Share

Bab. 4 Cermin Itu.

💞💞💞

"Dek, lihat cermin ini?" Mas harto menunjukkan sebuah cermin antik, berbentuk oval berbingkai ukiran jati di pinggirannya. Ia meraba ukiran sulur bunga itu.

"Bagus, ya, Mas? Terlihat cantik dan unik?" Kataku mengomentari cermin itu, setelah mengamati bentuknya dari atas hingga bawah.

"Kita beli, ya?" tanya Mas Harto, meminta persetujuanku. Lalu aku mengangguk, menyetujui usulnya.

Seminggu setelah pernikahan, kami berjalan-jalan. Indahnya memadu kasih setelah kata ijab diucap. Tak ada rasa malu-malu atau kawatir dengan omongan orang yang melihat kemesraan kami. Dunia serasa milik kami berdua, yang lain numpang.

Kami berjalan-jalan di sekitar pertokoan di Jalan Dhoho. Sambil cuci mata, dan menyegarkan pikiran. Kami berhenti pada sebuah toko barang antik. Banyak barang-barang antik yang dijual disini. Dari meja, kursi pajangan dan hiasan dinding.


Saat melihat-lihat barang kami berhenti pada cermin yang terkesan cantik dan antik di dinding.

Cermin berbentuk oval, berbingkai kayu jati. Ada ukiran sulur bunga yang menghiasi pinggirannya. Warna bingkainya coklat terang, saat kuraba ukiran kayu sekeliling bingkai begitu halus dan rapi. Motif ukirannya didominasi dengan gambar sulur, daun, juga bunga.

Mengisyaratkan sebuah keindahan, sebuah proses kehidupan. Sulur daun yang terus tumbuh, hingga kelopak bunga bermekaran. Semoga rumah tangga kami akan seperti ukiran ini, cinta yang akan terus tumbuh, bermekaran dengan bunga. Semoga selalu bersama dan bahagia hingga akhirnya.

💞💞💞

Aku berdiri di depan cermin, memiringkan badan ke kanan dan kiri. Perutku terlihat semakin membesar setiap hari. Dua sudut di bibir terangkat naik selalu, melihat tubuh yang makin membesar. Tuhan begitu menyayangiku, secepat ini Ia memberikan rejeki, meniupkan ruh dalam tubuh ini.

Di Usia pernikahan yang baru berjalan beberapa bulan, aku telah mengandung. Hampir empat bulan usia kandunganku saat ini. Perutku mulai terlihat membuncit, ada rasa bahagia yang tak terkira dalam dada. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu.

Hari ini hari minggu, aku libur bekerja. Mas Harto pamit pergi ke rumah temannya tadi pagi. Sambil menunggunya pulang aku telah memasak sayur asam kesukaannya. Tak lupa nasi dan sambal terasi, sudah tersaji di meja. 

"Dek … dek." Suara Mas Harto memanggil dari arah pintu. Aku segera berdiri dan menjumpainya.

"Udah datang, Mas?" Aku menyambutnya, lalu mengambil sekantong plastik yang ia sodorkan. Kubuka kantong plastik itu, di dalamnya ada mujair dan beberapa ikan air tawar lainnya.

"Mas diajak mancing tadi, bendungan lagi surut airnya. Lumayan dapat banyak," jelasnya kemudian.

Segera kubawa kantong plastik hasil memancingnya ke sumur. Akan kubersihkan sisik dan kotorannya.

"Astaghfirulloh, Ning …," teriak Simbok, saat melihatku membersihkan ikan. Aku yang sedang membersihkan ikan sontak langsung menoleh, dan bengong dibuatnya.

"Amit-amit jabang bayi," ucapnya lagi, sambil mengelus-elus perutku.

"Opo to, Mbok?" tanyaku tak mengerti.

"Perempuan hamil itu pamali, membunuh binatang. Apalagi seperti yang kamu lakukan ini."

Seketika pisau di tangan terlepas, aku lupa dengan wejangan dari para orangtua dahulu. Wanita hamil dilarang menyiksa apalagi membunuh binatang, pamali. Ada rasa takut menjalar di pikiran atas apa yang sudah kulakukan. Kata-kata Simbok terus terngiang di kepala. 

💞💞💞

"Ayo, terus mengejan. Kepala bayi sudah terlihat ini!" perintah Bu Bidan padaku.

"Ayo, Dek, sedikit lagi. Semangat, yang kuat mengejannya!" kata Mas Harto.

"Ayo, Dek terus, sebentar lagi jagoan kita akan lahir." Mas Harto terus memberi semangat, raut bahagia tergambar di wajahnya. Aku meremas pergelangan tangannya, menekan gigi kuat-kuat.

Lemas, seperti kehabisan tenaga, entah sudah berapa lama aku mencoba mengejan sekuatnya. Untuk beberapa saat aku mengatur napas. Menghirup dan mengembuskan napas beberapa kali.


