Kedua wanita di Kafe itu terlihat merenung, sama-sama disibukkan dengan pikiran mereka masing-masing, di tengah kesunyian malam yang hangat, yang hanya diganggu oleh derik jangkrik yang tanpa henti, juga sesekali suara yang ditimbulkan dari dorongan strecher pasien yang akan dipindahkan ke kamar rawat inap mereka.
Mereka masih menunggu Edzhar yang belum juga mau pulang, bahkan makan pun harus di paksa. Pria itu semakin terpukul setelah hasil test dari dua rumah sakit yang berbeda juga menyatakan, kalau DNAnya dengan bayi di dalam kandungannya Tita itu cocok.Dan itu membuat Halwa semakin merasa takut, takut akan kehilangan Edzhar dan juga takut pada amarah pria itu nantinya, hingga desahan demi desahan terus keluar dari mulutnya, yang kali ini menarik perhatian Anne Neya yang duduk di seberang mejanya."Lebih baik kita pulang saja, Wa. Biarkan saja Edzhar menemani Tita di sini," saran Anne Neya."Aku mau menemani Ed di sini, Anne.""Janga"Ta, kamu sudah sadar?"Perlahan Tita membuka kedua matanya, kesedihan tampak jelas di kedua matanya itu,"Pergilah, Ed! Pulanglah ke istrimu!" serunya sambil memalingkan wajahnya dari Ezdhar.Mengabaikan Tita yang tengah mengusirnya itu, Edzhar segera menekan tombol darurat. Sama halnya seperti tadi, tidak butuh waktu dokter dan perawat kembali masuk."Tita, dia sudah sadar!" seru Edzhar.Dokter itu segera memeriksa Tita, cukup lama hingga membuat Edzhar tidak sabar dan bertanya, "Bagaimana, Dok? Kenapa Tita bisa bangun padahal tadi sudah diberi obat penenang? Apakah itu buruk untuknya?" "Kami hanya memberinya dosis rendah, Tuan. Mengingat Nona Tita sedang hamil dan mencegah efek samping obat itu pada janinnya, jadi obat itu hanya dapat menenangkannya selama beberapa saat saja, tapi mengingat sekarang Nona Tita sudah sadar, itu adalah sebuah kemajuan untuknya. Dan overal semuanya baik-baik saja," jawab dokter itu.
Halwa bergerak mondar-mandir di kamarnya. Ia tidak bisa tidur karena berbagai macam perasaan yang kini tengah berkecamuk di dalam dadanya, juga kekhawatiran pada suaminya hingga dini hari belum juga pulang, sementara ponselnya tidak aktif.Seharusnya ia tidur, ya kan? Untuk membayar malam-malam berikutnya yang ia yakini akan lebih berat lagi dari malam ini. Tapi nyatanya matanya tidak mau di ajak berkompromi, ia tetap terjaga meski badannya sudah teramat sangat lelah.Sebagai seorang dokter ia tahu, kalau sekarang ia tengah mengalami setengah dari penyebab insomnia, stress, kecemasan dan juga ketakutan. Ia juga tahu insomnianya akan terus berlanjut selama sumber masalahnya belum selesai.Lelah karena terus bergerak gelisah, Halwa merebahkan dirinya di sofa panjang, tempat ia biasa bermanja-manja dengan Edzhar. Tangannya meraih buku yang biasa Edzhar bacakan untuknya, sambil berharap dengan membaca maka rasa kantuknya akan segera datang.Hingga ia
Halwa membuka pintu ruang kerja Edzhar. Meski ia tahu tidak akan menemukan suaminya di dalam sana, sama halnya dengan tiga hari lalu. Tanpa membangunkan Halwa seperti biasanya, suaminya telah berangkat kerja, atau ke rumah sakit, atau keduanya, entahlah.Ya, sudah tiga hari ini Edzhar mengabaikannya, tidak ada obrolan ringan sambil saling berpelukan, sebagaimana rutinitas pagi mereka di setiap harinya. Pria itu sudah pergi sebelum Halwa bangun, dan selalu kembali pada tengah malam. Tiga hari ini juga Halwa berpura-pura tertidur, demi bisa mendengarkan suara hati Edzhar lagi, atau apapun yang akan dikatakan suaminya itu saat Halwa tidur, tapi tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Membuat Halwa kembali menangis dalam diam, hingga pada akhirnya ia tertidur.Melihat sikap Edzhar yang tidak seperti biasanya, siapapun pasti akan dapat dengan mudah menilai kalau suaminya itu tengah menghindarinya, tidak terkecuali Anne Neya. Tatapan sendu wanita itu mengik
