MasukBab 5
"Suami Anda mungkin yang membuat keputusan itu, lalu mengumumkannya di hadapan para tamu undangan di acara anniversary pernikahan kalian yang kedua, tetapi bagaimanapun Anda adalah akar dari segala masalah ini yang membuat nenek mertua Anda akhirnya meninggal dunia lantaran syok dengan keputusan suami Anda. Wajar jika semua orang menyalahkan anda, karena mereka akan berpikiran Anda merupakan istri yang tidak becus. Sudah tahu nenek mertua anda memiliki riwayat penyakit jantung dan sedang dalam proses pengobatan, kenapa tidak bisa mengontrol suami Anda agar tidak mengumumkan perceraian di hadapan neneknya?" Tatapan pria di hadapanku ini seolah mengulitiku hidup-hidup.Dia bertindak sebagai penyidik, tetapi dari caranya menyelidiki kasus ini, membuat kesan seolah sedang menghakimiku.
Kenapa semua orang menyalahkanku, sementara segala sesuatu yang terjadi di luar kontrol?
Bagaimana mungkin aku bisa mengontrol seseorang yang cintanya sudah habis untuk cinta dan kekasih pertamanya?
"Tapi tetap saja suami saya juga bersalah. Dia lah yang membuat pengumuman itu. Boleh jadi saya yang menjadi pemicunya, tetapi di mana letak kesalahan saya? Dia sendiri yang berniat untuk menceraikan saya, tanpa peduli dengan perasaan oma-nya sendiri? Saya sudah memperingatkan, tapi dia tetap nekat, karena dia ingin menikah secara resmi dengan mantan kekasihnya yang sekarang sudah kembali ke negara ini." Aku membeberkan dengan rinci, menjawab semua tuduhan yang di alamatkan kepadaku.
Akan tetapi, tetap saja aku tidak punya bukti jika aku tidak terlibat dalam masalah ini.
Aku hanya menjelaskan bahwa aku sudah berusaha untuk mempertahankan rumah tanggaku sesuai amanat oma Trisna, tapi nyatanya suamiku sudah menalakku, dan mungkin sebentar lagi akan menikah dengan Inara. Aku sudah menjelaskan tentang perselingkuhan suamiku dengan Inara. Tapi semua bantahan itu tidak ada artinya. Tetap saja akhirnya aku dikirim ke sel tahanan, dengan dalih menunggu penyelidikan lebih lanjut.
Tubuhku yang remuk redam dan dan semua rasa lelah fisik dan jiwaku membuatku akhirnya berbaring di lantai yang dingin ini. Tak terbayangkan jika akhirnya aku harus tidur di tempat ini, di sel yang sempit. Beruntung hanya ada aku di ruangan ini.
Ruangan ini cukup terisolir, tidak seperti sel tahanan yang lain yang dihuni beramai-ramai.
Malam kembali datang dan diantara remang, aku menatap langit-langit ruangan.
Aku mengenang semuanya sampai akhirnya kelebatan demi kelebatan seperti puzzle yang berserakan, membentuk suatu kesimpulan yang membuatku akhirnya sampai di titik ini.
Dari pagi sampai malam aku berada di sel tahanan,tetapi tidak ada seorangpun yang peduli, bahkan papaku sendiri. Bahkan Papa tidak menengokku ataupun sekedar menitipkan pesan simpatik.
Aku bahkan tidak sempat membawa ponsel, jadi aku tidak bisa menghubungi mereka. Akan tetapi rasanya tidak mungkin juga pihak kepolisian tidak menghubungi orang tuaku.
Sudahlah. Dari awal papa memang tidak lagi peduli denganku. Papa hanya lebih peduli dengan Atika dan Moana, adik tiriku. Belakangan akhirnya aku mengetahui jika sebenarnya Moana bukanlah anak tiri papa, tetapi anak kandung papa, karena Atika sebenarnya dulu merupakan istri simpanan papa yang memang tidak bisa masuk ke dalam lingkup keluarga besar Pramudita kecuali setelah ibuku meninggal dunia.
