LOGINBab 2
Senjataku hanya Oma. Oma Trisna, perempuan tua yang paling menyayangiku di dalam keluarga besar Chandrawinata. Namun sayang, kondisinya saat ini sedang sakit-sakitan. Oma menderita penyakit jantung dan kini tengah menjalani pengobatan di salah satu rumah sakit jantung terbaik di negara ini.Namun ingatanku tentang kondisi kesehatan Oma segera menyentak kesadaran dan akal sehat. Oma Trisna mengidap penyakit jantung, yang itu artinya beliau tidak boleh menerima berita buruk dalam bentuk apapun, apalagi soal rencana Bima yang akan segera menceraikanku.
Oh... Ya Tuhan!
Aku menghela nafas panjang, resah sendiri, tak tahu harus berbuat apa.
"Silahkan saja mengadu, atau ucapan kamu yang membuat kondisi Oma drop lebih awal!"
"Oh, ya?" Aku menatap dua sejoli itu bergantian. "Aku pikir memang seharusnya kita mempertimbangkan bagaimana kondisi Oma. Baiklah, aku tidak akan mengadu kepada Oma. Biarkan saja Oma mendengar sendiri jika di acara anniversary pernikahan kita nanti malam, jika ternyata cucunya yang paling ia banggakan ini sedang mengumumkan perceraian, dan seorang wanita lain akan dijadikan sebagai tunangannya. Aku rasa itu sudah cukup."
Aku bangkit, dan bermaksud akan pergi. Rasanya tidak perlu berlama-lama di tempat seperti neraka ini. Namun ternyata Bima malah menjegal tanganku.
"Kita akan pulang bersama-sama, setelah mengantarkan Inara pulang ke rumahnya!"
Aku memutar tubuhku dengan kasar melihat dengan jelas kilatan api dari sepasang mata pria itu.
Namun, jangan harap aku menyerah begitu saja, sudah cukup selama dua tahun ini aku mengalah sebagai istrinya. Memang pernikahan kami resmi, diakui oleh agama atau pun negara, Tapi tetap saja itu tidak ada artinya bagi keluarga Chandrawinata, bahkan tidak sedikit yang menyangka jika ternyata pewaris besar perusahaan keluarga itu sudah memiliki istri, karena aku memang jarang dibawa ke acara-acara yang diselenggarakan oleh perusahaan. Keberadaanku sebagai Nyonya Adhyaksa Bima Sakti tidak mudah terdeteksi, kecuali di kalangan keluarga besar saja ataupun orang-orang yang dekat dengan keluarga besar itu.
"Kamu pikir aku mau?!" bentakku. Sudah cukup kata-kata ini menghancurkan hatiku, jadi kurasa tidak perlu lagi bermanis-manis dengan perempuan satu ini, perempuan yang barusan ikut mengamini ucapan suamiku.
"Asal kamu tahu, Inara. Aku tidak pernah merebut Bima dari kamu, tetapi kamu sendiri yang menyerahkan Bima kepadaku, ditambah lagi Oma Trisna memang menyukaiku sejak kecil, jadi tidak ada salahnya jika kami berjodoh. Kerja sama antara dua perusahaan pun sudah terjalin dengan sangat lama. Dan ingat, kamu harus melewati tantangan itu sebelum nantinya berhasil menjadi nyonya Bima!" Aku menepis kasar tangan suamiku, lalu mengambil tasku dan berlari dari tempat ini.
Menapaki anak-anak tangga seolah seperti meluncur turun ke jurang terdalam. Aku sadar, ancaman hanya sekedar ancaman, dan mungkin akan sulit untuk terealisasi. Hanya Oma Trisna yang menyukaiku, sisanya tidak, bahkan orang tuanya Bima, mertuaku tidak mempercayaiku sama sekali.
"Jangan kekanak-kanakan, Ratih! Kamu pikir dengan pergi begitu saja, kamu sudah berhasil menekan Indra?! Naif sekali cara berpikirmu!"
