Share

Baba. 3 Lelah.

Jarum pendek benda pipih di dinding telah menunjukkan pukul setengah dua dini hari, dan aku masih terjaga. Meskipun kucoba memejamkan mata, namun pikiranku tak henti bekerja. Ia memutar semua kejadian hari ini, dan hati mengingatkan tentang rasa sakitnya.

Tuhan, aku ingin mengamuk, menjelma badai memporak porandakan dunia. Jika boleh meminta, aku ingin hilang ingatan melupakan semua yang menyakitkan dan berharap segalanya baik-baik saja.

'Tuhan … tolong aku.'

"Bude, ndak tidur." Aini bertanya sambil menggosok-gosok matanya, yang masih mengantuk. Wajah remaja itu terlihat iba dan kawatir.

Cepat-cepat kuseka air mata yang sedari tadi luruh. Meski tak ingin menangis, air mata tetap turun tanpa kusuruh. 

"Bude, kebangun denger suara motor lewat tadi," jawabku berbohong. 

"Sabar, ya, De!" Suaranya pelan menguatkan. Ada raut iba di wajah cantik Aini.

Malam ini kami tidur bertiga menggelar kasur di ruang tamu. Ibu Aini--adikku-- sudah tertidur, seharian tadi ia pergi ke sawah. Pada musim menanam padi seperti ini, tenaganya sering dipakai para pemilik sawah. Sudah kuceritakan semua kejadian hari ini padanya. Ia begitu emosi mendengar ceritaku.

"Wong (orang) udah tertangkap basah, kena grebek. Dikasih maaf dan kesempatan kok masih diulangi lagi," kata adikku, penuh penekanan pada kata-kata terakhirnya.

Aku tak ingin pulang ke rumah. Ada rasa muak, benci juga amarah jika bertemu suamiku disana. Entah apa yang akan terjadi. Sementara untuk malam ini aku menginap disini.

Besok akan ada pertemuan kedua, antara aku, suamiku dan beberapa orang lagi. Selesai berbicara di rumah Pak RT tadi pagi, ia berbaik hati mengantarkanku pulang, lalu menemui Mas Harto dan menyampaikan perihal pertemuan di rumah Pak Kepala Desa besok. 

💔💔💔

Ditemani Lilik, Mbak Widuri, Aini, juga Pak RT aku menunggu suamiku datang di ruang tamu Pak Kades. Membicarakan keputusan yang telah kuambil. Ada keberanian menjalar di diri ini, didukung banyak orang. 

Lama menunggu, akhirnya ia datang. Wajahnya terlihat lebih kusut dari kali terakhir aku pergi dari rumah. Mengenakan celana jeans biru tua, dan kemeja batik berwarna putih kesukaannya.

Tanpa mengucap salam ia langsung mengambil kursi kosong. Sejenak ia mengedarkan pandang pada semua yang hadir, melirikku sekilas lalu menarik kursi, dan duduk menghadapku.

"Baiklah, langsung saja. Pak Harto, kami mewakili istri bapak disini ingin menyampaikan bahwasanya istri Bapak, ingin berpisah, cerai,  karena sudah tidak kuat menjalani hidup berumah tangga dengan anda." 

Pak kepala desa, mengawali pembicaraan. Suara baritonenya tegas juga penuh wibawa kurasakan. Disodorkannya gawai Mas Harto.

"Ibu Hening, telah melihat semua percakapan dengan wanita selingkuhan anda di dalam aplikasi Whatssap ini." Pak RT melanjutkan pembicaraan lalu mengambil jeda sejenak saat berbicara, kemudian menatapku.

Suamiku hanya diam, sesekali menunduk. Tingkahnya sam seperti seorang maling yang tertangkap basah saat mencuri.

"Untuk sementara mohon Bapak, meninggalkan rumah sampai proses perceraian berakhir," Pak RT melanjutkan kata-katanya.

💔💔💔

"Iya nduk, amiin ... doain semuanya lancar."

Kututup panggilan telepon dari anakku, Nur Laila begitu kawatir akan keadaanku. Hampir setiap hari ia menelpon, atau sekedar mengirim pesan bertanya bagaimana keadaanku.

Ada sedikit kelegaan di hati. Banyak orang yang mendukung dan membantu menyelesaikan masalah rumah tanggaku. Perangkat desa telah mempermudah langkah untuk melengkapi berkas perceraian.

Kunaikkan selimut sampai dada, mencari kehangatan. Semoga semua berjalan dengan benar dan lancar. Kemarin aku tak terpejam sedetik pun, terlalu banyak pikiran. Hari ini aku begitu lelah, ingin segera tidur.

Belum lama mataku terpejam tiba-tiba, suara motor di gas dengar keras lalu menabrak sesuatu terdengar dari arah pintu dapur. Lampu motor yang terang menyala masuk lewat celah pintu. Jantungku berdetak tak karuan, keringat dingin menetes di kening.

