Share

Tuan Bram

Author: Safiiaa
last update Last Updated: 2022-04-13 14:53:58

Tuan Bram

Ragu aku melangkah ke dalam ruangan yang minim penerangan ini. Namun Arum menggandeng tanganku memaksaku masuk hingga kami berada tepat dihadapan lelaki paruh baya ini. 

Ah lelaki hidung belang. Sudah tua masih saja main-main di tempat seperti ini, batinku.

"Ini Tuan, barang baru." Tangan Arum menunjuk daguku.

"Hemm ... oke. Cantik. Kamu boleh pergi," ucapnya sambil menelisik wajahku. 

Arum hanya tersenyum mendengar jawaban lelaki di depannya. Kemudian ia berganti menatap wajahku. 

"Sudah ya, Mbak. Saya pergi dulu. Jangan lupa layani Tuan Bram dengan sebaik-baiknya. Jangan buat ia kecewa." Setelah berucap demikian, tanpa ragu Arum menjawil dagu lelaki dihadapannya kemudian berlalu dari hadapan kami dengan jalan yang dibuat seolah-olah ia sedang berjalan sebagai model. 

"Duduk," perintahnya. 

Tanpa menjawab ucapannya lagi, aku lantas mengikuti perintahnya. Aku duduk di sofa berbentuk huruf L dengan meja yang terdapat komputer dibawahnya. Ada beberapa botol minuman juga cemilan berupa kacang kering di atas meja itu. Juga terdapat sebuah layar berukuran besar menempel di dinding depan sofa yang ku duduki saat ini. 

Tak ada yang bisa kulakukan selain hanya diam sambil melihat laki-laki di depanku ini menghabiskan rokok yang ia apit di tangannya. Dengan susah payah aku menahan napas karena bau asap rokok semakin menjadi saat pintu ruangan ditutup oleh Arum. Kini hanya kami berdua dalam ruangan ini. 

Lelaki itu menggunakan kemeja lengan panjang dengan dasi yang masih terpasang. Juga mengenakan celana bahan berwarna hitam. Khas pekerja kantoran yang mampir ke tempat karaoke untuk melepas penat setelah bekerja. Sekilas kulirik wajahnya, pandangannya tak lepas dari wajah dan tubuhku. 

Sejumput rambut panjangku jatuh menjuntai di atas belahan dada yang terbuka. Baru kusadari bahwa kini hijab telah terlepas dari kepalaku. Seketika ada rasa nyeri dalam segumpal daging yang terselip dalam dada. Bagaimana mungkin aku membiarkan suamiku menanggung dosa atas rambut yang dilihat oleh yang bukan muhrim denganku. Juga dengan dada dan aurat lainnya yang terbuka di depan mata lelaki ini. 

Bayangan wajah Mas Bima yang tengah menangis saat aku pamit tadi sore menari di pelupuk mata. Tak bisa kugambarkan bagaimana perasaannya atas ketidakberdayaannya melihat pilihan yang kuambil ini. Bagaimana hancur hatinya melihat istri yang sedari dahulu dimuliakannya, kini harus rela tercebur dalam lembah nista demi uang. Menemani lelaki yang bukan mahrom dalam satu ruangan dengan penerangan yang minim. Ah siapapun akan berpikiran bahwa aku tak jauh beda dengan Arum. 

Air mata yang sedari tadi kutahan, tak kuasa menahan dirinya untuk tidak menjatuhkan diri. Tak mampu lagi aku menutupi rasa yang tak bisa kugambarkan bagaimana rasanya.

Inginku berlari, meninggalkan lelaki mata keranjang ini sejauh mungkin. Namun, bayangan luka di tubuh Rani kembali membuat kesadaranku pulih sepenuhnya. Segera kuusap dengan kasar bekas air mata yang telah hilang bersatu dengan keringat. 

"Hei, kenapa kamu menangis? Belum juga aku menyentuhmu!" Lelaki itu mematikan rokok dalam tangannya. Lalu bergeser lebih dekat dengan tubuhku. Aroma parfum yang tadi disemprot oleh Arum di sekujur tubuhku menguar seiring aroma asap rokok yang menghilang. Semakin tercium seiring lebih dekatnya jarak antara aku dengan lelaki itu. 

