Bab 6
"Awas, Dik," pekik Mas Lana membuatku kembali mengarahkan pandangan padanya. Kulihat jeruk dalam kantong itu berceceran di lantai. "Maaf, Mas. Aku ngga sengaja." Refleks aku berjongkok, memunguti jeruk-jeruk itu dan kembali memasukkannya ke dalam kantong. Mas Lana pun demikian. Ia turut memunguti jeruk yang berceceran karena ulahku. Tak sengaja pandangan kami bertemu. Sepersekian detik kami saling bertatapan, lalu aku menunduk, menatap jeruk-jeruk yang sedang menggelinding di sekitarku untuk mengalihkan rasa canggung yang menyelimuti kami. "Ngga apa-apa. Kamu lihat apa? Sampai jatuh gini jeruknya," balas Mas Lana yang juga turut memunguti jeruk yang berceceran. Laki-laki di depanku itu tetap stay calm meskipun tahu bahwa aku sedang canggung. Seketika aku mengangkat kepalaku, mencari sosok yang membuatku tak fokus pada apa yang dilakukan Mas Lana. Kemana perginya Mas Fandy? Apa dia marah melihatku berdekatan dengan Mas Lana begini? "Dik?" panggil Mas Lana sambil mengikuti arah mataku memandang. "Iya, Mas?" jawabku. Kulihat Mas Lana sedang menyusuri halaman depan dengan kedua bola matanya, seperti sedang ikut mencari apa yang kulihat tadi. "Lihat apa? Tidak ada siapapun di sana." Dahi Mas Lana mengerut saat matanya kembali menatapku. "Iya maaf, Mas. Aku tak sengaja menjatuhkan jeruk yang Mas bawa." "Ya sudah, bawa ini masuk ke dalam. Mas harus pamit." "Baiklah, Mas. Makasih ya?" ucapku yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Mas Lana. Seulas senyum mengiringi kepergiannya dari hadapanku. Segera aku masuk dan meletakkan buah pemberian Mas Lana. Lalu kuraih ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas meja rias untuk menghubungi Mas Fandy. Kutekan nomor milik Mas Fandy agar aku segera terhubung dengannya dan juga agar dia tidak salah paham denganku dan Mas Lana terkait kejadian tadi. "Assalamualaikum Mas," sapaku cemas setelah panggilan terhubung. "Waalaikum salam, Dik. Ada apa?" Suara Mas Fandy terdengar santai. Berbeda denganku yang cemas dan khawatir. "Mas lihat aku sama Mas Lana tadi? Mas, itu ngga seperti yang Mas pikirkan. Tadi Mas Lana datang untuk memberikan makanan pada Ibu dan Bapak." "Hei, Sayang. Jangan panik begitu. Kamu ngga perlu merasa bersalah. Kalian sebentar lagi menikah, sudah jadi hal yang wajar kalau kamu dan dia saling berhubungan baik. Mas malah senang lihatnya," balas Mas Fandy yang seketika membuatku tertohok. Beginikah jadinya hubungan kami? Dia yang kucintai benar-benar melepasku pergi dengan lelaki lainnya? Secepat ini? "Apa Mas sudah ngga cinta padaku lagi?" tanyaku yang masih belum bisa menerima kenyataan ini. "Mas cinta sama kamu. Bahkan tak bisa hidup tanpa kamu. Tapi kenyataan yang harus kita hadapi sekarang ini jauh berbeda dengan apa yang kita harapkan. Mas baru sadar tadi bahwa kamu sebentar lagi bukan lagi menjadi milik Mas. Kita, tak bisa bersama lagi karena takdir tak merestui kita." "Mas," lirihku tak lagi dapat menahan tangis. Bibirku kembali terisak mendengar apa yang baru saja diucapkan Mas Fandy. "Sabar ya, Sayang? Kamu ngga perlu merasa bersalah begitu. Ah iya, maaf ya? Seharusnya aku tak memanggilmu sayang lagi sebab kamu akan menjadi milik yang lainnya." Mas Fandy terkekeh setelahnya. "Mas," panggilku lagi. Kalimat