Kedua tanganku kembali terkunci dan sosok tinggi besar itu berdiri tepat di belakangku tanpa jarak, bahkan desahan nafasnya seolah seperti anak-anak panah yang bersiap menikam jantung ini.
"Apa maksudku belum jelas?! Kalau kamu ingin bersama perempuan itu, ya silahkan, tapi jangan pernah mimpi dia bisa menjadi Nyonya Adhyaksa Bima Sakti. Aku pastikan itu! Pernikahan bukan sesuatu yang mesti kita permainkan. Aku menghargainya sejak memutuskan untuk menikah denganmu, meskipun pada kenyataannya mungkin cuma aku yang mencintaimu, sedangkan cintamu sudah habis buat Inara." Entah kenapa kali ini aku kembali melemah. Suara serak dan mata yang berkaca-kaca. "Biarkan aku pergi, Mas. Setidaknya aku tidak perlu menyaksikan kalian bersama. Biarkan aku pulang sendirian, karena di luar sana kamu pasti ingin bebas, kan? Tetapi jangan harap kamu bisa menceraikanku. Aku tidak akan pernah tanda tangan surat perjanjian pra perceraian!"
Inara tidak akan pernah mendapatkan Bima dengan mudah, itu tekadku. Mungkin raganya iya, tetapi tidak dengan status. Ini bukan karena soal harta, tapi soal harga diri. Harga diri seorang istri.
Jikalau memang Inara mencintai Bima, buktikan saja. Aku sangsi, apakah cinta tanpa status itu bisa bertahan lama atau tidak.
"Kamu akan menjadi simpanan selamanya, Inara. Kita lihat saja nanti!" Meski hatiku sesak, lagi-lagi aku mengibaskan tangan Bima, lalu melanjutkan langkahku dan kali ini rupanya Bima tidak lagi mengejar, karena sepasang tangan mulus itu sudah melekat manja di lengannya.
Senyum pria itu lantas terkembang begitu hangat. Bima bahkan merangkul pinggang Inara sangat mesra. Itu pemandangan terakhir sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan tempat itu.
***
Aku berdandan sebaik mungkin, membiarkan tim MUA mengeksekusi wajahku. Gamis longgar namun anggun dengan jilbab pashmina yang jatuhnya begitu lembut di kepalaku menambah kecantikanku malam ini, meskipun aku tahu kecantikan itu tidak sanggup menawan hati seorang Bima. Dia masih saja terobsesi dengan cinta pertamanya."Cantik sekali Kakak ini. Pantas saja Pak Bima terlihat begitu berbahagia. Kalian memang pasangan yang serasi," puji salah satu diantara mereka.
"Aku baru tahu kalau Pak Bima itu sudah punya istri. Pantas saja istrinya diumpetan, karena ternyata cantik banget. Takut kali kalau ada yang naksir."
Aku hanya tersenyum manis mendengar celotehan mereka, lalu mengucapkan terima kasih. Aku pergi dengan langkah perlahan. Tidak ada rasa bahagia sama sekali, bahkan langkahku terasa berat, karena tahu setelah ini akan ada drama di keluarga Chandrawinata, karena Oma Trisna juga berhadir bahkan menjadi bintang di acara malam ini.
Akankah Bima benar-benar menceraikanku malam ini dan mengumumkan Inara sebagai tunangannya?
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi oma Trisna.
Aku sudah menolak tanda tangan di dalam berkas perjanjian perceraian, di mana setelah kami resmi bercerai, nanti aku akan mendapatkan sebuah rumah, mobil, dan uang tunai, yang konon katanya diberikan sebagai bentuk kompensasi menjadi istrinya selama dua tahun terakhir ini.
Aku tidak menyangka ternyata Bima mengukur semuanya dengan materi. Sangatlah tidak sebanding dengan cinta dan pengabdianku sebagai seorang istri.
Pandangan orang-orang yang tertuju kepada kami saat pembawa acara memanggil. Kami saling bergandengan tangan menuju sebuah kue yang begitu besar, yang terpajang di tengah-tengah ruangan bertuliskan angka 2.