"Maaf Tuan." Tak ada lagi yang bisa kuucap selain kata maaf. 

"Namamu siapa?"

"Dewi Tuan." Ragu aku menjawab. Kutundukkan pandanhanku dari sosok lelaki hidung belang yang ada dihadapanku ini. 

"Nama yang cantik. Secantik orangnya," jawabnya sambil mendekatkan bibirnya ke arah leherku. Ia hendak menciumku, namun segera kugeser tubuhku agar terpasang jarak antara kami. 

"Maaf Tuan." Lagi-lagi hanya kata maaf yang bisa kuucapkan. 

"Hei kenapa menjauh? Aku tak menggigit. Aku butuh sentuhan." Ia kembali memangkas jarak antara kami. Kembali tubuhnya ia dekatkan kepadaku. 

Kuhembuskan napas perlahan agar rasa dalam dada ini kembali normal. Ia kembali mendekatkan bibirnya ke arah wajahku, hendak menciumku. Namun air mataku kembali menetes dengan derasnya. Hingga bibirku dengan sendirinya mengeluarkan isakan sampai menimbulkan gerakan di tubuhku. Tak kuasa lagi aku menahan. 

"Hei mengapa malah menangis?" Lelaki itu tampak frustasi. Wajahnya tampak kesal melihat reaksi ku yang tak bisa menerima sentuhannya. 

"Maaf Tuan. Saya nggak bisa!" Sedikit kutinggikan nada suaraku. 

"Nggak bisa gimana? Saya sudah bayar kamu mahal, jangan buat saya kecewa! Temani saya bernyanyi sambil saya menyentuhmu!"

Mendengar permintaannya malah membuat tangisku kian pecah. Lelaki itu kemudian berdiri dengan melipat kedua tangannya di pinggang. Ia frustasi karena gairahnya tak tersalurkan dengan baik. Kemeja yang sejak pertama kulihat masih rapi itu, kini sudah berantakan. Ia menggulung lengannya hingga siku. 

"Hei kamu sebenarnya kenapa? Saya belum menyentuhmu tapi kamu sudah seperti ini!"

"Saya terpaksa Tuan. Saya terpaksa melakukan ini." Isakanku tak juga mereda. Air mataku tak henti mengalir. Sudah kucoba untuk menahan tapi tak bisa. Ia keluar dengan sendirinya. 

"Semua pekerja seperti kamu juga awalnya bilang seperti itu. Cobalah untuk rileks melayani saya. Kamu akan rasakan sensasi sentuhan saya, kamu akan ketagihan." Ia kembali duduk di sebelahku. Tangannya mulai terulur menyentuh wajahku. Tatapannya tajam bak siap melahap tubuhku dengan rakusnya. 

"Tidak Tuan. Saya mohon. Anak saya sedang butuh biaya setelah kecelakaan, saya terpaksa."

Tiba-tiba lelaki ini menghentikan gerakannya. Wajahnya ia tegakkan dan keningnya pun berkerut. 

"Anak?"

"Iya Tuan. Anak saya kecelakaan, ada cedera di kepalanya yang membutuhkan penanganan khusus, sementara saya tak ada biaya. Saya terpaksa melakukan ini karena suami saya juga sedang terkena stroke di rumah." Sengaja kuberikan alasan yang sebenarnya agar ia mau berhenti menyentuhku. 

Dan benar saja. Ia berhenti menyentuh. Tangannya ia lipat di depan dada. Pandangannya pun tak lepas dari arah wajahku, ia menelisik lebih dalam seperti ingin mencari kejujuran dalam mataku. 

"Kamu tidak sedang mempermainkan saya, kan?" Tangannya terulur mengambil sebotol minuman bergambar bintang. Kemudian ia teguk isinya hingga separuh isinya beralih ke dalam tenggorokannya sambil terus menatap wajahku dengan tajam. 