Hari menjelang siang saat Halwa terbangun sendirian di kamarnya, di atas tempat tidurnya. Jangan ditanya Edzhar di mana, sudah pasti suaminya itu telah berangkat ke kantornya, atau mungkin juga sedang menjaga Tita di rumah sakit.Bagian pribadinya masih terasa sakit akibat dari perbuatan Edzhar tadi, yang membuatnya bertanya-tanya kapan Halwa pindah ke tempat tidur ini?Seingatnya selesai Edzhar melakukan itu, Halwa langsung bergegas turun dan menangisi dirinya sendiri, mungkinkah Halwa tertidur dan Edzhar memindahkannya ke tempat tidur? Ya, memangnya siapa lagi yang memindahkannya selain suaminya itu?'Bukankah semalam Edzhar begitu mabuk? Kenapa bisa dia langsung berangkat ke kantor, atau kemanapun saat ini? Dan apa yang menyebabkan Edzhar sampai mabuk seperti itu?'Sambil terus memikirkan penyebab dari yang terbaik hingga terburuk kenapa suaminya bisa seperti itu, Halwa menurunkan kedua kakinya, dan melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan d
Edzhar terbangun dengan kepala yang berdenyut nyeri, dan kedua kaki yang menjuntai ke bawah, sementara matanya menyusuri tiap sudut kamar itu, kamarnya.Dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, ia menekan-nekan keningnya untuk meredakan rasa nyeri di kepalanya itu, sambil mengingat-ingat kenapa ia bisa berada di dalam kamarnya, alih-alih di rumah sakit.Edzhar ingat ia terlalu banyak minum saat tengah menemani Tita di rumah sakit. Raganya memang di sana tapi jiwanya seperti tertinggal di rumah, tepatnya di dalam kamarnya. Saat itu ia begitu merindukan istrinya, rindu pada tawa dan candanya, tapi ia harus menjauhinya untuk sementara waktu, dan ternyata ia tidak bisa, karena wajah Halwa tidak mau pergi dari benaknya, ia seperti melihat wanita itu dimanapun ia berada.Ia terus minum hingga mabuk hanya untuk menghilangkan bayangan istrinya itu, tapi ternyata Tita yang mengira ia sudah sepenuhnya mabuk berusaha untuk menggodanya.Wanita itu dudu
"Apa kau sudah membawa Halwa pulang?" tanya Edzhar pada Omer, supir pribadi yang ia tugaskan untuk mengantar dan menjemput Halwa. "Nyonya belum mau pulang, Tuan," jawab Omer. "Di mana kalian?" "Di Kafe favorit Nyonya, Tuan." "Ya sudah, biarkan dia menenangkan diri di sana, saya akan mengirim beberapa pengawal ke sana!" "Baik, Tuan." Edzhar mematikan sambungan teleponnya, bersamaan dengan masuknya Tita ke dalam mobil. "Aku akan menempatkanmu di salah satu Apartmentku!" seru Edzhar setelah Tita duduk di sebelahnya. "Aku tidak mau, Ed. Aku takut sendirian. Kecuali kalau kamu juga tinggal di sana menemani aku." "Jangan mimpi, Ta. Aku sudah memiliki istri sekarang!" "Kalau begitu biarkan aku tinggal di rumahmu, Ed. Aku janji sebisa mungkin aku tidak bersitatap dengan Halwa." "Aku tidak segila itu hingga menempatkan kalian da
