Share

BAB 6 RUMAH BARU?

Penulis: Starisborn
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-20 01:25:19

Alea bersandar pada sandaran ranjang IGD, wajahnya masih pucat, selimut rumah sakit diselimuti aroma antiseptik yang menusuk. Perawat sudah keluar, dan ruangan itu kini hanya berisi dia dan Darren. Lelaki itu berdiri dengan kedua tangan disilangkan, rahangnya tegang. Dari tadi ia menolak terlibat perdebatan lagi, namun Alea tetap keras kepala.

“Alea,” suara Darren rendah tapi jelas, “saya rasa kamu perlu menginap di sini malam ini. Kondisi kamu belum stabil.”

Alea menggeleng pelan sebelum menjawab, “Saya sudah bilang… saya baik-baik saja, Pak Darren. Saya tidak terbiasa tidur di rumah sakit. Saya ingin pulang.”

“Kamu bilang begitu tadi, tapi kamu hampir terjatuh saat ke kamar mandi.” Darren meremas jemarinya sendiri, jelas menahan kesal. “Saya enggak bisa membiarkan kamu pulang sendirian.”

“Saya tidak sendirian,” bantah Alea pelan tapi tegas. “Saya punya rumah.”

Darren menarik napas panjang. “Rumah yang saat ini harusnya kamu tempati untuk istirahat, bukan memaksakan diri pulang hanya karena kamu tidak nyaman di sini.”

Alea menatapnya. “Terima kasih karena Anda khawatir. Tapi saya sudah memutuskan.”

Darren menatap balik, lama. Ada banyak hal dalam tatapan itu—kecemasan, kekhawatiran, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam. Namun ia akhirnya menyerah. “Baik. Tapi saya antar kamu pulang. Tidak ada tawar-menawar.”

“Baik, Pak Darren.”

Darren memijat pangkal hidung. “Alea… kamu tidak perlu terlalu formal begitu.”

“Lha… Anda juga masih formal,” jawab Alea. Nada suaranya kecil, tapi ada sedikit bantahan di sana. Seolah dia tak terima menjadi pihak yang di sudutkan.

“Karena kita masih profesional.” Darren mendekat, menatapnya lembut. “Tapi… kamu tahu apa maksud saya.”

Alea terdiam.

Suasana jadi sedikit canggung, sebelum Darren akhirnya berkata, “Sebelum kamu pulang, makan dulu. Saya beli makanan, kamu bilang tadi kamu ngidam mie kuah pedas sama roti cokelat.”

Alea tersentak, wajahnya memerah. “Itu saya bilangnya iseng saja… Anda enggak perlu—” ucapan Alea terpotong ketika Darren berdiri dan menatap ke arah perutnya.

"Anakku menginginkan sesuatu dan aku akan memberikan apapun yang dia inginkan" lalu pria dewasa itu meninggalkan Alea dengan jantung yang berdebar.

Debaran yang belum pernah dia rasakan dan kehangatan yang baru saja hadir.

Beberapa saat kemudian, Darren kembali dengan sebuah bungkusan dan satu plastik penuh dengan roti coklat.

"Kenapa anda membeli banyak sekali roti?"

Darren menatap heran, biasanya wanita suka di berikan sesuatu yang berlebihan bukan?

Tapi siapa yang tahu, jika Darren adalah salah satu dari banyaknya pria yang tidak punya pengalaman dalam menghadapi pola pikir wanita.

"Apakah ini salah?" tanya Darren dengan bodohnya.

Di sisi lain, Alea mulai mengerutkan keningnya. Merasa aneh dan juga bingung melihat tingkah dosennya.

"Tidak salah, tapi siapa yang akan menghabiskannya?"

"Eumm..." Darren terisam sejenak sebelum melirik pelan ke arah Alea, "kamu yang akan menghabiskannya dan juga... baby." Lirikan Darren berpindah ke perut Alea pada akhir kalimatnya.

"Kenapa pipiku terasa panas?" batin Alea.

"Aku tidak mau makan" seru Alea, tiba-tiba saja mood makannya hilang dan tergantikan oleh rasa mual ketika melihat banyak roti coklat.

