Room Delapan
"Duh wajahnya kok lesu begitu, Mbak? Nanti tamunya eneg lihat wajah Mbak!" decak Arum kesal melihat wajahku yang kusut karena terlalu banyak mengeluarkan air mata.
"Maaf Rum, biar saya cuci muka dulu," sahutku lalu bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Ah gini amat ya mau kerja, wajah harus dijaga agar tamu tak jengah lihat wajah kusut ini. Segera kuraih air dalam gayung lalu kusiramkan ke wajah kusutku.
Setelah mencuci muka, sebelum Arum menghias wajahku dengan bedaknya, kusempatkan diri untuk berpamitan pada Mas Bima lebih dulu.
Mas Bima sedang terpejam di atas ranjangnya. Kuusap lembut pipinya hingga mata itu terbuka sempurna.
"Mas, aku pergi dulu ya? Nanti akan ada Mas Halim yang datang untuk melihat keadaan Mas. Mas jangan khawatir, insya Allah aku bisa jaga diri. Doakan aku agar pekerjaan ini lancar hingga keadaan Rani membaik."
Mata cokelat itu hanya mengerjap beberapa kali. Kemudian iris matanya tajam mengarah ke arah mataku. Kembali kudekatkan bibirku di telinganya.
"Aku nggak apa-apa, Mas. Aku baik-baik saja. Mas jangan khawatir. Maafkan aku, pilihan ini terpaksa kuambil," ucapku lembut. Kemudian kukecup keningnya lama setelahnya aku keluar dari kamar.
"Barang baru, Mbak?" tanya si sopir yang lemah gemulai saat kami baru saja naik mobil jemputannya. Wajah dan tubuhnya laki-laki, namun gaya bicaranya seperti perempuan, banci.
"Iya," jawab Arum.
"Masak pakai kerudung begitu?" ucapnya sambil menelisik penampilanku dari kaca spion.
"Nanti ajalah di dandani habis-habisan di sana. Ngga keburu waktunya."
"Oh. Mami pasti seneng tuh ada barang baru," sahut laki-laki itu genit.
"Yo'i."
Tak butuh waktu lama, kami tiba di sebuah gedung besar bertingkat. Halamannya luas, muat untuk parkir banyak mobil. Hanya ada beberapa mobil saja yang sudah terparkir rapi di sudut halaman. Mungkin semakin malam, parkiran ini akan semakin penuh.
Terdapat tulisan besar terpampang di atas bangunan gedung dengan lampu warna warni mengelilingi tulisan itu. "Royal Karaoke". Kuucap istighfar dalam hati sebanyak-banyaknya. Semoga Allah berkenan mengampuni dosa-dosaku hari ini.
Arum menggandeng tanganku untuk masuk ke lobi gedung. Ada meja resepsionis di dekat pintu utama. Juga terdapat meja dan kursi yang ditata seperti kafe. Lampu dalam ruangan ini berwarna-warni, memberikan kesan bahwa tempat ini lebih mirip sebuah kafe remang-remang.
Disatu meja sudah terdapat sepasang tamu dengan minuman beralkohol diatasnya. Tanpa jeda, orang yang duduk di depan meja itu menatapku hingga aku lewat di hadapannya. Tatapan penuh tanya dan entah lah apa artinya. Apa karena kerudung yang masih kukenakan sehingga tatapan itu tampak aneh? Terserah lah apa pandangan mereka.
"Yuk, Mbak kita ke mami dahulu."
"Baik, Rum."
Tanpa banyak tanya lagi aku mengikuti langkah Arum menuju sebuah ruangan yang terletak di bagian dalam gedung. Kami melewati lorong-lorong dengan banyak pintu yang bertuliskan "Room" dengan angka berurutan tiap kamar.
Didalam ruangan itu tampak remang-remang dengan musik yang terdengar pelan dari luar. Tubuhku merinding melihat ruangan yang tampak gelap itu. Entah akan seperti apa jadinya aku di dalam sana nanti.
Sebum bertemu mami, Arum membawaku ke sebuah ruangan dengan kaca besar terletak di ujung ruangan dengan kursi rias di depan meja. Berderet baju tertata rapi menggantung di sebuah besi yang terdapat dua kaki di tiap ujungnya. Lebih mirip seperti toko baju karena di sudut ruangan terdapat sebuah tirai yang mengelilingi besi berbentuk ruangan. Ruang ganti.
