MasukBab 3
"Oma...." Aku menjerit pertama kali saat menyadari jika Oma Trisna sudah terkulai di kursi rodanya. Aku buru-buru merengkuh tubuh itu, tetapi belum sempat menyentuh Oma Trisna, tubuhku sudah terjungkal lebih dulu, jatuh ke lantai.
"Apa-apaan kamu?! Lelucon macam apa ini?! Ini pasti gara-gara kamu! Kamu yang memang nggak becus sebagai istri, sampai Bima menceraikan kamu!"
Alih-alih merangkul, justru pria yang seharusnya menjadi cinta pertamaku itu malah menyalahkan. Aliando, papaku mendaratkan tamparan keras disusul dengan tamparan lain, tetapi tidak terlalu keras, karena berasal dari seorang wanita yang berdiri di samping pria itu.
Dialah Atika, ibu tiriku.
"Cepat berlutut, bilang kepada Bima jika kamu minta maaf dan meminta rujuk kembali!" teriak Atika marah.
Perempuan itu menyeretku ke arah Bima yang terlihat malah berbincang dengan Inara, tanpa perduli dengan neneknya yang sudah dibawa pergi dari tempat itu. Untung saja tim medis siap siaga, sehingga perempuan tua itu bisa segera mendapatkan pertolongan.
Ibu tiriku itu menyeretku terus, sampai akhirnya kami benar-benar tiba di depan Bima dan Inara.
"Nak, tolong maafkan Ratih. Tolong cabut kembali ucapanmu. Ratih akan berusaha menjadi istri yang baik," bujuk Atika, lalu memaksaku untuk membungkuk. Namun alih-alih membungkuk seperti orang bersujud, aku malah terguling hingga kepalaku menyentuh kaki Inara.
Dan, bahkan seperti memanfaatkan kesempatan, sehingga sepatu berhak tinggi itu ujungnya yang lancip menyentuh dahiku, membuat luka yang mengucurkan darah.
Aku meringis, namun tetap mencoba untuk bangkit. Aku tahu, percuma saja meminta belas kasihan mereka, apalagi pada Inara yang jelas-jelas menyakitiku.
"Aku sudah menceraikan Ratih, jadi tolong terimalah dia kembali di dalam keluarga Pramudita. Aku sudah memberikan sejumlah uang dan harta sebagai kompensasi. Aku tidak meninggalkannya dalam keadaan terlantar, dia bisa menjalankan hidup, apalagi jika dia kembali ke keluarga Pramudita, pastinya dia tidak akan kekurangan." Pria itu menerangkan dengan sangat jelas.
Penjelasan yang membuat Atika melotot kepadaku, lalu tangannya mendorong bahuku, menyuruhku untuk kembali bersujud di kaki pria itu, tapi aku memegang tangan Atika, menahan tubuhku sendiri.
Aku memang bersikukuh ingin mempertahankan pernikahan kami, tetapi bukan begini caranya. Bukankah kita tidak boleh bersujud di hadapan manusia?
Aku menyentuh lembut lengan pria itu, dan berkata, "sebaiknya ini kita bicarakan baik-baik di rumah, Mas. Mari kita bicarakan berdua saja, agar kita bisa membicarakannya dengan kepala dingin, tidak dengan emosi seperti ini."
"Tidak. Keputusanku sudah bulat. Selama masa iddah, kamu masih boleh tinggal di rumahku, tapi setelah itu, pergilah sesuai dengan surat perjanjian yang ada. Meski kamu menolak menandatanganinya, aku tetap menganggap surat perjanjian itu sah." Pria itu mengibaskan tanganku, lalu akhirnya melangkah pergi bersama dengan Inara. Dia meninggalkanku, yang akhirnya terpaksa menahan darah yang terus mengucur dari keningku dengan menggunakan tisu yang kebetulan berada di salah satu meja di dekatku.