"Tidak Tuan. Sungguh, saya sedang berada dalam musibah. Saya tak tahu lagi harus memohon bantuan pada siapa. Orang tua saya di kampung sudah renta, tak elok bila saya menggantungkan biaya pada mereka yang hanya seorang petani." Tak ragu aku berbicara sambil menatap wajahnya. Sebab aku bicara yang sebenarnya, tak ada kebohongan yang kusimpan. 

Lelaki di depanku ini tampak berpikir keras. Seperti menimbang-nimbang keputusan yang akan ia berikan untukku. Semoga saja ada sedikit hati baiknya yang tersentuh mendengar ceritaku barusan. Terlebih mau membantu sedikit saja biaya pengobatan untuk Rani. 

"Oke, saya mau bantu kamu, tapi dengan satu syarat."

Bersambung🥀🥀🥀

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Wati Arpan
bagus cerita nya
goodnovel comment avatar
Miswaniah Niah
Cerita yg sangat menyentuh
goodnovel comment avatar
Miswaniah Niah
lanjutannya dong
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Keluarga Bahagia

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 70Keluarga Bahagia"Maafkan Mama yang sudah emosi tanpa mengetahui alasan yang jelas," ujar Mama saat beliau baru saja datang ke tempat tinggal Ibu di kampung. Ia langsung saja memelukku begitu turun dari mobil. Ada gurat sesal yang tersirat dari wajahnya yang mulai menua. Binar kesedihan terpancar dari sinar matanya yang meredup. Mama kembali meraih tubuhku untuk direngkuhnya begitu sampai di dalam rumah. Aku terharu dengan sikap Mama. Beliau yang kusangka enggan untuk datang, nyatanya kini benar-benar ada di hadapanku dan meminta untukku agar kembali mendampingi putranya di kota. "Maafkan Mama, Nak. Mama salah. Mama terlalu percaya omongan teman yang kusangka baik ternyata punya niat jahat denganmu." Air mata Mama menganak sungai. Perlahan aku meminta Mama untuk duduk di kursi ruang tamu. Ia yang terlampau sedih butuh sandaran untuk menopang bobot tubuhnya karena tiba-tiba saja aku lemas. Mas Damar dan Papa hanya memandang kami sambil tersenyum.

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Bahagia Itu Akhrinya Kembali

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 69Bahagia Itu Akhirnya KembaliMenangis adalah jalan satu-satunya untuk meluapkan rasa yang begitu menyesakkan dada. Tak ada lagi yang mampu melegakan hati kecuali dengan menghabiskan sisa air mata hingga ia tak lagi mau menetes. Sesaknya dada seperti udara tak lagi bersahabat denganku. Seakan ia tak mau masuk ke dalam rongga hidungku untuk sejenak saja memberikan kesegaran dalam diriku. Pada akhirnya aku tahu bahwa rasa itu sudah masuk memenuhi dinding hati yang membuatku kian berat untuk melepasnya. Aku rindu. Ibu datang menghampiri saat aku tengah duduk termenung di ruang tamu malam ini. Beliau bisa merasakan keadaan anaknya tanpa banyak bertanya padaku. Benar saja. Orangtua sudah makan asam garam kehidupan. Tanpa banyak bertanya pun, dari ekspresi wajah yang terpancar dari wajahku beliau sudah paham perasaanku saat ini. "Menangislah hingga kamu tak lagi ingin menangis." Ibu mengusap bahuku pelan. "Maafkan Dewi, Bu. Ini berat," ujarku lirih. Ta

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Cinta Tak Harus Memiliki

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 68Cinta Tak Harus MemilikiMas, maaf jika aku pergi tanpa pamit. Maaf jika aku harus pergi secepat ini. Aku hanya tak ingin menjadi duri dalam keluargamu yang harmonis. Aku hanyalah wanita dari desa yang tak pantas menjadi pendamping seorang pengusaha seperti dirimu. Benar apa yang diucap Mama, jika aku adalah perempuan murahan karena aku telah membuatmu melepas Sindy begitu saja demi menikah denganku. Apapun masa lalu kita, tak seharusnya merubah masa depan yang akan kau rajut bersama dia yang sepadan. Maaf jika selama ini aku salah. Aku terlalu grusa-grusuh dalam mengambil keputusan. Maaf jika aku harus menyembunyikan masa laluku darimu juga Mama karena aku tak punya cukup nyali untuk menerima konsekuensinya. Dan sekarang terbukti, apa yang aku takutkan menjadi kenyataan. Aku memang tak pantas untukmu. Aku tak pantas jadi bagian dari keluarga besarmu. Lebih baik aku pergi, menjauh dari dirimu meskipun aku tahu ini sulit bagiku. Berusahalah untuk

