Share

Room Delapan

Author: Safiiaa
last update Last Updated: 2022-04-13 14:52:55

Room Delapan

"Duh wajahnya kok lesu begitu, Mbak? Nanti tamunya eneg lihat wajah Mbak!" decak Arum kesal melihat wajahku yang kusut karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. 

"Maaf Rum, biar saya cuci muka dulu," sahutku lalu bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka. 

Ah gini amat ya mau kerja, wajah harus dijaga agar tamu tak jengah lihat wajah kusut ini. Segera kuraih air dalam gayung lalu kusiramkan ke wajah kusutku.

Setelah mencuci muka, sebelum Arum menghias wajahku dengan bedaknya, kusempatkan diri untuk berpamitan pada Mas Bima lebih dulu. 

Mas Bima sedang terpejam di atas ranjangnya. Kuusap lembut pipinya hingga mata itu terbuka sempurna. 

"Mas, aku pergi dulu ya? Nanti akan ada Mas Halim yang datang untuk melihat keadaan Mas. Mas jangan khawatir, insya Allah aku bisa jaga diri. Doakan aku agar pekerjaan ini lancar hingga keadaan Rani membaik."

Mata cokelat itu hanya mengerjap beberapa kali. Kemudian iris matanya tajam mengarah ke arah mataku. Kembali kudekatkan bibirku di telinganya. 

"Aku nggak apa-apa, Mas. Aku baik-baik saja. Mas jangan khawatir. Maafkan aku, pilihan ini terpaksa kuambil," ucapku lembut. Kemudian kukecup keningnya lama setelahnya aku keluar dari kamar. 

"Barang baru, Mbak?" tanya si sopir yang lemah gemulai saat kami baru saja naik mobil jemputannya. Wajah dan tubuhnya laki-laki, namun gaya bicaranya seperti perempuan, banci. 

"Iya," jawab Arum. 

"Masak pakai kerudung begitu?" ucapnya sambil menelisik penampilanku dari kaca spion. 

"Nanti ajalah di dandani habis-habisan di sana. Ngga keburu waktunya."

"Oh. Mami pasti seneng tuh ada barang baru," sahut laki-laki itu genit. 

"Yo'i."

Tak butuh waktu lama, kami tiba di sebuah gedung besar bertingkat. Halamannya luas, muat untuk parkir banyak mobil. Hanya ada beberapa mobil saja yang sudah terparkir rapi di sudut halaman. Mungkin semakin malam, parkiran ini akan semakin penuh. 

Terdapat tulisan besar terpampang di atas bangunan gedung dengan lampu warna warni mengelilingi tulisan itu. "Royal Karaoke". Kuucap istighfar dalam hati sebanyak-banyaknya. Semoga Allah berkenan mengampuni dosa-dosaku hari ini. 

Arum menggandeng tanganku untuk masuk ke lobi gedung. Ada meja resepsionis di dekat pintu utama. Juga terdapat meja dan kursi yang ditata seperti kafe. Lampu dalam ruangan ini berwarna-warni, memberikan kesan bahwa tempat ini lebih mirip sebuah kafe remang-remang. 

Disatu meja sudah terdapat sepasang tamu dengan minuman beralkohol diatasnya. Tanpa jeda, orang yang duduk di depan meja itu menatapku hingga aku lewat di hadapannya. Tatapan penuh tanya dan entah lah apa artinya. Apa karena kerudung yang masih kukenakan sehingga tatapan itu tampak aneh? Terserah lah apa pandangan mereka. 

"Yuk, Mbak kita ke mami dahulu."

"Baik, Rum." 

Tanpa banyak tanya lagi aku mengikuti langkah Arum menuju sebuah ruangan yang terletak di bagian dalam gedung. Kami melewati lorong-lorong dengan banyak pintu yang bertuliskan "Room" dengan angka berurutan tiap kamar. 

Didalam ruangan itu tampak remang-remang dengan musik yang terdengar pelan dari luar. Tubuhku merinding melihat ruangan yang tampak gelap itu. Entah akan seperti apa jadinya aku di dalam sana nanti. 

