Home / Romansa / Setelah Satu Malam dengan Dosenku / BAB 5 DIANTARA TENANG DAN RUNTUH

Share

BAB 5 DIANTARA TENANG DAN RUNTUH

Author: Starisborn
last update Last Updated: 2025-11-16 00:59:53

Pintu ruang arbosi itu terbuka dengan pelan. Alea melangkah keluar dengan langkah kecil, tergesa namun tidak stabil. Kepalanya berat, penglihatannya berbayang, dan suara di sekelilingnya seperti terdengar dari dalam air.

Ia hanya ingin pulang.

Tidur.

Diam.

Lalu tidak memikirkan apa pun.

Tapi tubuhnya berhenti mendadak.

Tepat di depan pintu, berdiri seseorang yang tidak pernah ia bayangkan akan melihatnya di tempat seperti ini.

Darren.

Pria itu berdiri tegap, wajahnya tegang namun tidak seram. Bukan marah. Bukan kecewa. Tapi seperti seseorang yang sedang mencoba memastikan apakah yang ia lihat benar-benar nyata. Sorot matanya langsung tertuju pada Alea.

Dalam.

Menembus.

Seakan mencari jawaban yang sudah ia duga namun tak ingin ia akui.

Alea menelan ludah, memalingkan wajah secepat mungkin.

“s-saya… bukan… bukan untuk itu, saya hanya…” Suara Alea patah. Langkahnya goyah.

Darren mengambil satu langkah mendekat. “Alea—”

Belum sempat ia menyelesaikan namanya, tubuh Alea roboh seperti boneka yang talinya dipotong paksa. Mata Alea terpejam, tubuhnya jatuh ke depan.

Refleks—lebih cepat dari yang pernah ia lakukan dalam hidupnya—Darren menangkapnya. Tangannya melingkari bahu dan pinggang Alea, menahan tubuh ringan itu agar tidak menghantam lantai.

Jantung Darren langsung berdebar tidak karuan.

“Alea!” Suara itu penuh dengan kepanikan yang asing baginya, karena selama ini ia tidak pernah kehilangan kendali.

Perawat yang lewat terkejut. “Pak, cepat bawa dia ke IGD! Ruangannya di ujung sana!”

Darren tidak menunggu instruksi lanjutan. Ia mengangkat Alea ke dalam gendongannya, langkahnya tergesa tapi stabil.

Tubuh Alea terasa dingin. Napasnya pendek dan cepat. Wajahnya pucat tak wajar.

“saya di sini…” gumam Darren pelan.

---

Alea dibaringkan di ranjang IGD dengan penuh hati-hati. Beberapa perawat langsung memeriksa tekanan darah, detak jantung, dan refleks tubuhnya. Seorang dokter perempuan masuk tidak lama kemudian dengan clipboard di tangan.

“Darahnya rendah, tekanan terlalu turun. Ini kombinasi kelelahan, kurang nutrisi… dan stres berat,” ujar dokter.

Darren mengangguk, meski alisnya berkerut.

“Dia... hamil, Dok?” suaranya pelan namun tegas.

Dokter menghela napas pendek—bukan karena terkejut, tetapi karena pertanyaan itu muncul begitu mudah dari Darren, seperti ia sudah setengah tahu.

“Iya, dia hamil.”

Dokter membuka catatan. “Usia kehamilan masih sangat awal… sekitar empat atau lima minggu.”

Empat atau lima. Hitungannya pas dengan malam itu.

Malam ketika Alea mabuk. Malam ketika ia juga tidak sepenuhnya sadar. Malam ketika mereka berdua melakukan sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.

Tapi rasa kaget itu tidak sebesar kenyataan lain yang dokter sampaikan setelahnya.

“Tanda stres pada ibu hamil muda seperti ini berbahaya, Pak. Dia bisa mengalami pendarahan, gangguan tumbuh kembang janin, atau bahkan keguguran jika kondisi emosionalnya tidak stabil.”

Darren membeku sejenak.

Kata keguguran menghantamnya lebih keras dari yang ia perkirakan.

Ia bukan tipe pria yang mudah panik, tapi kali ini jantungnya terasa seperti diremas dari dalam.

