Share

Bab 4

Author: Safiiaa
last update Huling Na-update: 2023-09-30 22:30:40

"Mana suamimu? Naila juga mana?" tanya Ibu saat tak mendapati siapapun di sebelahku.

Melihat wajah Ibu begitu berbinar, bibirku kelu untuk sekedar mengatakan bahwa Mas Rasyid sedang tidak baik-baik saja. Aku takut melukai hatinya yang selama ini begitu menyayangi kami.

"Anita," panggil ibu lirih. Mata ibu membingkai wajahku dengan tatapan menelisik. Tangannya yang tak lagi mulus mengusap lenganku pelan.

Mataku yang menatap wajah Ibu dengan melamun, seketika tersadar dan mengerjap membuang pikiran buruk dalam kepala.

Tidak. Tidak mungkin aku mengatakan ini sekarang. Sebaiknya menunggu waktu yang tepat. Sebab aku tidak mungkin merusak wajah yang sedang tersenyum bahagia itu dengan kabar yang mengejutkan ini.

"Mas Rasyid ada di rumah, tapi sedang tidak enak badan." Aku menjawab akhirnya. Entah dapat dari mana kalimat itu sehingga bisa lolos dari bibirku begitu saja.

"Ouwh, lalu mengapa datang kalau suamimu sakit?" balas Ibu dengan dahi penuh lipatan. Tatapan menelisik hadir di matanya saat menatapku tak berkedip.

Bola mataku menatap wajahnya yang tak biasa. Seketika aku mengangguk dan berbalik arah tanpa berpamitan lebih dulu.

Aku mengabaikan ibu yang sedang menikmati ketidakbiasaan dalam wajahku. Kakiku terus melangkah kembali menuju arah rumah dengan pandangan kosong. Hatiku hampa. Pada siapa aku harus mengadu dan berkeluh kesah atas semua ini?

Sungguh, baru terasa sedihnya kehilangan orang tua saat aku sedang dalam keadaan terpuruk seperti ini. Tidak ada sanak atau saudara yang tinggal dekat denganku untuk mendengarkan keluh kesahku secara langsung. Aku seperti orang asing yang kehilangan gairah hidup.

Aku butuh pelukan untuk membuatku merasa bahwa aku masih dibutuhkan di dunia ini. Sayangnya, pelukan itu tak kudapatkan dari siapapun.

"Sayang kamu dari mana?" sapa Mas Rasyid saat langkahku sudah berada di teras rumah. Ia menghampiriku dengan pandangan penuh kilatan rasa cemas. Tangannya meraih lenganku dan tangannya yang lain hendak memeluk bahuku.

Namun, dengan cepat kembali kutepis tangan kekar itu. Aku sedang tidak ingin diganggu. Aku hanya ingin menangis membuang semua sakit yang kini sudah mendarah daging.

"Dek," panggil Mas Rasyid lagi saat aku mengabaikannya.

Aku tak peduli. Aku hanya sedang ingin sendiri. Luka ini terlalu sakit setelah sekian lama aku mengabdikan diri padanya dengan segala macam permasalahan dalam rumah tangga.

Tepat pukul sembilan malam, aku bangkit dari tempat tidur. Tak kudapati Mas Rasyid dalam kamar ini. Ah, biarlah. Biarkan dia merasakan bagaimana urus anak di rumah, menggantikan tugasku.

Setelah aku membuka pintu kamar, aku mendapati Mas Rasyid sedang tidur di atas karpet di depan televisi. Mata itu terpejam, tapi tampak gelisah. Mungkin terbongkarnya perselingkuhan itu membuatnya kelimpungan.

Ah, biar saja. Biar dia tahu rasanya. Sukur-sukur ini bisa menjadi efek jera sebelum aku benar-benar mengambil keputusan.

"Dimana Naila?" Aku bergumam saat tak kudapati siapapun di dalam kamarnya. Dahiku mengernyit, lalu pandangan mataku tertuju pada sosok yang sedang terlelap itu. Mas Rasyid pasti tahu kemana dia pergi.

Esok paginya, Mas Rasyid sudah bersiap dengan seragam kedinasannya. Ia harus kembali ke kota tempatnya mengajar sebelum jam enam pagi.

