Bunyi sepatu high heels Anne Neya seolah bergema di lorong rumah sakit yang sepi, wanita itu jalan dengan penuh percaya diri layaknya model papan atas di atas catwalk, hingga matanya tertuju pada sosok menyedihkan yang tengah terduduk lesu di kursi, di depan sebuah ruang rawat inap.
Anne Neya kenal betul siapa wanita itu, yang tak lain adalah menantunya, Halwa. Wanita itu tidak bergerak sedikitpun, kepalanya tetap tertunduk sangat rendah hingga nyaris mencapai dadanya.Meski suara yang dikeluarkan dari sepatu high heelsnya Anne Neya itu menyebabkan suara yang mampu membuat siapapun menoleh, Halwa tetap tidak bergeming, seolah-olah jiwanya sedang tidak bersamanya saat ini."Wa ..." sapa Anne Neya lembut, ia tidak mau mengagetkan menantunya yang tengah merenung itu.Perlahan Halwa mengangkat kepalanya dan memeluk erat Anne Neya,"Anne ... " isaknya."Sstt tenanglah, sayang. Anne sudah mendengar sebagian ceritanya dari pelayan, sekaKedua wanita di Kafe itu terlihat merenung, sama-sama disibukkan dengan pikiran mereka masing-masing, di tengah kesunyian malam yang hangat, yang hanya diganggu oleh derik jangkrik yang tanpa henti, juga sesekali suara yang ditimbulkan dari dorongan strecher pasien yang akan dipindahkan ke kamar rawat inap mereka.Mereka masih menunggu Edzhar yang belum juga mau pulang, bahkan makan pun harus di paksa. Pria itu semakin terpukul setelah hasil test dari dua rumah sakit yang berbeda juga menyatakan, kalau DNAnya dengan bayi di dalam kandungannya Tita itu cocok.Dan itu membuat Halwa semakin merasa takut, takut akan kehilangan Edzhar dan juga takut pada amarah pria itu nantinya, hingga desahan demi desahan terus keluar dari mulutnya, yang kali ini menarik perhatian Anne Neya yang duduk di seberang mejanya."Lebih baik kita pulang saja, Wa. Biarkan saja Edzhar menemani Tita di sini," saran Anne Neya."Aku mau menemani Ed di sini, Anne.""Janga
"Ta, kamu sudah sadar?"Perlahan Tita membuka kedua matanya, kesedihan tampak jelas di kedua matanya itu,"Pergilah, Ed! Pulanglah ke istrimu!" serunya sambil memalingkan wajahnya dari Ezdhar.Mengabaikan Tita yang tengah mengusirnya itu, Edzhar segera menekan tombol darurat. Sama halnya seperti tadi, tidak butuh waktu dokter dan perawat kembali masuk."Tita, dia sudah sadar!" seru Edzhar.Dokter itu segera memeriksa Tita, cukup lama hingga membuat Edzhar tidak sabar dan bertanya, "Bagaimana, Dok? Kenapa Tita bisa bangun padahal tadi sudah diberi obat penenang? Apakah itu buruk untuknya?" "Kami hanya memberinya dosis rendah, Tuan. Mengingat Nona Tita sedang hamil dan mencegah efek samping obat itu pada janinnya, jadi obat itu hanya dapat menenangkannya selama beberapa saat saja, tapi mengingat sekarang Nona Tita sudah sadar, itu adalah sebuah kemajuan untuknya. Dan overal semuanya baik-baik saja," jawab dokter itu.