“Dia akan membutuhkan pendampingan keluarga,” lanjut dokter. “Dan karena usianya masih di bawah 21, keputusan apa pun nanti—termasuk tind—”

Dokter berhenti ketika melihat perubahan ekspresi Darren yang tiba-tiba tajam.

“Baiklah. Yang jelas, dia butuh istirahat dan ketenangan dulu.”

Darren tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil.

---

Satu jam berlalu.

Alea akhirnya bergerak pelan di ranjang. Kelopak matanya terbuka setengah. Cahaya lampu rumah sakit terasa menyilaukan. Dia sedikit menyipitkan matanya guna beradaptasi dengan cahaya yang ada.

“Pelan-pelan,” ucap suara yang sangat ia kenal namun sangat ia hindari.

Alea langsung menoleh ke arah lain, menjauhkan diri dari tatapan itu. Tapi ruangannya kecil, tidak ada tempat lain untuk ia pandangi kecuali dinding putih dan selimut tipis yang ia genggam erat.

Darren duduk di kursi samping ranjangnya.

Ada jarak, tapi jarak itu terasa tidak berarti dengan bagaimana mata Darren mengamatinya.

“Kamu baik-baik saja?”

Pertanyaan sederhana, tapi terdengar seperti beban berat bagi Alea. Ia mengangguk cepat, lalu membuang wajah ke arah lain.

Jangan menangis.

Jangan menangis.

Jangan—

Tapi air mata itu jatuh juga.

Darren tidak menyentuhnya. Tidak memaksa.

Ia hanya menunggu. Diam. Tenang.

Ia tahu Alea butuh waktu lebih dari butuh jawaban.

Baru setelah tangis Alea mereda, Darren berkata pelan,

“Alea… saya tidak akan bertanya hal yang tidak mau kamu jawab. Tapi saya ingin kamu tahu satu hal. Saya ada di sini.”

Alea mengepalkan tangan di pangkuannya. “Kenapa anda di sini…?”

Pertanyaan itu penuh putus asa.

Bukan marah. Bukan benci.

Lebih seperti… aku takut kalau kamu tahu kebenarannya.

Darren menarik napas panjang. “saya melihatmu masuk ke ruangan arbosi.” Alea menegang.

“Saya tidak bermaksud mengikutimu,” lanjutnya. “Tapi aku khawatir. Kamu tidak masuk kelas dua kali. Dan aku merasa sesuatu akan terjadi.”

Alea menunduk lebih dalam.

“Dokter bilang kamu hamil,” ucap Darren akhirnya, suara rendah dan tegas. Air mata Alea mengalir lagi, tapi kali ini ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Bahunya bergetar.

Darren menahan dorongan untuk menyentuhnya.

Ia ingin. Tapi ia tahu Alea sedang rapuh, dan sentuhan mungkin membuat gadis itu runtuh di tempat.

“Saya…” Alea terisak. “Saya nggak punya siapa-siapa. Saya nggak kuat bilang ke keluarga. Mereka pasti bunuh Saya.” Darren menatapnya lama.

Ada sesuatu yang tumbuh di dada pria itu—bukan sekadar tanggung jawab.

“Alea,” ucapnya pelan. “Kamu belum bisa mengambil keputusan tanpa tanda tangan wali. Usiamu belum legal untuk melakukan... hal itu."

Alea mengangguk kecil. Ia tahu itu. Dokter sudah menjelaskan semuanya di ruangan arbosi tadi.

Darren menggeser kursinya sedikit mendekat. Suaranya kali ini lebih mantap.

“Kamu hanya punya dua pilihan, Alea.”

Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, memastikan Alea cukup tenang untuk mendengarnya.

“Pertama… kamu melanjutkan rencana aborsi. Dan saya akan tanda tangan sebagai walimu kalau kamu benar-benar menginginkannya.”

Alea menegang. Air matanya berhenti sesaat.

“Dan pilihan kedua…” Darren menatapnya lekat-lekat.

“…kita menikah.”

Alea mengangkat wajah, terkejut dan ketakutan sekaligus. Darren melanjutkan dengan suara rendah tapi jujur, “saya sudah cukup umur untuk menikah. Lebih dari siap secara mental dan finansial. Saya punya tabungan, pekerjaan tetap sebagai dosen, dan perusahaan peninggalan kakekku. Saya bisa menjamin hidup kamu dan—”

Ia berhenti lagi.