"Duduk dulu, Mbak. Kupilihkan baju dulu." Tangan Arum dengan cekatan menggeser tiap baju yang menggantung. Memilihkan baju yang sekiranya pas untukku sebelum bertemu dengan wanita yang disebut mami itu.
Sebuah dress selutut berwarna marun dengan belahan dada lebar ditunjukkan padaku. Lengan baju itu lumayan panjang, tidak terlalu terbuka. Hanya saja belahan dadanya tampak lebar. Jika dipakai mungkin akan membuat dada si pemakai sedikit terlihat.
"Coba pakai ini, Mbak." Diserahkannya baju itu padaku. Sementara aku hanya mampu menelan ludah banyak-banyak untuk menetralisir rasa yang bergejolak dalam dada. 'Sudah kadung basah, biarlah basah semua, jangan tanggung-tanggung,' batinku.
Kubawa baju itu di ruangan bertutup tirai. Kulepas kerudung serta bajuku dan berganti dengan dress yang diberikan Arum. Tampak anggun, namun tidak membuatku nyaman. Bahkan aku tak pernah sekalipun memakai baju seperti ini dalam rumah.
Tak ada waktu untuk protes karena jarum jam sudah tepat berada di angka delapan. Sudah saatnya untuk bertemu mami dan setelahnya masing-masing dari kami bersiap melayani pelanggan.
"Mi, kenalkan ini Mbak Dewi," ucap Arum memperkenalkanku pada bosnya.
Seorang wanita tengah duduk di sebuah ruangan dengan meja dihadapannya. Ia sedang memegang ponsel ditangannya. Seketika wajahnya mendongak mendapatiku dan Arum berdiri dihadapannya.
Wanita paruh baya itu menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tubuh gemuknya dipenuhi dengan gelang dan kalung emas bersusun, bak toko emas berjalan. Bibirnya merah menyala dan bedak tebal terpoles di wajahnya. Sungguh belum pernah aku bertemu dengan ibu-ibu macam ini.
"Oke, cukup bagus. Bawa ia di room delapan, sudah ada tamu yang menunggu di sana." Tanpa menjawab lagi Arum mengantarku di ruangan yang disebut mami.
Keringat dingin mengucur dari telapak tanganku. Dadaku bergetar hebat. Hampir lemas kakiku mengikuti langkah Arum menuju ruangan yang disebut mami tadi. Tak henti kurapalkan kalimat permohonan ampun pada Allah. Sungguh ini bukan mauku. Aku terpaksa.
Kami tiba di depan room delapan. Namun sebelum masuk, aku meminta izin pada Arum untuk ke toilet sebentar. Tubuhku yang tegang membuatku ingin buang hajat.
"Jangan lama-lama ya, Mbak. Tamunya sudah nunggu di dalam."
Aku hanya mengangguk. Lalu pergi ke toilet yang berada di ujung ruangan tempatku berdiri. Setengah berlari aku pergi menuju ruangan itu, sambil menata perasaan yang kacau balau. Ruangan demi ruangan yang remang-remang itu kulalui sambil meremas ujung baju yang kukenakan. Hingga tiba di dalam sebuah ruangan dengan dua bilik kecil di dalamnya, juga terdapat kaca besar dengan meja marmer di depannya.
Gegas aku masuk ke dalam bilik untuk menuntaskan hajatku. Setelahnya kusempatkan diri mematut diri didepan cermin. Begitu cantik riasan yang Arum torehkan di wajahku. Tanpa banyak memberi polesan, wajahku sudah nampak berbeda dari sebelumnya. Karena sebelumnya memang aku tak pernah berhias diri. Apalagi sejak kondisi Mas Bima terbaring, sudah tak pernah lagi terpikir olehku untuk sekedar memakai bedak.
Aku kembali berjalan menyusuri lorong. Menuju tempat Arum menunggu yang sudah memasang muka masam. Mungkin aku terlalu lama mengulur waktu. Dan sekarang room delapan sudah ada di depan mata.
"Lama sekali sih, Mbak?" sungutnya.
Tanpa berani menjawab, aku hanya mengucap kata maaf. Lalu tangan Arum memegang gagang pintu itu dan dengan sekali gerakan saja pintu itu sudah terbuka.