Sebum bertemu mami, Arum membawaku ke sebuah ruangan dengan kaca besar terletak di ujung ruangan dengan kursi rias di depan meja. Berderet baju tertata rapi menggantung di sebuah besi yang terdapat dua kaki di tiap ujungnya. Lebih mirip seperti toko baju karena di sudut ruangan terdapat sebuah tirai yang mengelilingi besi berbentuk ruangan. Ruang ganti. 

"Duduk dulu, Mbak. Kupilihkan baju dulu." Tangan Arum dengan cekatan menggeser tiap baju yang menggantung. Memilihkan baju yang sekiranya pas untukku sebelum bertemu dengan wanita yang disebut mami itu. 

Sebuah dress selutut berwarna marun dengan belahan dada lebar ditunjukkan padaku. Lengan baju itu lumayan panjang, tidak terlalu terbuka. Hanya saja belahan dadanya tampak lebar. Jika dipakai mungkin akan membuat dada si pemakai sedikit terlihat. 

"Coba pakai ini, Mbak." Diserahkannya baju itu padaku. Sementara aku hanya mampu menelan ludah banyak-banyak untuk menetralisir rasa yang bergejolak dalam dada. 'Sudah kadung basah, biarlah basah semua, jangan tanggung-tanggung,' batinku. 

Kubawa baju itu di ruangan bertutup tirai. Kulepas kerudung serta bajuku dan berganti dengan dress yang diberikan Arum. Tampak anggun, namun tidak membuatku nyaman. Bahkan aku tak pernah sekalipun memakai baju seperti ini dalam rumah. 

Tak ada waktu untuk protes karena jarum jam sudah tepat berada di angka delapan. Sudah saatnya untuk bertemu mami dan setelahnya masing-masing dari kami bersiap melayani pelanggan. 

"Mi, kenalkan ini Mbak Dewi," ucap Arum memperkenalkanku pada bosnya. 

Seorang wanita tengah duduk di sebuah ruangan dengan meja dihadapannya. Ia sedang memegang ponsel ditangannya. Seketika wajahnya mendongak mendapatiku dan Arum berdiri dihadapannya. 

Wanita paruh baya itu menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tubuh gemuknya dipenuhi dengan gelang dan kalung emas bersusun, bak toko emas berjalan. Bibirnya merah menyala dan bedak tebal terpoles di wajahnya. Sungguh belum pernah aku bertemu dengan ibu-ibu macam ini. 

"Oke, cukup bagus. Bawa ia di room delapan, sudah ada tamu yang menunggu di sana." Tanpa menjawab lagi Arum mengantarku di ruangan yang disebut mami. 

Keringat dingin mengucur dari telapak tanganku. Dadaku bergetar hebat. Hampir lemas kakiku mengikuti langkah Arum menuju ruangan yang disebut mami tadi. Tak henti kurapalkan kalimat permohonan ampun pada Allah. Sungguh ini bukan mauku. Aku terpaksa. 

Kami tiba di depan room delapan. Namun sebelum masuk, aku meminta izin pada Arum untuk ke toilet sebentar. Tubuhku yang tegang membuatku ingin buang hajat. 

"Jangan lama-lama ya, Mbak. Tamunya sudah nunggu di dalam."

Aku hanya mengangguk. Lalu pergi ke toilet yang berada di ujung ruangan tempatku berdiri. Setengah berlari aku pergi menuju ruangan itu, sambil menata perasaan yang kacau balau. Ruangan demi ruangan yang remang-remang itu kulalui sambil meremas ujung baju yang kukenakan. Hingga tiba di dalam sebuah ruangan dengan dua bilik kecil di dalamnya, juga terdapat kaca besar dengan meja marmer di depannya. 

Gegas aku masuk ke dalam bilik untuk menuntaskan hajatku. Setelahnya kusempatkan diri mematut diri didepan cermin. Begitu cantik riasan yang Arum torehkan di wajahku. Tanpa banyak memberi polesan, wajahku sudah nampak berbeda dari sebelumnya. Karena sebelumnya memang aku tak pernah berhias diri. Apalagi sejak kondisi Mas Bima terbaring, sudah tak pernah lagi terpikir olehku untuk sekedar memakai bedak. 

