MasukBab 6
Aku berlari menuju kamar mandi karena tak tahan dengan gejolak di dalam perutku. Entah kenapa bau badan Bima begitu menyengat. Padahal selama ini aku merasa baik-baik saja. Tidak ada riwayat penyakit maag yang parah, walaupun kadang makanku tidak teratur lantaran sering stres menghadapi sikap Bima, apalagi sejak rencana kepulangan Inara, yang berakhir dengan pertemuan kami di bandara waktu itu.
Aku mengeluarkan seluruh isi perutku, sampai akhirnya yang tersisa cuma air saja.
Tubuhku lemas, lunglai seluruh persendianku.
Seorang sipir menangkap tubuhku yang limbung, lalu berkata, "mari kita ke klinik. Sepertinya kamu sedang kurang sehat."
"Terima kasih, Bu," sahutku lirih.
Wanita berseragam itu membimbingku berjalan menuju sebuah ruangan yang disebut dengan klinik. Seorang dokter jaga muncul dari ruang dalam dan mengisyaratkan kepadaku untuk berbaring.
Dia mengukur denyut nadi tensi kemudian meminta izin untuk menyingkap pakaian yang sedang aku kenakan.
"Sudah berapa lama bu Ratih tidak kedatangan tamu bulanannya?" tanyanya tiba-tiba.
Aku pun berusaha mengingat-ingat. Memang sudah lama aku tidak mendapatkan tamu bulananku. Terakhir mungkin sekitar 3 bulan yang lalu, ah aku sendiri agak lupa, karena selama ini Bima selalu rutin menggunakan pengaman jika kami sedang berhubungan intim, jadi aku merasa cukup aman.
Aku pikir telatnya menstruasiku karena efek stres dan pikiran lantaran kepulangan Inara yang menjadi momok di dalam rumah tangga kami.
"Kemungkinan Ibu sedang hamil. Ayo kita periksa sekarang. Bisa berjalan ke kamar mandi sendiri, kan?" Perempuan itu segera mengambil sebuah wadah dan sebuah tespect, lalu menyerahkannya kepadaku.
Aku mengerti apa maksudnya. Aku mengerti prosedur ini, jadi dengan langkah tertatih, aku pun berjalan menuju kamar mandi yang terletak tidak jauh dari ruangan itu. Aku menampung urineku, lalu mencelupkan benda kecil itu dengan hati yang berdebar
Benar. Garis dua, positif. Aku segera membawa benda itu kembali ke hadapan sang dokter.
"Dokter Syifa, ternyata garis dua." Aku melapor dengan bibir bergetar dan rasa yang entah seperti apa.
Bagaimana mungkin aku bisa melanjutkan kehamilan dan membesarkan bayi di dalam penjara?
Aku tahu, aku tidak salah, tetapi kekuasaan keluarga Chandrawinata cukup besar yang bisa membeli hukum dengan sangat mudah. Meski berhubungan dekat, tetapi kemungkinan setelah kematian Oma Trisna hubungan antar keluarga sudah tidak lagi seperti dulu. Itu prediksiku saja. Terbukti mereka berani memenjarakanku. Bayangkan saja jika aku dipenjarakan oleh mereka, sementara oma Trisna masih ada.
*** "Apa aku harus percaya denganmu?! Atau mungkin kamu berpikiran jika kehamilanmu ini bisa merubah keputusanku?!" Pria itu menggeleng keras. "Tidak, Ratih. Aku tidak akan merubah keputusan sudah aku buat bersama dengan Inara.""Mungkin kamu berjuang untuk rumah tanggamu, tapi aku harus berjuang untuk cintaku. Kita punya kepentingan masing-masing," beber pria itu dengan angkuhnya.
Hari ini lagi-lagi mereka datang setelah kemarin gagal membujukku.
Aku sengaja menyampaikan kehamilanku dengan harapan jika Bima mengurungkan niatnya. Namun ternyata pria itu tidak bergeming.
"Gugurkan segera! Mumpung baru 3 bulan, jangan sampai lebih dari itu. Mumpung belum ditiup roh, jadi tidak termasuk dalam pasal pembunuhan!"