Saat aku keluar kamar, dua bungkus nasi sudah berada di atas meja makan. Tapi sayangnya, aku sedang tidak berselera untuk menikmatinya.

"Naila kemana?" tanyaku tegas pada Mas Rasyid yang sedang bersiap membuka bungkusan berisi nasi itu.

Kepalanya bergerak membalas tatapanku. Wajah yang biasanya segar dan ceria itu kini berubah menjadi sayu dan tampak sekali raut khawatir dalam sorot matanya.

"Nginep di rumah Ibu, semalam Ibu ngabari lewat telepon."

"Nginep? Tumben," balasku sambil berlalu dari hadapannya menuju dispenser air.

Namun saat aku hendak meminum air yang sudah berada dalam gelas yang kupegang, terdengar bunyi ketukan pintu dari arah luar.

Kuletakkan kembali gelas tersebut untuk melihat siapa gerangan yang datang berkunjung sepagi ini.

"Ibu?" pekikku kaget saat mendapati wajah ibu di balik pintu. Tidak ada senyum yang terpasang di bibirnya seperti kemarin. Wajah itu seperti sedang diliputi sebuah rasa yang membuat bibirnya sulit untuk tersenyum.

"Boleh ibu masuk?" tanyanya saat aku tercengang melihat ekspresi wajahnya.

"Boleh, Bu. Silahkan." Aku membuka pintu lebar-lebar untuk memberinya jalan.

Ibu tidak berjalan menuju kursi di ruang tamu. Kakinya terus melangkah ke dalam hingga sampai pada ruang televisi dimana sedang ada Mas Rasyid yang tengah menikmati sarapannya.

"Sini, Nit," panggil Ibu diiringi dengan gerakan ekor matanya yang bergerak ke arah kursi meja makan.

Seketika dadaku mencelos. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Hati ini mendadak gelisah mendapati sikap Ibu yang tegas dan tidak sehangat biasanya.

Terpaksa aku menuruti perintahnya untuk duduk di kursi meja makan, tepat di sebelah Mas Rasyid. Dengan ragu aku sedikit melirik ekspresi wajah Ibu yang tidak biasanya. Ada apa ini sebenarnya?

"Ibu menemukan Naila sedang menangis di sudut gang," ujar Ibu langsung tanpa basa-basi. Sejenak, ibu menghentikan ucapannya untuk melihat reaksiku dan Mas Rasyid.

Mendengar ucapan ibu, aku seketika mendongak mencari kejujuran dalam ucapan ibu mertua yang selama ini tak pernah berkata kasar atau tegas padaku.

Mas Rasyid pun demikian, ia menatap wajah ibunya dengan mata sedikit lebih lebar dari biasanya.

"Kenapa? Ada apa dengan kalian berdua?" tanya ibu dengan cepat.

"Katakan, Mas. Katakan pada ibu, apa yang sudah kamu lakukan pada rumah tangga ini," selaku tak mau kehilangan kesempatan. Aku ingin ibu tahu bagaimana kelakuan putranya, tapi bukan dari mulutku, melainkan dari mulutnya sendiri.

"Dek, jaga bicaramu," sahut Mas Rasyid penuh penekanan.

"Apa ada yang kalian sembunyikan? Naila tidak pernah berada dalam keadaan seperti itu jika bukan karena hal yang besar. Ia menangis di sudut gang sendirian, tanpa ada siapapun yang menemani. Beruntung seseorang melihat dan segera memberitahu Ibu."

"Naila," gumamku tak percaya. Jelas ia telah mendengar sesuatu saat mengetuk pintu kemarin tapi berusaha untuk menutupinya dariku. Beruntung Ibu datang tepat waktu, entah bagaimana jika ia terlalu lama sendirian di tempat itu.

Sekilas kulirik Mas Rasyid. Wajah itu seperti benang kusut, mungkin ia tidak akan mengira jika perbuatannya akan terbongkar secepat ini, terlebih dampaknya sudah jelas pada Naila.

Sepandai-pandainya bangkai ditutupi pasti akan tercium juga. Demikian juga dengan perselingkuhan Mas Rasyid.

"Syid? Apa ada yang kamu sembunyikan?" tanya Ibu dengan pandangan menelisik wajah Mas Rasyid. Siapapun pasti akan bisa menebak jika suamiku itu sedang tidak baik-baik saja hanya dilihat dari raut wajahnya saat ini.