“Sudah terlanjur,” kata Darren sambil meletakkan kantong pertama di pangkuan Alea. “Kalau kamu enggak makan, saya marah.”

Alea mendengus kecil. “Anda tidak bisa memaksa saya makan.”

“Bisa,” jawab Darren, sangat tenang. “Kamu mau saya suapin?”

Alea buru-buru membuka bungkus mie kuah itu. “Tidak perlu!”

Darren tertawa pendek untuk pertama kalinya malam itu. Tawa yang terdengar seperti sesuatu yang menenangkan ruangan antiseptik itu.

Mereka makan berdua di IGD yang sepi. Sesekali terdengar suara perawat lewat, atau roda brankar bergerak di lorong. Tapi di antara rasa pedas mie yang menghangatkan tubuh Alea dan aroma roti cokelat yang manis, ada sesuatu yang berubah di udara. Mereka tidak lagi terlihat seperti Dosen dan mahasiswanya. Tapi juga belum benar-benar terlihat seperti pasangan.

Mungkin keduanya sama-sama bingung berada di titik mana hubungan ini berdiri.

“Terima kasih, Pak Darren,” ujar Alea lembut setelah selesai makan.

Darren memegang gelas kertas kopinya dan menatapnya. “Saya serius soal yang tadi, Alea.”

Alea menelan ludah. “Tentang… lamaran itu?”

Darren mengangguk. “Saya tidak ingin kamu menjawab tergesa-gesa. Maka dari itu saya bilang… kamu punya waktu sampai minggu depan. Saya ingin kamu mikir, bukan takut, bukan tertekan.”

Alea menatap makanan kosongnya. “Saya… akan memberi jawaban minggu depan.”

Suara itu bergetar sedikit, bukan karena takut, tapi karena semuanya masih terasa tidak nyata.

Darren ingin berkata sesuatu lagi, tapi ia menahan diri. Ia hanya mengangguk.

Setelah selesai makan dan diperiksa ulang oleh perawat, Alea pun diizinkan pulang. Darren mengantarnya dengan mobilnya. Sepanjang perjalanan, mereka jarang bicara. Suasana itu bukan canggung, tetapi penuh pikiran masing-masing.

---

Saat mobil berhenti di depan rumah Alea, suasana rumah itu terasa janggal. Lampu ruang tamu menyala terang, dan terdengar suara beberapa orang berbicara dari dalam.

Alea mengernyit. “Kok rame banget…”

“Boleh saya antar sampai depan pintu?” tanya Darren.

“Tidak perlu, Pak. Saya baik-baik saja.” Alea tersenyum kecil. “Terima kasih... sudah mengantar.”

Darren mengangguk, meski wajahnya tampak ragu. “Kalau ada apa-apa, kamu langsung telepon saya. Jangan mikir panjang, Alea.”

“Saya mengerti.”

Alea turun dari mobil dan berjalan masuk.

Begitu pintu dibuka—plek—suara ruangan seketika sunyi. Ibunya, ayahnya, kakaknya, dan dua bibi duduk menatapnya seperti sedang menunggu pelaku kejahatan.

Alea mengerutkan alis. “Ada apa, Bu?”

Ayahnya maju dua langkah.

Dan sebelum Alea sadar—

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipinya.

Alea terguncang mundur, memegang pipinya yang langsung panas.

“AYAH!” jerit Alea refleks.

“Apa-apaan kalian?!” teriak Alea, tapi suaranya pecah.

Ibunya berdiri, menunjuk wajah Alea dengan gemetar marah. “UANG KITA HILANG, LEA! TABUNGAN buat bayar cicilan! Kamu pikir kami enggak tahu kamu butuh uang?! Kamu pikir kami enggak sadar siapa satu-satunya orang di rumah ini yang terdesak?!”

Alea membeku. “Aku… aku enggak tahu apa-apa…”

“BERHENTI BOHONG!” bentak kakaknya. “Gue udah capek sama tingkah lo. Selalu pura-pura jadi anak baik!”

“Aku beneran enggak…” Alea menangis, tapi suaranya tidak keluar jelas.

Ibunya mendekat. “Kamu pikir kami bodoh? kami pergi malam-malam, pulang diantar laki-laki, kerja enggak jelas, lalu tiba-tiba bilang enggak punya uang? Kamu kira kami enggak curiga?!”

