๐๐๐
"Dek, lihat cermin ini?" Mas harto menunjukkan sebuah cermin antik, berbentuk oval berbingkai ukiran jati di pinggirannya. Ia meraba ukiran sulur bunga itu.
"Bagus, ya, Mas? Terlihat cantik dan unik?" Kataku mengomentari cermin itu, setelah mengamati bentuknya dari atas hingga bawah.
"Kita beli, ya?" tanya Mas Harto, meminta persetujuanku. Lalu aku mengangguk, menyetujui usulnya.
Seminggu setelah pernikahan, kami berjalan-jalan. Indahnya memadu kasih setelah kata ijab diucap. Tak ada rasa malu-malu atau kawatir dengan omongan orang yang melihat kemesraan kami. Dunia serasa milik kami berdua, yang lain numpang.
Kami berjalan-jalan di sekitar pertokoan di Jalan Dhoho. Sambil cuci mata, dan menyegarkan pikiran. Kami berhenti pada sebuah toko barang antik. Banyak barang-barang antik yang dijual disini. Dari meja, kursi pajangan dan hiasan dinding.
Saat melihat-lihat barang kami berhenti pada cermin yang terkesan cantik dan antik di dinding.
Cermin berbentuk oval, berbingkai kayu jati. Ada ukiran sulur bunga yang menghiasi pinggirannya. Warna bingkainya coklat terang, saat kuraba ukiran kayu sekeliling bingkai begitu halus dan rapi. Motif ukirannya didominasi dengan gambar sulur, daun, juga bunga.
Mengisyaratkan sebuah keindahan, sebuah proses kehidupan. Sulur daun yang terus tumbuh, hingga kelopak bunga bermekaran. Semoga rumah tangga kami akan seperti ukiran ini, cinta yang akan terus tumbuh, bermekaran dengan bunga. Semoga selalu bersama dan bahagia hingga akhirnya.
๐๐๐
Aku berdiri di depan cermin, memiringkan badan ke kanan dan kiri. Perutku terlihat semakin membesar setiap hari. Dua sudut di bibir terangkat naik selalu, melihat tubuh yang makin membesar. Tuhan begitu menyayangiku, secepat ini Ia memberikan rejeki, meniupkan ruh dalam tubuh ini.
Di Usia pernikahan yang baru berjalan beberapa bulan, aku telah mengandung. Hampir empat bulan usia kandunganku saat ini. Perutku mulai terlihat membuncit, ada rasa bahagia yang tak terkira dalam dada. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu.
Hari ini hari minggu, aku libur bekerja. Mas Harto pamit pergi ke rumah temannya tadi pagi. Sambil menunggunya pulang aku telah memasak sayur asam kesukaannya. Tak lupa nasi dan sambal terasi, sudah tersaji di meja.
"Dek โฆ dek." Suara Mas Harto memanggil dari arah pintu. Aku segera berdiri dan menjumpainya.
"Udah datang, Mas?" Aku menyambutnya, lalu mengambil sekantong plastik yang ia sodorkan. Kubuka kantong plastik itu, di dalamnya ada mujair dan beberapa ikan air tawar lainnya.
"Mas diajak mancing tadi, bendungan lagi surut airnya. Lumayan dapat banyak," jelasnya kemudian.
Segera kubawa kantong plastik hasil memancingnya ke sumur. Akan kubersihkan sisik dan kotorannya.
"Astaghfirulloh, Ning โฆ," teriak Simbok, saat melihatku membersihkan ikan. Aku yang sedang membersihkan ikan sontak langsung menoleh, dan bengong dibuatnya.
"Amit-amit jabang bayi," ucapnya lagi, sambil mengelus-elus perutku.
"Opo to, Mbok?" tanyaku tak mengerti.
"Perempuan hamil itu pamali, membunuh binatang. Apalagi seperti yang kamu lakukan ini."
Seketika pisau di tangan terlepas, aku lupa dengan wejangan dari para orangtua dahulu. Wanita hamil dilarang menyiksa apalagi membunuh binatang, pamali. Ada rasa takut menjalar di pikiran atas apa yang sudah kulakukan. Kata-kata Simbok terus terngiang di kepala.
๐๐๐
"Ayo, terus mengejan. Kepala bayi sudah terlihat ini!" perintah Bu Bidan padaku.
"Ayo, Dek, sedikit lagi. Semangat, yang kuat mengejannya!" kata Mas Harto.
"Ayo, Dek terus, sebentar lagi jagoan kita akan lahir." Mas Harto terus memberi semangat, raut bahagia tergambar di wajahnya. Aku meremas pergelangan tangannya, menekan gigi kuat-kuat.