Atau jangan-jangan ibuku meninggal karena ada keterkaitan dengan Atika? Ya, mengingat wanita itu begitu berambisi untuk menjadi nyonya besar di keluarga Pramudita.
Aku baru menyadari sekarang dan mirisnya kesadaran ini datang setelah aku berada di titik terendah dalam hidupku. Lagi pula aku tidak memiliki bukti keterkaitan antara Atika dengan kematian ibuku yang terasa amat mendadak.
Keesokan harinya seorang petugas wanita datang dan memintaku untuk mengikutinya ke ruangan utama.
"Mau apa kalian kemari?!"
Aku kira yang datang cuma Bima seorang, tetapi ternyata perempuan itu juga ada di sana.
"Waktuku tidak banyak, Ratih, jadi tolong kerjasamanya. Jangan terlalu keras kepala. Tanda tangani surat perjanjian kita, setelah itu aku akan mengurus perceraian kita ke pengadilan. Lagi pula Oma Trisna sudah meninggal, tidak ada lagi yang mengganjal dalam hubungan kita. Kamu mau ya?" Nada suaranya terdengar lunak, sementara Inara menyodorkan map berisi surat perjanjian itu.
Aku menatap benda itu sebentar, kemudian mengambilnya dari tangan Inara, lalu membukanya.
Ternyata drafnya masih sama seperti yang disodorkan oleh Bima tempo hari.
"Tolong jangan mempersulit. Ini demi kebaikan kita bersama. Kalaupun kamu ingin memaksakan diri untuk tetap menjadi istriku, semua itu hanya akan menyiksamu. Pikirkanlah dengan benar, Ratih. Cinta itu tidak bisa dipaksakan," ujar Inara dengan bijak, meski terdengar jika perempuan itu berkata hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Tentunya dia tidak mungkin membiarkan dirinya hanya sebagai istri simpanan untuk selamanya. Kedepannya pasti Inara harus menguasai harta dan dan perusahaan keluarga Chandrawinata. Kurasa dia cukup cerdas untuk hal yang satu itu. Masa iya seorang perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri tidak memiliki perhitungan tersendiri?
Dia pasti tidak mau hanya makan dengan cinta!
Untuk apa juga datang ke negara ini dan repot-repot merusak rumah tangga orang lain, kalau tidak memiliki perhitungan keuntungan yang jelas?
Rumah tanggaku dan Bima memang terasa hambar, seperti timpang sebelah. Namun tidak seharusnya Inara merusaknya, perempuan itu masih memiliki nurani dan akal yang baik. Andai Inara dan Bima tidak menjalin hubungan jarak jauh, barangkali akibatnya tidak akan begini. Seharusnya mereka sudah selesai sejak lama, dan jika dipaksakan pun, belum tentu juga ibunya Bima yang bernama Chintya itu mau menerima Inara sebagai menantu. Sangat tidak mudah untuk bisa masuk ke dalam keluarga besar Chandrawinata.
Aku hanya beruntung, bisa menjadi menantu keluarga Chandrawinata karena merupakan kesayangan oma Trisna.
"Cinta memang tidak bisa dipaksakan, tetapi bisa dibangun dengan pelan-pelan dengan pondasi logika dan akal sehat. Itulah cinta yang benar, Inara. Sayangnya Mas Bima sendiri yang menutup diri dan malah terus berhubungan sama kamu. Ya, mungkin aku wanita bodoh yang mau saja menikah dengan pria yang jelas-jelas mencintai wanita lain. Aku yang mengira jika kalian sudah selesai dan tidak lagi berhubungan. Aku baru tahu sekarang." Aku menutup map itu dan kembali menyerahkannya kepada Inara.
"Ambil saja. Aku tidak butuh, dan aku tidak perlu tanda tangan. Bukannya Mas Bima sudah menalakku? Apa itu kurang cukup?" Aku menatap mereka bergantian, pura-pura tidak paham.
