Share

Bab. 5 Jagoan Kami.

πŸ’”πŸ’”πŸ’”

Berjalan menyusuri koridor rumah sakit, beberapa orang berlalu lalang. Sejenak orang-orang itu menatap bayi kecil digendongan Mas Harto yang terus menangis. 

Mas Harto menggendong jagoan kecil kami dengan posisi miring. Tanpa selendang, karena jika menggunakan selendang luka di punggung atau di atas pusarnya itu akan tertekan selendang, pasti semakin sakit.

Aku mengikuti langkah perawat berbaju putih tadi. Mas Harto berjalan dengan cepat di samping perawat itu, sementara aku tertatih. Mengikuti mereka perlahan. 

Tiba di depan sebuah pintu, perawat tadi berhenti sebentar. Seperti menungguku berjalan, karena tertinggal dua meter di belakang mereka. Keringat yang menetes di pelipis, rasa sakit dan perih di selangkangan tak kuhiraukan. Anakku lebih merasa sakit sekarang, aku harus menemaninya.

Saat langkah berhenti di samping suami dan bayiku. Anis--Wanita berbaju putih dengan jilbab senada-- menatapku sejenak. Seolah ia ingin memastikan keadaanku. Baru kemudian meraih gagang pada pintu, lalu membukanya.

Pintu terbuka, aroma obat-obatan menguar. Ada beberapa buku yang ditumpuk rapi di atas meja. Peralatan kesehatan lainnya ada di rak sebelah meja. Berjarak dua jengkal tangan di sebelah buku-buku tadi terdapat papan nama bertuliskan Ahmad Khoirudin.

"Silakan, ada yang bisa saya bantu?" Ucap pria paruh baya berkacamata dan memakai jas putih itu . 

Kami melangkah masuk, duduk pada kursi di depan mejanya, lalu mulai membeberkan keadaan bayi kami. Bayi yang belum sempat kami beri nama. Ia terus menangis merasakan dua buah luka di bagian punggung dan di atas pusarnya.

Pak dokter mengulurkan tangan, memegang kening bayi di gendongan Mas Harto. Lalu mencoba membuka perban yang telah terpasang di bagian pundak kiri atas. Dahinya mengernyit, sambil meraba kulit sekitar luka.

"Jika anda siap, dan bersedia sekitar pukul sepuluh nanti dokter ahli masalah bayi ada di tempat. Bayi anda bisa langsung dijahit lukanya, agar tidak infeksi dan terus merembes mengeluarkan darah," ucap Pak Dokter memberi penjelasan. 

Aku dan suamiku saling pandang sesaat, tatapan mata kami bertemu, kemudian mengangguk. Menyetujui saran Pak Dokter.

πŸ’”πŸ’”πŸ’”

Kami duduk pada kursi tunggu di koridor, menunggu operasi yang sedang berlangsung. Tangan Mas Harto selalu merangkul pundakku.

"Semoga semuanya berjalan lancar, ya, Dek?" ujar suamiku.

"Amiin, Mas, semoga bayi kita kuat dan segera sehat nantinya," kataku menimpali doa dari Mas Harto.

"Kamu ndak apa-apa, dek?" tanyanya lagi.

"Gak apa-apa, Mas. Kesehatan bayi kita jauh lebih penting dari apa yang kurasa," jawabku. 

Semua rasa sakit, dan lelah di badan tak sedikitpun kurasa. Rasa cemas, dan kawatir menjalar di pikiran. Berharap operasi penjahitan berhasil, dan bayiku sehat, tak kesakitan lagi.

Dari kejauhan, kulihat Simbok berjalan perlahan menuju kami ditemani Lilik, adikku. Tangan kanan Lilik menenteng sebuah tas.

"Tadi, Mbok dan aku pergi ke rumah Bu Bidan. Membawakan baju ganti dan beberapa peralatan persalinan lainnya seperti yang kamu minta. Kata Bu Bidan bayimu di rujuk ke rumah sakit ini," jelas Lilik saat sudah sampai di tempat duduk kami.

"Si Kecil mana?" tanya Lilik kemudian.

"Sedang di dalam, operasi." Mas Harto memandang kamar di belakang kami.

"Kamu, ndak apa-apa, Ning?" 

Simbok mendekatiku, dan bertanya bagaimana keadaanku. Ada raut iba dan cemas di wajahnya.

"Ning, ndak apa-apa mbok. Bayi kami yang sedang kesakitan di dalam!" Tembok tegar yang kubangun runtuh, bulir bening menetes membayangkan bayiku sedang di operasi di dalam sana.

Mas Harto, merangkul pundakku. Seakan ia tahu betapa aku sedih dan kawatir akan keadaan bayi kecil itu.