Aku kembali berjalan menyusuri lorong. Menuju tempat Arum menunggu yang sudah memasang muka masam. Mungkin aku terlalu lama mengulur waktu. Dan sekarang room delapan sudah ada di depan mata. 

"Lama sekali sih, Mbak?" sungutnya. 

Tanpa berani menjawab, aku hanya mengucap kata maaf. Lalu tangan Arum memegang gagang pintu itu dan dengan sekali gerakan saja pintu itu sudah terbuka. 

Tampaklah sebuah ruangan remang-remang di depan mata, dan seseorang tengah duduk dengan rokok diapit dua jemarinya. Kutarik napas pelan sebelum kakiku melangkah ke dalam ruangan tersebut. 

Bersambung🥀🥀🥀

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Keluarga Bahagia

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 70Keluarga Bahagia"Maafkan Mama yang sudah emosi tanpa mengetahui alasan yang jelas," ujar Mama saat beliau baru saja datang ke tempat tinggal Ibu di kampung. Ia langsung saja memelukku begitu turun dari mobil. Ada gurat sesal yang tersirat dari wajahnya yang mulai menua. Binar kesedihan terpancar dari sinar matanya yang meredup. Mama kembali meraih tubuhku untuk direngkuhnya begitu sampai di dalam rumah. Aku terharu dengan sikap Mama. Beliau yang kusangka enggan untuk datang, nyatanya kini benar-benar ada di hadapanku dan meminta untukku agar kembali mendampingi putranya di kota. "Maafkan Mama, Nak. Mama salah. Mama terlalu percaya omongan teman yang kusangka baik ternyata punya niat jahat denganmu." Air mata Mama menganak sungai. Perlahan aku meminta Mama untuk duduk di kursi ruang tamu. Ia yang terlampau sedih butuh sandaran untuk menopang bobot tubuhnya karena tiba-tiba saja aku lemas. Mas Damar dan Papa hanya memandang kami sambil tersenyum.

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Bahagia Itu Akhrinya Kembali

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 69Bahagia Itu Akhirnya KembaliMenangis adalah jalan satu-satunya untuk meluapkan rasa yang begitu menyesakkan dada. Tak ada lagi yang mampu melegakan hati kecuali dengan menghabiskan sisa air mata hingga ia tak lagi mau menetes. Sesaknya dada seperti udara tak lagi bersahabat denganku. Seakan ia tak mau masuk ke dalam rongga hidungku untuk sejenak saja memberikan kesegaran dalam diriku. Pada akhirnya aku tahu bahwa rasa itu sudah masuk memenuhi dinding hati yang membuatku kian berat untuk melepasnya. Aku rindu. Ibu datang menghampiri saat aku tengah duduk termenung di ruang tamu malam ini. Beliau bisa merasakan keadaan anaknya tanpa banyak bertanya padaku. Benar saja. Orangtua sudah makan asam garam kehidupan. Tanpa banyak bertanya pun, dari ekspresi wajah yang terpancar dari wajahku beliau sudah paham perasaanku saat ini. "Menangislah hingga kamu tak lagi ingin menangis." Ibu mengusap bahuku pelan. "Maafkan Dewi, Bu. Ini berat," ujarku lirih. Ta

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Cinta Tak Harus Memiliki

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 68Cinta Tak Harus MemilikiMas, maaf jika aku pergi tanpa pamit. Maaf jika aku harus pergi secepat ini. Aku hanya tak ingin menjadi duri dalam keluargamu yang harmonis. Aku hanyalah wanita dari desa yang tak pantas menjadi pendamping seorang pengusaha seperti dirimu. Benar apa yang diucap Mama, jika aku adalah perempuan murahan karena aku telah membuatmu melepas Sindy begitu saja demi menikah denganku. Apapun masa lalu kita, tak seharusnya merubah masa depan yang akan kau rajut bersama dia yang sepadan. Maaf jika selama ini aku salah. Aku terlalu grusa-grusuh dalam mengambil keputusan. Maaf jika aku harus menyembunyikan masa laluku darimu juga Mama karena aku tak punya cukup nyali untuk menerima konsekuensinya. Dan sekarang terbukti, apa yang aku takutkan menjadi kenyataan. Aku memang tak pantas untukmu. Aku tak pantas jadi bagian dari keluarga besarmu. Lebih baik aku pergi, menjauh dari dirimu meskipun aku tahu ini sulit bagiku. Berusahalah untuk