"Aku butuh tanda tanganmu untuk mengurus perceraian kita agar aku bisa segera menikah dengan Inara."
"Kalau kamu ingin menikah dengan Inara, silahkan saja. Bukankah aku sudah kamu talak secara agama? Jadi nikahilah Inara secara agama pula. Kita impas, bukan?"
"Bima...." rengek perempuan itu.
"Kamu benar-benar keras kepala?!" Tatapan tajamnya begitu menusuk, membuatku tiba-tiba saja merasa mual, mual yang teramat sangat. Perutku begitu bergejolak.
Bab 8Beruntung ada sipir yang lewat, sehingga wanita berseragam itu menegakkan tubuhku, lalu membimbingku menuju klinik."Biar diperiksa dulu ya, Bu. Ini Ibu Ratih yang kemarin positif hamil saat diperiksa dokter Syifa, kan?" ujarnya ramah.Aku mengangguk dan berkata, "benar, Bu. Saya nggak tahu jika sedang hamil, karena mungkin terlalu stres dengan drama rumah tangga kami yang tak berkesudahan. Ibu tentu tahu apa alasannya yang membuat saya berakhir di tempat seperti ini.""Iya Bu, saya mengerti." Pegangannya di pundakku membuat tubuhku terasa lebih ringan untuk melangkah. "Hanya sayangnya saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya seseorang yang ditugaskan untuk melayani para tahanan disini."Kemudian diapun berujar, "tapi Ibu tenang saja. Saya akan berusaha melayani Ibu sebaik mungkin. Mungkin tempat ini tidaklah cocok untuk ibu, tetapi saya berharap Ibu bisa betah tinggal di sini, meskipun saya pribadi menginginkan jika Ibu segera keluar. Saya tahu Ibu orang baik.""Dari mana Ib
Bab 7"Kamu pikir, kamu akan mendapatkan kebebasan dengan mudah?!' Pria itu malah tertawa lebar sembari menatap wajahku, ucapan yang membuatku sangat terkejut."Itu yang kamu janjikan!" Aku menunjuk map yang sekarang berada di tangan Inara."Kamu ingat, siapa yang sudah melaporkan kamu ke polisi soal tindakan tidak menyenangkan yang mengakibatkan hilangnya nyawa Oma? Apakah itu aku?" lanjutnya. Kedua sejoli itu seketika berpandangan, lalu bertukar senyum, meski akhirnya Inara memegang tangan Bima."Tidak sepantasnya kamu bilang seperti itu, Mas," ujar Inara lemah lembut, dan sedikit melirik kepadaku. "Bagaimanapun dia adalah istrimu, dan anak yang dikandungnya adalah anakmu. Seorang ayah tidak mungkin membiarkan ibu dari buah hatinya berada di penjara, bukan?!""Apa sekarang kamu berubah pikiran, Inara sayang?" Pria itu berujar. Lembut sekali nada bicaranya.Aku tidak tahu apa arti kesepakatan yang dimaksud oleh Bima, tetapi aku yakin Bima dan Inara itu sama saja. Kalaupun Inara terli
Bab 6Aku berlari menuju kamar mandi karena tak tahan dengan gejolak di dalam perutku. Entah kenapa bau badan Bima begitu menyengat. Padahal selama ini aku merasa baik-baik saja. Tidak ada riwayat penyakit maag yang parah, walaupun kadang makanku tidak teratur lantaran sering stres menghadapi sikap Bima, apalagi sejak rencana kepulangan Inara, yang berakhir dengan pertemuan kami di bandara waktu itu. Aku mengeluarkan seluruh isi perutku, sampai akhirnya yang tersisa cuma air saja.Tubuhku lemas, lunglai seluruh persendianku. Seorang sipir menangkap tubuhku yang limbung, lalu berkata, "mari kita ke klinik. Sepertinya kamu sedang kurang sehat.""Terima kasih, Bu," sahutku lirih.Wanita berseragam itu membimbingku berjalan menuju sebuah ruangan yang disebut dengan klinik. Seorang dokter jaga muncul dari ruang dalam dan mengisyaratkan kepadaku untuk berbaring.Dia mengukur denyut nadi tensi kemudian meminta izin untuk menyingkap pakaian yang sedang aku kenakan."Sudah berapa lama bu Rat
