Share

Sebuah Trauma

            Eliiot terdiam lama memandang wajah sendu Pilar, sebelum menghela nafas panjang. Kembali menarik kursi belajar Pilar hingga lutut mereka berbenturan pelan.

                “Terus?” tanya Eliot pelan.

                “Aku enggak mau, aku pulang langsung sama bilang jangan pernah melakukan hal itu lagi sama aku. Melakukan sesuatu yang tidak aku sukai dan tanpa seizin aku, apa Papa tahu kau dia berniat membawa aku ke Puncak?” terang Pilar.

Eliot menggeleng kecil. “Papa enggak tahu tentang itu, enggak ada hubungi Papa.”

                “Kan benar aku bilang pasti enggak bilang sama Papa, kenapa sih dia selalu seperti itu Pa? dia tahu aku enggak suka tapi masih seenaknya saja. Aku tadi mau tes Matematika, dan harus mengikuti susulan. Aku benci ikut susulan jika bukan karena sakit.” Pilar menjelaskan tentang keberatannya dan rasa tidak sukanya.

                “Nanti Papa yang akan bilang ya sama mama kamu, harusnya dia bilang dulu sama kamu atau Papa setidaknya. Papa akan bilang kalau kamu enggak suka dijemput ke sekolah dengan cara seperti itu. Sudah jangan sedih lagi.” Eliot membelai paras putrinya dengan senyum menenangkan.

                “Tidak bisakah aku tidak perlu menemuinya Pa? aku sungguh tidak suka harus melihat wajahnya. Papa enggak bisa buat hak asuh aku sama Papa saja?” tuntut Pilar.

                “Tidak bisa seperti itu Pilar, sebenci apa pun kamu sama dia. Dia tetap mama kamu, untuk hak asuh ... meskipun jatuh di tangan mama kamu tapi kan kamu tinggal sama Papa sesuai keinginan kamu sampai kamu masuk usia dewasa dan bisa menentukan sendiri mau tinggal sama siapa. Jika kamu tidak ingin bertemu maupun tidak ingin diajak mama kamu keluar kamu bisa menolak baik-baik. Pasti mama kamu bisa mengerti kamu sudah bisa memilih, kita boleh tidak suka sama seseorang tapi jangan berlebihan hingga membabi buta Sayang.” Eliot meremas kedua tangan mungil Pilar yang sedingin embun, Pilar selalu emosional jika menyinggung mamanya.

                “Kenapa dia tidak menghilang saja seperti yang dilakukannya bertahun-tahun lalu? Kenapa tiba-tiba datang setelah dengan tega meninggalkan aku di sekolahan saat aku TK. Akan jauh lebih baik dia tidak pernah muncul depan wajah aku lagi Pa. Setelah meninggalkan kita terus datang minta bertemu sama aku? mau bawa aku? sampai kapanpun aku enggak akan pernah mau,” lirih Pilar.

                Eliot tidak bersuara lagi, hanya memeluk sang putri dengan erat. Jika ia bersuara lagi atau mencoba membujuk saat kondisinya tengah seperti itu, maka yang ada Pilar akan lepas kendali dan traumanya bisa kembali datang. Maka malam itu Eliot menemani Pilar hingga terlelap dan ia menyelimuti serta mencium kening sang putri.

                “Bisa kita bertemu?” tanya Eliot setelah meninggalkan Pilar terlelap dan ia duduk di tepian ranjang besarnya.

                “Bisa, ada hal yang ingin aku bicarakan juga,” jawab suara wanita di seberang sana.

                “Kota Casablanca pukul empat besok sore.” Eliot langsung mematikan panggilan setelah memberitahu lokasi dan waktu pertemuannya dengan wanita bernama Gayatri.

                Keesokan harinya Eliot bertemu dengan Gayatri di sebuah kedai kopi ternama sesuai kesepakatan. Gayatri tiba setengah jam sebelum jam empat, sudah memesan secangkir latte panas. Eliot datang dengan masih berpakaian kantor lengkap jas dan dasi. Begitu duduk di hadapan Gayatri, ia melepas kancing jasnya.

                “Mau pesan dulu?” tawar Gayatri.

                “Enggak, langsung bicara saja. Kenapa kamu memaksa Pilar keluar kelas untuk mengajaknya ke puncak tanpa bilang sama aku terlebih dahulu?” tembak Eliot.

