Share

Setelah Sepuluh Tahun
Setelah Sepuluh Tahun
Author: PutriNaysaa

Jemputan Mama

                “Pilar Sayang ... semoga kamu mau menerima Mama kembali, Nak,” lirih Gayatri.

                Gayatri menyambangi sebuah gedung sekolah ternama setelah memikirkannya sekian lama. Ia akan siap menerima semua risiko dan mungkin juga besar kemungkinan jika ia akan menerima penolakan dari seorang anak remaja berusia lima belas tahun yang sepuluh tahun lalu ia tinggalkan dengan tega di sebuah taman bermain. Gayatri saat itu gelap mata karena merasa tekanan hidup bersama sang suami dan anak mematahkan semua impiannya.

                Gayatri meninggalkan Pilar, darah dagingnya beserta sang suami karena sebuah tawaran yang ia yakin tidak akan datang dua kali dalam hidupnya setelah ia menikah. Gayatri ingin kembali meraih impiannya yang kandas yaitu menjadi top model nomor satu Indonesia. Dan ia justru kehilangan karier model karena hamil dan menikah. Saat mendapatkan tawaran merintis model di jajaran pasar dunia, ia tanpa pikir panjang langsung menerima serta memutuskan meninggalkan suami serta anaknya.

Sementara itu di ruang tata usaha.

Pilar terdiam saat masuk ruang Tata Usaha dan seorang wanita muda duduk di sana memberikannya senyuman hangat. Bukan membalas senyum tersebut tapi Pilar justru duduk di hadapan petugas Tata Usaha.

“Ibu maaf saya ada ulangan Matematika jam ke dua,” papar Pilar yang jelas menunjukkan keengganannya dipanggil.

“Sudah Ibu sampaikan sama Ibu guru Jasmine nanti kamu ikut yang susulan di ruangan beliau. Kamu boleh pulang sama mama kamu sekarang ya,” pungkas ibu penjaga ruang Tata Usaha.

Pilar tidak bisa membantah, mengangguk dengan mencangklong ransel merahnya keluar dari sana dan diikuti wanita yang disebut mama namun ia enggan memanggil mama. Pilar bahkan berjalan tidak di samping wanita muda tersebut melainkan mendahului di depannya. Begitu sampai di luar gerbang sekolah, Pilar langsung menoleh ke belakang.

“Kenapa ke sini?” tanya Pilar sinis.

“Ingin bertemu kamu tentu saja, Mama sudah mempersiapkan liburan sama kamu tiga hari ini. Sudah izin sama sekolah kamu juga, kita ke Puncak ya.” Senyuman hangat terlukis dari wajah berparas cantik jelita tersebut.

“Sudah izin sama papa?” sinis Pilar.

“Kamu tetap anak Mama dan Mama bisa menemui dan mengajak kamu kapan saja, kita sama-sama tahu hal itu bukan?” Wanita cantik di hadapan Pilar mendesah kecil.

“Dan kita sama-sama tahu aku enggak akan mau ikut maupun menemui wanita yang meninggalkan aku dari TK. Tidak lupa bukan?” Pilar membantah dengan mata membelalak menahan buncahan emosi, bagaimana wanita di depannya seenak jidat berlaku padanya.

“Aku punya hak yang sama menemui kamu, Pilar,” kilah wanita tersebut masih lembut

“Dan harusnya tanya dulu apakah aku mau atau tidak. Aku tidak mau, jangan lagi meminta izin pada sekolah dan membawa aku keluar saat pelajaran. Aku sungguh tidak suka terlambat pelajaran dan harus mengikuti susulan.” Penuh penekanan Pilar mengatakannya, kebencian jelas tampak di kedua mata indahnya.

“Pilar ... tidakkah kamu memberikan aku kesempatan untuk menebus semuanya? aku mohon .... “

“Enggak! menjauhlah sejauh mungkin dari hidup aku!” Pilar menjerit histeris sebelum berlarian menjauh dari hadapan wanita muda yang memandangnya penuh kesedihan.

Pilar si gadis remaja berusia 15 tahun menghentikan taksi dengan wajah penuh kemarahan dan tanpa sadar pipinya basah oleh air mata. Ia hapus dengan kasar basah di pipi.

“Kenapa aku harus menangis, dia jahat. Ingat itu Pilar, dia jahat sekali sama kamu dan papa,” lirih Pilar di dalam taksi yang membawanya pulang ke kediaman sang papa tercinta.

Sedangkan Gayatri, wanita yang tidak lain tidak bukan adalah mama dari Pilar, memandang kepergian taksi tanpa bisa menahan si gadis remaja dengan sedih. Memasuki mobilnya, Gayatri menghubungi Eliot akan tetapi tidak diangkat. Sedari kemarin ia menghubungi Eliot selalu nihil.

***

Seorang gadis SMA berlarian ke dalam rumah memasuki kamar dengan menutup pintu kencang. Padahal waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi yang mana seharusnya gadis berseragam putih abu-abu tersebut berada di dalam kelas dan belajar.

“Pilar,” seru pria berusia 39 tahun yang sedang duduk di ruang tengah dan berhadapan dengan pria dewasa lainnya.

“Membolos?” tanya pria lainnya.

