Abdullah tidak mampu berkata-kata lagi, ia tidak ingin menahan Zhia untuk saat ini. Ia tahu jika anaknya akan pergi lebih jauh dan tidak dalam jangkauannya.“Biarkan saja, kamu beritahu anak-anak untuk bersikap sopan dengan dia,” ucap Abdullah kepada pria berbaju batik itu.Selagi Zhia dan Tyas menemenai anak buah Abdullah, pria itu sejujurnya ingin bertemu Fia. Sayangnya, Fia sendiri tengah berada di Jakarta untuk urusan pekerjaan. Abdullah hanya ditemui oleh wakil Fia yang kebetulan berada di Surabaya.“Tidak masalah, saya titip Zhia, maksud saya Aya. Bagaimanapun hubungan kami, dia tetaplah anak saya,” ucap Abdullah sebelum mengakhiri sambungan teleponnya dengan wakil Fia itu.“Baik Pak Abdullah, saya akan sampaikan kepada Bu Fia. Sejauh ini, Aya masih dalam koridor Dvia. Dia selalu menolak side job yang ditawarkan klien kami, jadi Anda beruntung memiliki anak seperti dia. Masih memegang teguh harga dirinya.” Ucapan pria tersebut terngiang di kepala Abdullah, apakah ia sudah salah
“Sakit hatinya sudah dalam, Pak Abdullah. Mohon maaf, sudah tidak terselamatkan. Hanya Tuhan dan waktu yang akan membuatnya luluh. Sejujurnya Zhia perlu psikolog, hanya saja itu akan percuma jika dia sendiri tidak mau bangkit dari rasa sakit hatinya. Melunakkan hati wanita yang terlanjur sakit hati, tidak semudah membalikkan telapak tangan.”“Sedalam itu?” Pertanyaan Abdullah sejujurnya membuatnya naik darah. Bagaimana bisa pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut pria yang dengan bangga dipanggil Ayah oleh Zhia.“Bapak bisa bertanya kepada ahlinya, saya hanya seorang Ibu dan karyawan Bapak. Walaupun saya lulusan psikologi sekalipun, tetap saja tidak bisa sembarangan menganalisa,” ucap wanita berkacamata itu kepada Abdullah.“Ya sudah, saya minta ada yang memantau Zhia. Kalau perlu, tinggal di rumah kost dimana anakku berada,” ucap Abdullah mengusap keringat di dahinya. Ia memilih masuk ke dalam mobil dan bergegas ke bandara, karena perwakilan Irwan tidak bersedia bertemu di Surabaya.“
Zhia tidak menyangka jika ayahnya masih peduli, terlepas masalah rumah tangganya dengan Ega yang membuatnya murka, ternyata Abdullah masih memiliki empati kepadanya."Sayangnya, aku tidak bisa menerima uang darimu, Yah." Zhia mengusap pipinya yang basah. Berdiri di tepi jendela kamarnya, Zhia menatap langit Surabaya yang mulai gelap.Kehidupannya yang bertolak belakang, sejujurnya membuat Zhia sedih. Tidak ada lagi perawatan mahal di salon dan belanja skincare sesukanya, Zhia harus berusaha mengatur keuangannya agar tidak merepotkan dirinya nanti. Tips yang ia terima dari anak buah ayahnya, seharusnya tidak ia terima. Namun, atas pertimbangan tertentu, Zhia menerima uang itu di depan Tyas tadi pagi.“Ay, kowe ndakpapa?” Pesan singkat dari Tyas yang memastikan keadaannya membuyarkan lamunannya sore itu. Zhia mengulir layar ponselnya, melihat beberapa notifikasi pesan dari Tyas yang mengkhawatirkan keadaannya.“Aman, aku habis mandi. Lagi nungguin sate lewat, kayaknya makan sate enak, M
Zhia kembali bekerja seperti biasa, tawaran untuk menemani tamu yang datang ke Dvia berdatangan kepada rekan-rekannya. Zhia, ia tetap santai menikmati makanan dan minuman yang disediakan sambil menunggu gilirannya. Ketika sedang menikmati musik yang sedang diputar, admin order Dvia mendatanginya dan membisikkan sesuatu kepadanya.“Gak ah, Mas! Kalau mau ditemani nyanyi ya nyanyi aja! Gak ada job tambahan,” tolak Zhia kepada pria itu.“Ndak sayang duitnya to, Ay! Duitnya gede, lho!” bujuk pria yang Zhia taksir seusia dirinya itu.“Ndak, Mas. Kasih yang lain aja, aku gak tertarik,” jawab Zhia sambil mencomot kacang rebus di mejanya. Pria itu lalu pergi menghampiri anak buah tamunya dan tampak dalam pandangan Zhia, mereka sedang bernegosiasi.“Ay, kenapa gak diambil?” tanya salah satu pegawai lain yang mendengar percakapan Zhia dengan admin Dvia.“Gak, Mbak. Kasih lainnya aja.” Zhia menjawab dengan sopan pertanyaan wanita paruh baya itu.“Masih baru aja sok-sok an gak mau nerima job enak