"Untuk sementara waktu Tita akan tinggal di rumah ini," ujar Edzhar saat makan malam bersama Halwa dan Anne Neya."Apa kamu sudah gila, Ed? Apa kamu tidak memikirkan perasaan Halwa?" tanya Anne Neya."Hanya sementara waktu, anne. Sampai Tita pulih dari traumanya," jawab Edzhar lalu beralih menatap Halwa,"Kamu tidak keberatan kan, Wa?" tanyanya."Hmmm.""Jawab, Wa. Aku butuh jawabanmu bukan cuma dehamanmu," desak Edzhar.Halwa meletakkan sendoknya, ia menatap intens suaminya, menatap lekat kedua matanya, ia ingin suaminya itu mengingat perkataannya ini di sepanjang hidupnya,"Aku tidak punya hak suara lagi semenjak kamu tidak mempercayaiku, Ed. Lakukan apa yang kamu mau, ini rumahmu juga hidupmu," jawabnya sengaja menekan tiap katanya.Sambil terus menguatkan dirinya di depan pria itu, Halwa meraih serbet dan membersihkan mulutnya sebelum beralih menatap Anne Neya,"Aku permisi dulu, Anne. Sampai jumpa
Halwa memejamkan matanya ketika pintu kamar terbuka, langkah kaki Edzhar terdengar saat pria itu melangkah mondar-mandir mendekati Halwa, lalu menjauh lagi, begitu seterusnya hingga terdengar helaan nafas panjang sebelum pria itu duduk di sisi tempat tidur."Aku tahu kamu hanya berpura-pura tidur saja, Wa. Bangunlah, ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" serunya."Katakan saja, aku mendengarnya. Yang aku tutup hanya mataku bukan telingaku," sahut Halwa tanpa membuka kedua matanya."Aku tahu kamu kecewa karena aku membawa kembali Tita ke rumah ini, tapi aku tidak punya pilihan, Wa. Karena dia masih takut sendirian, dan traumanya belum hilang."Detik berlalu menjadi menit, tapi Halwa masih juga terdiam, kedua matanya tetap terpejam, hanya dadanya saja yang terlihat bergerak naik turun dengan cepat saat ia menarik dan membuang nafasnya, wanita itu tengah menahan dirinya untuk tidak meluapkan kekecewaannya.Merasa Halwa tidak akan merespon
"Poppa ... Aku punya dedek!" pekiknya dengan riang dan Victor mengangguk, ia pun menghapus air mata di sudut matanya. Ia dan juga sahabatnya yang lain, sama terharunya saat melihat pertemuan ayah dan anak itu yang mengharu biru. Edson kembali ,mengalihkan perhatiannya ke Edzhar, "Jadi kapan aku bisa ketemu sama dedek Vanessa?" tanyanya dengan nada tidak sabar. "Secepatnya ... " jawab Edzhar. Ia tidak bisa menjanjikan kapannya, karena ia juga belum tahu Halwa bersedia bertemu dengannya atau tidak. Tapi seandainya pun Halwa tidak mau bertemu dengannya, ia akan tetap mempertemukan Edson dengan saudarinya, meski putranya itu tidak mengetahui kalau Vanessa adalah adik kandungnya. Edzhar mengangkat dan menggendong Edson, lalu beralih menatap Victor, "Apa Halwa bersedia bicara denganku?" tanyanya. "Satu-satu, Ed. Membawa Edson padamu saja sudah membuatku d
Edson baru akan menghampiri Victor ketika Halwa menggendongnya, dan tanpa repot basa-basi lagi, ia langsung membawa putranya itu kembali masuk ke dalam Villa. "Aku akan bicara dengan Aira sebentar!" seru Victor lalu berdiri dan segera menyusul tunangannya itu. "Ay, tunggu Ay!" Halwa menghentikan langkahnya, ia memberikan tatapan dongkolnya pada Victor, "Kenapa pria itu masih berada di sini? Kenapa kamu bersikap baik padanya?" cecarnya. "Kalian di sini rupanya? Tamu-tamu sudah mencari kalian, ayo ke belakang lagi!" seru mama sambil menarik lengan Halwa. "Poppa ... " rengek Edson mengangkat kedua tangannya minta digendong Victor. "Berikan Edson padaku, kamu temani tamu-tamu saja terlebih dahulu yaa," bujuk Victor. "Sebentar, Ma. Ada yang ingin aku bicarakan pada Victor dulu," ujar Halwa sambil melepaskan lengannya dari genggaman mamanya itu. "Tapi tamu-tamu ... "