“Masa membolos? Pilar tidak pernah membolos, aku tinggal dulu ya.” Eliot langsung bangun tanpa menunggu persetujuan pria di hadapannya.

Mengetuk pintu kamar dengan dekorasi gantungan Doraemon kecil-kecil yang jika di buka tutup akan terdengar gemerincing. Ketukan pertama hingga ke tiga tidak ada sahutan.

“Pilar ... ini papa Nak, kamu kenapa pulang jam segini? Kamu sakit?” tanya sang laki-laki dewasa bernama Eliot.

“Enggak Pa, aku ingin sendiri dulu,” sahut Pilar nyaring dari dalam.

“Papa mau penjelasan ya nanti, tiga puluh menit waktu kamu dalam kamar.” Eliot berseru kencang agar sang anak mendengar suaranya.

“Iya tiga puluh menit,” sahut Pilar.

“Love you Sayang,” seru Eliot.

“Me too, pa,” jawab Pilar.

Eliot meninggalkan pintu kamar putri semata wayangnya untuk kembali ke ruang tengah di mana ia sedang membahas pekerjaan dengan sepupunya yang tak lain adalah om Pilar sendiri.

“Kenapa katanya?” tanya Zidan.

“Belum mau bicara, nanti keluar 30 menit lagi.” Eliot kembali melihat layar laptop mereka.

“Putus cinta kali,” terka Zidan.

“Mana ada? Baru satu SMA, gua pites nanti cowoknya.” Eliot seketika berang.

Zidan tertawa lebar dengan menggelengkan kepalanya geli.

“Kenapa yang dipites cowoknya, kali saja Pilar juga suka sama itu cowok,” ledek Zidan semakin menjadi-jadi.

“Anak gua masih kecil, belum boleh pacar-pacaran cinta-cintaan. Kalau ada anak ingusan berani dekat-dekat gua sleding,” murka Eliot tidak terima mendengar Pilar pacaran.

“Dasar bapak posesif, Pilar sudah remaja kalau elu lupa. Wajar seusia dia suka-sukaan sama cowok.” Zidan menyandarkan punggung menikmati kecemburuan sepupunya.

“Whatever you say, belum saatnya pokoknya. Ayo kerja lagi,” pungkas Eliot mengakhiri percakapan mereka berdua secara sepihak.

Mereka kembali fokus pada pekerjaan mereka sampai mereka tidak menyadari seorang gadis remaja berpakaian celana selutut dan kaos bergambar Candi Borobudur membawa nampan dengan tiga gelas jus apel menghampiri.

“Sudah tiga puluh menit?” tanya Elios.

“Iya Pa, Om Zidan kok bawa pekerjaan ke rumah tumben?” tanya Pilar.

“Papa kamu membolos kerja dari kemarin jadi ya harus kesini buat minta tanda tangan, kalau enggak kasihan gaji karyawan enggak cair. Dosa nanti makan keringat orang,” kekeh Zidan.

“Papa kan kemarin sakit, Om.” Pilar ikut duduk di samping sang papa.

Zidan mengangguk. “Maka dari itu Om yang menyusul kemari dari pada dipaksa ke kantor terus kolaps. Kamu kenapa pulang jam segini? Membolos ya?”

“Enak saja enggak, memang punya izin pulang cepat. Tapi bukan membolos, rahasia pokoknya. Aku akan buatkan camilan untuk Papa dan Om, mau dibuatkan apa? atau sekalian makan siang?” Pilar memeluk lengan Eliot dengan wajah menengadah.

“Pasti putus cinta terus pura-pura sakit biar dikasih izin pulang, benar bukan?” Zidan masih meledek sang ponakan remaja.

“Enggak ih, Om Zidan jangan mengompori Papa ya. Sungguh bukan kok Pa,” rayu Pilar melotot pada sang om.

Zidan tertawa lebar senang melihat keponakannya panik menjelaskan di hadapan papanya. Eliot membenturkan keningnya dengan sang anak dan tersenyum dan mengangguk.

“Tentu saja Papa percaya kamu, bisa tolong buatkan makan siang saja? sepertinya Papa ingin makan cumi saos tiram sama capcai kering. Makan sini ya Dan, jarang-jarang bisa makan sama ponakan.” Eliot merangkul sang putri dan membelai bahunya.

“Ok siap, Om sudah lama enggak makan masakan Pilar si tukang menangis,” kekeh Zidan yang mendapat hadiah terjang dari Pilar dan cubitan bertubi-tubi.

Pilar sedang berada di depan layar laptopnya saat pintu kamar yang setengah terbuka diketuk dua kali. Terlihat papanya bersandar dengan celana training hitam dan kaos merah lengan panjang.

“Ganggu?” tanya Eliot.

“Enggak ... sedang menonton animasi. Masuk Pak.” Pilar memutar kursi belajarnya dan ketika sang papa duduk di tepi ranjangnya, lengan kursi belajarnya ditarik Eliot hingga mereka berhadapan.

“Kenapa tadi pagi?” tanya Elion lembut.

“Wanita itu mendatangi aku ke sekolah dan seenaknya membuat izin tiga hari dengan bilang ingin mengajak aku liburan ke Puncak,” lirih Pilar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status