demi kalimat yang terucap dari bibir Mas Fandy seperti silet yang makin memperdalam luka dalam dadaku. "Mas boleh panggil aku apa saja." "Tidak, Dik. Kita harus mulai terbiasa dengan semuanya ini. Sabar ya? Kamu harus legowo." Kuhela napas panjang dan dalam. Sakit, lagi-lagi hatiku terasa sakit dengan semua ini. Suara derit pintu membuatku dengan segera mengusap air mata, lalu menoleh ke arah sumber suara. "Ran?" panggil Ibu. "Iya, Bu?" jawabku masih dengan ponsel di tangan. "Jeruk itu dari siapa?" tanya Ibu tanpa beranjak dari ambang pintu. "Mas Lana barusan datang ngasih jeruk sama semangka. Buat nanti malam katanya." "Mana dia? Kok ngga disuruh mampir?" "Buru-buru katanya." "Oalah, ya sudah." Setelah menjawab, Ibu segera keluar dari ruangan dan kembali menutup pintu kamar dengan perlahan. Kulihat panggilan masih terhubung dengan Mas Fandy. Kembali kudekatkan ponsel ke telinga untuk bisa mendengar suara lelaki yang masih menjadi pemilik hatiku. "Halo, Mas?" "Iya, Dik. Mau ada acara apa nanti malam?" Kugigit bibir bagian bawah. Mendadak hatiku ragu untuk mengatakan apa yang akan terjadi nanti malam. Mas Fandy, meskipun dia sudah berkali-kali bilang akan legowo dengan semua ini, kabar itu tetap akan membuatnya sakit. Tanpa dia berkata aku tahu apa yang dirasakannya. Sayangnya sebagai lelaki, Mas Fandy tak mungkin mengatakan apa yang dirasakannya padaku. "Dik? Masih di situ kan?" "Iya, Mas. Masih. Emm ... Nanti malam mau ada acara di rumah" "Acara apa? Kok kamu malah teleponan sama Mas jam segini? Kalau ada acara harusnya kamu sibuk di dapur sama Ibu." "Ngga terlalu penting kok, Mas. Ngga banyak yang dikerjain juga. Tenang aja." Tidak ada sahutan dari seberang panggilan setelah aku menjawab. Entahlah apa yang dipikirkan Mas Fandy, aku tak tahu. "Keluarga Mas Lana mau datang, ya?" tanya Mas Fandy setelah beberapa saat tak bersuara. Aku terdiam seketika. Ragu untuk menjawab, terpaksa aku bungkam. "Alhamdulillah. Mas ikut senang dengarnya. Akhirnya kamu ada yang lamar, ya? Setelah ini nikah. Jadilah istri yang baik, yang mau melayani suami dengan sepenuh hati karena itu termasuk ibadah." "Astaghfirullah, Mas. Kok malah bilang gitu sih!" gerutuku kesal. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu disaat hati sedang berkecamuk begini. "Lah terus maunya gimana? Kan Mas ikut bahagia melihat kamu mau nikah?" sela Mas Fandy masih terdengar santai. "Turut prihatin kek! Kok malah bilang alhamdulillah!" protesku tak setuju dengan ucapannya. "Prihatin gimana? Lihat adiknya ketemu jodoh kok malah prihatin, ya harusnya Mas senang." "Mas ngga cinta aku ya? Kok bisa-bisanya ngga ada sedih-sedihnya sama sekali?" tuduhku penuh penekanan. "Cinta dong! Masak enggak?! Tapi kan hidup terus berjalan, kalau kita tidak ditakdirkan bersatu ya mau gimana lagi. Mau ngga mau kita harus terima. Ah sudah lah. Jangan bahas ini terus. Sudah sana kamu mandi, siap-siap untuk kerja. Mas juga mau siap-siap." "Yaah, kok udahan sih telponnya? Kan aku masih pengen ngobrol?" "Sudah siang, nanti kamu terlambat. Sudah ya? Assalamualaikum." Tanpa menunggu aku menjawab salam, sambungan tiba-tiba saja terputus. Buru-buru sekali Mas Fandy menutup panggilannya, apa tidak ada rasa berat sedikit pun saat berjauhan