“…juga anak ini.”

Alea menelan ludah keras. Tangannya gemetar. Darren melanjutkan, nada tenang meski sorot matanya berubah serius.

“Saya tidak mengatakan ini karena saya merasa terpaksa. Bukan itu. Saya hanya… ingin kamu punya tempat kembali. Kamu tidak akan sendiri.”

Ruangan itu sepi. Hening. Hanya detak monitor medis yang terdengar. Alea tidak langsung menjawab. Ia tidak bisa. Kata-kata Darren seperti menyeretnya ke antara harapan dan ketakutan.

Darren kemudian bersandar sedikit ke kursinya, namun matanya tidak pernah meninggalkan wajah Alea.

“Saya cuma butuh tahu satu hal, Alea…” Suara Darren merendah, hampir seperti bisikan.

Sebuah pertanyaan yang menggantung di udara, membuat seluruh tubuh Alea menegang.

“…kamu sebenarnya ingin saya menjadi apa bagimu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 8 Ruang USG

    Alea berjalan sedikit lebih dulu menuju pintu ruang USG, sementara Darren mengikutinya dengan langkah ragu—bukan karena tidak ingin masuk, tetapi karena seluruh situasi terasa seperti sesuatu yang belum siap ia hadapi. Genggaman Alea pada tangan kanannya seolah menyerap segala ketidaksiapannya. Tangannya yang lain masuk ke kantong celana, kebiasaannya setiap kali gugup. Pintu ruangan tertutup perlahan di belakang mereka, meninggalkan keheningan yang membuat jantung Alea berdebar lebih keras.Ruangan itu terang, putih, dan beraroma antiseptik. Tempat tidur pemeriksaan berada di tengah, layar monitor USG menyala redup. Alea duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang. Darren berdiri di sampingnya, tubuhnya tegak seperti sedang menghadapi sidang akademik.Tidak ada ekspresi manis atau kalimat penenang keluar dari bibirnya. Ia hanya menatap instrumen USG seolah-olah sedang memeriksa alat penelitian yang asing.“Kalau… kamu nggak nyaman saya di sini, bilang aja,” ucapnya datar. Lebih sepe

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 7 RUANG BARU, DEGUP BARU

    Malam itu, ketika suara mobil Darren berhenti tepat di depan Alea, dunia yang baru saja runtuh perlahan-lahan menemukan bentuknya kembali. Alea masuk mobil tanpa banyak bicara, wajahnya masih sembab, matanya terus menatap ke luar jendela, takut kalau suaranya kembali pecah. Darren tidak memaksa bertanya. Yang Darren lakukan hanyalah menurunkan suhu pendingin di dalam mobil, menarikkan seatbelt Alea perlahan, dan menepuk punggung tangannya sejenak sebelum ia kembali ke kursi pengemudi. Jeda singkat itu saja membuat Alea terisak pelan. “Kalau kamu masih ingin menangis… menangislah,” kata Darren sambil menyalakan mesin. Alea mengangguk, membiarkan malam itu berlalu dengan mereka berkendara menuju hotel dekat pusat kota. Saat sampai, Darren langsung memesan 2 kamar hotel yang bersebelahan dan dia meminta untuk di sterilkan semaksimal mungkin. Di kamar hotel itu, Alea hanya duduk di tepi ranjang sambil memegang hoodie lengan panjang pemberian Darren. Darren berdiri di dekat pintu, ra

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 6 RUMAH BARU?

    Alea bersandar pada sandaran ranjang IGD, wajahnya masih pucat, selimut rumah sakit diselimuti aroma antiseptik yang menusuk. Perawat sudah keluar, dan ruangan itu kini hanya berisi dia dan Darren. Lelaki itu berdiri dengan kedua tangan disilangkan, rahangnya tegang. Dari tadi ia menolak terlibat perdebatan lagi, namun Alea tetap keras kepala.“Alea,” suara Darren rendah tapi jelas, “saya rasa kamu perlu menginap di sini malam ini. Kondisi kamu belum stabil.”Alea menggeleng pelan sebelum menjawab, “Saya sudah bilang… saya baik-baik saja, Pak Darren. Saya tidak terbiasa tidur di rumah sakit. Saya ingin pulang.”“Kamu bilang begitu tadi, tapi kamu hampir terjatuh saat ke kamar mandi.” Darren meremas jemarinya sendiri, jelas menahan kesal. “Saya enggak bisa membiarkan kamu pulang sendirian.”“Saya tidak sendirian,” bantah Alea pelan tapi tegas. “Saya punya rumah.”Darren menarik napas panjang. “Rumah yang saat ini harusnya kamu tempati untuk istirahat, bukan memaksakan diri pulang hanya