Tampaklah sebuah ruangan remang-remang di depan mata, dan seseorang tengah duduk dengan rokok diapit dua jemarinya. Kutarik napas pelan sebelum kakiku melangkah ke dalam ruangan tersebut.
Bersambung🥀🥀🥀
Tuan BramRagu aku melangkah ke dalam ruangan yang minim penerangan ini. Namun Arum menggandeng tanganku memaksaku masuk hingga kami berada tepat dihadapan lelaki paruh baya ini.Ah lelaki hidung belang. Sudah tua masih saja main-main di tempat seperti ini, batinku."Ini Tuan, barang baru." Tangan Arum menunjuk daguku."Hemm ... oke. Cantik. Kamu boleh pergi," ucapnya sambil menelisik wajahku.Arum hanya tersenyum mendengar jawaban lelaki di depannya. Kemudian ia berganti menatap wajahku."Sudah ya, Mbak. Saya pergi dulu. Jangan lupa layani Tuan Bram dengan sebaik-baiknya. Jangan buat ia kecewa." Setelah berucap demikian, tanpa ragu Arum menjawil dagu lelaki dihadapannya kemudian berlalu dari hadapan kami dengan jalan yang dibuat seolah-olah ia sedang berjalan sebagai model."Duduk," perintahnya. 
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan"Syaratnya apa Tuan?" tanyaku penuh harap. Tak apalah memenuhi syaratnya yang lain asal tubuhku tak sampai dijamahnya."Saya mau lihat sendiri bagaimana kondisi anak kamu. Saya tak mau asal memberi uang, kebanyakan wanita sepertimu hanya memberikan bualan cerita demi meraih simpati yang mau menolong," ucapnya dingin. Wajahnya tampak tegas ditambah dengan rahang kokoh itu terkatup rapat setelah selesai mengucapkan permintaannya.Aku maklum, karena hal ini biasa terjadi. Jangankan menolong orang, meminta sumbangan pun kadang disalahgunakan."Boleh, Tuan. Saya tidak berbohong. Demi Allah. Silahkan ikut saya ke rumah sakit untuk melihat bagaimana keadaan anak saya. Sudah seharian saya meninggalkannya bersama kakak dan neneknya. Hanya demi mencari rupiah untuk membayar tagihan rumah sakit." Aku pun membalas ucapan tegasnya dengan ucapan ya
Amplop Coklat"Jangan pergi Ibu," ucap Rani dengan isakannya yang tak henti."Sebentar, Nak. Ibu harus mengantar atasan ibu keluar sebentar," ucapku memohon sambil kuusap lembut rambutnya agar ia luluh. Kutatap lebih dalam wajah Rani yang sayu. Matanya mengerjap mendapati aku yang terus memohon dengan bahasa mata."Maaf Tuan. Anak saya rewel," ucapku saat Rani tak kunjung mau lepas dariku."Iya tak apa, saya mengerti." Matanya nanar melihat Rani dengan erat memeluk tubuhku."Sebentar saja ya, Nak?" ucapku memohon."Baiklah." Seiring dengan ucapannya, Rani melepas tangannya dari tubuhku. Kemudian ia beralih duduk di atas ranjangnya sendiri."Mari Tuan," ajakku setelah aku turun dari ranjang Rani dan berjalan keluar ruangan diikuti oleh lelaki gagah nan berkharism
Bimbang"Bu dipanggil Mbak Arum itu dibelakang," ucap Danisa. Ia sesekali menoleh ke belakang, melihat betapa Arum berusaha memanggilku. Sengaja aku tak mau menoleh, aku tak ingin Arum membahas masalah apapun di depan Danisa, terlebih soal pekerjaan."Sudah biarkan saja. Kalau butuh sama ibu biar Mbak Arum datang ke rumah." Ku percepat langkah sambil terus menggandeng tangan Danisa hingga kami sampai di depan rumah."Cepat siap-siap ke sekolah, Nak. Biar nggak kesiangan," ucapku setelah membuka pintu rumah yang ternyata tak dikunci. Mungkin Mas Halim baru saja melihat kondisi Mas Bima sehingga pintu rumah tak dikunci.Tanpa menjawab lagi, Danisa segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap untuk ke sekolah. Sementara aku pergi ke dapur untuk meletakkan nasi yang sudah kami beli setelah turun dari angkutan umum. Lalu menjarang air lebih dulu untuk men