"Kamu pikir aborsi itu bukan pasal pembunuhan?!" Kali ini aku benar-benar marah.
"Pria macam apa kamu?! Dengar Mas, menghilangkan titik kehidupan di dalam rahim seorang perempuan itu haram hukumnya!
"Ini dosa besar, Mas!" Aku mengangkat tangan. Ingin rasanya menampar pria itu, tapi aku urungkan. Kekuasaan keluarga Chandrawinata terlalu besar, sementara aku tidak bisa melawan mereka karena papaku pun tidak perduli padaku. Dia hanya peduli pada Atika dan Moana, dan juga perusahaannya, yang merupakan satu-satunya alasan yang menyebabkan dia sangat marah ketika tahu aku bercerai dari Bima. Keluarga Chandrawinata merupakan penyokong dana terbesar perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Pramudita.
"Aku rasa ini ada benarnya. Ini hanya saran yang paling realistis, Ratih. Karena mau tidak mau, suka tidak suka, kalian harus berpisah. Mas Bima pasti tidak mau kamu terbebani dengan kehadiran anak itu nantinya. Benar kan, Mas?" ujar Inara, seolah ia yang paling bijaksana di antara kami bertiga.
"Lagi pula aku tidak akan memberikan kompensasi apapun atau membiayai anak itu. Kamu harus mengurusnya sendiri, membiayai sendiri. Selain yang tertera di dalam surat perjanjian, aku tidak bisa memberikan apapun. Hubungan kita benar-benar selesai, ada kaitan apapun, termasuk hak anak dan lain sebagainya."
"Aku juga tidak butuh apapun dari kamu. Aku hanya tidak ingin kita bercerai secara resmi, dan aku tidak akan pernah tanda tangan...." Suaraku lagi-lagi bergetar menyadari kilatan api dari sepasang mata pria itu.
"Benar-benar keras kepala! Apa perlu aku memaksamu untuk menggugurkan kandunganmu?!" Pria itu menggeram. Dia menekan bahuku, lalu tatapannya yang tajam seolah ingin menelanku bulat-bulat. "Kamu sedang hamil dan penjara bukan tempat yang tepat untuk wanita hamil sepertimu. Aku bisa membantumu keluar dari penjara, asal kamu mau tanda tangan! Memang, aku bisa saja mengurus perceraian tanpa surat perjanjian ini, tetapi kalau itu aku lakukan, sama saja dengan mencoreng reputasi keluarga Chandrawinata yang anti perceraian. Kamu paham?!"
"Jadi bekerja sama lah dengan baik kepadaku. Kita bercerai saja secara baik-baik. Toh, kita sama-sama saling diuntungkan. Kamu bisa keluar dari penjara ini membesarkan anakmu dan hidup bebas, atau aku akan memaksa dokter di penjara ini untuk menggugurkan kandunganmu, dan kamu akan tetap membusuk di penjara selamanya. Itu yang kamu inginkan, Ratih?!"
Ku balas tatapannya, tatapan yang dulu ku kira adalah cinta dan penerimaan, setelah aku menyerahkan diriku utuh kepadanya. Tapi ternyata tidak. Dia benar-benar ingin menyingkirkanku, terlebih wanita yang berada di sampingnya, Inara.
Dulu Inara begitu baik kepadaku karena tahu jika aku berteman baik dengan Bima, tetapi sikapnya sekarang sungguh berubah, hanya karena aku tidak mau memberikan suamiku kepadanya.
Dia sendiri yang memberikan Bima, menyuruhku menikah dengan Bima yang bahkan tanpa suruhan dari Inara pun aku akan tetap menikah dengan Bima karena oma Trisna yang menjodohkan kami.
"Tidak akan semudah itu, Inara," gumamku dalam hati. Tetapi saat ini aku tidak punya pilihan. Aku harus keluar dari penjara demi kehidupan kecil di perutku.
Aku menarik nafas panjang, mengangkat bahu, lalu berkata, "baiklah, mana yang harus aku tanda tangani?"
