Amplop Coklat
"Jangan pergi Ibu," ucap Rani dengan isakannya yang tak henti.
"Sebentar, Nak. Ibu harus mengantar atasan ibu keluar sebentar," ucapku memohon sambil kuusap lembut rambutnya agar ia luluh. Kutatap lebih dalam wajah Rani yang sayu. Matanya mengerjap mendapati aku yang terus memohon dengan bahasa mata.
"Maaf Tuan. Anak saya rewel," ucapku saat Rani tak kunjung mau lepas dariku.
"Iya tak apa, saya mengerti." Matanya nanar melihat Rani dengan erat memeluk tubuhku.
"Sebentar saja ya, Nak?" ucapku memohon.
"Baiklah." Seiring dengan ucapannya, Rani melepas tangannya dari tubuhku. Kemudian ia beralih duduk di atas ranjangnya sendiri.
"Mari Tuan," ajakku setelah aku turun dari ranjang Rani dan berjalan keluar ruangan diikuti oleh lelaki gagah nan berkharism
Bimbang"Bu dipanggil Mbak Arum itu dibelakang," ucap Danisa. Ia sesekali menoleh ke belakang, melihat betapa Arum berusaha memanggilku. Sengaja aku tak mau menoleh, aku tak ingin Arum membahas masalah apapun di depan Danisa, terlebih soal pekerjaan."Sudah biarkan saja. Kalau butuh sama ibu biar Mbak Arum datang ke rumah." Ku percepat langkah sambil terus menggandeng tangan Danisa hingga kami sampai di depan rumah."Cepat siap-siap ke sekolah, Nak. Biar nggak kesiangan," ucapku setelah membuka pintu rumah yang ternyata tak dikunci. Mungkin Mas Halim baru saja melihat kondisi Mas Bima sehingga pintu rumah tak dikunci.Tanpa menjawab lagi, Danisa segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap untuk ke sekolah. Sementara aku pergi ke dapur untuk meletakkan nasi yang sudah kami beli setelah turun dari angkutan umum. Lalu menjarang air lebih dulu untuk men
Bak Petir Di Siang HariKupikir jika sedikit saja uang pemberian Tuan Bram kubagi pada Feni untuk membeli kursi roda, masih cukup untuk menebus biaya rumah sakit Rani. Namun aku salah. Biaya untuk observasi luka di kepalanya cukup besar untuk ukuran orang sepertiku.Kini aku sedang duduk kursi di depan pintu kamar rawat Rani. Menatap nanar nota pembayaran yang masih kurang sedikit lagi. Berpikir kemana harus mencari tambahan biaya selain ikut kerja bersama Arum. Sudah cukup sekali saja aku masuk ke dalam tempat seperti itu. Aku tak mau lagi."Kok nggak masuk, Nduk?" Suara ibu mengagetkanku. Segera ku masukkan nota pembayaran dalam kantong gamisku. Lalu kuusap air mata yang mengalir di pipi. Rasa ini sungguh membuatku tak bisa menghentikan air mataku untuk tak mengalir. Namun, aku tak mau ibu melihatku menangis."Nggak apa-apa, Bu. Lagi pengen duduk di sini sebe
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 12Tanggung JawabAku berjalan dengan langkah gontai. Menyusuri jalanan dengan pandangan nanar dan perasaan berkecamuk. Sebulan itu bukan waktu yang sebentar, cukup lama untukku sanggup berada dalam lingkungan mengerikan seperti itu tiap malam. Tak terbayangkan bagaimana aku sanggup melalui hari-hari dengan bayangan mengerikan dalam gedung tersebut.Apa yang harus kulakukan agar aku bisa keluar dari belenggu yang mengerikan ini? Pada siapa aku harus memohon untuk bisa melepaskan diri ini dari jerat dunia malam? Lagi-lagi aku harus menelan cobaan ini sendiri.Kuhembuskan napas lebih dalam, membuang segala rasa yang menyesakkan dada. Perlahan terbit keyakinan dalam diri bahwa pasti akan ada jalan keluar untuk lepas dari kemelut masalah ini. Semoga saja."Mbak Dewi ...," panggil seseorang saat aku hendak masuk ke halam
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 13Jangan MunafikAku pasrah saat Arum menggandeng ku untuk menuju ruangan ganti. Aroma asing begitu menguar di hidungku. Kulihat di atas meja yang terletak di depan meja resepsionis terdapat beberapa pengunjung dengan botol berlogo bintang di depannya. Aku berjalan sambil menunduk, malu pada hijab yang kukenakan.Sama seperti kemarin, aku di dandani dengan make up tebal. Baju gamis yang kukenakan terpaksa harus kulepas. Arum menggantinya dengan dress selutut berwarna hijau. Lagi-lagi aku harus menghela napas saat baju dengan bahan minim ini menempel di tubuhku. Beruntung kali ini baju yang kukenakan lebih tertutup, hanya saja lengan bajunya hanya sampai di atas siku."Mbak Dewi cantik juga kalau pakai baju gini," bisik Arum. Ia menatapku dengan seringai mengejek.Tak mampu membalas ucapannya, aku hanya diam. Membia