                Gayatri tahu pasti Eliot hendak bicara mengenai apa yang ia lakukan kemarin di sekolah Pilar, entah bagaimana Pilar bercerita pada papanya yang sekarang berwajah datar duduk berhadapan dengannya dengan kaki saling menumpu.

                “Aku hanya ingin menemui putri aku, apa itu salah? kamu sendiri yang bilang aku boleh menemuinya dan mengajaknya keluar,” jawab Gayatri.

                “Dengan catatan atas persetujuan Pilar, dan beritahu aku terlebih dahulu. Kamu tahu Pilar pulang berlarian ke rumah dengan menangis? itu yang kamu harapkan? Membuat Pilar menangis?” cerca Eliot masih dengan wajah datarnya.

                “Bukan seperti itu tujuan aku, mana mungkin aku suka membuat Pilar menangis. Aku hanya ingin bertemu anak aku.” Gayatri masih berkata pelan.

                “Aku paham, tapi tidak bisakah kamu memahami perasaan Pilar? Dia berhak memutuskan, mau menemui atau tidak. Kamu membuatnya seolah menjadi tokoh jahat di mata para guru dan teman-temannya yang tahu dia tidak mau menemui ibunya. Itu yang kamu harapkan dengan menemui Pilar berkali-kali d sekolah bahkan di tempat les katanya. Pilar sudah 15 tahun, tolong jangan lagi memberikan kenangan buruk yang membuatnya kembali trauma. Kamu bahkan tidak pernah tahu bagaimana dia melewati traumanya. Aku membebaskan bertemu dengan catatan dia mau, bukan secara paksa seperti itu.” Eliot berkata tanpa mengubah duduknya maupun raut wajahnya.

                “Tidak bisakah kamu membujuknya, sekali saja. Aku sangat ingin bertemu dengan Pilar, Eliot,” pinta Gayatri.

                Eliot menghela nafas panjang, menyugar rambutnya menjadi lebih berantakan. Ia tidak akan menyakiti Pilar hanya untuk memenuhi keinginan Gayatri bertemu.

                “Kenapa kamu kembali? Alasan apa yang buat kamu kembali ke Jakarta?” Eliot bertanya tentang hal lain.

                “Aku ingin memohon maaf pada Pilar, untuk semua luka yang sudah aku torehkan untuknya. Sungguh hanya itu alasan aku. Aku tidak akan merebut Pilar dari kamu atau memisahkan kalian karena aku sadar itu tidak mungkin. Aku tidak mencari pembenaran karena dari segi manapun aku memang berdosa.” Gayatri menundukkan kepala menyusut sudut mata basahnya tanpa sadar.

                “Aku akan bicara sekali lagi dan untuk terakhir kalinya sama Pilar. Jika dia tetap menolak maka tegas aku minta berhenti menemuinya atau aku sungguh akan menempuh jalur hukum. Akan aku ceritakan satu kisah, tidak perlu berkomentar, cukup dengarkan.” Eliot menegakkan punggung dan melepas tumpuan kakinya hingga sejajar.

                Gayatri mengangguk kecil, ia merasa apa yang akan Eliot ceritakan adalah hal buruk yang menimpa putrinya.

                “Pilar mengalami trauma parah saat usia hampir enam tahun, seminggu setelah kamu tinggalkan di ayunan sekolahnya. Dia menjerit-jerit memanggil kamu dengan mata melotot merah pekat. Melempar-lempar semua barang dengan jeritan dan memukuli siapapun yang berusaha menenangkannya termasuk sama aku. Pita suaranya luka hingga ia hampir tidak bisa bicara selama lebih dari setengah tahun. Satu tahun pertama kamu tinggalkan, dia selalu mengigau, demam, hingga muntah dan kejang. Menolak bicara pada siapapun dengan hanya menyebut Pilar mau sama mama. Kamu bisa bayangkan hal itu menimpa anak usia lima tahun? Tidak ada yang bisa masuk ke tubuhnya kecuali air putih, dia memuntahkan semuanya, semuanya. Hingga harus dirawat berulang kali karena kekurangan gizi. Kamu bisa membayangkan di posisi Pilar?” Eliot bercerita tanpa peduli air mata yang menganak sungai dari Gayatri.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status