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Hancur

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 67Hancur. Kebahagiaan yang sudah di depan mata tiba-tiba saja menepi dari pandangan. Rasanya aku ragu untuk bisa mereguk bahagia itu kembali jika sikap mertua tak baik padaku. Sejak dulu, memiliki mertua yang baik adalah idaman bagiku, namun siapa sangka sikapnya yang semula baik tiba-tiba berubah menjadi mengerikan seperti ini. Mana berani aku berharap banyak. Bisa bertahan menikah dengan putranya tanpa mendengar sindirannya saja sudah untung. Namun tetap saja ada yang mengganjal jika masalah ini tak segera diselesaikan. Aku tahu sikap Mama berubah karena sesuatu yang ditunjukkan oleh Mama Sindy padanya kemarin saat resepsi. Namun ucapannya yang menyakitkan bak bekas paku yang sekalipun telah dicabut, bekasnya tak akan bisa hilang. Berlubang. "Dek, jangan diambil hati ucapan Mama." Mas Damar menyusulku yang tengah terduduk lemas di teras rumah. Tiang penyangga atap ini kini menjadi sandaran punggungku untuk menikmati luka yang kembali menganga. I

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Ucapan Mama

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 66PoV. Damar: Ucapan Mama"Sebaiknya kamu ajak istrimu ke kamar, biar istirahat. Ucapan Mamamu jangan diambil hati," ujar Papa. Kulihat Dewi tengah menunduk dengan tangan yang beberapa kali mengusap sudut matanya. Ia pasti terluka karena ucapan Mama. "Yuk ke kamar?" ajakku yang langsung disambut anggukan olehnya. Dewi lantas bangkit dari tempat duduknya dan kugandeng menuju kamar untuk istirahat. Tubuhnya sudah lelah setelah seharian menjalani resepsi pernikahan kemarin, hari ini hatinya telah terluka karena ucapan Mama. Aku kasihan pada Dewi. Meskipun sebenarnya aku juga syok mendengar kabar yang baru saja kudengar namun aku masih bisa memaklumi. Tidak emosi seperti Mama. "Maafkan aku, Mas. Aku tak pernah jujur padamu sejak dulu." Dewi terisak di bibir ranjang. Ia menunduk sambil menelungkupkan kedua tangannya untuk menutupi wajahnya yang basah. Istri yang baru saja sah secara negara menjadi istriku itu kini tampak merasa bersalah. Aku pun tak t

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Salah Paham

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 65Salah PahamPov Damar"Jangan hiraukan sikap Mama, biar aku yang bicara setelah di rumah besok. Malam ini milik kita, aku tak mau ucapan Mama tadi merusak malam pengantin kita." Aku berucap pada istriku saat ia menikmati sepiring sate ayam. Ia makan dengan enggan, sepertinya ucapan Mama begitu menusuk hatinya. Aku harus berbuat sesuatu besok. Tak bisa dibiarkan. Acara resepsi sudah selesai digelar. Kini semua orang tahu bahwa aku telah beristri. Dia yang kunantikan kini nyata menjadi istriku. Sungguh, aku tak pernah menyangka. Kukira, ia hanya akan menjadi angan dalam ingatanku. Kukira dia hanya akan menjadi wanita penghias masa laluku yang sangat kudambakan kehadirannya. Sungguh takdir Allah membuatku tak bisa berkata apa-apa. Wanita cantik yang selalu kusebut dalam doaku kini telah sah menjadi pendamping hidupku. Meskipun aku tahu, kehadirannya tak sendiri. Ada dua anak yatim darinya yang harus kusayangi sepenuh hati. Cinta kami satu paket. Ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status