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 14Dia?"Mbak, nggak apa-apa?" tanya laki-laki di depanku.Aku sedang menunduk, menahan sakit di lenganku akibat terjatuh.Kuabaikan rasa sakit ini saat aku melihat lelaki gondrong itu keluar dari area parkir. Seketika aku berdiri, berlindung di belakang tubuh lelaki di hadapanku ini sambil mencengkeram erat bajunya."Tolong bantu saya, Pak. Bantu saya lepas dari lelaki gondrong di depan sana," ucapku gemetar sambil menutup wajahku dengan tangan sedangkan tanganku yang lain mencengkeram erat baju lelaki di depanku ini.Peluh membanjiri keningku. Baju yang semula kering kini basah oleh keringat. Rambut yang semula rapi, kini tak berbentuk, bahkan pengikatnya hilang entah kemana. Debar jantungku tak berirama. Ngos-ngosan, seperti habis lari dikejar satpol pp. Ah malang nian nasibku malam ini.
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 15Ingin Kupeluk Dan Tak Kulepas LagiAku berjalan menyusuri jalan raya dengan langkah gontai. Suasana malam hari yang kian pekat ditambah dengan makin sedikitnya pengendara yang lalu lalang membuat malam ini kian mencekam. Terlebih aku berjalan di kegelapan malam hanya seorang diri. Bertemankan suara semilir angin yang kian dingin menusuk kulit.Tak ada yang menemani. Tak ada satu pun yang mengantarku hingga kaki ini lelah melangkah. Rasa takut kembali menyelimuti diri ini.Di trotoar jalan raya, aku limbung. Menunduk meratapi nasib yang kian menyedihkan. Lelah dengan semua ini. Belum cukup beban yang kupikul soal biaya rumah sakit putriku, ditambah dengan perlakuan kasar pengunjung tempat karaoke dan ditambah lagi dengan kehadiran Mas Damar yang secara tiba-tiba.Seharusnya aku bahagia bisa bertemu dengan Mas Dama
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 16Ungkapan HatiAku kembali dari loket pembayaran dengan pikiran penuh tanda tanya. Siapa yang sudah membayar sisa tagihan rumah sakit ini. Bukan untuk apa-apa, hanya ingin mengucapkan terima kasih saja, juga aku doakan yang terbaik untuk yang telah menolong. Ingin membalas pun aku tak punya apa-apa, hanya punya mulut untuk berdoa memohon kebaikan untuk siapapun orang itu.Kususuri sepanjang lorong rumah sakit ini dengan perasaan tak menentu. Rasa syukur mendominasi perasaan yang tak menentu itu. Biarlah siapapun itu, semoga Allah balas kebaikannya seribu kali lipat dari yang sudah ia berikan untuk keluargaku."Bagaimana Nduk? Siapa yang sudah melunasi sisa tagihannya?" tanya ibu saat aku sudah kembali ke kamar Rani. Ibu dan Rani sudah bersiap untuk pulang. Segala barang bawaan sudah ibu rapikan, hanya tinggal menunggu surat kontrol untuk Ra
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 17Sertifikat."Ibu-ibu ke sini mau jenguk anak saya apa mau ngrumpi?" pungkasku saat ibu-ibu itu masih berbisik-bisik di halaman rumah membahas apa yang dikatakan Arum."Iya, nih! Jadi jenguk nggak sih, malah ngerumpi sendiri!" sela Mbak Sari, istri Mas Halim."Apapun pekerjaan saya, itu urusan saya. Kalau mau jenguk anak saya silahkan masuk, tapi kalau mau ngerumpi biar saya tutup pintunya.""Iya, iya, Mbak! Kami masuk! Sensi amat!" desis Arum yang kemudian mendahului para tetangga yang lain masuk ke ruang tamu."Ada tamu rupanya, mari masuk ibu-ibu," ucap Ibu yang baru saja keluar dari kamar Mas Bima menuju ruang tamu."Makasih, Bu." Mbak Sari mengikuti Arum masuk ke dalam rumah. Kemudian diikuti oleh ibu-ibu yang lainnya, termasuk Mbak Darmi pemilik war