"Katakan, Mas. Apa perlu aku yang tunjukkan buktinya pada Ibu?" selaku menggebu.

"Bukti?"

"Dek, jangan asal. Masalah ini bisa diselesaikan berdua, tanpa melibatkan ibu ataupun Naila!"

"Sayangnya aku ngga akan bisa, Mas. Masalah ini tetap harus menjadi pembahasan bersama. Apa yang Mas lakukan sudah keterlaluan."

"Ada masalah apa sebenarnya?" ujar ibu dengan suara sedikit lebih tinggi.

Aku terdiam sejenak, begitu pun dengan Mas Rasyid.

Namun Mas Rasyid tidak segera membuka mulutnya untuk memberi tahu perbuatannya yang keji itu.

"Mas Rasyid telah menikah secara siri dengan perempuan lain, Bu!" ujarku akhirnya.

"Menikah?" sahut Ibu. Mata Ibu membola dengan bibir menganga tak percaya.

"Dek! Jaga mulutmu!" sengit Mas Rasyid keras dengan tatapan tajam.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Meriatih Fadilah
semangat kak
goodnovel comment avatar
Lienda nasution
kalau istri tidak bekerja maka tidak ada alasan tidak ikut suami dimanapun dia bekerja dalam hal ini untuk menghindari hal hal yang tidak baik karena suami harus memenuhi kebutuhan biologisnya kamu sebagai istri termasuk sebagai penyumbang yang katanya ke khilafan suami mu
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 105

    "Mbak Anita balik sini lagi?" sapa Laili, tetangga sebelah rumah, saat Anita baru saja turun dari mobil yang ditumpanginya."Iya, Mbak. Bagaimanapun rumah sendiri lebih nyaman." Anita tersenyum setelah menjawab pertanyaan tetangganya. Di dalam gendongannya, Nata masih terlelap."Ah iya, Mbak bener. Apalagi diantara kalian belum ada anak."Anita hanya tersenyum untuk menjawab ucapan tetangganya itu. Ia pun lantas masuk ke dalam rumahnya setelah Pak Mahmud membantunya menurunkan koper, meninggalkan perbincangan yang tak berarti dengan tetangganya itu."Makasih ya, Pak," ucap Anita setelah menyelipkan amplop ke dalam genggaman tangan laki-laki yang telah menjemputnya."Sama-sama, Mbak."Selepas kepergian Pak Mahmud, Anita duduk bersandar di sofa ruang tengah. Matanya memejam, memikirkan langkah hidup selanjutnya. Kepergian Hamid yang tiba-tiba membuatnya harus berpikir keras, sama ketika ia baru saja menyandang status janda dulu.Kepala Anita kembali mengingat obrolannya dengan Nisa sebe

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 104

    Sindy bersama Anita berangkat menuju rumah sakit tempat Hamid dirawat. Rasa cemas tak henti-hentinya singgah dalam diri Anita membayangkan bagaimana keadaan sang suami.Ditambah dengan pertengkaran pagi tadi yang membuatnya benar-benar merasa bersalah karena telah membuat sang suami pergi bekerja dengan hati yang tidak nyaman."Semoga kondisi Mas Hamid tidak mengkhawatirkan," lirih Anita tak tenang."Semoga ya, Mbak. Baru kali ini Mas Hamid kayak gini, biasanya ngga pernah. Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai dia nyetir mobil ngga konsentrasi begini.""Mbak juga ngga tau. Mas Hamid ngga pernah cerita masalah apapun yang terjadi sama usahanya. Biasanya kalau ada apa-apa, pasti dia duduk lama di ruang kerja. Kalau sudah begitu, Mbak ngga akan berani ganggu.""Mas Hamid memang begitu. Ngga pernah terbuka soal kerjaan sama istrinya. Baginya, masalah dia soal kerjaan adalah masalah dia sendiri.""Padahal Mbak malah senang kalau diajak diskusi.""Itulah, Mbak."Perjalanan pun tiba di ruma