Lemas, seperti kehabisan tenaga, entah sudah berapa lama aku mencoba mengejan sekuatnya. Untuk beberapa saat aku mengatur napas. Menghirup dan mengembuskan napas beberapa kali.
Saat rasa mulas itu datang lagi, aku mengejan dengan kuat.
Terdengar suara tangisan bayi, nyaring. Memecah keheningan malam. Seketika ada rasa bahagia membuncah, setelah dari magrib tadi aku merasakan sakit perut yang teramat. Berkali-kali mencoba mengejan sekuat tenaga, namun urung terlahir juga.
"Alhamdulilah โฆ jagoannya lahir." Bu Bidan mengucap syukur. Aku menyipitkan mata, melihat tangannya sekilas meraih sesuatu dari bawah jarik yang menutupi lutut.
Lega rasanya, aku mengalihkan pandang, menatap langit-langit kamar bersalin, mengatur napas. Ada bulir bening yang terjatuh, mendengar tangisan bayiku. Mata menangis namun bibir tersenyum, itu tanda kita sedang bahagia.
Mas Harto mengecup keningku, kedua sudut di bibirnya naik. Ia mengelus pelan rambut, tatapan kami beradu. Perasaan yang sama, kebahagiaan awal menjadi orangtua.
"Ning โฆ, " panggil bu bidan. Mulutnya terbuka seakan-akan ia ingin berbicara, namun tak kuasa meneruskannya. Apa? Kenapa dengan bayiku?
Mas Harto beranjak dari sisiku, segera melihat anak kami.
Bayi laki-laki yang kulahirkan berbeda. Di kulit bagian atas pusar, dan di bagian punggung atasnya seperti terkelupas, selalu mengeluarkan darah. Daging merah di dalamnya terlihat.
Seketika gurat bahagia di wajah suamiku hilang, berganti wajah iba. Keningnya berkerut seperti berpikir dengan keras.
"A-anak saya ... ke-kenapa ini, Bu?" Dengan terbata Mas Harto bertanya pada Bu Bidan.
"Saya juga tidak tau ada apa dengan bayinya. Kulitnya seperti terkelupas, dan organ bagian bawahnya terlihat. Yang di atas pusar ini, ususnya sampai hampir keluar." Bu bidan berhenti bicara, ia menatap bagian atas pusar bayiku.
Untuk sementara Bu Bidan telah menutup luka dengan perban ia merujuk bayi kecil ini ke salah satu rumah sakit terdekat. Kami diminta segera menuju ke rumah sakit tersebut, takut terjadi sesuatu. Kami pun mengangguk, menyetujui saran bu bidan.
Keesokan pagi, sekitar pukul delapan aku telah bersiap meninggalkan kamar bersalin. Badan masih terasa lemas, untuk berjalan masih tertatih dan pelan sekali.
Namun demi kesehatan si jagoan kecil, kami segera menuju rumah sakit yang dirujuk. Keputusan tepat yang harus diambil. Semalaman bayi kecil ini tak tidur, menangis terus.
"Dek, Kamu istirahat di rumah aja dulu," pinta Mas Harto padaku.
"Aku ikut ya, Mas!" jawabku memelas. Tak mungkin seorang ibu meninggalkan anaknya apa dan bagaimanapun keadaannya. Rasa sakit di badanku masih bisa kutahan. Tapi melihat bayiku kesakitan, rasanya lebih menyiksa sekujur tubuhku.
Aku berdoa pada Tuhan agar mengangkat rasa sakit bayiku. Jika bisa, biar aku yang menggantikan rasa sakitnya.
Mobil tetangga yang kami sewa untuk mengantar ke Rumah Sakit Wilujeng telah tiba. Setelah tiba di rumah sakit kami mempercepat langkah menuju lobi, Mas Harto memberikan surat rujukan pada salah seorang perempuan yang bertugas.
Di depan lobi telah banyak orang yang duduk. Menunggu namanya dipanggil oleh perempuan yang bertugas untuk membaca nama-nama pasien.
"Silakan tunggu sebentar," kata perempuan berbaju putih dengan jilbab senada itu. Kemudian ia beranjak dari lobi menuju ke koridor, melangkah masuk pada sebuah ruangan.
Aku duduk di kursi menunggu perempuan berbaju putih tadi. Sepanjang perjalanan bayiku tak henti menangis, Mas Harto berdiri, sambil menggendong bayi kami.
Tidak berapa lama, perempuan tadi datang dari koridor. Ia mendekat ke arah kami.
"Silahkan ikuti saya!" Sambil berlalu perempuan itu menunjukkan arah dengan tangan kanannya.
Kami mengekor di belakang langkah kakinya. Melalui beberapa ruangan serba putih. Bau obat-obatan pun menguar, menusuk hidung seketika.