Bima memberikan map itu dan aku membacanya sekilas, sedikit kaget karena ternyata isi perjanjian itu berubah. Hanya yang jelas aku tidak mendapatkan apa-apa, sebagai kompensasi yang sebelumnya ia janjikan, tetapi hanya sekedar kebebasan dari penjara, bebas segala tuduhan sebagai pelaku perbuatan tidak menyenangkan kepada Oma Trisna yang berujung dengan hilangnya nyawa perempuan tua itu.
Aku mengangguk lemah, pasrah agar semuanya cepat berakhir.
Aku membubuhkan tanda tangan itu dengan cepat, lalu kembali menyerahkan kepada dua sejoli itu, lalu kembali berkata, "aku sudah tanda tangan, jadi segera tarik laporan kalian."
Bab 8Beruntung ada sipir yang lewat, sehingga wanita berseragam itu menegakkan tubuhku, lalu membimbingku menuju klinik."Biar diperiksa dulu ya, Bu. Ini Ibu Ratih yang kemarin positif hamil saat diperiksa dokter Syifa, kan?" ujarnya ramah.Aku mengangguk dan berkata, "benar, Bu. Saya nggak tahu jika sedang hamil, karena mungkin terlalu stres dengan drama rumah tangga kami yang tak berkesudahan. Ibu tentu tahu apa alasannya yang membuat saya berakhir di tempat seperti ini.""Iya Bu, saya mengerti." Pegangannya di pundakku membuat tubuhku terasa lebih ringan untuk melangkah. "Hanya sayangnya saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya seseorang yang ditugaskan untuk melayani para tahanan disini."Kemudian diapun berujar, "tapi Ibu tenang saja. Saya akan berusaha melayani Ibu sebaik mungkin. Mungkin tempat ini tidaklah cocok untuk ibu, tetapi saya berharap Ibu bisa betah tinggal di sini, meskipun saya pribadi menginginkan jika Ibu segera keluar. Saya tahu Ibu orang baik.""Dari mana Ib
Bab 7"Kamu pikir, kamu akan mendapatkan kebebasan dengan mudah?!' Pria itu malah tertawa lebar sembari menatap wajahku, ucapan yang membuatku sangat terkejut."Itu yang kamu janjikan!" Aku menunjuk map yang sekarang berada di tangan Inara."Kamu ingat, siapa yang sudah melaporkan kamu ke polisi soal tindakan tidak menyenangkan yang mengakibatkan hilangnya nyawa Oma? Apakah itu aku?" lanjutnya. Kedua sejoli itu seketika berpandangan, lalu bertukar senyum, meski akhirnya Inara memegang tangan Bima."Tidak sepantasnya kamu bilang seperti itu, Mas," ujar Inara lemah lembut, dan sedikit melirik kepadaku. "Bagaimanapun dia adalah istrimu, dan anak yang dikandungnya adalah anakmu. Seorang ayah tidak mungkin membiarkan ibu dari buah hatinya berada di penjara, bukan?!""Apa sekarang kamu berubah pikiran, Inara sayang?" Pria itu berujar. Lembut sekali nada bicaranya.Aku tidak tahu apa arti kesepakatan yang dimaksud oleh Bima, tetapi aku yakin Bima dan Inara itu sama saja. Kalaupun Inara terli
Bab 6Aku berlari menuju kamar mandi karena tak tahan dengan gejolak di dalam perutku. Entah kenapa bau badan Bima begitu menyengat. Padahal selama ini aku merasa baik-baik saja. Tidak ada riwayat penyakit maag yang parah, walaupun kadang makanku tidak teratur lantaran sering stres menghadapi sikap Bima, apalagi sejak rencana kepulangan Inara, yang berakhir dengan pertemuan kami di bandara waktu itu. Aku mengeluarkan seluruh isi perutku, sampai akhirnya yang tersisa cuma air saja.Tubuhku lemas, lunglai seluruh persendianku. Seorang sipir menangkap tubuhku yang limbung, lalu berkata, "mari kita ke klinik. Sepertinya kamu sedang kurang sehat.""Terima kasih, Bu," sahutku lirih.Wanita berseragam itu membimbingku berjalan menuju sebuah ruangan yang disebut dengan klinik. Seorang dokter jaga muncul dari ruang dalam dan mengisyaratkan kepadaku untuk berbaring.Dia mengukur denyut nadi tensi kemudian meminta izin untuk menyingkap pakaian yang sedang aku kenakan."Sudah berapa lama bu Rat
