Se connecterBab 37Lukas turun dari mobil mewahnya. Berjalan dengan penuh percaya diri. Dia mengenakan celana jeans dengan kaos hitam serta jaket kulit, kacamata dan masker melekat di mukanya.Tentu saja, karena tempat yang didatanginya itu bukanlah kantor ataupun restoran yang biasa digunakan sebagai tempat pertemuan. Dia tidak akan menggunakan celana bahan, kemeja, jas, dan dasi seperti biasanya.Di sini tempat orang bersenang-senang, membuang segala penat dan luka hidup. Melupakan sejenak masalah yang membelit, meski akhirnya setelah pulang, masalah itu kembali menghantui mereka.Dia tidak ingin menonjolkan sisi dirinya sebagai advokat, kalau perlu di sekitar tempat ini tidak boleh ada orang yang mengenali sosoknya.Ada sebuah kasus yang sedang ia tangani saat ini. Kematian sepasang remaja yang melibatkan kliennya sebagai pelaku.Ya, pelaku. Padahal menurut analisa dirinya sebagai advokat yang sudah mengenal seluk beluk dunia hitam, orang yang merupakan pelaku sesungguhnya adalah orang yang ha
Bab 36Pria itu mematikan layar ponsel, lalu memasukkan ke dalam saku celananya. Dia memutar tubuhnya, menoleh kepada pria yang tengah duduk di sofa. Lukas berjalan mendekat dan akhirnya duduk di depan pria itu. "Kamu sudah dengar sendiri, bukan?" ujarnya tanpa basa-basi.Lukas merentangkan tangan seolah terlepas dari beban.Ya, percakapan barusan itu memang bukan kehendaknya, tapi atas permintaan Rafli yang ingin tahu kabar dari Ratih."Iya Bang, kenapa nggak tanya saja di mana sekarang ia berada?!" Rupanya pria itu masih belum puas hanya dengan mendengar suara Ratih saja."Di kota itu, di kota tempat dulu dia pernah kuliah. Kamu bisa menyusulnya kalau masih penasaran.""Mana aku tahu alamatnya. Kan Abang yang melarang aku untuk menghubungi Ratih. Katanya lebih baik takdir yang bekerja. Takdir macam apa itu?!"Pria itu langsung terbahak. Lukas menatap wajah Rafli. Perutnya seperti dikocok. Luar biasa ekspresi pria itu. Beda banget ya kalau lagi menginginkan sesuatu, dan sesuatu yang
Bab 35"Bang," sahutku lirih setelah menempelkan benda pipih itu. Aku berdiri menepi dari kerumunan yang ada di depan ruangan praktek dokter kandungan.Kebetulan antrianku masih beberapa nomor lagi. Itulah mengapa aku memutuskan untuk menjawab telepon ini."Kenapa tidak menghubungi Abang lagi? Apa kamu sudah melupakan Abang?" Suara pria itu terdengar merajuk."Maaf." Entah kenapa aku diliputi rasa bersalah. Sudah lama aku tidak menghubungi Lukas dan yang lainnya, padahal aku sudah mengantongi nomor telepon mereka. Sebaliknya, mereka pun juga tidak menghubungi balik. Aku tidak tahu alasannya apa. "Maaf Bang, aku hanya tidak ingin merepotkan. Pasti Mas Bima udah mendatangi Abang.""Iya, tapi kamu nggak perlu khawatir. Bima tidak akan mencari kamu kok. Kami udah barter.""Barter apa lagi sih, Bang? Kalian ini...." Aku malah mengerucutkan bibir."Ada dong! Itu kan urusan laki-laki." Pria itu malah tertawa kecil, mungkin dia membayangkan ekspresiku, tapi justru itu yang membuatku kesal sen
Bab 34Itulah momen perkenalan pertamaku dengan Melvin, seorang pemuda yang masih berstatus mahasiswa semester akhir di sebuah fakultas kedokteran. Melvin itu calon dokter. Aku nggak menyangka jika ternyata ia malah memiliki minimarket ini.Di samping minimarket yang ternyata merupakan warisan dari ibunya, Melvin juga memiliki sebuah cafe. Cafe itu berada dekat dengan kampus, tempatku dulu menimba ilmu, dekat pula dengan kampus Melvin.Sebagian besar pengunjung cafe adalah mahasiswa, karena cafe itu memang didesain untuk mereka, generasi milenial yang haus dengan validasi. Di cafe itu seringkali menjadi tempat pembuatan konten dan Melvin memfasilitasi cafenya dengan penggunaan wi-fi secara gratis, untuk batas penggunaan tertentu."Hanya menyalurkan hobi saja, Mbak. Dulu aku suka melihat Mama masak. Jadinya untuk mengenang Mama, aku buat cafe saja. Jadi aku pula yang menjadi chef-nya, bebas sih bereksperimen dengan bahan-bahan yang ada," ujar pria muda itu. Melvin selalu berbinar jika
Bab 33"Bermasalah? Masa sih? Kemarin baru saya gunakan kok." Aku membuka tas dan mengambil semua uang cash yang ada, tapi jumlahnya memang tidak cukup. Akhirnya aku berinisiatif untuk mengurangi barang yang aku beli."Aduh Mbak, kalau nggak punya uang, nggak usah borong juga kali. Nyusahin aja!" Si pramuniaga dengan juteknya mengambil semua barang yang aku sisihkan dan membawanya pergi, sementara temannya sibuk scan semua barang-barang yang sudah aku pilih dan menghitung ulang total belanjaanku."Kalau kartu ATM nggak ada saldonya, lebih baik nggak usah kegayaan sih, Mbak." Dia malah ikutan mengomel setelah menerima uang pembayaran dariku."Halo... Mbak. Kartu ATM saya baru saja diperbaharui ya, dan jelas ada saldonya. Kalau nggak ada saldonya, saya juga nggak akan berani belanja. Ngapain gegayaan kalau cuma buat malu-maluin. Emangnya saya kurang kerjaan?" Aku pun akhirnya ikut tersulut, walaupun sejak tadi berusaha untuk sabar. Bagaimana bisa menjadi pramuniaga orangnya sejutek ini?
Bab 32Sebuah kamar sempit berukuran 3x3 meter dengan area dapur di dalam sudah cukup membuatku merasa lebih baik, meskipun tempat ini jauh dari kata mewah. Tapi hatiku terasa lebih tenang, karena aku merasa bebas, tidak ada lagi mata yang selalu mengawasiku, seperti saat aku masih berada di rumah yang dulu. Ya, dari awal aku tahu jika bi Darmi itu adalah mata-matanya Chintya.Mantan ibu mertuaku itu sendiri menikah dengan Hendrawan karena perjodohan, pernikahan mereka murni karena bisnis, dan karakter Bima terbentuk dari sana.Sudahlah. Itu masa lalu. Kini saatnya aku menyongsong masa depan dengan janin yang berada di perutku."Mbak sendirian saja?" tegur penghuni kamar sebelah. Namanya Vina, usianya mungkin sebaya denganku, tapi dia masih lajang."Iya, kebetulan aku tinggal sendirian.""Suaminya ke mana? Maaf kalau pertanyaan saya agak menyinggung...." Perempuan itu buru-buru menangkupkan tangan di dadanya. Mungkin dia merasa nggak enak, belum apa-apa udah tanya urusan pribadi ora







