Share

Air Mata Suami

Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 5

"Mas yuk makan dulu," ajakku sambil mengganjal punggungnya dengan dua bantal, agar posisinya setengah duduk. 

Di meja dekat ranjangnya sudah tersedia segelas air putih juga terdapat beberapa obat-obatan yang harus dikonsumsi Mas Bima. Sprei yang selalu kuganti tiap bulan tak menjadikan kamar ini terlihat lusuh dan bau. Aku selalu memperhatikan kebersihan juga kerapiannya. Karena hari-hari Mas Bima ia habiskan di dalam kamar, maka aku tak mau membuatnya tersiksa dengan kamar yang bau dan kotor. 

Saat perjalanan pulang tadi kubelikan Mas Bima sebungkus nasi yang kubagi menjadi dua bagian. Sebagian untuk Mas Bima, sebagian lagi untuk Danisa. Biarlah aku hanya makan sisa dari Mas Bima saja, toh sudah sering aku menahan lapar dengan  banyak minum air putih untuk menekan pengeluaran harian. 

Saat aku selesai menyuapi Mas Bima, terdengar suara langkah kaki dari ruang tamu. Segera kuletakkan piring nasi di atas meja dan segera melihat siapa gerangan yang datang. 

"Wi, gimana kabar anakmu?" Ibu mertua datang dengan tergesa. Mungkin Mas Seno memberi tahunya mengenai keadaan Rani. Ibu lantas duduk di kursi ruang tamu, dan kuikuti apa yang dilakukannya. Aku duduk tepat di sebelah ibu. 

"Sudah sadar, Bu. Tadi dia tidur lalu saya tinggal pulang sebentar."

Belum selesai obrolan kami, terdengar suara salam Danisa dari arah luar. Ia baru pulang dari sekolahnya. Keringatnya bercucuran dari kening dan kerudungnya. Gegas ia raih tanganku juga tangan ibu secara bergantian untuk bersalaman. Lalu kusodorkan segelas air putih untuk melepas dahaganya. Layaknya yang dilakukan ibu penjaga warung tadi padaku. 

"Adek kemana, Bu? Kok sepi rumahnya?" tanyanya dengan kepala celingukan. 

"Adek di rumah sakit," jelasku pelan. 

"Ngapain, Bu?"

"Jatuh tadi," ucapku pelan. 

"Kamu nggak balik lagi ke sana, Wi?"

"Seharusnya balik ke sana, Bu. Tapi nanti habis isya saya harus kerja," jawabku sendu. 

"Kamu kerja? Terus anakmu gimana?"

"Saya mau minta tolong sama Danisa, toh malamnya saya pasti pulang."

"Aku jaga sendirian, Bu?" sahut Danisa. 

"Nggak sendirian, Nak. Disebelah ranjang adikmu ada ibu-ibu yang juga merawat suaminya. Kamu tak sendiri," sergahku. Berharap ia dengan senang hati menerima permintaanku. 

"Biar sama ibu saja," pungkas ibu. 

"Tidak, Ibu. Ibu biar disini saja, jaga Mas Bima. Kasihan kalau di rumah sendirian," selaku. 

"Ibu di sini juga suamimu nggak akan lari kemanapun, lebih butuh Rani untuk didampingi. Apa kamu nggak kasihan anak seusia Danisa harus menjaga adiknya seorang diri," sungut ibu. 

Benar juga apa yang ibu ucapkan. Entah apa yang sedang kupikirkan ini, sungguh berat sekali rasanya kepala juga badan ini. 

"Yowis Nduk kamu buruan ganti baju, terus sholat juga makan, habis ini kita berangkat ke rumah sakit, biar ibumu di rumah siap-siap buat kerja nanti malam," pinta ibu pada Danisa. 

Tanpa banyak bertanya lagi, Danisa segera beranjak dari hadapan kami. Sedang ibu memusatkan pandangannya ke arahku. Tajam. 

"Kerja apa kamu, Wi?"

"Saya kerja di kafe, Bu. Kebetulan sedang butuh karyawan secepatnya. Tak ada pilihan lain, biaya rumah sakit Rani harus segera dibayar secepatnya." Kristal bening jatuh dari pelupuk mataku, terpaksa aku berbohong pada ibu. Sejurus kemudian bayangan Rani yang tengah tertidur di atas ranjang hadir dipelupuk mata. Entah bagaimana keadaannya sekarang. Sudah bangun ataukah masih terlelap, yang pasti sudah ada suster jaga yang senantiasa membantuku menjaganya. 