"Jadi insiden kapal pesiar itu sengaja direncanakan Tita untuk menjebak Aira?" tanya Victor setelah Edzhar selesai menceritakan semuanya.Tragedi itulah awal dari penderitaan Halwa. Ia lolos dari perangkap jahat Tita, tapi malah jatuh ke dalam jerat Edzhar. Victor yakin betul, saat mengetahui semua kebenaran itu, pasti Edzhar tersiksa oleh rasa bersalahnya.Bagaimana tidak? pria itu dengan kejam telah melakukan hal buruk pada Halwa, membuat Halwa tersiksa lahir dan batin, menjadikan dua bulan hidup wanita itu laksana berada di dalam neraka."Ya ... Kalian pasti menertawakan kebodohanku, ya kan? Tertawa dan hina saja aku, kalian tidak salah, aku memang terlalu mudah dibodohi wanita itu," desah Edzhar sambil menatap sendu satu-persatu sahabatnya itu."Tidak ada satupun dari kami yang akan menertawakanmu, Ed. Di banding orang lain, kami yang paling tahu betapa pandai dan cakapnya kau dalam hal apapun, ya kecuali dalam hal asmara. Kau pintar dengan se
"Halwa ... " panggil seseorang dari arah belakangnya, membuat langkah Halwa terhenti.Aroma yang pernah sangat Halwa kenali dulu menyeruak masuk memenuhi indra penciumannya, membuat Halwa seolah-olah Tersihir hingga punggungnya seketika itu juga membeku."Aku sangat merindukanmu," ujar Edzhar setelah sampai di samping Halwa."Edzhar ... " desah Halwa. Ia menatap penuh wajah yang tidak pernah ia lihat lagi selama tiga tahun ini, lalu hatinya kembali merasa sakit, hingga Halwa bergegas meninggalkannya.Halwa berpikir setelah bertahun-tahun terlewati, ia akan bisa menatap Edzhar tanpa merasakan kesakitannya yang dulu, dan menganggap pria itu layaknya sahabat Victor yang lainnya.Tapi ternyata ia salah ... Cukup melihat wajah itu satu kali, dan luka di hatinya langsung kembali terbuka lebar. Pria itu adalah sumber dari segala kesakitannya."Halwa tunggu!" cegah Edzhar sambil menahan lengannya."Lepas, Ed!" teriak Halwa samb
Pagi itu seperti biasa, selesai sarapan pagi Edzhar mengajak Vanessa main di halaman belakang. Membiarkan putrinya itu berlarian kesana-kemari mengejar kupu-kupu, sambil terus mengawasinya. Tidak lama kemudia terdengar notif pesan singkat di ponselnya, kedua matanya membulat saat membaca pesan singkat itu. 'Besok pagi Halwa dan Victor akan bertunangan di Paris. Tepatnya di X Villa!' Edzhar segera menghubungi nomor asing itu, tapi tidak tersambung, sepertinya siapapun yang memberi informasi ini menggunakan nomor sekali pakai untuk menghubunginya. "Yas!" teriak Edzhar, lalu menatap suster Mia, "Kamu, jaga Vanessa sebentar!" serunya dan suster Mia mengangguk. "Ya, Tuan?" "Majukan jadwal ke Parisnya hari ini! Halwa dan Victor akan bertunangan besok!" perintahnya. "Bertunangan? Anda kata siapa, Tuan?" tanya Yas. Alih-alih menjawab, Yas malah menyerahkan p