"Sabar, Dek. Dia pasti kuat," ucap suamiku memberi semangat.

πŸ’”πŸ’”πŸ’”

Kami duduk mengelilingi ranjang aku, Simbok, Lilik dan juga Mas Harto. Di ujung ranjang tertulis bayi nyonya Hening.

Nyonya? Tak terasa aku sekarang bergelar nyonya, seorang ibu. Ah, waktu bergulir secepat itu.

Malaikat kecil itu terpejam, dia tak lagi menangis. Mungkin sedang terbuai mimpi indah. Atau obat pereda rasa sakit, menghilangkan rasa sakit itu. Selang infus terpasang di pergelangan tangan kirinya.

Kubelai kulit putihnya yang halus, dan lembut dia terlihat tampan. Garis di bibirku terangkat naik tanpa sadar.

"Dia ganteng seperti kamu, Mas!" Sambil menoleh pada lelaki yang duduk disampingku, aku berkata.

"Anakku, yo jelas to." Lelaki di sebelahku tersenyum bangga. 

"Makanya, besok-besok kalo lagi hamil jangan berbuat yang aneh-aneh. Apalagi berhubungan sama binatang, Ning!" kata Simbok.

Simbok mengingatkan tentang kejadian itu lagi, ketika aku sedang membersihkan ikan di sumur. Tubuh ikan kubalik beberapa kali, menghilangkan sisik dan kotoran yang menempel dengan pisau.

"Ah, Mbok … itu cuma mitos!" sergahku.

"Lha itu, lihatlah sendiri bagaimana keadaan bayimu. Mirip seperti ikan yang habis dibersihkan sisiknya, depan-belakang!" timpalnya lagi.

Sebenarnya omongan Simbok ada benarnya, mungkin sakit yang diderita bayiku ada hubungannya dengan yang kulakukan saat hamil dulu.

Saat Mas Harto pulang membawa sekantong plastik ikan, yang kupikirkan hanya segera membersihkan dan memasaknya. Agar suami senang, hasil pancingannya bisa jadi lauk makan hari itu. Aku lupa, sedang berbadan dua. Dan orang hamil, pamali melakukan pekerjaan seperti menyiksa binatang.

Ketika ditegur Simbok, kata-katanya terus terngiang dalam pikiran. Ada rasa takut, jika omongan Simbok jadi kenyataan. Ketakutan-ketakutan itu yang membentuk pola pikir negatif, akhirnya menjadi nyata. 

Nasib sudah menjadi bubur, lacur tak dapat ditolak. Bayiku terlahir dengan dua buah luka seperti sayatan. Rasa menyesal terkadang datang. Berawal dari lupa, anakku yang menerima akibatnya. Andai tak kulakukan, mungkin anakku tidak seperti ini sekarang. 

"Ah, itu semua hanyalah mitos. Sebenarnya tidak ada hubungan diantaranya, namun pola pikir kita yang membuat hal itu menjadi nyata, anggep aja lagi sial." Lilik mencoba membelaku.

Kupandang lagi bayi yang tertidur pulas itu, ada perban putih menutup dua bekas jahitan di tubuhnya. Perawat menidurkannya dengan posisi miring.

"Mau dikasih nama siapa anak kita, Dek?" Mas Harto bertanya padaku. 

Kutatap malaikat kecil di depanku. Jagoan tampan, wajahnya mirip seperti bapaknya. Namanya harus menggambarkan siapa dia. Prasetyo, artinya setia.

"Beri dia nama belakang yang sama denganmu, Mas, Prasetyo!"

"Lalu nama depannya? Bagaimana kalau kita beri nama, Anton?" Usul suamiku.

"Anton Aji Prasetyo," sambungku kemudian.

"Nama yang bagus," ucap Lilik.

Seorang perawat, menghampiri ranjang jagoan kecilku, ia membawa buku dan alat tulis.

"Kata Pak dokter, Besok bayinya sudah boleh dibawa pulang," ucapnya dengan seulas senyum di bibir.

"Alhamdulilah, makasih ya mbak!" Aku mengucap syukur penuh kelegaan. 

Perawat itu berlalu, melanjutkan tugasnya. menuju ranjang lainnya. Memeriksa lalu menulis sesuatu pada buku di tangannya.

Simbok, Lilik, juga suamiku tersenyum senang. Akhirnya jagoan kami bisa dibawa pulang ke rumah. Sebuah rumah sederhana, menjadi tempat berteduh kala panas dan hujan.

Ada banyak hal yang harus kami persiapkan saat tiba di rumah nanti. Walaupun terlihat sederhana, rumah yang dibangunkan Simbok telah membuatku belajar hidup mandiri dan tidak menyusahkan orangtua.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status