"Silakan masuk!" Perempuan dengan papan nama Anis di dadanya ini membuka sebuah pintu. Di dalam ruangan ada seorang laki-laki, berjas putih dan sebuah stetoskop di lehernya.
"Selamat pagi โฆ." Pria setengah baya, dengan kacamata dan beberapa uban di rambutnya ini mengulurkan tangan.
Bersambung โฆ
๐๐๐ Harto ingin bertemu dengan Siti Kalyra, wanita yang beberapa bulan ini dekat dan selalu dalam pikirannya. Seakan-akan sosok wanita itu di depan mata, tersenyum dan memanggil-manggil Harto. Kuda besi tunggangan Harto berjalan perlahan menuju rumah Kalyra. Di sebuah warung kecil tepi area persawahan, ia melihat beberapa temannya sedang duduk mengobrol. Lama tak bersua dengan teman-temannya ia membelokkan stang motor. "Hei, guk!" Setengah berteriak seorang laki-laki yang sedang duduk di depan warung mengangkat tangannya menyapa. Saat motor telah terparkir sempurna, Harto segera berjalan menuju mereka, menyalami. "Kemana aj
๐๐๐Tut … tut … tut!Terdengar benda pipih yang ditempelkan di telinganya terputus dari sambungan telepon. Dilemparkannya benda pipih itu di atas kasur.[Gimana, Mas? Akta rumahnya ketemu?] Tulis Kalyra pada layar pesan itu.Tak berapa lama gawai Kalyra kembali berbunyi.[Belum.] Setelah membaca satu kata yang tertulis wajah Kalyra terlihat memerah. Menahan amarah."Dasar, lelaki bodoh!" umpatnya."Masak suruh cari barang-barang berharga saja tidak bisa. Bisa rugi aku kalau tidak mendapatkan apa-apa darinya."
๐๐๐"Bapak akan tinggal di rumah ini sementara waktu, kasihan kalau rumah ini dibiarkan kosong tak berpenghuni," jawab Harto. Senyumnya mengembang, terlihat senang.Entah sebenarnya apa dan bagaimana isi hati juga otak dari Harto. Setelah tertangkap basah berduaan dengan seorang perempuan hingga dibawa ke balai desa, ia juga berbuat onar beberapa kali pada tengah malam, mengamuk dan mengancam Hening hingga ketakutan, hingga akhirnya Hening sakit-sakitan.Surat cerai telah turun beberapa bulan sebelum Hening mengembuskan napas terakhir. Surat itu telah memutus hubungan antara Hening dan Harto, ia sudah tak berhak atas rumah itu. Seharus
๐๐๐"Pak, anterin Ibuk beli mas-masan di pasar," pinta Hening beberapa hari setelah menerima uang pensiun dari pabrik tempatnya bekerja."Disimpan di Bank aja, Buk!" usul Harto ketika itu.Mata Harto menatap tajam istrinya.Melihat suaminya tidak menyetujui pemikirannya, Hening mengurungkan niatnya pergi ke pasar untuk membeli perhiasan.Hening yang sudah mandi dan bersiap mengambil bedak di meja rias, terdiam mendengar kata-kata tegas suaminya yang seperti memberi perintah. Terlihat tidak setuju jika akan membeli perhiasan.Ditaruhnya kembali benda bulat dengan kaca itu, tak jadi disapukan beda
๐๐๐Takdir adalah misteri, ketetapan Tuhan yang harus dijalani tanpa kita tahu pasti kapan akan pergi atau kembali.Pada akhirnya semua manusia akan kembali. Mengakhiri perjalanannya di dunia ini. Siap atau tidak, bersedia atau menolak. Semua akan terjadi bila masanya.Napas Hening telah berhenti, sore tadi ia telah dikebumikan. Bunga berwarna-warni bertaburan di atas gundukan tanah merah itu. Sesuatu yang berbeda, ada setangkai mawar merah tergeletak di antara bunga setaman itu.Aini memetiknya ketika berjalan menuju pekuburan tadi. Tering
๐๐๐Aini mematikan panggilan, menaruh gawai pada saku celananya. Ia mendekat pada Nur Laila, mengelus-elus pundak sepupunya yang terlihat bergetar hebat.Kehilangan selalu menyakitkan terlepas siap ataupun tidak. Kematian tetap menjadi sesuatu yang menakutkan bagi setiap orang.Dua orang perempuan berbaju putih itu maju, melaksanakan prosesi pembersihan pada tubuh Hening yang mulai dingin.Anton, Nur Laila, dan Aini menepi memberi kesempatan pada mereka untuk melaksanakan tugas."Benar kata Kakaknya Ahmad jika Ibuk, kuat dan mampu bertahan melewati hari ini ia akan sembuh, namun jika tidak siang selepas duhur, sebelum asar Ibuk, akan