yang dilakukannya hanya menundukkan kepala mematuhi perintah dari Glenn.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status