Bab 5"Suami Anda mungkin yang membuat keputusan itu, lalu mengumumkannya di hadapan para tamu undangan di acara anniversary pernikahan kalian yang kedua, tetapi bagaimanapun Anda adalah akar dari segala masalah ini yang membuat nenek mertua Anda akhirnya meninggal dunia lantaran syok dengan keputusan suami Anda. Wajar jika semua orang menyalahkan anda, karena mereka akan berpikiran Anda merupakan istri yang tidak becus. Sudah tahu nenek mertua anda memiliki riwayat penyakit jantung dan sedang dalam proses pengobatan, kenapa tidak bisa mengontrol suami Anda agar tidak mengumumkan perceraian di hadapan neneknya?" Tatapan pria di hadapanku ini seolah mengulitiku hidup-hidup. Dia bertindak sebagai penyidik, tetapi dari caranya menyelidiki kasus ini, membuat kesan seolah sedang menghakimiku.Kenapa semua orang menyalahkanku, sementara segala sesuatu yang terjadi di luar kontrol?Bagaimana mungkin aku bisa mengontrol seseorang yang cintanya sudah habis untuk cinta dan kekasih pertamanya?
Bab 4"Oma Trisna meninggal dunia?!" Bibirku bergetar. Tubuh yang lemas dan rasanya tulang-tulangku mau copot. "Aku sangat menyayangi Oma. Aku nggak menyangka kejadiannya sampai begini. Aku turut berduka cita, Ma." Hanya itu kalimat yang bisa aku ucapkan."Begitu mudahnya kamu bilang!" Tapi perempuan setengah dua itu malah melotot kepadaku. "Begitu mudahnya kamu bilang seperti itu, tidak menyadari kesalahanmu sendiri! Andai kamu bisa menjadi istri yang baik, Bima tidak perlu menceraikanmu dan mengumumkan perceraian itu di hadapan Mama Trisna. Aku sudah bilang jika kamu bukan wanita yang baik, tetapi Mama selalu bersikeras untuk menjodohkan kamu dengan Bima. Benar-benar perempuan pembawa sial!" Lagi-lagi ia memakiku.Tamparan itu membuat kepalaku pusing, dan secara alami tiba-tiba saja perutku mengalami mual. Aku buru-buru menutup mulutku dan mengusap perutku secara refleks untuk meredakan rasa tak nyaman."Aku tidak tahu apa-apa, Ma. Mas Bima sendiri yang mengumumkan perceraian. Aku
Bab 3"Oma...." Aku menjerit pertama kali saat menyadari jika Oma Trisna sudah terkulai di kursi rodanya. Aku buru-buru merengkuh tubuh itu, tetapi belum sempat menyentuh Oma Trisna, tubuhku sudah terjungkal lebih dulu, jatuh ke lantai. "Apa-apaan kamu?! Lelucon macam apa ini?! Ini pasti gara-gara kamu! Kamu yang memang nggak becus sebagai istri, sampai Bima menceraikan kamu!" Alih-alih merangkul, justru pria yang seharusnya menjadi cinta pertamaku itu malah menyalahkan. Aliando, papaku mendaratkan tamparan keras disusul dengan tamparan lain, tetapi tidak terlalu keras, karena berasal dari seorang wanita yang berdiri di samping pria itu.Dialah Atika, ibu tiriku."Cepat berlutut, bilang kepada Bima jika kamu minta maaf dan meminta rujuk kembali!" teriak Atika marah.Perempuan itu menyeretku ke arah Bima yang terlihat malah berbincang dengan Inara, tanpa perduli dengan neneknya yang sudah dibawa pergi dari tempat itu. Untung saja tim medis siap siaga, sehingga perempuan tua itu bisa