Halwa bergerak mondar-mandir di kamarnya. Ia tidak bisa tidur karena berbagai macam perasaan yang kini tengah berkecamuk di dalam dadanya, juga kekhawatiran pada suaminya hingga dini hari belum juga pulang, sementara ponselnya tidak aktif.Seharusnya ia tidur, ya kan? Untuk membayar malam-malam berikutnya yang ia yakini akan lebih berat lagi dari malam ini. Tapi nyatanya matanya tidak mau di ajak berkompromi, ia tetap terjaga meski badannya sudah teramat sangat lelah.Sebagai seorang dokter ia tahu, kalau sekarang ia tengah mengalami setengah dari penyebab insomnia, stress, kecemasan dan juga ketakutan. Ia juga tahu insomnianya akan terus berlanjut selama sumber masalahnya belum selesai.Lelah karena terus bergerak gelisah, Halwa merebahkan dirinya di sofa panjang, tempat ia biasa bermanja-manja dengan Edzhar. Tangannya meraih buku yang biasa Edzhar bacakan untuknya, sambil berharap dengan membaca maka rasa kantuknya akan segera datang.Hingga ia
Halwa membuka pintu ruang kerja Edzhar. Meski ia tahu tidak akan menemukan suaminya di dalam sana, sama halnya dengan tiga hari lalu. Tanpa membangunkan Halwa seperti biasanya, suaminya telah berangkat kerja, atau ke rumah sakit, atau keduanya, entahlah.Ya, sudah tiga hari ini Edzhar mengabaikannya, tidak ada obrolan ringan sambil saling berpelukan, sebagaimana rutinitas pagi mereka di setiap harinya. Pria itu sudah pergi sebelum Halwa bangun, dan selalu kembali pada tengah malam. Tiga hari ini juga Halwa berpura-pura tertidur, demi bisa mendengarkan suara hati Edzhar lagi, atau apapun yang akan dikatakan suaminya itu saat Halwa tidur, tapi tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Membuat Halwa kembali menangis dalam diam, hingga pada akhirnya ia tertidur.Melihat sikap Edzhar yang tidak seperti biasanya, siapapun pasti akan dapat dengan mudah menilai kalau suaminya itu tengah menghindarinya, tidak terkecuali Anne Neya. Tatapan sendu wanita itu mengik
Hari menjelang siang saat Halwa terbangun sendirian di kamarnya, di atas tempat tidurnya. Jangan ditanya Edzhar di mana, sudah pasti suaminya itu telah berangkat ke kantornya, atau mungkin juga sedang menjaga Tita di rumah sakit.Bagian pribadinya masih terasa sakit akibat dari perbuatan Edzhar tadi, yang membuatnya bertanya-tanya kapan Halwa pindah ke tempat tidur ini?Seingatnya selesai Edzhar melakukan itu, Halwa langsung bergegas turun dan menangisi dirinya sendiri, mungkinkah Halwa tertidur dan Edzhar memindahkannya ke tempat tidur? Ya, memangnya siapa lagi yang memindahkannya selain suaminya itu?'Bukankah semalam Edzhar begitu mabuk? Kenapa bisa dia langsung berangkat ke kantor, atau kemanapun saat ini? Dan apa yang menyebabkan Edzhar sampai mabuk seperti itu?'Sambil terus memikirkan penyebab dari yang terbaik hingga terburuk kenapa suaminya bisa seperti itu, Halwa menurunkan kedua kakinya, dan melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan d
Edzhar terbangun dengan kepala yang berdenyut nyeri, dan kedua kaki yang menjuntai ke bawah, sementara matanya menyusuri tiap sudut kamar itu, kamarnya.Dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, ia menekan-nekan keningnya untuk meredakan rasa nyeri di kepalanya itu, sambil mengingat-ingat kenapa ia bisa berada di dalam kamarnya, alih-alih di rumah sakit.Edzhar ingat ia terlalu banyak minum saat tengah menemani Tita di rumah sakit. Raganya memang di sana tapi jiwanya seperti tertinggal di rumah, tepatnya di dalam kamarnya. Saat itu ia begitu merindukan istrinya, rindu pada tawa dan candanya, tapi ia harus menjauhinya untuk sementara waktu, dan ternyata ia tidak bisa, karena wajah Halwa tidak mau pergi dari benaknya, ia seperti melihat wanita itu dimanapun ia berada.Ia terus minum hingga mabuk hanya untuk menghilangkan bayangan istrinya itu, tapi ternyata Tita yang mengira ia sudah sepenuhnya mabuk berusaha untuk menggodanya.Wanita itu dudu
