Share

Tuan Bram

Tuan Bram

Ragu aku melangkah ke dalam ruangan yang minim penerangan ini. Namun Arum menggandeng tanganku memaksaku masuk hingga kami berada tepat dihadapan lelaki paruh baya ini. 

Ah lelaki hidung belang. Sudah tua masih saja main-main di tempat seperti ini, batinku.

"Ini Tuan, barang baru." Tangan Arum menunjuk daguku.

"Hemm ... oke. Cantik. Kamu boleh pergi," ucapnya sambil menelisik wajahku. 

Arum hanya tersenyum mendengar jawaban lelaki di depannya. Kemudian ia berganti menatap wajahku. 

"Sudah ya, Mbak. Saya pergi dulu. Jangan lupa layani Tuan Bram dengan sebaik-baiknya. Jangan buat ia kecewa." Setelah berucap demikian, tanpa ragu Arum menjawil dagu lelaki dihadapannya kemudian berlalu dari hadapan kami dengan jalan yang dibuat seolah-olah ia sedang berjalan sebagai model. 

"Duduk," perintahnya. 

Tanpa menjawab ucapannya lagi, aku lantas mengikuti perintahnya. Aku duduk di sofa berbentuk huruf L dengan meja yang terdapat komputer dibawahnya. Ada beberapa botol minuman juga cemilan berupa kacang kering di atas meja itu. Juga terdapat sebuah layar berukuran besar menempel di dinding depan sofa yang ku duduki saat ini. 

Tak ada yang bisa kulakukan selain hanya diam sambil melihat laki-laki di depanku ini menghabiskan rokok yang ia apit di tangannya. Dengan susah payah aku menahan napas karena bau asap rokok semakin menjadi saat pintu ruangan ditutup oleh Arum. Kini hanya kami berdua dalam ruangan ini. 

Lelaki itu menggunakan kemeja lengan panjang dengan dasi yang masih terpasang. Juga mengenakan celana bahan berwarna hitam. Khas pekerja kantoran yang mampir ke tempat karaoke untuk melepas penat setelah bekerja. Sekilas kulirik wajahnya, pandangannya tak lepas dari wajah dan tubuhku. 

Sejumput rambut panjangku jatuh menjuntai di atas belahan dada yang terbuka. Baru kusadari bahwa kini hijab telah terlepas dari kepalaku. Seketika ada rasa nyeri dalam segumpal daging yang terselip dalam dada. Bagaimana mungkin aku membiarkan suamiku menanggung dosa atas rambut yang dilihat oleh yang bukan muhrim denganku. Juga dengan dada dan aurat lainnya yang terbuka di depan mata lelaki ini. 

Bayangan wajah Mas Bima yang tengah menangis saat aku pamit tadi sore menari di pelupuk mata. Tak bisa kugambarkan bagaimana perasaannya atas ketidakberdayaannya melihat pilihan yang kuambil ini. Bagaimana hancur hatinya melihat istri yang sedari dahulu dimuliakannya, kini harus rela tercebur dalam lembah nista demi uang. Menemani lelaki yang bukan mahrom dalam satu ruangan dengan penerangan yang minim. Ah siapapun akan berpikiran bahwa aku tak jauh beda dengan Arum. 

Air mata yang sedari tadi kutahan, tak kuasa menahan dirinya untuk tidak menjatuhkan diri. Tak mampu lagi aku menutupi rasa yang tak bisa kugambarkan bagaimana rasanya.

Inginku berlari, meninggalkan lelaki mata keranjang ini sejauh mungkin. Namun, bayangan luka di tubuh Rani kembali membuat kesadaranku pulih sepenuhnya. Segera kuusap dengan kasar bekas air mata yang telah hilang bersatu dengan keringat. 

"Hei, kenapa kamu menangis? Belum juga aku menyentuhmu!" Lelaki itu mematikan rokok dalam tangannya. Lalu bergeser lebih dekat dengan tubuhku. Aroma parfum yang tadi disemprot oleh Arum di sekujur tubuhku menguar seiring aroma asap rokok yang menghilang. Semakin tercium seiring lebih dekatnya jarak antara aku dengan lelaki itu. 

"Maaf Tuan." Tak ada lagi yang bisa kuucap selain kata maaf. 

"Namamu siapa?"

"Dewi Tuan." Ragu aku menjawab. Kutundukkan pandanhanku dari sosok lelaki hidung belang yang ada dihadapanku ini. 