Bak Petir Di Siang HariKupikir jika sedikit saja uang pemberian Tuan Bram kubagi pada Feni untuk membeli kursi roda, masih cukup untuk menebus biaya rumah sakit Rani. Namun aku salah. Biaya untuk observasi luka di kepalanya cukup besar untuk ukuran orang sepertiku.Kini aku sedang duduk kursi di depan pintu kamar rawat Rani. Menatap nanar nota pembayaran yang masih kurang sedikit lagi. Berpikir kemana harus mencari tambahan biaya selain ikut kerja bersama Arum. Sudah cukup sekali saja aku masuk ke dalam tempat seperti itu. Aku tak mau lagi."Kok nggak masuk, Nduk?" Suara ibu mengagetkanku. Segera ku masukkan nota pembayaran dalam kantong gamisku. Lalu kuusap air mata yang mengalir di pipi. Rasa ini sungguh membuatku tak bisa menghentikan air mataku untuk tak mengalir. Namun, aku tak mau ibu melihatku menangis."Nggak apa-apa, Bu. Lagi pengen duduk di sini sebe
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 12Tanggung JawabAku berjalan dengan langkah gontai. Menyusuri jalanan dengan pandangan nanar dan perasaan berkecamuk. Sebulan itu bukan waktu yang sebentar, cukup lama untukku sanggup berada dalam lingkungan mengerikan seperti itu tiap malam. Tak terbayangkan bagaimana aku sanggup melalui hari-hari dengan bayangan mengerikan dalam gedung tersebut.Apa yang harus kulakukan agar aku bisa keluar dari belenggu yang mengerikan ini? Pada siapa aku harus memohon untuk bisa melepaskan diri ini dari jerat dunia malam? Lagi-lagi aku harus menelan cobaan ini sendiri.Kuhembuskan napas lebih dalam, membuang segala rasa yang menyesakkan dada. Perlahan terbit keyakinan dalam diri bahwa pasti akan ada jalan keluar untuk lepas dari kemelut masalah ini. Semoga saja."Mbak Dewi ...," panggil seseorang saat aku hendak masuk ke halam
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 13Jangan MunafikAku pasrah saat Arum menggandeng ku untuk menuju ruangan ganti. Aroma asing begitu menguar di hidungku. Kulihat di atas meja yang terletak di depan meja resepsionis terdapat beberapa pengunjung dengan botol berlogo bintang di depannya. Aku berjalan sambil menunduk, malu pada hijab yang kukenakan.Sama seperti kemarin, aku di dandani dengan make up tebal. Baju gamis yang kukenakan terpaksa harus kulepas. Arum menggantinya dengan dress selutut berwarna hijau. Lagi-lagi aku harus menghela napas saat baju dengan bahan minim ini menempel di tubuhku. Beruntung kali ini baju yang kukenakan lebih tertutup, hanya saja lengan bajunya hanya sampai di atas siku."Mbak Dewi cantik juga kalau pakai baju gini," bisik Arum. Ia menatapku dengan seringai mengejek.Tak mampu membalas ucapannya, aku hanya diam. Membia
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 14Dia?"Mbak, nggak apa-apa?" tanya laki-laki di depanku.Aku sedang menunduk, menahan sakit di lenganku akibat terjatuh.Kuabaikan rasa sakit ini saat aku melihat lelaki gondrong itu keluar dari area parkir. Seketika aku berdiri, berlindung di belakang tubuh lelaki di hadapanku ini sambil mencengkeram erat bajunya."Tolong bantu saya, Pak. Bantu saya lepas dari lelaki gondrong di depan sana," ucapku gemetar sambil menutup wajahku dengan tangan sedangkan tanganku yang lain mencengkeram erat baju lelaki di depanku ini.Peluh membanjiri keningku. Baju yang semula kering kini basah oleh keringat. Rambut yang semula rapi, kini tak berbentuk, bahkan pengikatnya hilang entah kemana. Debar jantungku tak berirama. Ngos-ngosan, seperti habis lari dikejar satpol pp. Ah malang nian nasibku malam ini.