"Apa kau sudah membawa Halwa pulang?" tanya Edzhar pada Omer, supir pribadi yang ia tugaskan untuk mengantar dan menjemput Halwa. "Nyonya belum mau pulang, Tuan," jawab Omer. "Di mana kalian?" "Di Kafe favorit Nyonya, Tuan." "Ya sudah, biarkan dia menenangkan diri di sana, saya akan mengirim beberapa pengawal ke sana!" "Baik, Tuan." Edzhar mematikan sambungan teleponnya, bersamaan dengan masuknya Tita ke dalam mobil. "Aku akan menempatkanmu di salah satu Apartmentku!" seru Edzhar setelah Tita duduk di sebelahnya. "Aku tidak mau, Ed. Aku takut sendirian. Kecuali kalau kamu juga tinggal di sana menemani aku." "Jangan mimpi, Ta. Aku sudah memiliki istri sekarang!" "Kalau begitu biarkan aku tinggal di rumahmu, Ed. Aku janji sebisa mungkin aku tidak bersitatap dengan Halwa." "Aku tidak segila itu hingga menempatkan kalian da
"Untuk sementara waktu Tita akan tinggal di rumah ini," ujar Edzhar saat makan malam bersama Halwa dan Anne Neya."Apa kamu sudah gila, Ed? Apa kamu tidak memikirkan perasaan Halwa?" tanya Anne Neya."Hanya sementara waktu, anne. Sampai Tita pulih dari traumanya," jawab Edzhar lalu beralih menatap Halwa,"Kamu tidak keberatan kan, Wa?" tanyanya."Hmmm.""Jawab, Wa. Aku butuh jawabanmu bukan cuma dehamanmu," desak Edzhar.Halwa meletakkan sendoknya, ia menatap intens suaminya, menatap lekat kedua matanya, ia ingin suaminya itu mengingat perkataannya ini di sepanjang hidupnya,"Aku tidak punya hak suara lagi semenjak kamu tidak mempercayaiku, Ed. Lakukan apa yang kamu mau, ini rumahmu juga hidupmu," jawabnya sengaja menekan tiap katanya.Sambil terus menguatkan dirinya di depan pria itu, Halwa meraih serbet dan membersihkan mulutnya sebelum beralih menatap Anne Neya,"Aku permisi dulu, Anne. Sampai jumpa
Halwa terjaga dari tidurnya saat sayup-sayup terdengar suara tangisan anak kecil, membuatnya seketika itu juga terjaga sepenuhnya.Ia merasa lega saat melihat Edson masih ada, dan dadanya berdegup kencang saat tahu Vanessa tidak ada di sisi satunya lagi.Dengan cepat Halwa melompat turun, lalu menghidupkan lampu kamarnya. Perutnya terasa mencelos saat ia melihat Vanessa yang tengah duduk di samping pintu kamar sambil memeluk kedua lututnya tempat wajahnya menempel, membuat rambut panjangnya menutupi sebagian kakinya."Vanes ... " panggil Halwa dengan lembut sambil mendekati putrinya itu.Tapi Vanessa menghindar saat Halwa menyentuhnya,"Anne bohong ... Baba bohong ... " isaknya tanpa mengangkat kepalanya dari lututnya.Halwa merasakan hujaman menyakitkan di hatinya saat putrinya bukan hanya tidak mau ia sentuh, tapi juga tengah marah padanya.Ia tahu, saat ini Vanessa pasti sedang kecewa, karena Babanya tidak kunjung dat