"Nama yang cantik. Secantik orangnya," jawabnya sambil mendekatkan bibirnya ke arah leherku. Ia hendak menciumku, namun segera kugeser tubuhku agar terpasang jarak antara kami. 

"Maaf Tuan." Lagi-lagi hanya kata maaf yang bisa kuucapkan. 

"Hei kenapa menjauh? Aku tak menggigit. Aku butuh sentuhan." Ia kembali memangkas jarak antara kami. Kembali tubuhnya ia dekatkan kepadaku. 

Kuhembuskan napas perlahan agar rasa dalam dada ini kembali normal. Ia kembali mendekatkan bibirnya ke arah wajahku, hendak menciumku. Namun air mataku kembali menetes dengan derasnya. Hingga bibirku dengan sendirinya mengeluarkan isakan sampai menimbulkan gerakan di tubuhku. Tak kuasa lagi aku menahan. 

"Hei mengapa malah menangis?" Lelaki itu tampak frustasi. Wajahnya tampak kesal melihat reaksi ku yang tak bisa menerima sentuhannya. 

"Maaf Tuan. Saya nggak bisa!" Sedikit kutinggikan nada suaraku. 

"Nggak bisa gimana? Saya sudah bayar kamu mahal, jangan buat saya kecewa! Temani saya bernyanyi sambil saya menyentuhmu!"

Mendengar permintaannya malah membuat tangisku kian pecah. Lelaki itu kemudian berdiri dengan melipat kedua tangannya di pinggang. Ia frustasi karena gairahnya tak tersalurkan dengan baik. Kemeja yang sejak pertama kulihat masih rapi itu, kini sudah berantakan. Ia menggulung lengannya hingga siku. 

"Hei kamu sebenarnya kenapa? Saya belum menyentuhmu tapi kamu sudah seperti ini!"

"Saya terpaksa Tuan. Saya terpaksa melakukan ini." Isakanku tak juga mereda. Air mataku tak henti mengalir. Sudah kucoba untuk menahan tapi tak bisa. Ia keluar dengan sendirinya. 

"Semua pekerja seperti kamu juga awalnya bilang seperti itu. Cobalah untuk rileks melayani saya. Kamu akan rasakan sensasi sentuhan saya, kamu akan ketagihan." Ia kembali duduk di sebelahku. Tangannya mulai terulur menyentuh wajahku. Tatapannya tajam bak siap melahap tubuhku dengan rakusnya. 

"Tidak Tuan. Saya mohon. Anak saya sedang butuh biaya setelah kecelakaan, saya terpaksa."

Tiba-tiba lelaki ini menghentikan gerakannya. Wajahnya ia tegakkan dan keningnya pun berkerut. 

"Anak?"

"Iya Tuan. Anak saya kecelakaan, ada cedera di kepalanya yang membutuhkan penanganan khusus, sementara saya tak ada biaya. Saya terpaksa melakukan ini karena suami saya juga sedang terkena stroke di rumah." Sengaja kuberikan alasan yang sebenarnya agar ia mau berhenti menyentuhku. 

Dan benar saja. Ia berhenti menyentuh. Tangannya ia lipat di depan dada. Pandangannya pun tak lepas dari arah wajahku, ia menelisik lebih dalam seperti ingin mencari kejujuran dalam mataku. 

"Kamu tidak sedang mempermainkan saya, kan?" Tangannya terulur mengambil sebotol minuman bergambar bintang. Kemudian ia teguk isinya hingga separuh isinya beralih ke dalam tenggorokannya sambil terus menatap wajahku dengan tajam. 

"Tidak Tuan. Sungguh, saya sedang berada dalam musibah. Saya tak tahu lagi harus memohon bantuan pada siapa. Orang tua saya di kampung sudah renta, tak elok bila saya menggantungkan biaya pada mereka yang hanya seorang petani." Tak ragu aku berbicara sambil menatap wajahnya. Sebab aku bicara yang sebenarnya, tak ada kebohongan yang kusimpan. 

Lelaki di depanku ini tampak berpikir keras. Seperti menimbang-nimbang keputusan yang akan ia berikan untukku. Semoga saja ada sedikit hati baiknya yang tersentuh mendengar ceritaku barusan. Terlebih mau membantu sedikit saja biaya pengobatan untuk Rani. 

"Oke, saya mau bantu kamu, tapi dengan satu syarat."

Bersambung🥀🥀🥀

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Wati Arpan
bagus cerita nya
goodnovel comment avatar
Miswaniah Niah
Cerita yg sangat menyentuh
goodnovel comment avatar
Miswaniah Niah
lanjutannya dong
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status