denganku setelah sekian lama tak pernah berpisah? Terpaksa kuletakkan ponselku di atas kasur, lalu segera pergi ke kamar mandi. "Nduk," panggil Ibu saat aku melintas di depannya yang sedang memasak di dapur. "Iya, Bu?" jawabku setelah langkahku terhenti. "Habis teleponan sama Nak Fandy, ya? Sudah mau dilamar sama Nak Lana, jangan lagi berhubungan dengan Nak Fandy. Jaga perasaan calon suamimu." Ibu berujar tanpa menatap wajahku. Beliau menunduk menghadap bawang merah yang sedang dikupas di tangannya.Bab 50PoV Maharani Lelaki itu mengikatku dengan tali, kencang sekali. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Aku segera berteriak agar siapapun yang diluaran sana mendengar suaraku."Tolong!" teriakku kencang."Hey! Diam kamu!" sengit lelaki itu sambil menatapku tajam.Tak kupedulikan tatapan lelaki itu. Aku kembali berteriak. "Tolong!" "Dasar kamu!" Lelaki itu kembali menatapku penuh emosi. Ia lantas berjalan keluar dari bangunan tua ini dan kembali dengan membawa kain panjang dan diikatkan di mulutku. Aku tak lagi bisa berontak. Kedua tangan dan kakiku diikat. Entah apa yang akan dia lakukan padaku."Diam kamu kalau tidak mau aku bermain kasar denganmu!" sentak lelaki itu. Ia lantas berjalan keluar dari bangunan ini.Aku hanya bisa menangis sambil berdoa dalam hati. Siapapun itu, diluaran sana, tolong aku. Aku takut di sini. Lelaki itu kembali setelah beberapa saat. Ia mendekatiku, lalu membuka ikatan tanganku tapi tetap memegangi pergelangan tanganku agar aku tak berontak."Jangan
Bab 49PoV Maulana Mobil yang kukendarai melaju dengan kencang menuju jalan raya. Suara teriakan wanita di belakangku membuatku turut panik. Berbagai pikiran buruk terus saja muncul dalam pikiranku.Setibanya di klinik, seorang tenaga medis membantu menaikkan tubuh ibu muda itu ke atas brankar untuk dibawa ke ruangan IGD."Mas, makasih ya? Kalau ngga ada Mas saya ngga tahu lagi harus gimana. Saya ngga bisa bawa istri saya pakai motor sebab khawatir kalau dia kenapa-kenapa di jalan," ucap lelaki itu sambil berulang kali melihat brankar sang istri yang sudah didorong oleh petugas."Sama-sama, Pak. Semoga ibu dan bayinya sehat dan selamat. Saya permisi," ucapku sopan."Aamiin. Hati-hati di jalan, Mas," ucap bapak itu sambil menyelipkan amplop ke dalam tanganku saat aku berpamitan."Ngga usah, Pak. Saya senang bisa bantu Ibu. Ngga pakai ginian," ucapku seraya mengembalikan amplop itu ke dalam tangan pemiliknya."Mas beneran?" Binar di mata bapak muda itu bersinar sambil berkaca-kaca."Be
Bab 48PoV MaharaniMelihat Mas Lana ada di depan mata, rasanya aku tak percaya. Dia bisa sampai disini dan menemukanku untuk mengajaknya kembali.Sayangnya, aku masih kesal padanya sebab dia yang sudah tega menuduhku yang bukan-bukan. Harus kuberi pelajaran dulu agar dia tahu caranya menghargai pasangan.Berulang kali mendapatinya mengejarku membuatku merasa bahwa dia laki-laki yang memang bertanggung jawab. Hasutan Renata mampu membuat suamiku yang baik itu sampai tega melontarkan kata-kata yang menyakitkan padahal selama bersamaku, Mas Lana terbilang dewasa dalam menyikapi setiap permasalahan yang terjadi.Tiga hari, adalah waktu yang kuperkirakan untuk membuat Mas Lana cukup menyesali perbuatannya. Setelah tiga hari, aku akan mulai menerima ajakannya bicara untuk memperbaiki semuanya.Mataku membelalak saat melihat Mas Fandy tiba-tiba saja ada di sini, di rumah Bulik yang jauh dari rumah kami di kota, di hadapanku dengan senyumnya yang masih sama seperti saat kita menjalin hubunga