Bab 5"Suami Anda mungkin yang membuat keputusan itu, lalu mengumumkannya di hadapan para tamu undangan di acara anniversary pernikahan kalian yang kedua, tetapi bagaimanapun Anda adalah akar dari segala masalah ini yang membuat nenek mertua Anda akhirnya meninggal dunia lantaran syok dengan keputusan suami Anda. Wajar jika semua orang menyalahkan anda, karena mereka akan berpikiran Anda merupakan istri yang tidak becus. Sudah tahu nenek mertua anda memiliki riwayat penyakit jantung dan sedang dalam proses pengobatan, kenapa tidak bisa mengontrol suami Anda agar tidak mengumumkan perceraian di hadapan neneknya?" Tatapan pria di hadapanku ini seolah mengulitiku hidup-hidup. Dia bertindak sebagai penyidik, tetapi dari caranya menyelidiki kasus ini, membuat kesan seolah sedang menghakimiku.Kenapa semua orang menyalahkanku, sementara segala sesuatu yang terjadi di luar kontrol?Bagaimana mungkin aku bisa mengontrol seseorang yang cintanya sudah habis untuk cinta dan kekasih pertamanya?
Bab 4"Oma Trisna meninggal dunia?!" Bibirku bergetar. Tubuh yang lemas dan rasanya tulang-tulangku mau copot. "Aku sangat menyayangi Oma. Aku nggak menyangka kejadiannya sampai begini. Aku turut berduka cita, Ma." Hanya itu kalimat yang bisa aku ucapkan."Begitu mudahnya kamu bilang!" Tapi perempuan setengah dua itu malah melotot kepadaku. "Begitu mudahnya kamu bilang seperti itu, tidak menyadari kesalahanmu sendiri! Andai kamu bisa menjadi istri yang baik, Bima tidak perlu menceraikanmu dan mengumumkan perceraian itu di hadapan Mama Trisna. Aku sudah bilang jika kamu bukan wanita yang baik, tetapi Mama selalu bersikeras untuk menjodohkan kamu dengan Bima. Benar-benar perempuan pembawa sial!" Lagi-lagi ia memakiku.Tamparan itu membuat kepalaku pusing, dan secara alami tiba-tiba saja perutku mengalami mual. Aku buru-buru menutup mulutku dan mengusap perutku secara refleks untuk meredakan rasa tak nyaman."Aku tidak tahu apa-apa, Ma. Mas Bima sendiri yang mengumumkan perceraian. Aku
Bab 3"Oma...." Aku menjerit pertama kali saat menyadari jika Oma Trisna sudah terkulai di kursi rodanya. Aku buru-buru merengkuh tubuh itu, tetapi belum sempat menyentuh Oma Trisna, tubuhku sudah terjungkal lebih dulu, jatuh ke lantai. "Apa-apaan kamu?! Lelucon macam apa ini?! Ini pasti gara-gara kamu! Kamu yang memang nggak becus sebagai istri, sampai Bima menceraikan kamu!" Alih-alih merangkul, justru pria yang seharusnya menjadi cinta pertamaku itu malah menyalahkan. Aliando, papaku mendaratkan tamparan keras disusul dengan tamparan lain, tetapi tidak terlalu keras, karena berasal dari seorang wanita yang berdiri di samping pria itu.Dialah Atika, ibu tiriku."Cepat berlutut, bilang kepada Bima jika kamu minta maaf dan meminta rujuk kembali!" teriak Atika marah.Perempuan itu menyeretku ke arah Bima yang terlihat malah berbincang dengan Inara, tanpa perduli dengan neneknya yang sudah dibawa pergi dari tempat itu. Untung saja tim medis siap siaga, sehingga perempuan tua itu bisa