Saat rasa mulas itu datang lagi, aku mengejan dengan kuat. 

Terdengar suara tangisan bayi, nyaring. Memecah keheningan malam. Seketika ada rasa bahagia membuncah, setelah dari magrib tadi aku merasakan sakit perut yang teramat. Berkali-kali mencoba mengejan sekuat tenaga, namun urung terlahir juga.

"Alhamdulilah … jagoannya lahir." Bu Bidan mengucap syukur. Aku menyipitkan mata, melihat tangannya sekilas meraih sesuatu dari bawah jarik yang menutupi lutut. 

Lega rasanya, aku mengalihkan pandang, menatap langit-langit kamar bersalin, mengatur napas. Ada bulir bening yang terjatuh, mendengar tangisan bayiku. Mata menangis namun bibir tersenyum, itu tanda kita sedang bahagia.

Mas Harto mengecup keningku, kedua sudut di bibirnya naik. Ia mengelus pelan rambut, tatapan kami beradu. Perasaan yang sama, kebahagiaan awal menjadi orangtua.

"Ning …, " panggil bu bidan. Mulutnya terbuka seakan-akan ia ingin berbicara, namun tak kuasa meneruskannya. Apa? Kenapa dengan bayiku?

Mas Harto beranjak dari sisiku, segera melihat anak kami.

Bayi laki-laki yang kulahirkan berbeda. Di kulit bagian atas pusar, dan di bagian punggung atasnya seperti terkelupas, selalu mengeluarkan darah. Daging merah di dalamnya terlihat.

Seketika gurat bahagia di wajah suamiku hilang, berganti wajah iba. Keningnya berkerut seperti berpikir dengan keras.

"A-anak saya ... ke-kenapa ini, Bu?" Dengan terbata Mas Harto bertanya pada Bu Bidan.

"Saya juga tidak tau ada apa dengan bayinya. Kulitnya seperti terkelupas, dan organ bagian bawahnya terlihat. Yang di atas pusar ini, ususnya sampai hampir keluar." Bu bidan berhenti bicara, ia menatap bagian atas pusar bayiku.

Untuk sementara Bu Bidan telah menutup luka dengan perban ia merujuk bayi kecil ini ke salah satu rumah sakit terdekat. Kami diminta segera menuju ke rumah sakit tersebut, takut terjadi sesuatu. Kami pun mengangguk, menyetujui saran bu bidan.

Keesokan pagi, sekitar pukul delapan aku telah bersiap meninggalkan kamar bersalin. Badan masih terasa lemas, untuk berjalan masih tertatih dan pelan sekali. 

Namun demi kesehatan si jagoan kecil, kami segera menuju rumah sakit yang dirujuk. Keputusan tepat yang harus diambil. Semalaman bayi kecil ini tak tidur, menangis terus.

"Dek, Kamu istirahat di rumah aja dulu," pinta Mas Harto padaku.

"Aku ikut ya, Mas!" jawabku memelas. Tak mungkin seorang ibu meninggalkan anaknya apa dan bagaimanapun keadaannya. Rasa sakit di badanku masih bisa kutahan. Tapi melihat bayiku kesakitan, rasanya lebih menyiksa sekujur tubuhku.

Aku berdoa pada Tuhan agar mengangkat rasa sakit bayiku. Jika bisa, biar aku yang menggantikan rasa sakitnya.

Mobil tetangga yang kami sewa untuk mengantar ke Rumah Sakit Wilujeng telah tiba. Setelah tiba di rumah sakit kami mempercepat langkah menuju lobi, Mas Harto memberikan surat rujukan pada salah seorang perempuan yang bertugas.

Di depan lobi telah banyak orang yang duduk. Menunggu namanya dipanggil oleh perempuan yang bertugas untuk membaca nama-nama pasien.

"Silakan tunggu sebentar," kata perempuan berbaju putih dengan jilbab senada itu. Kemudian ia beranjak dari lobi menuju ke koridor, melangkah masuk pada sebuah ruangan.

Aku duduk di kursi menunggu perempuan berbaju putih tadi. Sepanjang perjalanan bayiku tak henti menangis, Mas Harto berdiri, sambil menggendong bayi kami.

Tidak berapa lama, perempuan tadi datang dari koridor. Ia mendekat ke arah kami.

"Silahkan ikuti saya!" Sambil berlalu perempuan itu menunjukkan arah dengan tangan kanannya.

Kami mengekor di belakang langkah kakinya. Melalui beberapa ruangan serba putih. Bau obat-obatan pun menguar, menusuk hidung seketika.

"Silakan masuk!" Perempuan dengan papan nama Anis di dadanya ini membuka sebuah pintu. Di dalam ruangan ada seorang laki-laki, berjas putih dan sebuah stetoskop di lehernya.

"Selamat pagi …." Pria setengah baya, dengan kacamata dan beberapa uban di rambutnya ini mengulurkan tangan.

Bersambung …

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status