“Dia dosen aku, Bu… aku dari rumah sakit… aku pingsan tadi… aku enggak—”

“Alea,” ayahnya mengangkat tas Alea dan melemparkannya ke lantai. “Kalau kamu enggak mau ngaku, keluar.”

Alea terdiam.

“Ayah serius?” bisiknya.

“Keluar. Malam ini juga.” suara ayahnya tak bergetar sedikit pun.

Alea menahan napas. “Saya tidak mengambil uang itu. Demi Tuhan, saya enggak.”

“Saya enggak mau denger!” bentak ibunya.

“Kenapa kalian enggak percaya sama aku?” Alea menangis. “Kenapa kalian selalu mikir yang terburuk dari aku?”

Kakaknya mendengus. “Karena lo emang sumber masalah.”

Alea merasa seluruh dunia runtuh.

Tiba-tiba suara kecil terdengar dari tangga. “Kak Aleeaa…?”

Alea memutar badan. Si bungsu—anak kecil paling lembut di keluarga itu—berdiri dengan mata setengah mengantuk, rambut acak-acakan. Begitu melihat Alea menangis, dia langsung turun berlari dan memeluk pinggang Alea erat.

“Kakak kenapa? Siapa yang jahat? Jangan nangis dong…”

Alea tersungkur berlutut, memeluk adiknya sambil terisak. “Enggak apa-apa… kamu tidur lagi ya…”

Adiknya menggeleng keras. “Aku ikut kakak.”

“Adek, masuk.” suara ayahnya tajam.

Anak kecil itu makin erat memeluk Alea. “Aku mau kak Alea… jangan pergi…”

Alea menutup mata, air matanya mengucur semakin deras.

Ia mencium kepala adiknya dan berbisik, suaranya retak-retak. “Dengar… kamu harus jagain diri kamu. Kamu harus banyak tidur, jangan suka begadang. Kamu harus rajin belajar, jangan suka malas. Kakak sayang banget sama kamu.”

“Terus kenapa kakak pergi? Aku enggak mau…” Suara itu pecah.

Alea mengelus pelan pipi gembul itu “Kalau kamu sayang kakak… kamu harus denger Kakak. Kakak bakal balik kalau semuanya sudah baik-baik saja.”

“Janji ya, kak?" Tuntut si bungsu sembari mengulurkan jari kelingkingnya

Alea menahan isak. “Kakak janji.” balasnya sembari menautkan kelingkingnya kepada kelingking adiknya.

Anak itu terisak kecil, lalu melepaskan pelukan dengan berat hati.

Alea berdiri perlahan, mengambil tasnya, dan membuka pintu rumah tanpa menoleh lagi. Jika ia menoleh, ia tahu ia akan runtuh.

Begitu pintu menutup—

Air matanya pecah tanpa bisa dikendalikan.

Tangannya gemetar mencari ponsel.

Ia tidak tahu harus pergi ke mana. Tidak tahu siapa yang harus ia percaya. Tidak tahu kenapa hidupnya tiba-tiba hancur begini.

Tapi satu nama muncul di kepalanya—orang yang tadi bilang: kalau ada apa-apa, telepon saya.

Alea mengetik nomor itu sambil terisak.

Telepon tersambung.

“Pak Darren…” suaranya hampir tidak terdengar.

Di seberang, suara Darren langsung berubah tegang. “Alea? Kamu kenapa? Kamu di mana?”

Alea terus menangis, tubuhnya gemetar. “Saya… saya diusir dari rumah… mereka nuduh saya… saya enggak punya tempat…”

“Alea. Tenang. Kamu aman. Kamu telepon saya, itu sudah langkah yang benar.” Suara Darren tegas namun lembut. “Kamu sekarang di depan rumahmu?”

“Iya…”

“Saya datang. Lima menit.” Darren kembali memutar setirnya menuju ke rumah Alea. Untung saja dia belum terlalu jauh dari rumah gadis itu.

Terjadi hening sesaat, tidak ada yang berniat untuk memutuskan panggilan. Alea menggigit bibir, menahan tangis. “Pak Darren…”

“Ya, Alea?”