Bab 47PoV Maulana Setelah beristirahat, badanku sedikit membaik. Perutku pun rasanya minta segera diisi. Sehari kemarin, Bulik yang memberiku makan maka sekarang, aku ingin membalas kebaikannya dengan membelikan makanan untuk seisi rumah.Ikan bakar beserta sambal dan lalapan sudah ada di tanganku. Aku ingat, di awal kehamilan Rani, ia sempat meminta dibelikan makanan ini. Kali ini aku ingin mengulang momen itu, dimana hubungan kami masih baik-baik saja dan tidak ada masalah apapun."Repot-repot aja Nak Lana," ucap Bulik saat aku mengulurkan beberapa kotak berisi ikan padanya."Enggak, Bulik. Kemarin Bulik yang memberiku makan, maka sekarang izinkan Lana mentraktir kalian semua," balasku sambil mengulum senyum. Sayangnya, Rani sama sekali tak melirikku padahal ia sedang duduk di ruang tengah."Walah, rejeki ini namanya. Kebetulan aja Bulik baru mau masak buat makan malam. Sekarang ayo sini kumpul makan dulu," ajak Bulik."Pak, ayo makan dulu," teriak Bulik di ambang pintu dapur. E
Bab 46Pov MaulanaMalam ini adalah malam pertama aku tidur di rumah ini. Panas sekali. Tidak ada AC, hanya ada kipas angin kecil yang sudah usang. Dan itu pun tak bisa sesejuk kipas angin yang masih baru. Tak hanya itu, kipas angin itu berbunyi saat kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ah seharusnya ini kumatikan saja. Tanganku tergerak menekan tombol kipas itu. Dari pada berisik dan aku tak jadi tidur lebih baik tak usah kipas angin.Berulang kali aku harus menghela napas panjang untuk menyesuaikan diri dengan kondisi rumah ini. Berat, tapi demi Rani aku harus rela menelan semua ini.Terpaksa kulepas bajuku agar aku bisa tidur malam ini. Badanku baru terasa sejuk saat aku hanya mengenakan celana pendek saja tanpa atasan. Kulit punggungku menempel pada kain sprei yang meskipun warnanya sudah pudar, kain itu tetap terasa dingin.Keesokan harinya, badanku sakit semuanya. Kasurnya bukan dari springbed tapi dari kasur kapuk yang sepertinya sudah lama. Saat aku tidur tidak ada empukn
Bab 45Rani masih saja mengurung diri di kamar. Ia tak mau menemuiku hingga malam menjelang. Sedangkan aku, tak tahu harus bagaimana lagi untuk merayunya agar mau bertemu dan bicara denganku."Nak Lana sabar aja dulu. Jangan dipaksa terus nanti malah Rani ngga mau keluar." Bulik kembali berujar setelah berulang kali aku mengajak bicara Rani dari depan pintu."Saya merasa bersalah, Bulik. Melihat Rani seperti ini, makin membuat saya tak tenang.""Ya namanya perempuan. Maklum kalau ngambek begitu. Ditunggu aja dulu sampai dia mau keluar sendiri.""Apa Bulik tidak keberatan kalau saya di sini sampai Rani mau keluar?" tanyaku kembali memastikan. Sebab aku tidak tahu kapan Rani akan keluar."Ya enggak. Bulik ini tinggal di rumah ibumu, ya ngga apa-apa kalau kamu mau disini sampai kapan pun. Bulik malah senang bisa dekat sama keponakan, kapan lagi kalian datang ke sini?" Bulik tersenyum setelahnya, menunjukkan bahwa ia tak keberatan dengan keberadaanku dan Rani.Aku tersenyum. Rasa lega kem