*** Aku sudah ditalak!Jadi apa lagi yang harus kulakukan?
Sialnya pernyataan talak itu berada di tangan laki-laki, bukan di tangan perempuan, meskipun secara hukum negara, semua itu masih memerlukan proses, proses yang telah diperjuangkan oleh Bima agar mendapatkan akta cerai secara resmi dengan menggunakan surat perjanjian perceraian. Surat perjanjian perceraian itu berguna, untuk membuat hakim segera ketok palu karena menganggap jika semuanya sudah menjadi kesepakatan suami istri untuk mengakhiri pernikahan mereka.
Apapun itu, tetap saja statusku bukan lagi istrinya. Kami sudah tidak halal lagi untuk bersama, meskipun katanya aku masih boleh tinggal di rumah ini, tetapi pasti akan ada jarak.
Ah, ya, sejak lama Bima menciptakan jarak itu. Dia hanya memerlukanku untuk mengurus dirinya saja, termasuk kebutuhan biologisnya. Hanya itu. Benar seperti yang orang bilang, laki-laki tidak memerlukan cinta untuk berhubungan badan, dan nyatanya memang begitu. Hanya aku saja yang kecintaan dan bawa-bawa perasaan dalam hubungan rumah tangga kami yang timpang.
Aku mengenal Bima sejak kecil. Rasa cinta itu tumbuh perlahan, karena sosoknya yang begitu mempesona. Bima selalu melindungiku dari anak-anak nakal yang selalu mengejekku, karena tubuhku yang kecil dan pendek tidak seperti anak-anak sebayaku, bahkan sampai sekarang pun tubuhku masih terbilang mungil, tidak sebanding dengan Bima yang memiliki tubuh tinggi besar, ah....
Mungkin Bima dan Inara itu serasi. Prianya bertubuh tinggi besar, sementara Inara memiliki tubuh ramping proporsional dan semampai, tidak seperti aku yang terperangkap di tubuh mungil, bahkan sampai sekarang Bima tetap menganggapku seperti anak kecil.
Aku duduk di depan cermin, mencoba membersihkan lukaku, lalu membalutnya dengan plester. Aku tahu Inara melakukannya dengan sengaja, tapi sudahlah. Percuma menjelaskan, pasti Bima tidak akan percaya jika kekasih pertamanya itu menyakitiku. Selama ini dia terlalu terbuai dengan sosok Inara yang lemah lembut, dan memiliki otak yang cerdas itu.
Aku pun masih belum melupakan dengan tangis Inara malam itu, dua tahun yang lalu tatkala dia memintaku untuk menikah dengan Bima.
"Menikahlah dengan Bima. Aku hanya percaya pada kamu, Ratih. Kamu itu sahabat Bima. Kelak jika aku kembali, kita bisa tetap berteman dengan baik-baik."
Kalimat udara yang dipahami Bima seperti sebuah cinta yang teramat besar. Padahal mustahil jika seseorang yang mencintai akan menyerahkan orang yang dicintainya kepada orang lain, bahkan sudah terbukti, cinta kepada Bima harus kalah dengan beasiswa yang diterima oleh Inara.
Bukankah setiap keputusan ada resikonya?
Waktu dua tahun bukan waktu yang sebentar. Oke, Bima dan Inara masih terus berhubungan, tetapi kedekatan antara aku dan Bima secara fisik jelas saja membuat hal yang tidak direncanakan itu terjadi. Awalnya Bima sempat berjanji kepada Inara untuk tidak akan pernah menyentuhku, tapi nyatanya aku rutin melayani kebutuhan biologisnya hampir setiap malam.
Dan bodohnya aku yang menggunakan perasaan dalam melayaninya, karena memang dari awal aku mencintainya, dan beruntung bisa menikah lewat perjodohan dua keluarga dan tentu campur tangan Oma Trisna. Tanpa permintaan Inara pun, aku akan tetap menikah dengan Bima.
Bahkan kemungkinan jika Inara tidak mau menerima beasiswanya dan memilih menikah dengan Bima waktu itu, belum tentu juga hubungan mereka akan mulus. Pemegang keputusan mutlak dalam keluarga Chandrawinata adalah Oma Trisna, dan beliau sudah memilihku sebagai istri cucunya.