Kami bahkan melakukan apa yang seharusnya dilakukan, memotong kue dan saling menyuapi.
Lalu pria itu mengambil mikrofon dan kemudian mulai bersuara.
"Dalam kesempatan ini, saya meminta maaf kepada dua keluarga besar, terutama kepada istri saya Ratih Anjarwati Pramudita, untuk mengumumkan keputusan yang sudah saya buat dan kami setujui bersama. Malam ini saya menyatakan menceraikan Ratih Anjarwati Pramudita dengan talak satu!"
Bab 8Beruntung ada sipir yang lewat, sehingga wanita berseragam itu menegakkan tubuhku, lalu membimbingku menuju klinik."Biar diperiksa dulu ya, Bu. Ini Ibu Ratih yang kemarin positif hamil saat diperiksa dokter Syifa, kan?" ujarnya ramah.Aku mengangguk dan berkata, "benar, Bu. Saya nggak tahu jika sedang hamil, karena mungkin terlalu stres dengan drama rumah tangga kami yang tak berkesudahan. Ibu tentu tahu apa alasannya yang membuat saya berakhir di tempat seperti ini.""Iya Bu, saya mengerti." Pegangannya di pundakku membuat tubuhku terasa lebih ringan untuk melangkah. "Hanya sayangnya saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya seseorang yang ditugaskan untuk melayani para tahanan disini."Kemudian diapun berujar, "tapi Ibu tenang saja. Saya akan berusaha melayani Ibu sebaik mungkin. Mungkin tempat ini tidaklah cocok untuk ibu, tetapi saya berharap Ibu bisa betah tinggal di sini, meskipun saya pribadi menginginkan jika Ibu segera keluar. Saya tahu Ibu orang baik.""Dari mana Ib
Bab 7"Kamu pikir, kamu akan mendapatkan kebebasan dengan mudah?!' Pria itu malah tertawa lebar sembari menatap wajahku, ucapan yang membuatku sangat terkejut."Itu yang kamu janjikan!" Aku menunjuk map yang sekarang berada di tangan Inara."Kamu ingat, siapa yang sudah melaporkan kamu ke polisi soal tindakan tidak menyenangkan yang mengakibatkan hilangnya nyawa Oma? Apakah itu aku?" lanjutnya. Kedua sejoli itu seketika berpandangan, lalu bertukar senyum, meski akhirnya Inara memegang tangan Bima."Tidak sepantasnya kamu bilang seperti itu, Mas," ujar Inara lemah lembut, dan sedikit melirik kepadaku. "Bagaimanapun dia adalah istrimu, dan anak yang dikandungnya adalah anakmu. Seorang ayah tidak mungkin membiarkan ibu dari buah hatinya berada di penjara, bukan?!""Apa sekarang kamu berubah pikiran, Inara sayang?" Pria itu berujar. Lembut sekali nada bicaranya.Aku tidak tahu apa arti kesepakatan yang dimaksud oleh Bima, tetapi aku yakin Bima dan Inara itu sama saja. Kalaupun Inara terli
Bab 6Aku berlari menuju kamar mandi karena tak tahan dengan gejolak di dalam perutku. Entah kenapa bau badan Bima begitu menyengat. Padahal selama ini aku merasa baik-baik saja. Tidak ada riwayat penyakit maag yang parah, walaupun kadang makanku tidak teratur lantaran sering stres menghadapi sikap Bima, apalagi sejak rencana kepulangan Inara, yang berakhir dengan pertemuan kami di bandara waktu itu. Aku mengeluarkan seluruh isi perutku, sampai akhirnya yang tersisa cuma air saja.Tubuhku lemas, lunglai seluruh persendianku. Seorang sipir menangkap tubuhku yang limbung, lalu berkata, "mari kita ke klinik. Sepertinya kamu sedang kurang sehat.""Terima kasih, Bu," sahutku lirih.Wanita berseragam itu membimbingku berjalan menuju sebuah ruangan yang disebut dengan klinik. Seorang dokter jaga muncul dari ruang dalam dan mengisyaratkan kepadaku untuk berbaring.Dia mengukur denyut nadi tensi kemudian meminta izin untuk menyingkap pakaian yang sedang aku kenakan."Sudah berapa lama bu Rat