Fia sedang menyesap jus apel yang dibuatkan khusus untuknya. Tidak ada yang tahu jika sejujurnya Fia tidak ingin Zhia melakukan pekerjaan rendahan seperti itu. Namun, dia ingin memakai Zhia untuk menekan Abdullah agar mau mengikuti permintaannya.“Bu, Pak Abdullah sudah mendesak saya untuk menghubungkan dengan Ibu. Bagaimana?”“Tahan lagi sebisamu, saya masih koordinasi dengan Pak Irwan untuk langkah selanjutnya.” Fia sedang memikirkan cara agar mendapatkan solusi terbaik.Fia merasa, belum saatnya ia berkomunikasi secara langsung dengan Abdullah. Beberapa bukti yang belum ia dapatkan, masih membuat dirinya gamang untuk memanfaatkan Zhia."Kalau aku pakai Aya, begitu dia tahu, pasti langsung kabur. Dia aset yang tidak boleh kemana-mana sampai batas waktu umur bekerja di Dvia. Rugi besar aku sudah kasih uang ke Nola. Ah, tidak! Ayo, cari cara lain Fia!"Setelah ia duduk, anak buahnya kembali masuk ke ruangannya. Salah satu orang kepercayaannya masuk dengan membawa selembar kertas di ta
Surat cerai yang diurus oleh ayahnya, sudah berada dalam genggaman. Dengan tangan bergetar, Ega membuka dokumen tersebut dan membacanya."Kamu sudah bukan hak ku lagi, Zhia." Di dalam ruangan kerjanya, Ega menatap matahari yang hampir tenggelam. Masih menggenggam akta perceraiannya dengan Zhia, hati Ega kembali teriris setelah mendapatkan pesan singkat dari Danu."Kau boleh mengantarkan surat itu kepada Zhia. Hanya itu kesepakatan untuk bertemu dengannya. Setelah ini, bersiaplah untuk menikah dengan calon yang sudah Ibumu siapakan.""Apa maksudnya? Kenapa jadi seperti ini, Yah?" Ega bukanlah bayi yang harus di dikte untuk ini dah itu. Memutuskan segala sesuatu, apalagi hal besar dalam hidupnya bukanlah perkara kecil."Ayahmu tidak bisa menolak! Setelah urusan kita selesai dengan Abdullah, kita tidak perlu berlama-lama dengan dia. Perusahaan itu sudah dalam genggaman kita dan dia tidak akan berkutik, Ega! Pikirkan baik-baik soal berapa keuntungan yang akan keluarga kita dapatkan!""Uan
Karena tidak ingin membuat keributan, Ega membiarkan Zhia pergi. Walaupun ia merasa, belum tuntas menyelesaikan kerinduannya kepada Zhia."Dia sudah pergi, ada baiknya kita kembali ke hotel. Atau kau mau makan disini?" Danu muncul dari arah yang berlawanan dengan Zhia pergi."Kita pergi saja, Yah. Aku tidak berselera disini." Ega beranjak dari duduknya dan mengikuti ayahnya keluar dari restoran tersebut."Kita makan di luar sana, ayahmu ini lapar.""Terserah saja, Ega ngikut."Di saat Ega dan ayahnya sedang bersantap malam di salah satu kedai restoran di jalan Sumatra, Zhia kembali bekerja melayani tamu-tamu di Dvia yang semakin ramai."Halo, akhirnya kita ketemu Zhia." Seorang wanita berpenampilan seksi dan glamour menghampiri Zhia yang sedang menyalakan sound system untuk tamu berikutnya.Zhia bukan tidak mengenal wanita itu. Wina adalah salah satu dari rekan grup nongkrong Zhia setelah ia lulus kuliah. Wanita cantik yang merupakan anak salah satu petinggi bank ternama di Jakarta it
Ega dan Danu kembali ke Jakarta. Urusan dengan Zhia, Danu anggap sudah selesai. "Kamu yakin gak ke tempat Zhia dulu?" tanya Danu kepada anaknya."Gak deh, Yah. Zhia pasti sedang marah. Gak ke Ega, tapi ke Wina dan teman-temannya yang lain. Video itu sudah pasti menyebar di grup pertemanan mereka.""Ya sudah, kita langsung ke Juanda. Malam ini ada pertemuan dengan perwakilan Pak Irwan, kamu sudah kasih tahu Abdullah?""Sudah, Yah."Tercipta keheningannya diantara keduanya. Ega sedang berpikir, sepertinya sulit kembali bersama dengan Zhia untuk saat ini. Keuangan keluarganya sedang goyah dan rencananya dengan sang ayah belum sepenuh berhasil. Sedangkan Danu, ia tidak memikirkan apa-apa lagi selain pertemuan bisnisnya dengan perusahaan Irwan.Perjalanan dari hotel ke bandara menjadi sunyi, Ega dan Danu sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga keduanya sama-sama duduk di dalam pesawat. "Ega, ayah tahu kamu masih ingin kembali. Saran ayah, coba alihkan keinginanmu itu dengan b