"Amma ... Poppa!!" teriak Edson, anak itu langsung lari keluar villa saat melihat Halwa dan Victor yang baru saja turun dari mobil.Victor bergegas menghampiri Edson ketika langkah anak itu terhenti saat melihat Halwa yang kembali berpaling ke dalam mobil untuk menuntun Vanessa turun."Edson, Dedek Vanessa sudah datang, ayo sambut dia!" seru Victor.Untuk sesaat, baik Edson maupun Vanessa saling bertukar pandang, sebelum akhirnya Edson yang terlebih dahulu menghampirinya,"Dede Vanes udah sembuh?" tanya Edson.Vanessa mengangguk, lalu melepaskan tangannya dari Halwa, "Kak Eson?" tanyanya.Lalu tiba-tiba Edson memeluk adikknya itu dengan erat, "Iya ... " jawabnya.Halwa memandang penuh haru ke arah Vanessa dan Edson yang telah terpisah selama tiga tahun itu. Delapan bulan mereka selalu bersama di dalam kandungan Halwa, yang terpisah beberapa saat setelah dilahirkan karena tangan-tangan jahat yang memisahkan mer
"Kamu bicarakan dulu berdua sama Edzhar, yaa ... " bujuk Victor setelah menceritakan niat Edzhar tadi."Tapi, Vic ... ""Ay ... Bagaimanapun juga kalian harus tetap membahas masalah pengasuhan Edson dan Vanessa. Daripada terus menundanya lebih baik kalian selesaikan sekarang, biar kalian sama-sama enak."Halwa mendesah pelan, ia melirik Edzhar yang tengah berbincang serius dengan anne Neya, sementara Vanessa sedang disuapi suster Mia."Aku takut Edzhar akan membujukku lagi seperti semalam, Vic.""Ya, Edzhar sudah mengatakannya padaku. Dan kamu tenang saja, niatnya sudah bulat untuk tidak mengusik hubungan kita, dan bersedia menyerahkan hak asuh penuh anak-anak padamu.""Benarkah?" tanya Halwa, dan Victor menganggukkan kepalanya tanpa keraguan sedikitpun."Baiklah aku percaya padamu.," ujarnya.Setelah matanya bertemu mata dengan Edzhar, lewat isyarat matanya, Halwa meminta pria itu untuk ikut ke balkon bersamany
"Apa yang ingin kau bicarakan, Ed?" tanya Victor sesampainya mereka di Balkon.Sahabatnya itu terlihat sangat kacau, tidak Edzhar yang selama ini ia kenal, yang selalu terlihat rapi dan penuh percaya diri. Malam ini, pria itu jauh lebih kacau dari saat di Villa tadi.Kedua tangan Edzhar berpegangan pada pagar balkon, sementara matanya menatap nanar ke arah Menara Eiffel, yang menampakkan cahaya warna-warni. Efek jingga keemasan yang sangat indah terlihat dari tigaratus tigapuluh enam lampu sorot natrium yang dipasang di struktur menara itu.Ya, itulah Paris ... Terlihat jauh lebih indah dan romantis saat malam hari. Romantis bagi mereka yang sedang dimabuk cinta, tapi terasa hampa bagi Edzhar, pria yang akan menyerahkan dua orang wanita yang paling ia cintai itu pada sahabatnya, Victor."Ed ... " panggil Victor lagi.Dengan enggan Edzhar mengalihkan perhatiannya dari icon Paris itu ke sahabatnya, ia menguatkan dirinya saat mengatakan deng
"Bisa kita bicara di kamarmu, Neya?" tanya mommy Rycca.Anne Neya melirik sekilas Edzhar yang masih termenung di balkon sambil melihat icon Paris itu, sebelum akhirnya mengangguk."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya setelah menutup pintu kamarnya."Aku yang telah membocorkan pertunangan Halwa denganputraku pada Edzhar," aku mommy Rycca sambil duduk salah satu sofa santai yang berada di dalam kamar itu.Sambil mengerutkan keningnya, anne Neya bergegas menghampiri dan duduk di sofa sebelahnya,"Jadi kamu yang mengirim pesan itu? Kenapa?" tanyanya lagi.Mommy Rycca mengurut keningnya sambil menyandarkan punggungnya di sofa, ia pun masih tidak habis pikir dengan tindakan impulsifnya itu,"Entahlah ... " hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya."Jangan bilang kamu sebenarnya tidak merestui hubungan putramu dengan Halwa?" tebak anne Neya sambil menyipitkan kedua matanya.Melihat sahabatnya yang tida