"Ratih!" Terdengar suara orang berteriak ketika aku baru akan beranjak meninggalkan meja rias. Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka secara paksa.
"Perempuan pembawa sial! Gara-gara kamu, Mama Trisna meninggal dunia! Kamu harus tanggung jawab! Saya akan laporkan kamu kepada polisi!" Perempuan setengah baya itu menarik tubuhku, yang lantaran ketidaksiapan, akhirnya tubuhku malah jatuh kembali ke lantai, meski aku berhasil melindungi kepalaku dengan tangan sehingga kepalaku tidak terbentur.
Bab 8Beruntung ada sipir yang lewat, sehingga wanita berseragam itu menegakkan tubuhku, lalu membimbingku menuju klinik."Biar diperiksa dulu ya, Bu. Ini Ibu Ratih yang kemarin positif hamil saat diperiksa dokter Syifa, kan?" ujarnya ramah.Aku mengangguk dan berkata, "benar, Bu. Saya nggak tahu jika sedang hamil, karena mungkin terlalu stres dengan drama rumah tangga kami yang tak berkesudahan. Ibu tentu tahu apa alasannya yang membuat saya berakhir di tempat seperti ini.""Iya Bu, saya mengerti." Pegangannya di pundakku membuat tubuhku terasa lebih ringan untuk melangkah. "Hanya sayangnya saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya seseorang yang ditugaskan untuk melayani para tahanan disini."Kemudian diapun berujar, "tapi Ibu tenang saja. Saya akan berusaha melayani Ibu sebaik mungkin. Mungkin tempat ini tidaklah cocok untuk ibu, tetapi saya berharap Ibu bisa betah tinggal di sini, meskipun saya pribadi menginginkan jika Ibu segera keluar. Saya tahu Ibu orang baik.""Dari mana Ib
Bab 7"Kamu pikir, kamu akan mendapatkan kebebasan dengan mudah?!' Pria itu malah tertawa lebar sembari menatap wajahku, ucapan yang membuatku sangat terkejut."Itu yang kamu janjikan!" Aku menunjuk map yang sekarang berada di tangan Inara."Kamu ingat, siapa yang sudah melaporkan kamu ke polisi soal tindakan tidak menyenangkan yang mengakibatkan hilangnya nyawa Oma? Apakah itu aku?" lanjutnya. Kedua sejoli itu seketika berpandangan, lalu bertukar senyum, meski akhirnya Inara memegang tangan Bima."Tidak sepantasnya kamu bilang seperti itu, Mas," ujar Inara lemah lembut, dan sedikit melirik kepadaku. "Bagaimanapun dia adalah istrimu, dan anak yang dikandungnya adalah anakmu. Seorang ayah tidak mungkin membiarkan ibu dari buah hatinya berada di penjara, bukan?!""Apa sekarang kamu berubah pikiran, Inara sayang?" Pria itu berujar. Lembut sekali nada bicaranya.Aku tidak tahu apa arti kesepakatan yang dimaksud oleh Bima, tetapi aku yakin Bima dan Inara itu sama saja. Kalaupun Inara terli
Bab 6Aku berlari menuju kamar mandi karena tak tahan dengan gejolak di dalam perutku. Entah kenapa bau badan Bima begitu menyengat. Padahal selama ini aku merasa baik-baik saja. Tidak ada riwayat penyakit maag yang parah, walaupun kadang makanku tidak teratur lantaran sering stres menghadapi sikap Bima, apalagi sejak rencana kepulangan Inara, yang berakhir dengan pertemuan kami di bandara waktu itu. Aku mengeluarkan seluruh isi perutku, sampai akhirnya yang tersisa cuma air saja.Tubuhku lemas, lunglai seluruh persendianku. Seorang sipir menangkap tubuhku yang limbung, lalu berkata, "mari kita ke klinik. Sepertinya kamu sedang kurang sehat.""Terima kasih, Bu," sahutku lirih.Wanita berseragam itu membimbingku berjalan menuju sebuah ruangan yang disebut dengan klinik. Seorang dokter jaga muncul dari ruang dalam dan mengisyaratkan kepadaku untuk berbaring.Dia mengukur denyut nadi tensi kemudian meminta izin untuk menyingkap pakaian yang sedang aku kenakan."Sudah berapa lama bu Rat