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 103

    "Mbak belum pernah ke mall ini," ucap Anita setibanya mereka di lobby utama. Ia mengamati sekitar dengan dua bola matanya sambil membawa Nata dalam gendongan."Masak belum pernah, Mbak? Secara bapak duitnya banyak.""Bukan perkara duit, Sa. Tapi memang ngga ada waktunya kesini. Kalau sendirian juga Mbak ngga mungkin bisa pergi. Mana berani.""Mbak ngga ngajak aku sih," seloroh Nisa. Ia tertawa setelahnya."Ya mana kepikiran, Sa. Kamu di sana, Mbak disini.""Iya juga sih. Ya sudah, yuk jalan lagi." Nisa menggandeng tangan Anita menuju ke area mall. Mata Anita mengitari sekitar, betapa selama beberapa bulan ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah saja tanpa sedikitpun berpikir untuk berjalan-jalan menikmati udara luar. Ia hanya pergi ketika akan mengunjungi Naila atau ke tempat bulik. Selebihnya, Anita hanya di rumah menunggu sang suami pulang kerja."Kemana, Sa?" tanyq Anita saat Nisa menggandengnya menuju eskalator."Cari makanan, Mbak.""Tadi di rumah ditawari makan ngga mau.""Bed

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 102

    "Halo," panggil suara di ujung panggilan. Suara bariton dari lelaki yang saat ini membuat hati Anita kebat-kebit."Sayang?"Anita terdiam. Ia masih belum ingin menjawab panggilan dari sang suami."Sayang masih di situ kan?" ucap Hamid lagi. Ia melihat ponselnya yang masih menampakkan layar panggilan."Sayang aku minta maaf," kata Hamid lagi. Ia tahu pasti sang istri merasa aneh dengan sikapnya tadi pagi. Ditambah dengan penolakannya atas permintaan Anita."Emm ... I-iya, Mas." Anita menjawab dengan ragu-ragu."Aku minta maaf ya, tadi aku buru-buru berangkat soalnya ada masalah yang harus Mas selesaikan." Hamid menurunkan nada suaranya. Ia paham dengan perasaan seseorang yang kini mulai memenuhi relung hatinya."Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu banyak permintaan pada Mas.""Enggak, ngga apa-apa. Oh Iya, Mas cuma mau kasih tau kalau Mas nyuruh Sindy cari pembantu buat kamu.""Pembantu? Mas aku bisa kerjain semuanya sendiri.""Ngga apa-apa. Biar dia bantu kamu beres-beres sekal

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 101

    Anita terduduk melamun di ruang tengah. Ia masih belum bisa menerima penolakan Hamid terhadap permintaannya. Ada rasa kesal dan amarah yang mulai bergelut dalam dadanya. Akan tetapi, Anita sadar bahwa segalanya sudah terpenuhi di rumah ini. Ia tidak kekurangan apapun yang bisa dijadikan alasan untuk menjadi wanita mandiri.Dering telepon berbunyi dari ponsel yang ada di sampingnya. Anita pun segera meraih ponsel itu untuk menerima panggilan dari seseorang."Assalamualaikum," sapa suara di ujung sana."Waalaikum salam. Ciee manten baru," goda Anita setelah mendengar suara Nisa yang terdengar ceria. Suara Nisa itu menjadi hiburan tersendiri di saat hatinya sedang kesal."Hihihi, Mbak nih! Bikin malu aja," balas Nisa cengengesan. Wajahnya merona karena mengingat bagaimana rasanya menjadi pengantin baru."Nyesel kan, kenapa ngga dari dulu aja nikahnya.""Hahaha enggak juga. Ada sih dikit tapi lebih ke riweh nya, Mbak. Tapi alhamdulilah semua berjalan dengan lancar.""Alhamdulillah. Mbak

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 100

    Hamid membawa Anita duduk di teras samping rumahnya. Jam dinding yang berputar masih menunjukkan angka lima lebih tiga puluh menit, masih ada banyak waktu untuk bisa berbicara dengan istrinya soal semalam.Laki-laki yang memakai kaos polos dengan celana pendek itu menatap sang istri yang menunduk. Ia menunggu perempuan yang rambutnya dikucir kuda itu menjawab pertanyaannya yang baru saja dilempar."Ada apa denganmu?" tanya Hamid sekali lagi. Ia masih terus menikmati wajah Anita yang membisu."Mas bukan dukun, bukan pula orang pintar yang tahu isi hatimu tanpa harus bertanya lebih dulu. Kalau ada apapun, baiknya bicarakan pada Mas, untuk kita bahas bersama. Jangan tiba-tiba diam seperti ini." Hamid berusaha menjelaskan apa yang ia mau. Memulai hubungan tanpa perkenalan yang dekat memang harus ada salah satu pihak yang menjadi mengalah untuk memulai. Jika pihak perempuan tidak demikian, maka pihak laki-laki yang harus mengalah untuk memulai membangun komitmen kedepannya.Anita diam saj