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Hancur

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 67Hancur. Kebahagiaan yang sudah di depan mata tiba-tiba saja menepi dari pandangan. Rasanya aku ragu untuk bisa mereguk bahagia itu kembali jika sikap mertua tak baik padaku. Sejak dulu, memiliki mertua yang baik adalah idaman bagiku, namun siapa sangka sikapnya yang semula baik tiba-tiba berubah menjadi mengerikan seperti ini. Mana berani aku berharap banyak. Bisa bertahan menikah dengan putranya tanpa mendengar sindirannya saja sudah untung. Namun tetap saja ada yang mengganjal jika masalah ini tak segera diselesaikan. Aku tahu sikap Mama berubah karena sesuatu yang ditunjukkan oleh Mama Sindy padanya kemarin saat resepsi. Namun ucapannya yang menyakitkan bak bekas paku yang sekalipun telah dicabut, bekasnya tak akan bisa hilang. Berlubang. "Dek, jangan diambil hati ucapan Mama." Mas Damar menyusulku yang tengah terduduk lemas di teras rumah. Tiang penyangga atap ini kini menjadi sandaran punggungku untuk menikmati luka yang kembali menganga. I

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Ucapan Mama

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 66PoV. Damar: Ucapan Mama"Sebaiknya kamu ajak istrimu ke kamar, biar istirahat. Ucapan Mamamu jangan diambil hati," ujar Papa. Kulihat Dewi tengah menunduk dengan tangan yang beberapa kali mengusap sudut matanya. Ia pasti terluka karena ucapan Mama. "Yuk ke kamar?" ajakku yang langsung disambut anggukan olehnya. Dewi lantas bangkit dari tempat duduknya dan kugandeng menuju kamar untuk istirahat. Tubuhnya sudah lelah setelah seharian menjalani resepsi pernikahan kemarin, hari ini hatinya telah terluka karena ucapan Mama. Aku kasihan pada Dewi. Meskipun sebenarnya aku juga syok mendengar kabar yang baru saja kudengar namun aku masih bisa memaklumi. Tidak emosi seperti Mama. "Maafkan aku, Mas. Aku tak pernah jujur padamu sejak dulu." Dewi terisak di bibir ranjang. Ia menunduk sambil menelungkupkan kedua tangannya untuk menutupi wajahnya yang basah. Istri yang baru saja sah secara negara menjadi istriku itu kini tampak merasa bersalah. Aku pun tak t

  • Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan   Salah Paham

    Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 65Salah PahamPov Damar"Jangan hiraukan sikap Mama, biar aku yang bicara setelah di rumah besok. Malam ini milik kita, aku tak mau ucapan Mama tadi merusak malam pengantin kita." Aku berucap pada istriku saat ia menikmati sepiring sate ayam. Ia makan dengan enggan, sepertinya ucapan Mama begitu menusuk hatinya. Aku harus berbuat sesuatu besok. Tak bisa dibiarkan. Acara resepsi sudah selesai digelar. Kini semua orang tahu bahwa aku telah beristri. Dia yang kunantikan kini nyata menjadi istriku. Sungguh, aku tak pernah menyangka. Kukira, ia hanya akan menjadi angan dalam ingatanku. Kukira dia hanya akan menjadi wanita penghias masa laluku yang sangat kudambakan kehadirannya. Sungguh takdir Allah membuatku tak bisa berkata apa-apa. Wanita cantik yang selalu kusebut dalam doaku kini telah sah menjadi pendamping hidupku. Meskipun aku tahu, kehadirannya tak sendiri. Ada dua anak yatim darinya yang harus kusayangi sepenuh hati. Cinta kami satu paket. Ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status