Alea memejamkan mata, udara malam memotong paru-parunya. Ada jeda panjang sebelum akhirnya ia berkata dengan suara serak:

“Jawaban saya soal lamaran itu…”

Darren terdiam di ujung sana, napasnya terdengar pelan. Alea menarik napas gemetar. “Saya terima.”

Sejenak, hanya keheningan.

Lalu suara Darren terdengar—pelan, tidak percaya, namun penuh tekad.

"Tetap di sana, saya hampir sampai. Jangan ke mana-mana.”

Telepon terputus.

Alea berdiri di bawah lampu jalan, sendirian, matanya sembab, tapi untuk pertama kalinya malam itu ia merasa tidak benar-benar sendiri.

Karena seseorang sedang berlari ke arahnya.

Seseorang yang akan menjadi rumah barunya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 8 Ruang USG

    Alea berjalan sedikit lebih dulu menuju pintu ruang USG, sementara Darren mengikutinya dengan langkah ragu—bukan karena tidak ingin masuk, tetapi karena seluruh situasi terasa seperti sesuatu yang belum siap ia hadapi. Genggaman Alea pada tangan kanannya seolah menyerap segala ketidaksiapannya. Tangannya yang lain masuk ke kantong celana, kebiasaannya setiap kali gugup. Pintu ruangan tertutup perlahan di belakang mereka, meninggalkan keheningan yang membuat jantung Alea berdebar lebih keras.Ruangan itu terang, putih, dan beraroma antiseptik. Tempat tidur pemeriksaan berada di tengah, layar monitor USG menyala redup. Alea duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang. Darren berdiri di sampingnya, tubuhnya tegak seperti sedang menghadapi sidang akademik.Tidak ada ekspresi manis atau kalimat penenang keluar dari bibirnya. Ia hanya menatap instrumen USG seolah-olah sedang memeriksa alat penelitian yang asing.“Kalau… kamu nggak nyaman saya di sini, bilang aja,” ucapnya datar. Lebih sepe

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 7 RUANG BARU, DEGUP BARU

    Malam itu, ketika suara mobil Darren berhenti tepat di depan Alea, dunia yang baru saja runtuh perlahan-lahan menemukan bentuknya kembali. Alea masuk mobil tanpa banyak bicara, wajahnya masih sembab, matanya terus menatap ke luar jendela, takut kalau suaranya kembali pecah. Darren tidak memaksa bertanya. Yang Darren lakukan hanyalah menurunkan suhu pendingin di dalam mobil, menarikkan seatbelt Alea perlahan, dan menepuk punggung tangannya sejenak sebelum ia kembali ke kursi pengemudi. Jeda singkat itu saja membuat Alea terisak pelan. “Kalau kamu masih ingin menangis… menangislah,” kata Darren sambil menyalakan mesin. Alea mengangguk, membiarkan malam itu berlalu dengan mereka berkendara menuju hotel dekat pusat kota. Saat sampai, Darren langsung memesan 2 kamar hotel yang bersebelahan dan dia meminta untuk di sterilkan semaksimal mungkin. Di kamar hotel itu, Alea hanya duduk di tepi ranjang sambil memegang hoodie lengan panjang pemberian Darren. Darren berdiri di dekat pintu, ra

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 6 RUMAH BARU?

    Alea bersandar pada sandaran ranjang IGD, wajahnya masih pucat, selimut rumah sakit diselimuti aroma antiseptik yang menusuk. Perawat sudah keluar, dan ruangan itu kini hanya berisi dia dan Darren. Lelaki itu berdiri dengan kedua tangan disilangkan, rahangnya tegang. Dari tadi ia menolak terlibat perdebatan lagi, namun Alea tetap keras kepala.“Alea,” suara Darren rendah tapi jelas, “saya rasa kamu perlu menginap di sini malam ini. Kondisi kamu belum stabil.”Alea menggeleng pelan sebelum menjawab, “Saya sudah bilang… saya baik-baik saja, Pak Darren. Saya tidak terbiasa tidur di rumah sakit. Saya ingin pulang.”“Kamu bilang begitu tadi, tapi kamu hampir terjatuh saat ke kamar mandi.” Darren meremas jemarinya sendiri, jelas menahan kesal. “Saya enggak bisa membiarkan kamu pulang sendirian.”“Saya tidak sendirian,” bantah Alea pelan tapi tegas. “Saya punya rumah.”Darren menarik napas panjang. “Rumah yang saat ini harusnya kamu tempati untuk istirahat, bukan memaksakan diri pulang hanya