Kontak skin to skin, dan dekapan lembut Halwa itu memiliki efek psikologis menenangkan, dan memberikan rasa nyaman pada Vanessa, hingga putrinya itu pun tidur dengan sangat nyenyaknya.Ibu dan anak itu sama-sama tertidur lelap hingga Halwa terbangun karena sentuhan tangan lembut seseorang di pipinya,"Anne ... " sapa Vanessa saat Halwa membuka kedua matanya.Selama ini Vanessa hanya bisa melihat foto-foto Halwa yang terpajang di rumahnya saja. Dan saat bisa melihat Annenya itu secara langsung, membuat anak itu terlihat ragu-ragu, antara Halwa nyata ada atau hanya ia bermimpi seperti biasanya saja.Kedua bola matanya seketika berkaca-kaca saat melihat senyum hangat Halwa,"Hai, cantik ... " sapa Halwa dengan suara parau, dan seketika itu juga tangis Vanessa pecah,"Anne ... Anne ... " isaknya sambil memeluk erat Halwa, seolah-olah takut kalau ia melepasnya Halwa akan kembali menghilang."Iya, Sayang. Ini Anne ... " ujar
Edzhar menahan pintu kamar tempat Vanessa tertidur, dengan plester kompres demam yang menempel pada keningnya. Dengan langkah pelan dan kedua mata yang sudah dibanjiri air matanya itu, Halwa mendekati putrinya yang entah kenapa terlihat rapuh itu,"Vanessa ... " gumamnya lirih.Halwa nangis sesengukan sambil berlutut di samping tempat tidur Vanessa, tangannya yang gemetar meraih tangan mungil putrinya itu, yang terlihat jauh lebih kecil dari tangan putranya, Edson."Vanessa, putriku ... " desahnya sambil menciumi punggung tangan putrinya itu yang masih terasa hangat.Ia menempelkannya di pipinya, merasakan hawa panas yang mengalir dari telapak tangan Vanessa ke pipinya. Sementara tangan lainnya membelai lembut rambut putrinya itu.Tadi di sepanjang jalan Halwa sudah menyiapkan dirinya untuk tidak nangis, untuk terus terlihat kuat saat bertemu dengan putrinya nanti. Karena seorang anak bisa merasakan juga kesedihan ibunya, terutama anak ba
"Membicarakan apa? Menjelaskan apa?" tanya Halwa bingung."Vanessamu dan Edzhar masih hidup, Ay ... "Halwa mengerutkan keningny, ia merasa sangat bingung, luar biasa bingung. Ia menatap penuh mata tunangannya itu,"Vic, jangan becanda ini tidak lucu!" keluhnya.Meski bibirnya mengeluarkan keluhan itu, jantungnya mulai berdebar dengan sangat cepat selama ia menunggu balasan dari tunangannya itu."Apa aku terlihat tengah becanda, Ay? Apa aku pernah becanda jika menyangkut orang yang aku kasihi? Yang kamu sayangi?" tanya Victor dengan nada lembut, tidak sedikitpun ia marah dengan kecurigaan Halwa padanya.Halwa menggelengkan kepalanya, ia munduru beberapa langkah ke belakangnya,"Itu tidak mungkin ... Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri vanessaku itu sudah tidak bernapas, Vic!" sangkalnya, ia menangkup mulutnya dengan kedua mata yang membola,"Itu tidak mungkin ... " lanjutnya, air mata mulai membasahi kedua
"Poppa ... Aku punya dedek!" pekiknya dengan riang dan Victor mengangguk, ia pun menghapus air mata di sudut matanya. Ia dan juga sahabatnya yang lain, sama terharunya saat melihat pertemuan ayah dan anak itu yang mengharu biru. Edson kembali ,mengalihkan perhatiannya ke Edzhar, "Jadi kapan aku bisa ketemu sama dedek Vanessa?" tanyanya dengan nada tidak sabar. "Secepatnya ... " jawab Edzhar. Ia tidak bisa menjanjikan kapannya, karena ia juga belum tahu Halwa bersedia bertemu dengannya atau tidak. Tapi seandainya pun Halwa tidak mau bertemu dengannya, ia akan tetap mempertemukan Edson dengan saudarinya, meski putranya itu tidak mengetahui kalau Vanessa adalah adik kandungnya. Edzhar mengangkat dan menggendong Edson, lalu beralih menatap Victor, "Apa Halwa bersedia bicara denganku?" tanyanya. "Satu-satu, Ed. Membawa Edson padamu saja sudah membuatku d