Hari kedua mereka di Paris, Victor mengajak Halwa dan juga Edson ke Penthouse orang tuanya, yang terletak di kawasan The Champs-Elysees, yang juga dikenal sebagai The Most Beautiful Avenue of the World, jalan paling indah sedunia. Kawasan tempat kalangan jetset juga selebrity ternama dan kaum sosialita menghamburkan uang mereka di sana, dengan berbagai macam barang dari brand ternama yang berada di sepanjang jalan itu. Edson nampak tertidur di pundak Victor saat mereka memasuki Apartment dan menuju lift pribadi yang akan membawa mereka ke lantai teratas Apartment ini, dimana Penthouse orang tua Victor berada. "Aku gugup, Vic!" aku Halwa, tangannya yang sudah mulai keluar keringat dingin, saling bertautan dengan telapak tangan Victor. "Sstt, santai saja. Seperti yang sudah pernah aku bilang padamu, mereka tidak akan mencampuri urusan pribadiku. Lagipula siapa yang akan menolak mendapatkan wanita secantik dan secerdas dirimu
Halwa menatap nanar Edson yang tengah jongkok di depan makam saudari kembarnya, Vanessa. Jemari mungil anak itu menyentuh batu nisan bertuliskan nama saudarinya itu.Ia sengaja mengajak Edson ke makam Vanessa hari ini, karena besok mereka akan berangkat ke Paris, acara lamaran akan dilangsungkan di sana, karena kedua orang tua Victor sedang berada di sana."Kenapa dedek meninggal?" tanya Edson.Sebenarnya itu pertanyaan yang selalu diulang Edson tiap kali Halwa mengajaknya ke makam Vanessa. Meski begitu Halwa tetap menjawabnya.Halwa ikut jongkok di samping Edson, lengannya merangkul bahu kecil putranya itu,"Amma melahirkan kalian secara prematur, dan dedek Vanes tidak bisa bertahan lama," jawabnya dengan suara parau.Halwa seolah-olah kembali ke saat paling menyakitkan di dalam hidupnya itu, saat melihat tubuh mung1l putrinya yang sudah tidak bernyawa, belum lagi suara tangisannya yang hingga kini masih terus hadir di dalam mim
"Maaf aku terlambat!" seru Halwa sambil melepas jas panjangnya dan menggantungnya."Amma!" pekik girang Edson sambil menghambur ke arah Halwa, dan Halwa langsung menggendongnya,Hari ini adalah perayaan ulang tahun putranya itu yang ketiga tahun, hanya perayaan kecil-kecilan yang dihadiri keluarganya dan juga Victor."Euh, baru ditinggal beberapa jam saja, anak Amma sudah seberat ini yaa," godanya lalu menc1umi pipi Edson, "Poppa ajak aku makan banyak!" seru Edson sambil menunjuk ke arah Victor.Sambil tersenyum manis, pria itu menghampiri mereka, "IGD rame hari ini, Sayang?" tanyanya lembut sambil mencium pipi kiri dan kanan Halwa."Ya, seperti biasanya," jawab Halwa. Ia segera menurunkan Edson saat putranya itu memberontak minta turun untuk menghampiri Oma dan Opanya yang memanggilnya."Kamu terlalu memanjakannya, Vic," ujar Halwa sambil tersenyum melihat putranya itu yang sudah menjauh."Bukan memanjakannya
Kamu benar tidak apa-apa, Lilian?" tanya Halwa."Ya, aku hanya kaget saja tadi," jawab Lilian sambil memeluk dirinya sendiri,"Apa kita akan langsung ke penginapan saat masih basah kuyup seperti ini?" tanyanya.Lilian melihat secara bergantian ke arah Victor dan Halwa, mereka benar-benar terlihat seperti tikus got."Kalau kalian masih mau berdiri saja sambil menunggu festival itu selesai tidak apa-apa. Tapi aku mau kembali ke penginapan, sepertinya Edson nangis," jawab Halwa sambil menunjuk balkon tempat suster Mia menggendong Edson."Kalau begitu kita kembali ke penginapan saja," ujar Victor sambil jalan mendahului Halwa dan Lilian."Tingkahnya seperti dia daddynya Edson saja," kekeh Lilian."Victor memnag dekat dengan Edson sejak bayi, kamu jangan salah paham ya," jelas Halwa, mereka jalan beriringan ke arah penginapan."Apa yang membuatku salah paham? Kami cuma berteman saja, Aira. Tidak lebih."Halw