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 5 DIANTARA TENANG DAN RUNTUH

    Pintu ruang arbosi itu terbuka dengan pelan. Alea melangkah keluar dengan langkah kecil, tergesa namun tidak stabil. Kepalanya berat, penglihatannya berbayang, dan suara di sekelilingnya seperti terdengar dari dalam air. Ia hanya ingin pulang. Tidur. Diam. Lalu tidak memikirkan apa pun. Tapi tubuhnya berhenti mendadak. Tepat di depan pintu, berdiri seseorang yang tidak pernah ia bayangkan akan melihatnya di tempat seperti ini. Darren. Pria itu berdiri tegap, wajahnya tegang namun tidak seram. Bukan marah. Bukan kecewa. Tapi seperti seseorang yang sedang mencoba memastikan apakah yang ia lihat benar-benar nyata. Sorot matanya langsung tertuju pada Alea. Dalam. Menembus. Seakan mencari jawaban yang sudah ia duga namun tak ingin ia akui. Alea menelan ludah, memalingkan wajah secepat mungkin. “s-saya… bukan… bukan untuk itu, saya hanya…” Suara Alea patah. Langkahnya goyah. Darren mengambil satu langkah mendekat. “Alea—” Belum sempat ia menyelesaikan namanya,

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 4 NERAKA BERKEDOK RUMAH

    Alea berdiri cukup lama di depan gerbang rumah orang tuanya. Bukan karena rindu—melainkan karena ia butuh beberapa detik untuk menyiapkan hati. Kontrakan sempit yang ia tinggali memang jauh dari kata layak, tapi setidaknya di sana ia tidak merasa jadi orang asing. Tidak seperti rumah ini, yang seharusnya memberi kehangatan, namun justru terasa lebih dingin daripada angin malam di musim hujan.Pintu bergemerincing ketika ia buka perlahan. Bau khas rumah itu—campuran detergen, minyak goreng, dan udara pengap yang tidak pernah diperbarui—menyergapnya. Dari ruang tengah, suara televisi terdengar keras, seperti biasanya. Ayahnya duduk di sofa dengan baju singlet, sedangkan ibunya sibuk mengupas bawang sambil marah-marah pada seseorang di telepon.Tidak ada yang menyambut Alea. Tidak ada yang menoleh. Tidak ada kalimat “kamu sudah pulang”. Tidak ada hangat-hangat manis yang biasanya ada di rumah orang lain.Alea menarik napas samar."Ya seperti inilah… rumahku." batinnya.Baru saja ia melan

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 3 MALAM ITU

    Ruang kerja dosen itu terlalu sunyi.Terlalu rapi.Terlalu… menakutkan untuk Alea.Begitu masuk, ia merasa tubuhnya mengecil. Ruangan itu dipenuhi rak buku, aroma kopi hitam, dan kertas-kertas administrasi yang tertata sempurna. Di tengahnya, duduk seorang pria dengan kemeja putih yang digulung rapi, kacamata bertengger di hidung mancungnya. kepala sedikit menunduk, menandatangani beberapa berkas—seolah ia tidak pernah mengalami malam gila itu dua minggu lalu.Seolah Alea tidak pernah ada.Disisi lain Alea terdiam sesaat di depan pintu ruang Darren. Dia menatap takjub pada pria matang tersebut, dalam hati memuji ketampanan Darren. Hingga bayangan malam itu melintas sekilas dalam memorinya. Wajah Alea sedikit memerah, dia langsung menggelengkan kepalanya dengan pelan guna mengusir pikiran itu.Darren bahkan tidak mengangkat wajah ketika Alea mengetuk pintu dan masuk dengan canggung.“Silakan,” katanya datar.Nada suaranya begitu formal, sampai-sampai Alea bertanya-tanya apakah lelaki

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status