'Ya Tuhan, apa lagi sekarang?'


'Apa itu?' batinku dalam hati. Debaran jantungku berdegup keras karena kaget.

Untung saja aku tak lupa mengunci semua pintu ketika akan tidur. Setidaknya itu mengulur waktu, si pembuat onar tak dapat masuk ke dalam rumah.

Segera aku menyelinap berlari menuju pintu depan. Kubuka gagang pintu, lalu menguncinya. Berjalan mengendap-endap menuju rumah adikku yang hanya berjarak beberapa meter.

Kugedor dengan cepat pintu berwarna coklat dari kayu jati itu.


"Ni, Aini … buka pintunya!" Pintu segera terbuka, ternyata mereka juga terbangun mendengar suara gaduh diluar!


"Ni, Aini, Liik ... Lilik, tolong buka pintunya!"


"Masuk Bude!" Aini yang membuka pintu, langsung menarik tanganku untuk masuk. Menggiringku menuju dapur mereka.


Ternyata sedari tadi mereka juga mengintip kegaduhan itu dari jendela dapurnya. 

"Lihat itu," Lilik, ibu Aini, menunjuk arah rumahku. 

"Keluar kamu, Ning," teriak seorang laki-laki dengan suara yang begitu kuhapal.

Postur tubuh, suara dan saat kuperhatikan laki-laki itu mengenakan kemeja berwarna putih. Dia Mas Harto!


Benarkah itu Mas Harto?


Benar, itu Mas harto! Sepertinya ia sedang mabuk, mengendarai motor dengan ugal-ugalan karena setengah sadar. Motor ditabrakkan pada pintu, dan dinding rumah, beberapa kali ia terlihat oleng dan jatuh. Namun mencoba berdiri dan menaiki motor lagi. Terus seperti itu selama beberapa kali.

"Hening, keluar kamu!"


Tetangga berdatangan karena terganggu akan kegaduhan yang diciptakan suamiku, mereka melihat dari agak jauh. Mengintip di sela pohon pisang, beberapa orang berani mendekat dan menontonnya. Aku terus menyaksikan kekacauan di tengah malam ini di balik tirai jendela.

"Keluar kamu, Ning!" ia berteriak semakin keras.

''Ya allah,'' ratapku ketakutan. Bagaimana ia bisa menjadi sejahat itu padaku. 


Adikku memegang jemari tangan. Seolah ia tahu aku sedang ketakutan.

"Sabar," hanya kata itu yang terucap dari bibirnya.

Pak RT, yang terlihat datang mencoba lebih mendekat. Kini Pak RT berjarak dua meter di belakang suamiku.

"Pak, udah malam pak, jangan mengganggu ketenangan warga yang lain," tegurnya.

"Jangan ikut campur urusan rumah tanggaku." Ia turun dari motor yang masih  menyala, berjalan sempoyongan dan berteriak ke arah warga yang menonton.

"Kalian yang pergi, Ning, istriku!" 

Beberapa orang yang menonton mundur karena takut. Sambil berteriak Mas Harto mengepalkan tangan menggerakkannya ke sana ke mari tak tentu arah. Meninju angin.

"Ning … Ning …." Ia terus berteriak- teriak memanggil namaku. Sebentar raut wajahnya seakan-akan menangis. Sebentar kemudian penuh amarah. Gila!

"Ning, keluar kamu sekarang. Urusan kita belum selesai!"


Mas Harto menggedor-gedor pintu rumah dengan keras. Berteriak seperti prang kesetanan.


Bukankah aku sudah memberinya kesempatan, berulang kali. Tapi sifatnya tak berubah malah semakin menjadi.


Seharusnya aku yang mengamuk, marah dan meluapkan rasa sakit di hati.

Saat bertemu di rumah pak Kepala Desa tadi siang. Ia terlihat hanya diam, lebih banyak menunduk. Entah karena takut ada banyak orang atau malu di sidang untuk ke dua kalinya, tapi sekarang pada tengah malam seperti ini Mas Harto datang dengan keadaan mabuk, lalu berteriak-teriak tidak jelas.

Apa maumu, Mas? Bukankah ini yang kau inginkan? Jika sudah tak mencintaiku jujurlah, jika sudah bosan denganku katakanlah tak perlu kau berulang kali mendua berganti-ganti wanita.

Sakitkah hatimu, Mas, mendengar aku ingin berpisah?

Cobalah jadi aku sebentar saja, rasakan betapa sakitnya dikhianati berulang kali. 

Cobalah jadi aku sekejap saja, bayangkan selalu mengalah dan merendah untuk tetap bisa bersama denganmu.

Maafkan aku, yang kini telah lelah mencoba bersabar. 

Maaf, Mas ... aku pergi.

Bersambung ….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status