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 5 DIANTARA TENANG DAN RUNTUH

    Pintu ruang arbosi itu terbuka dengan pelan. Alea melangkah keluar dengan langkah kecil, tergesa namun tidak stabil. Kepalanya berat, penglihatannya berbayang, dan suara di sekelilingnya seperti terdengar dari dalam air. Ia hanya ingin pulang. Tidur. Diam. Lalu tidak memikirkan apa pun. Tapi tubuhnya berhenti mendadak. Tepat di depan pintu, berdiri seseorang yang tidak pernah ia bayangkan akan melihatnya di tempat seperti ini. Darren. Pria itu berdiri tegap, wajahnya tegang namun tidak seram. Bukan marah. Bukan kecewa. Tapi seperti seseorang yang sedang mencoba memastikan apakah yang ia lihat benar-benar nyata. Sorot matanya langsung tertuju pada Alea. Dalam. Menembus. Seakan mencari jawaban yang sudah ia duga namun tak ingin ia akui. Alea menelan ludah, memalingkan wajah secepat mungkin. “s-saya… bukan… bukan untuk itu, saya hanya…” Suara Alea patah. Langkahnya goyah. Darren mengambil satu langkah mendekat. “Alea—” Belum sempat ia menyelesaikan namanya,

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 4 NERAKA BERKEDOK RUMAH

    Alea berdiri cukup lama di depan gerbang rumah orang tuanya. Bukan karena rindu—melainkan karena ia butuh beberapa detik untuk menyiapkan hati. Kontrakan sempit yang ia tinggali memang jauh dari kata layak, tapi setidaknya di sana ia tidak merasa jadi orang asing. Tidak seperti rumah ini, yang seharusnya memberi kehangatan, namun justru terasa lebih dingin daripada angin malam di musim hujan.Pintu bergemerincing ketika ia buka perlahan. Bau khas rumah itu—campuran detergen, minyak goreng, dan udara pengap yang tidak pernah diperbarui—menyergapnya. Dari ruang tengah, suara televisi terdengar keras, seperti biasanya. Ayahnya duduk di sofa dengan baju singlet, sedangkan ibunya sibuk mengupas bawang sambil marah-marah pada seseorang di telepon.Tidak ada yang menyambut Alea. Tidak ada yang menoleh. Tidak ada kalimat “kamu sudah pulang”. Tidak ada hangat-hangat manis yang biasanya ada di rumah orang lain.Alea menarik napas samar."Ya seperti inilah… rumahku." batinnya.Baru saja ia melan

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 3 MALAM ITU

    Ruang kerja dosen itu terlalu sunyi.Terlalu rapi.Terlalu… menakutkan untuk Alea.Begitu masuk, ia merasa tubuhnya mengecil. Ruangan itu dipenuhi rak buku, aroma kopi hitam, dan kertas-kertas administrasi yang tertata sempurna. Di tengahnya, duduk seorang pria dengan kemeja putih yang digulung rapi, kacamata bertengger di hidung mancungnya. kepala sedikit menunduk, menandatangani beberapa berkas—seolah ia tidak pernah mengalami malam gila itu dua minggu lalu.Seolah Alea tidak pernah ada.Disisi lain Alea terdiam sesaat di depan pintu ruang Darren. Dia menatap takjub pada pria matang tersebut, dalam hati memuji ketampanan Darren. Hingga bayangan malam itu melintas sekilas dalam memorinya. Wajah Alea sedikit memerah, dia langsung menggelengkan kepalanya dengan pelan guna mengusir pikiran itu.Darren bahkan tidak mengangkat wajah ketika Alea mengetuk pintu dan masuk dengan canggung.“Silakan,” katanya datar.Nada suaranya begitu formal, sampai-sampai Alea bertanya-tanya apakah lelaki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status