Bab 5"Suami Anda mungkin yang membuat keputusan itu, lalu mengumumkannya di hadapan para tamu undangan di acara anniversary pernikahan kalian yang kedua, tetapi bagaimanapun Anda adalah akar dari segala masalah ini yang membuat nenek mertua Anda akhirnya meninggal dunia lantaran syok dengan keputusan suami Anda. Wajar jika semua orang menyalahkan anda, karena mereka akan berpikiran Anda merupakan istri yang tidak becus. Sudah tahu nenek mertua anda memiliki riwayat penyakit jantung dan sedang dalam proses pengobatan, kenapa tidak bisa mengontrol suami Anda agar tidak mengumumkan perceraian di hadapan neneknya?" Tatapan pria di hadapanku ini seolah mengulitiku hidup-hidup. Dia bertindak sebagai penyidik, tetapi dari caranya menyelidiki kasus ini, membuat kesan seolah sedang menghakimiku.Kenapa semua orang menyalahkanku, sementara segala sesuatu yang terjadi di luar kontrol?Bagaimana mungkin aku bisa mengontrol seseorang yang cintanya sudah habis untuk cinta dan kekasih pertamanya?
Bab 4"Oma Trisna meninggal dunia?!" Bibirku bergetar. Tubuh yang lemas dan rasanya tulang-tulangku mau copot. "Aku sangat menyayangi Oma. Aku nggak menyangka kejadiannya sampai begini. Aku turut berduka cita, Ma." Hanya itu kalimat yang bisa aku ucapkan."Begitu mudahnya kamu bilang!" Tapi perempuan setengah dua itu malah melotot kepadaku. "Begitu mudahnya kamu bilang seperti itu, tidak menyadari kesalahanmu sendiri! Andai kamu bisa menjadi istri yang baik, Bima tidak perlu menceraikanmu dan mengumumkan perceraian itu di hadapan Mama Trisna. Aku sudah bilang jika kamu bukan wanita yang baik, tetapi Mama selalu bersikeras untuk menjodohkan kamu dengan Bima. Benar-benar perempuan pembawa sial!" Lagi-lagi ia memakiku.Tamparan itu membuat kepalaku pusing, dan secara alami tiba-tiba saja perutku mengalami mual. Aku buru-buru menutup mulutku dan mengusap perutku secara refleks untuk meredakan rasa tak nyaman."Aku tidak tahu apa-apa, Ma. Mas Bima sendiri yang mengumumkan perceraian. Aku
Bab 3"Oma...." Aku menjerit pertama kali saat menyadari jika Oma Trisna sudah terkulai di kursi rodanya. Aku buru-buru merengkuh tubuh itu, tetapi belum sempat menyentuh Oma Trisna, tubuhku sudah terjungkal lebih dulu, jatuh ke lantai. "Apa-apaan kamu?! Lelucon macam apa ini?! Ini pasti gara-gara kamu! Kamu yang memang nggak becus sebagai istri, sampai Bima menceraikan kamu!" Alih-alih merangkul, justru pria yang seharusnya menjadi cinta pertamaku itu malah menyalahkan. Aliando, papaku mendaratkan tamparan keras disusul dengan tamparan lain, tetapi tidak terlalu keras, karena berasal dari seorang wanita yang berdiri di samping pria itu.Dialah Atika, ibu tiriku."Cepat berlutut, bilang kepada Bima jika kamu minta maaf dan meminta rujuk kembali!" teriak Atika marah.Perempuan itu menyeretku ke arah Bima yang terlihat malah berbincang dengan Inara, tanpa perduli dengan neneknya yang sudah dibawa pergi dari tempat itu. Untung saja tim medis siap siaga, sehingga perempuan tua itu bisa