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 99

    Hamid memperhatikan istrinya disela-sela konsentrasinya mengemudi. Ia merasa aneh sebab sejak kembali dari kafe istrinya lebih banyak diam.Suara musik instrumental menemani mereka dalam perjalanan, dan menjadi satu-satunya suara dalam kabin mobil tersebut. Konsentrasi Hamid terpecah, akan tetapi suara musik itu membuatnya tetap bisa mengemudi dengan baik sekalipun hatinya sedang tak biasa.Hari sudah larut. Tidak ada waktu untuk Hamid bisa bertanya perihal perubahan sikap istrinya dengan tenang. Ia harus fokus dengan jalanan yang lumayan lengang agar lekas sampai di rumah.Sekilas Hamid melirik sang istri lagi. Wajah wanitanya itu terus saja melihat ke arah jendela. Sejak mulai perjalanan sampai hampir sampai Surabaya wajah itu tak beranjak dari depan kaca dengan tatapan nanar ke sepanjang bangunan di pinggir jalan.Dalam hatinya, Hamid kepayahan menahan diri. Tapi ia tak punya banyak pilihan sebab khawatir akan terjadi pertengkaran jika grusah grusuh membahas masalah sensitif seperti

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 98

    Di sebuah klinik, Rasyid sedang menunggu dokter memeriksa kondisi Ratih. Ia menjambak rambutnya untuk melampiaskan rasa kesal yang terus saja hinggap di hidupnya."Gimana bisa kamu tabrak istri saya!" omel Fajar. Ia berjalan mondar-mandir di depan Rasyid."Saya ngga nabrak. Dia sendiri yang lari pas saya berusaha pergi. Perlu kamu tahu, antara saya dan Ratih tidak ada apa-apa. Kami dulu memang berteman baik, setelah itu terpisah sekian tahun karena kami sibuk dengan kehidupan kami masing-masing.Baru beberapa hari yang lalu kami kembali bertemu dan saat itu, saya melihat ada gelagat aneh dari Ratih pada saya. Jika saja saya tau rumah tangga kalian sedang tidak baik-baik saja, maka saya tidak akan pernah mau untuk berurusan dengan dia lagi.""Jangan bohong kamu! Ratih terlihat sekali kalau dia menginginkan kamu!" ucap Fajar bersungut-sungut."Menginginkan?" Rasyid menyahut. Dahinya mengerut tak paham dengan ucapan Fajar."Iya, dia terlihat memaksa kamu untuk menerima dia!"Rasyid teetaw

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 97

    Nata tidur dalam perjalanan pulang. Ia terlelap nyenyak dalam pelukan sang ibu. Sesekali jemari ibunya mengusap pipi mulus bayi yang terlelap itu.Ada rasa lega yang mejalari hati Anita. Bayi yang dulu ia khawatirkan akan kekurangan kasih sayang bapak, nyatanya kini malah mendapatkan limpahan kasih sayang dari dua bapak sekaligus.Hubungan Anita dengan Rasyid yang membaik itu merupakan diluar prediksinya. Ia bersyukur memiliki suami yang mampu menjadi penengah antara dirinya dan mantan suaminya."Kecapekan ya dia?" tanya Hamid saat melihat sang istri berulang kali memandangi wajah mungil itu.Anita menoleh ke arah sang suami. Bibirnya tersungging sedikit."Iya. Dari siang aktif terus. Tidur cuma sebentar aja." Lagi, Anita mendaratkan pandangannya pada bayi dalam dekapannya itu."Ya sudah biarkan dia tidur. Kasihan.""Iya, Mas. Mas ngga capek? Kalau capek kita nginep di rumah aja," balas Anita. Ia melihat perjalanan masih sampai di sekitar tempat tinggalnya yang lama. Tidak butuh waktu

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status