Bab 5"Suami Anda mungkin yang membuat keputusan itu, lalu mengumumkannya di hadapan para tamu undangan di acara anniversary pernikahan kalian yang kedua, tetapi bagaimanapun Anda adalah akar dari segala masalah ini yang membuat nenek mertua Anda akhirnya meninggal dunia lantaran syok dengan keputusan suami Anda. Wajar jika semua orang menyalahkan anda, karena mereka akan berpikiran Anda merupakan istri yang tidak becus. Sudah tahu nenek mertua anda memiliki riwayat penyakit jantung dan sedang dalam proses pengobatan, kenapa tidak bisa mengontrol suami Anda agar tidak mengumumkan perceraian di hadapan neneknya?" Tatapan pria di hadapanku ini seolah mengulitiku hidup-hidup. Dia bertindak sebagai penyidik, tetapi dari caranya menyelidiki kasus ini, membuat kesan seolah sedang menghakimiku.Kenapa semua orang menyalahkanku, sementara segala sesuatu yang terjadi di luar kontrol?Bagaimana mungkin aku bisa mengontrol seseorang yang cintanya sudah habis untuk cinta dan kekasih pertamanya?
Bab 4"Oma Trisna meninggal dunia?!" Bibirku bergetar. Tubuh yang lemas dan rasanya tulang-tulangku mau copot. "Aku sangat menyayangi Oma. Aku nggak menyangka kejadiannya sampai begini. Aku turut berduka cita, Ma." Hanya itu kalimat yang bisa aku ucapkan."Begitu mudahnya kamu bilang!" Tapi perempuan setengah dua itu malah melotot kepadaku. "Begitu mudahnya kamu bilang seperti itu, tidak menyadari kesalahanmu sendiri! Andai kamu bisa menjadi istri yang baik, Bima tidak perlu menceraikanmu dan mengumumkan perceraian itu di hadapan Mama Trisna. Aku sudah bilang jika kamu bukan wanita yang baik, tetapi Mama selalu bersikeras untuk menjodohkan kamu dengan Bima. Benar-benar perempuan pembawa sial!" Lagi-lagi ia memakiku.Tamparan itu membuat kepalaku pusing, dan secara alami tiba-tiba saja perutku mengalami mual. Aku buru-buru menutup mulutku dan mengusap perutku secara refleks untuk meredakan rasa tak nyaman."Aku tidak tahu apa-apa, Ma. Mas Bima sendiri yang mengumumkan perceraian. Aku
Bab 3"Oma...." Aku menjerit pertama kali saat menyadari jika Oma Trisna sudah terkulai di kursi rodanya. Aku buru-buru merengkuh tubuh itu, tetapi belum sempat menyentuh Oma Trisna, tubuhku sudah terjungkal lebih dulu, jatuh ke lantai. "Apa-apaan kamu?! Lelucon macam apa ini?! Ini pasti gara-gara kamu! Kamu yang memang nggak becus sebagai istri, sampai Bima menceraikan kamu!" Alih-alih merangkul, justru pria yang seharusnya menjadi cinta pertamaku itu malah menyalahkan. Aliando, papaku mendaratkan tamparan keras disusul dengan tamparan lain, tetapi tidak terlalu keras, karena berasal dari seorang wanita yang berdiri di samping pria itu.Dialah Atika, ibu tiriku."Cepat berlutut, bilang kepada Bima jika kamu minta maaf dan meminta rujuk kembali!" teriak Atika marah.Perempuan itu menyeretku ke arah Bima yang terlihat malah berbincang dengan Inara, tanpa perduli dengan neneknya yang sudah dibawa pergi dari tempat itu. Untung saja tim medis siap siaga, sehingga perempuan tua itu bisa