Tak butuh waktu lama, ibu dan Danisa pergi menuju rumah sakit. Kuberi sedikit uang untuk pegangan, namun ibu menolak. 

"Ibu masih ada pegangan, kamu lebih butuh uang itu." 

Jawaban ibu tadi tak henti membuatku bersyukur memiliki mertua seperti beliau. Sejak musibah menimpa kami, beliau tak henti membagi uang pensiunannya padaku. Ibu merasa turut bertanggung jawab untuk menafkahi kami, karena anaknya sedang terbaring tak berdaya. 

Akupun terpaksa menerima bantuan dari ibu untuk bertahan hidup. Tak ada pilihan lain, hanya sesekali tetangga memimtaku untuk membantu saat mereka sedang ada hajatan atau nikahan dan setelahnya aku mendapatkan upah. Tak banyak, namun bisa untuk membeli sedikit kebutuhan disaat ibu telat memberikan sebagian uang pensiunannya pada kami. 

Kurebahkan diri sejenak, merasai tubuh yang lelah dan letih. Menikmati setiap nyeri yang menjalar menuju daging kecil dalam dada. Tak pernah terbersit dalam pikiranku akan menjadi seorang pekerja malam. Sungguh ... sungguh ini bukan mauku. 

Adzan magrib baru saja berkumandang. Bergegas aku mensucikan diri, lalu menghadap dan memohon ampunan kepada Allah. Bagaimanapun aku tahu ini salah, tapi keadaan tak memungkinkan untukku mencari jalan lain. Aku sudah berusaha untuk meminta pertolongan pada Mas Seno, namun ia tak menghendaki menolongku meminjami uang sedikit saja. Sementara aku tak pernah sekalipun meminjam uang padanya. Lebih sering ibu mertua yang datang untuk berbagi rejeki tanpa aku memintanya lebih dulu. 

Puas berdoa kuhampiri suamiku di dalam kamar. Kurebahkan tubuhku disisinya agar posisi kami sejajar. Seperti biasa kupeluk ia dari samping. Mencium sejenak aroma tubuhnya yang selalu menjadi candu bagiku. 

"Mas, maafkan aku, tak ada jalan lain yang bisa kutempuh. Hanya ini satu-satunya cara untukku mencari uang agar biaya rumah sakit Rani bisa terbayar." Kuusap lembut perut rata Mas Bima, iramanya teratur meskipun sorot matanya tajam menusuk mataku. Seakan menuntut penjelasan atas apa yang kuucapkan barusan. 

"Terpaksa aku ikut bekerja bersama Arum, Mas. Biaya rumah sakit Rani lebih penting dari segalanya. Benturan dikepalnya membutuhkan penanganan lebih lanjut dan itu membutuhkan biaya yang tak sedikit bagiku yang hanya seorang ibu rumah tangga."

Setetes air bening merosot dari kelopak matanya. Aku tahu ini berat untuk Mas Bima. Dia yang selama sehatnya tak menghendaki seorang laki-laki yang bukan muhrim untuk menyentuhku, namun kali ini aku sendiri yang menceburkan diri dalam jurang nista. 

"Maafkan aku, Mas." Kuraih tangannya, kucium lembut dengan air mata yang terus membanjiri pipi tirusku. Aku tak bisa memilih jalan yang lain, hanya ini pilihan sementara. Pun aku tak mau membebani ibu mertua dengan menanggung biaya rumah sakit Rani. Biarlah aku berusaha semampuku untuk menyelamatkan nyawa putriku. 

"Maafkan aku, Mas. Aku janji ini hanya sementara. Setelah biaya untuk Rani terpenuhi, aku akan berhenti. Aku akan mencari pekerjaan yang lebih baik lagi. Aku janji Mas." Tangisku kian deras. Isakanku membuat tubuhku bergetar hebat. Sungguh ini beban terberat di tahun ke sepuluh pernikahan kami. 

Mata Mas Bima pun turut mengeluarkan air mata. Segera kuarahkan tanganku ke sudut matanya untuk menghapus jejak air bening itu. Aku tak mau melihatnya menangis dalam keadaan seperti ini. Sebagai seorang suami, ia pasti terluka atas keputusan yang kuambil. 

"Jangan menangis, Mas. Maafkan aku. Sungguh aku pun berat mengambil keputusan ini."

"Keselamatan Rani lebih penting dari apapun, dokter meminta untuk segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan kepala Rani, dan aku tak mungkin diam saja, Mas." Terisak aku mendapati pemandangan di depanku ini. Sungguh, ini kali pertama kulihat wajah Mas Bima seperti ini. 

"Mbak Dewi ...!"

Bersambung🥀🥀🥀

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status